• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pegakakan hukum kasus peniksaan dalam tinjuan hukum islam dan positif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pegakakan hukum kasus peniksaan dalam tinjuan hukum islam dan positif"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah

Oleh :

Oleh:

AINUL YAQIN 102043124908

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah

Oleh :

Ainul Yaqin

NIM : 102043124908

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing

Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum NIP : 196509081995031001 Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph. D

NIP : 196912161996031001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 7 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum.

Jakarta, 7 September 2010

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. (...) NIP. 195703121985031003

2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. (...) NIP. 196511191998031002

3. Pembimbing I : Asep Saepudin Jahar, MA, Ph. D (...)

NIP. 196912161996031001

4. Pembimbing II : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum (...)

NIP. 196509081995031001

5. Penguji I : Dr. Syahrul A’dam (...)

NIP. 19730504200031002

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 12 Juli 2010

(5)

Tuhan sekalian alam, yang dengan hidayah dan inayah-Nya, sehingga dapat

menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis

haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang

yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan uluran tangan

dari berbagai pihak, hanya Allah SWT yang dapat membalas budi baik yang telah

diberikan. Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., M.A., M.M. Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA, Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab

Dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Jakarta dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, Seketaris Jurusan

Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Jakarta, semoga senantiasa tetap bisa menjadi suri

tauladan bagi kami.

3. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph. D, pembimbing I dan Bapak Drs. Abu

Tamrin, SH, M.Hum, pembimbing II skripsi penulis yang dengan

keikhlsannya menuntun penulis dari awal hingga selesai skripsi ini.

(6)

ii

5. Segenap staf perpustakaan utama UIN syarif Hidayatullah Jakarta atas

fasilitas peminjaman buku yang membantu dalam penulisan skripsi ini.

6. Segenap staf perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif

Hiddayatullah Jakarta atas fasilitas referensi buku yang dipinjamkannya

sehingga membantu dalam penulisan skripsi ini.

7. Ayahanda H. Maulana Ischak (alm) yang senantiasa mendoakan, semoga

ketenangan selalu menyertainya di sisi Allah SWT.

8. Segenap saudara-saudaraku tercinta yang terus mengkritik, khususnya Mbak

Binti Mujahadah dan Mbak Zumaroh serta ponakan-ponakanku yang sudah

pada mendahului lulus kuliah.

Semoga karya tulis yang masih banyak kelemahan ini dapat menjadi kritik

konstruktif dan bermanfaat bagi perkembangan penegakan Hak Asasi Manusia di

Indonesia.

16 Ramadhan 1431 H

26 Agustus 2010 M

(7)

PEDOMAN TRANSLITERASI... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Dan Manfaat ... 11

D. Metode Penelitian ... 13

E. Review Studi Terdahulu ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM SERTA PENYIKSAAN DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Kedudukan dan Wewenang Kepolisian republik Indonesia ... 18

B. Pengertian Penegakan Hukum ... 22

C. Penyiksaan dalam Tinjauan Hukum Islam ... 25

D. Penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia ... 27

BAB III: BENTUK-BENTUK PENYIKSAAN YANG DILAKUKAN APARAT KEPOLISIAN A. Tahap Penangkapan ... 34

B. Tahap Pemeriksaan ... 38

(8)

- iv -

dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam,

Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia ... 47

B. Berdasarkan Hukum Islam ... 58

C. Analisa Tentang Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan

Yang Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian Berdasarkan

Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang

Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam,

Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia ... 68

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran-Saran ... 75

(9)

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h ha dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

ض d de dengan garis bawah

ط t te dengan garis bawah

ظ z zet dengan garis bawah

ع ’ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w we

ﻩ h ha

ء ` apostrop

ي y ye

Vokal Vokal

Panjang Diftong

Kata Sandang

Ta Marbûtah Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin

ــــــ a ﺂـــــ â يــــــ ai لا al- ة h & t

ــــــ i ﻲـــــ î وــــــ au

ــــــ u ﻮـــــ û

Ket. : Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum (1428 H / 2007 M).

(10)

Indonesia saat ini tengah menjalankan proses demokratisasi, terbukanya

iklim kebebasan pasca jatuhnya rezim orde baru telah membuka beragam

penafsiran akan arah reformasi di berbagai dimensi, tidak terkecuali dalam

reformasi sektor keamanan khususnya reformasi Kepolisian Negara Republik

Indonesia (POLRI). Embrio reformasi POLRI diawali dengan munculnya Tap

MPR RI No. VI dan Tap MPR RI No. VII yang memisahkan POLRI dari ABRI.

Kemudian embrio ini ditindaklanjuti dengan disahkannya UU No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.1

Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah sebagai

salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat.

Untuk melihat fungsi praktis kepolisian tersebut sebagaimana diatur

dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169 tentang Pedoman Perilaku

bagi Aparat Penegak Hukum bahwa para aparat penegak hukum harus

menghormati dan melindungi martabat manusia serta menjaga dan menjunjung

1

Aditya Batara Gunawan (ed.), Guiedbook on Democratic Policing, Terjemahan, (Vienna Austria: OSCE, 2008), h. 3-4

(11)

tinggi HAM. Para aparat penegak hukum diwajibkan tunduk pada ketentuan serta

nilai-nilai HAM. Caranya dengan membatasi diri dalam penggunaan kekerasan

serta penggunaan senjata api. Selain itu keharusan para penegak hukum untuk

mengutamakan pula pencegahan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain

yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia terhadap

orang-orang yang sedang berhadapan dengan hukum. Pembatasan ini

semata-mata menjamin perlindungan terhadap hak-hak dasar seseorang dari kekerasan

aparat penegak hukum.2

Namun sungguh ironis jika dewasa ini praktek penyiksaan yang dilakukan

oleh aparat kepolisian masih kerap berlangsung. Lembaga Bantuan Hukum

(LBH) Jakarta telah menyelenggarakan polling di www.bantuanhukum.org

sepanjang bulan Agustus – Oktober 2007, tentang apakah anggota Polri dalam

melakukan pemeriksaan (BAP) sering melakukan penyiksaan. Sebanyak 65 %

menjawab aparat kepolisian selalu melakukan penyiksaan, 25 % tidak pernah dan

sisanya 7 % menyatakan kadang-kadang.3

Dikisahkan dalam Berita LBH Jakarta kasus penyiksaan yang terjadi di

Indonesia, yaitu kasus Risman Lakoro yang disiksa karena dituduh membunuh

putrinya yang bernama Alta,4 dan kasus Budi Hardjono yang disiksa Polisi demi

2

Gatot, (ed), Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan; Survey Penyiksaan Ditingkat Kepolisian Wilayah Jakarta Tahun 2008, (Jakarta: LBH Jakarta, 2008), h. 3.

3

Berita LBH Jakarta, edisi Nomor 15/Juli-september/2007, h. 8

4

(12)

seorang Ibu.5 Kedua korban tersebut merupakan korban salah tangkap yang

dilakukan oleh kepolisian dan tidak ada upaya-upaya oleh pihak yang berwenang

untuk mengusut kebenaran kasus tersebut. Dengan kata lain kepolisian

membiarkan kasus tersebut berlalu begitu saja.

Dalam catatan kritis KontraS dalam melakukan pemantauan atas kinerja

kepolisian menunjukkan bahwa kultur kekerasan masih melekat dalam tubuh

kepolisian. Di bawah ini adalah pemantauan KontraS sepanjang tahun 2005 – Mei

2008.

Tindakan 2005 - 2006 2006 - 2007 2007 - 2008

Penembakan/penyalahgunaan senjata api

43 62 23

Penyiksaan selama proses peradilan

43 24 14

Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang

65 36 39

Bentrokan dengan sesama polisi

- 6 -

Bentrokan dengan anggota TNI

5 12 1

Penyalahgunaan Kekuasaan yang lain

23 30 12

Dari tabel tersebut, jelas bahwa aparat kepolisian masih menerapkan

tindakan pelanggaran HAM dan kekerasan yang bersifat konvensional berupa

penembakan, penyiksaan dan penahanan atau penangkapan sewenang-wenang.

Sulit melihat perubahan yang signifikan dari watak kekerasan yang masih terjadi.

5

(13)

Satu hal tersulit untuk diubah mengingat jejak warisan orde baru selama 32 Tahun

telah membentuk institusi kepolisian dalam wujud militeristik dan menjadi bagian

dari politik praktis pemerintahan. Meski polisi merupakan alat penegak hukum,

namun kekerasan masih terus terjadi karena aparat kepolisian justru melanggar

penegakan hukum itu sendiri.6

Namun ternyata tidak semua aparat negara yang melakukan penyiksaan itu

lolos dari jeratan hukuman. Didik Setyawan seorang anggota reserse kepolisian

sektor Banjarsari Surakarta Jawa tengah dibantu beberapa anggota reserse

kepolisian yang lain yaitu M. Trikogani, Supriyanto, Aan Yuantoro, Sudalmi dan

Kristian Fery pada hari senin tanggal 20 November 2006 telah melakukan

penganiayaan yang mengakibatkan matinya Roni Ronaldo tersangka kasus

pencurian dan kekerasan. Maka keenam anggota reserse tersebut akhirnya dijerat

pasal 351 ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dihukum penjara

selama 1 Tahun 6 bulan.7

Kasus Didik Setyawan di atas merupakan salah satu kasus di mana

penegakan hukum dalam kasus penyiksaan masih bisa dilakukan dengan arti

bahwa wibawa kepolisian masih mempunyai citra positif. Namun jika dicermati

secara mendalam, pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

adalah pasal tentang penganiayaan. Secara kontekstual pasal penganiayaan

6

Indria Fernida, 10 Tahun Reformasi Sektor Keamanan Akuntabilitas Polisi dalam Penegakan HAM, (Disampaikan dalam acara Simposium “10 Tahhun reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”, Jakarta 28-29 Mei 2008).

7

(14)

tersebut merupakan pasal yang digunakan untuk menjerat seorang warga negara

yang menganiaya warga negara lainnya. Sedangkan dalam kasus Didik Setyawan

dkk adalah kasus antara aparat negara yang menganiaya warga negara. Katagori

tindakan Didik Setyawan dkk sebenarnya katagori tindakan penyiksaan yang

ditentang oleh ketentuan manapun.

Geoffrey Robertson memandang alasan larangan penyiksaan ketika tindak

penyiksaan difungsikan sebagai metode penyelidikan pihak kepolisian namun

tidak bisa membuat jera seorang penjahat. Lebih jauh dari itu bahwa penyiksaan

ternyata bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Penyiksaan adalah kejahatan lain yang lebih umum dan lebih dikenal setelah pengadilan Nuremberg berakhir. Karena, dibawah hukum internasional penyiksaan juga masuk dalam katagori kejahatan yang melibatkan tanggungjawab individu. Selama beberapa abad, penyiksaan dianggap sebagai metode yang sah dan perlu untuk mendapatkan informasi dan pengakuan. Penggunaan cara-cara penyiksaan seperti itu, oleh Star Chamber dan Spanish Inquisition diperintahkan dan diatur oleh otoritas peradilan. Bukti bahwa penyiksaan tidak dapat diandalkan sebagai cara untuk mendapatkan kebenaran menjadi alasan untuk menghentikannya secara resmi sebagai reaksi atas sifatnya yang tidak manusiawi. Namun, kenyataannya, penyiksaan itu masih dipraktikkan secara luas oleh kekuatan polisi dan milier di seluruh dunia.8

Penyiksaan merupakan pelanggaran hak asasi yang sangat serius, dan

karenanya dengan tegas dikutuk oleh hukum internasional, khususnya oleh pasal

5 DUHAM, yang menyatakan bahwa:

8

(15)

Tidak seorang pun dapat disiksa, atau perlakuan atau dihukum dengan kejam, tidak manusiawi dan direndahkan martabatnya.9

Pada tanggal 10 Desember 1984 dengan resolusi Nomor 39/46, Majelis

Umum PBB menetapkan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau

Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat

Manusia.10 Konvensi ini terdiri dari 33 pasal yang mulai berlaku pada tanggal 26

Juni 1987. Indonesia sebagai negara pihak yang turut serta melakukan

penandatanganan konvensi tersebut telah meratifikasi (mensahkan) dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan

dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan

Merendahkan Martabat Manusia.

Ciri utama konvensi ini menentukan bahwa negara pihak melarang

penyiksaan dalam perundang-undangan nasionalnya, tetapi juga menetapkan

secara eksplisit bahwa perintah atasan atau keadaan-keadaan khusus tidak dapat

dijadikan pembenaran penyiksaan. Dua unsur yang diperkenalkan yaitu; Pertama,

bahwa penyiksa dapat dihukum di manapun ia berada dalam wilayah setiap

negara pihak konvensi, karena konvensi ini menyebutkan bahwa orang-orang

yang telah diduga melakukan tindakan penyiksaan dapat diadili di negara pihak

manapun. Kedua, bahwa konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang

9

Hak Asasi Manusia; Metode-Metode Penyiksaan, Lembar Fakta No. 4, Penerjemah: Harkristusi Harkrisnowo, SH, Christianus H. Panjaitan, dan Patricia Rinwigati, SH, TT., TP, h.1

10

(16)

memperkenalkan dilakukannya pemeriksaan internasional, jika terdapat informasi

yang dapat dipercaya yang menunjukkan bahwa penyiksaan telah dilakukan

secara sistematis dalam wilayah negara pihak konvensi. Pemeriksaan ini dapat

mencakup kunjungan ke negara pihak bersangkutan atas persetujuan negara ini.11

Penentangan terhadap penyiksaan ini sebenarnya juga tertoreh dalam

sejarah Islam, tepatnya dalam piagam madinah pada Pasal 36 Piagam Madinah

yang mengajarkan prinsip larangan penghukuman yang melebihi hukuman yang

ditentukan. Berikut bunyi pasal tersebut;

Tidak dibenarkan seseorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali mendapat izin dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (membalas) orang lain yang melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya.12

Dan terdeskripsikan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad sebagai

berikut;

ﺪﺛ

ْﺑا

ْﺪ

ﷲا

,

ﺪﺛ

ْﻴ

نﺎ

ْﻦ

أ

ْﻮ

ب

ْﻦ

ْﻜ

أ

ن

ر

ﺿ

ﷲا

ْ

ق

ْﻮ

ً

اْﺑ

سﺎ

لﺎ

ﻟْﻮ

آْ

ا

ﻢﻟ

ْا

ْﻬ

ْﻢ

,

ن

ﻟا

ﷲا

ْﻴ

و

لﺎ

:

ﺬﺑ

ْﻮ

ا

با

ﷲا

...

.

ر

و

ﻩا

ْاﻟ

رﺎ

ى

13 Artinya: 11

Hak Asasi Manusia; Metode-Metode Penyiksaan, Lembar Fakta No. 4, Penerjemah: Harkristusi Harkrisnowo, SH, Christianus H. Panjaitan, dan Patricia Rinwigati, SH, TT., TP, h. 6-7

12

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), Cet. V, h.14

13

(17)

Diceritakan oleh Ali bin Abdillah, diceritakan oleh Sufyan dari Ayyub dari ‘Ikrimah, sesungguhnya Ali r.a. membakar suatu kaum, kemudian Ibn Abbas datang dan berkata: Aku tidak akan membakar mereka karena susungguhnya Nabi SAW, bersabda, "Janganlah. kalian menyiksa dengan siksaan Allah," (HR Bukhari”

Dua peristiwa dalam Islam di atas menunjukan bahwa salah satu dasar

prinsip hukum dalam Islam adalah menentang adanya kekejaman dan penyiksaan.

Manusia sebagai makhluk mulia dan berakal tentu menghendaki adanya sendi

kehidupan yang bernilaikan kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang dianugrahkan

Allah sebagaimana dalam ayat berikut:

Artinya:

“Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” (Q.S. Al-Isra’:70)

Berdasarkan ayat tersebut, Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya

mengatakan, di antara manifestasi penghormatan ini ialah Allah menciptakan

manusia dengan “tangan-Nya” sendiri, kemudian meniupkan roh dan

memerintahkan malaikat bersujud kepadanya, menundukkan segala apa yang ada

di langit dan di bumi untuk kepentingannya, menjadikan pemimpin di atas planet

(18)

di atas bumi. Demi tercapainya hakekat nyata dari penghormatan ini dan

menjadikannya pedoman hidup, Islam menjamin seluruh hak manusia,

mewajibkan pemeliharaan hak tersebut, baik menyangkut hak beragama, sipil

maupun politik.14

Penghormatan terhadap manusia juga termasuk hak untuk tidak disiksa

dalam situasi apapun. Dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak

untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak

manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Bertolak dari norma-norma yang menentang terhadap bentuk penyiksaan

dan beberapa kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang tidak

dijerat oleh hukum maupun yang dapat dijerat oleh hukum, maka penulis tertarik

untuk menulis sebuah skripsi dengan tema:

Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif”.

14

(19)

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

Dalam penulisan skripsi ini ditentukan beberapa batasan masalah, antara

lain yaitu:

1. Bahwa penyiksaan di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam hukum positif

yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

dan Undang-Undang No 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang Kejam,

Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia. Namun dalam

penulisan skripsi ini akan dibatasi pada penegakan hukum kasus penyiksaan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang

Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia dan hukum

Islam.

2. Bahwa penyiksaan merupakan istilah bagi tindakan pencederaan yang

berlebihan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan cara dan

bentuk yang bermacam-macam, namun dalam penulisan skripsi ini hanya

tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh penegak hukum dari aparat

kepolisian dalam kurun waktu antara tahun 2007 sampai dengan 2008.

Adapun pembatasan obyek penelitian akan dibatasai secara khusus di wilayah

Jakarta. Namun tidak menutup kemungkinan akan meluas pada kasus-kasus di

(20)

jarang terpublikasi. Hal ini memang terbukti kasus-kasus penyiksaan yang

dilakukan oleh aparat kepolisian itu ditutup-tutupi oleh pihak kepolisian itu

sendiri.

3. Bahwa upaya penegakan hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan

penyiksaan kurang maksimal dan bahkan masih sering terabaikan. Sehingga

sulit untuk dilakukan perbandingan antara polisi yang melakukan penyiksaan

itu dihukum dan yang tidak dihukum.

Sedangkan perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perlindungan hukum di Indonesia terhadap seorang

tersangka atau terdakwa dari tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh

aparat polisi ?.

2. Bagaimanakah pemberian sanksi hukuman terhadap aparat polisi yang

melakukan penyiksaan menurut hukum Islam dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang

Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain, Tidak Manusiawi atau

Merendahkan Martabat Manusia ?.

C. TUJUAN DAN MANFAAT

Melihat dari rumusan masalah pada point sebelumnya, maka tujuan yang

disajikan pun tidak akan keluar dari materi yang hendak dipaparkan. Tujuan

(21)

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum di Indonesia terhadap seorang

tersangka atau terdakwa dari tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh

aparat polisi;

2. Untuk mengetahui pemberian sanksi hukuman terhadap aparat polisi

yang melakukan penyiksaan menurut hukum Islam dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain, Tidak

Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

Terkait dengan guna, penulisan ini bermanfaat :

1. Bersifat Teoritis Akademis

a. Mengetahui perlindungan hukum di Indonesia terhadap seorang

tersangka atau terdakwa dari tindakan penyiksaan yang dilakukan

oleh aparat polisi;

b. Untuk mengetahui pemberian sanksi hukuman terhadap aparat

polisi yang melakukan penyiksaan menurut hukum Islam dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman

Lain, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

2. Bersifat Manfaat Praktis

a. Sebagai referensi bagi masyarakat secara umum agar turut

berperan serta dalam menegakkan hukum untuk mencegah

(22)

b. Untuk memberikan konstribusi dalam khazanah keislaman tentang

larangan penyiksaan dalam hukum Islam.

G. METODE PENELITIAN a. Pendekatan

Pendekatan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan

penelitian historis, yaitu, membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis

dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta

mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh

kesimpulan yang kuat.15

b. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian

kualitatif yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud

menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan

berbagai metode yang ada,16 dengan cara pengamatan, wawancara, atau

peneleahan dokumen.17

15

Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), Cet. II, h.73

16

Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2005), Cet. XXV, h. 5

17

(23)

c. Data Penelitian

Data-data penelitian atau data-data yang dijadikan sumber materi

adalah data-data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku dan hasil-hasil penelitian.18

Data-data penelitian tersebut meliputi peraturan perundang-undangan

yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1998 Tentang

Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman

lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, dan

pertauran-peraturan yang terkait dengan penegakan hukum terhadap kasus

penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian.

Selain undang-undang, data-data yang akan dijadikan sumber

penelitian adalah laporan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di

bidang penegakan Hak Asasi Manusia, buku-buku, dan tulisan-tulisan ilmiah

yang terkait dengan kasus penyiksaan.

d. Tekhnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan datanya dengan menggunakan metode library research yaitu penelitian kepustakaan dan literatur yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

18

(24)

e. Metode Analisis

Metode penelitian yang digunakan adalah gaya penulisan formal

dengan pemaparan yang deskriptif analitis dan kemudian menarik kesimpulan. Data ditemukan secara induktif dan dikemukakan secara

deduktif.19

f. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini

berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 M.

H.REVIEW STUDI TERDAHULU

Berdasarkan penelusuran penulis di Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan

Perpustakaan Utama Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Berdasarkan Hukum Islam Dan Hukum Positif” atau pun yang hampir bersesuaian tidak ditemukan. Dengan demikian, maka uraian secara spesifik mengenai review studi terdahulu

dalam penulisan skripsi ini tidak bisa dilakukan sebagaimana mestinya.

19

(25)

I. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Menjelaskan pendahuluan yang memuat bahasan latar belakang

masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode

penelitian, sistematika penulisan;

Bab II : Menjelaskan pengertian penegakan hukum serta penyiksaan dalam

hukum Islam dan hukum positif yang membahas tentang kedudukan

dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia, pengertian penegakan

hukum, pengertian penyiksaan Penyiksaan dalam Tinjauan Hukum

Islam dan Penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998

Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan

atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan

Martabat Manusia;

Bab III : Menjelaskan bentuk-bentuk penyiksaan yang dilakukan aparat

kepolisian yang membahas tahap penangkapan, tahap pemeriksaan,

dan penegakan hukum kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat

kepolisian dengan sub. bahasan, Pertama, penghukuman terhadap aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan dan Kedua, Pembiaran Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan Penyiksaan;

Bab IV : Menjelaskan tinjauan yuridis penegakan hukum kasus penyiksaan

yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan sub. bahasan, Pertama,

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang

(26)

Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan

Martabat Manusia, Kedua, Berdasarkan Hukum Islam, dan Ketiga,

Analisa Tentang Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Yang

Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian Berdasarkan Hukum Islam Dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang

Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia;

(27)

Konteks penyiksaan dalam penulisan skripsi ini adalah penyiksaan yang

dilakukan oleh aparat kepolisian, oleh karenanya sebelum menjelaskan pengertian

penyiksaan dalam wacana hukum Islam dan hukum positif, maka penulis akan

menguraikan pengertian penegakan hukum serta kedudukan dan wewenang

kepolisian Republik Indonesia terlebih dahulu.

A. Kedudukan dan Wewenang Kepolisian Republik Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kedudukan mempunyai arti, yaitu;

tempat kediaman; tempat pegawai tinggal untuk melakukan pekerjaan atau jabatannya; letak atau tempat suatu benda; tingkatan atau martabat; keadaan yang sebenarnya; dan status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara).1 Dari keenam makna tersebut, makna keenam yang sesuai dengan konteks

pembahasan Kepolisian Republik Indonesia ini, yaitu makna status (tingkatan) lembaga. Jadi yang dimaksud dengan kedudukan Kepolisian Republik Indonesia

adalah status lembaga Kepolisian Republik Indonesia.

1

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, h. 277

(28)

Sedangkan wewenang memiliki tiga arti, yaitu: hak dan kekuasaan untuk bertindak atau kewenangan; kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain; dan fungsi yang boleh tidak dilaksanakan.2 Dari ketiga makna ini, yang sesuai dengan konteks pembahasan Kepolisian Republik Indonesia ini adalah makna pertama. Jadi maksud dari

wewenang Kepolisian Republik Indonesia adalah hak dan kekuasaan Kepolisian

untuk melakukan suatu tindakan.

Adapun pengertian kepolisian itu sendiri adalah sebagaimana termaktub

dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, yaitu segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi

dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi pengertian

kedudukan dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia berdasarkan uraian di

atas adalah status atau tingkatan dan kewenangan yang berkaitan dengan fungsi

lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kedudukan Kepolisian Republik Indonesia diatur di dalam pasal 8 ayat

(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik

Indonesia, yaitu:

Pasal 8

1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. 2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang

dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2Ibid

(29)

Sedangkan wewenang Kepolisian Republik Indonesia diatur di dalam

pasal 13, 14, 15, dan 16 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka

wewenang kepolisian terkait dengan perlindungan terhadap seorang tersangka

harus melandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk prinsip hak

seorang tersangka untuk tidak disiksa.

Pasal 13 menjelaskan mengenai tugas pokok Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang meliputi: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b)

menegakkan hukum; dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat. Pada pasal penjelasan mengenai pasal 13 tersebut

dijelaskan bahwa rumusan tugas pokok tersebut bukan meruapakan urutan

prioritas, ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas

pokok mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat

dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut

dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Di samping itu, dalam

pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma

agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Berdasarkan tugas pokok sebagaimana dijelaskan pada pasal 13 di atas,

maka diatur pada pasal 14 ayat (1) huruf (g) bahwa dalam melakukan

(30)

hukum acara pidana dan peraturan perundangan lainnya.3 Oleh karenanya dalam

proses sebuah penyelidikan dan penyidikan, aparat harus dibekali dengan

pengetahuan dan kemampuan dalam menangani sebuah perkara. Hal ini

sebagaimana diatur pada pasal 15 ayat (2) huruf (g) bahwa tugas kepolisian

adalah memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus

dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian. Termasuk

juga pengetahuan dan kemampuan penyelidikan dan penyidikan tanpa

menggunakan kekerasan atau penyiksaan.

Pada pasal 16 ayat (1) dijelaskan secara tegas tugas-tugas kepolisian di

bidang pidana khususnya yang berkaitan dengan seorang tersangka atau orang

yang diduga melanggar tindak pidana bahwa kepolisian berwenang melakukan

penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; membawa dan

menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; melakukan

pemeriksaan dan penyitaan surat; dan memanggil orang untuk didengar dan

diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Namun tindakan ini harus melandaskan

pada nilai-nilai HAM sebagaimana diatur pada pasal 16 ayat (2) bahwa tindakan

penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai

berikut:

3

(31)

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

Dari uraian mengenai kedudukan dan wewenang Kepolisian Negara

Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 di atas,

maka Kepolisian berada di bawah Presiden. Kepolisian sebagai alat negara harus

melaksanakan kekuasaan negara di bidang kepolisian preventif dan represif dalam

rangka criminal justice system, dengan tugas utama pemeliharaan keamanan negeri serta menjunjung tinggi prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia.

B. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan secara gramatikal diartikan proses atau cara perbuatan

menegakkan.4 Kata menegakkan secara gramatikal memiliki enam arti, yaitu:

mendirikan; menaruh tegak lurus; menjadikan (menyebabkan) tegak; mengusahakan supaya tetap berdiri, mempertahankan (negara, keadilan, keyakinan), memelihara dan mempertahankan (kemerdekaan, cita-cita, hukum), mewujudkan atau melaksanakan (cita-cita); memegang teguh atau mempertahankan (pendapat, pendirian); dan mengukuhkan atau memperteguh (hati, semangat, perlawanan).5

4

Ibid, h. 1155

5Ibid,

(32)

Dari enam arti di atas, makna menegakkan lebih relevan dengan makna

memelihara dan mempertahankan. Jadi penegakan hukum adalah proses pemeliharaan dan mempertahankan hukum. Proses pemeliharaan dan

mempertahankan hukum berarti berbicara mengenai pelaksanaan hukum atau

hukum sebagai suatu proses. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hukum dapat

berjalan melalui manusia.6

Adapun penegakan hukum sebagaimana dirumuskan oleh Abdul Kadir

Muhamad adalah sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya,

mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi

pelanggaran, memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali.7

Pengertian itu menunjukkan bahwa penegakan hukum itu terletak pada

aktifitas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aktifitas penegak hukum ini

terletak pada upaya yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan norma-norma

yuridis. Mewujudkan norma berarti menerapkan aturan yang ada untuk menjerat

atau menjaring siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran

hukum menjadi kata kunci yang menentukan berhasil tidaknya misi penegakan

hukum (law enforcement).

6

Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1979), Cet X, h. 70

7

Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, Republik “Kaum Tikus”; Refleksi

(33)

Penegakan hukum dapat dilakukan dengan berupa penindakan hukum.

Abdul Kadir Muhammad menjelaskan bahwa penindakan hukum dapat dilakukan

dengan urutan sebagai berikut:

1. Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat

lagi (percobaan);

2. Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda);

3. Penyisihan atau pengucilan (pemcabutan hak-hak tertentu);

4. Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati).8

Urutan tersebut lebih menunjukkan pada suatu tuntutan moral-yuridis

yang berat terhadap aparat penegak hukum agar dalam menjalankan tugas,

kewenangan, dan kewajibannya dilakukan secara maksimal. Kesuksesan law enforcement sangat ditentukan oleh peran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan sistem hukum. Kalau sistem hukum ini

gagal dijalankan, maka hukum akan kehilangan dalam sakralitas sosialnya.9

8

Ibid, h.16-17

9

(34)

C. Penyiksaan dalam Tinjauan Hukum Islam

Penyiksaan adalah proses atau cara perbuatan menyiksa.10 Pengertian

menyiksa adalah menghukum dengan menyengsarakan (menyakiti, menganiaya), berbuat dengan menyengsarakan atau berbuat bengis kepada yang lain dengan

menyakiti.11 Dalam konteks pembahasan skripsi ini, yang dimaksud dengan

penyiksaan adalah tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum di luar koridor hukum yang ada.

Pasal 36 Piagam Madinah menorehkan sebuah prinsip bagaimana

memperlakukan seseorang tersangka atau seorang pelanggar hokum. Pasal

tersebut mengajarkan bahwa memberikan penghukuman yang melebihi hukuman

yang ditentukan itu harus dilarang.12 Ketika Rasulullah berpidato di Padang

Arafah pada waktu Haji Wada’:

….”Bahwa semua riba sudah tidak berlaku. Tetapi kamu berhak menerima kembali padamu. Janganlah kamu berbuat aniaya terhadap orang lain dan jangan pula kamu teraniaya. ……”13

Larangan berbuat aniaya dalam khutbah tersebut, secara eksplisit

menyatakan bahwa tindakan penyiksaan tidak boleh dilakukan kepada siapa pun,

10

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, h. 1064

11

Ibid, h. 1064-1065

12

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), Cet. V, h.14

13

(35)

baik dalam relasi horisontal (individu dengan individu) maupun vertikal

(penguasa atau aparat penegak hukum dengan invidu).

Oleh karena itu, Imam Muhammad Syirazi menegaskan bahwa setiap

bentuk penyiksaan merupakan suatu hal yang dilarang, karena Allah tidak pernah

memberikan keterangan yang membolehkan tindakan penyiksaan, bahkan

terhadap musuh-musuh Allah sekalipun.14 Penyiksaan merupakan bentuk

tindakan penghukuman yang berlebihan. Tindakan yang berlebihan ini dilarang

oleh Allah sebagaimana dalam firmanNya:

Artinya

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Baqarah : 190)

Pada umumnya, penyiksaan digunakan oleh aparat penegak hukum untuk

mengiterogasi seorang tersangka. Bagi Imam Muhammad Syirazi, penyiksaan

adalah sebuah fenomena yang tidak islami. Bahwa untuk mencapai pembuktian

hukum yang benar tidak perlu menggunakan penyiksaan, tetapi harus dilakukan

14

Imam Muhammad Syirazi, The Rights of Psioners According to Islamic Teachings,

(36)

melalui investigasi yang cermat dengan semua bukti yang tersedia,

termasukmelakukan wawancara yang terperinci.15

Oleh karena itu, pada pasal 20 Deklarasi Kairo Organisasi Konferensi

Islam tentang Hak Asasi Manusia Islam menetapkan bahwa:

Dilarang menjadikan orang disiksa secara fisik dan psikologis, atau segala bentuk penghinaan, kekejaman, dan penistaan. Dilarang juga menjadikan seorang individu sebagai sasaran percobaan medis atau ilmiah tanpa persetujuannya atau dengan resiko pada kesehatan atau nyawanya. Dilarang pula mengumumkan aturan darurat yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tindakan di atas.16

Dengan demikian dapat diambil suatu intisari bahwa hukum Islam pada

prinsipnya melarang siapa saja agar tidak melakukan penghukuman terhadap

seseorang yang diduga pelanggar hukum dengan cara menyiksa atau

mengakibatkan derita yang pedih. Terlebih bagi seorang aparat penegak hukum

pada era modern saat ini yang sudah dibekali pendidikan dan ketrampilan untuk

mencari kebenaran secara profesional.

D. Penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia

Terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang

Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain

yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Indonesia

15

Ibid, h.25

16

(37)

telah menandatangani Konvensi Anti Penyiksaan pada 23 Oktober 1985 atau

kurang dari setahun setelah Konvensi tersebut ditetapkan pada 10 Desember

1984.

Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara pertama yang

menandatangani Konvensi Anti Penyiksaan. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia

juga termasuk negara yang paling cepat menandatanganinya.17 Cepatnya proses

penandatanganan itu ternyata tidak diiringi dengan kesigapan yang serupa untuk

urusan ratifikasi isi Konvensi. Indonesia baru meratifikasi Konvensi ini pada 28

September 1998, atau tiga belas tahun setelah proses penandatanganan.

Dengan diratifikasinya Konvensi Menentang Penyiksaan, selain

memberikan landasan yang kuat untuk menghapuskan segala bentuk penyiksaan

di Indonesia, sedikitnya ada lima arti penting dari langkah ratifikasi tersebut:

1. Indonesia mempunyai komitmen yang lebih nyata untuk mencegah,

mengatasi, dan mengakhiri fenomena penyiksaan;

2. Indonesia harus menyempurnakan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) agar sesuai dengan isi Konvensi;

3. Indonesia memberikan legitimasi hukum yang lebih memadai untuk

mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan yang melibatkan

aparat negara, baik secara langsung maupun tidak langsung;

4. Indonesia menyadari bahwa upaya untuk mengatasi penyiksaan harus

dilakukan secara multilateral;

17

(38)

5. Indonesia mengakui kewenangan Komite Menentang Penyiksaan PBB

untuk --sampai tingkat tertentu — menjamin efektifitas setiap upaya

untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan.18

Penyiksaan di dalam Pasal 1 Ayat 1 Konvensi Menentang Penyiksaan

didefinisikan sebagai berikut:

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”

Berdasarkan pasal 1 ayat 1 tersebut, diperoleh empat element penting

mengenai penyiksaan, yakni:

1) Segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang. Contohnya secara fisik adalah pemukulan terus menerus, acak dan keras; kekerasan terhadap gigi, pencabutan kuku, dan setrum. Adapun secara psikis adalah diancam, dipaksa mengaku, dipermalukan, dan lain sebagainya;

2) Untuk memperoleh pengakuan atau keterangan, menghukum, atau mengancam, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi;

3) Dilakukan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik;

18

(39)

4) Tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.19

Mashood A. Baderin menjelaskan bahwa penyiksaan lazimnya dibedakan

dari ‘perlakuan dan penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan

martabat’ dalam hal maksud, tingkat kehebatan dan kedahsyatan rasa sakit atau

penderitaan yang ditimbulkan. Jika diamati, istilah ‘penyiksaan’ menyematkan

‘stigma khusus untuk menyegaja perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan

penderitaan yang sangat serius dan kejam’. Dipaparkan dalam Tyrer v. UK,

mahkamah yang sama berpendapat bahwa kedahsyatan penderitaan membenarkan

penggunaan istilah ‘tidak manusiawi’ sebagai lebih tinggi dari pada apa yang

mungkin digambarkan sebagai ‘merendahkan martabat’.

Tidak manusiawi berhubungan dengan rasa sakit, dan derita, sedangkan

merendahkan martabat berhubungan dengan penghinaan. Jadi, terdapat skala yang

sudah dipradugakan ‘mengenai kehebatan derita yang dimulai dengan perendahan

martabat, berujung pada ketidakmanusiawian dan pada puncaknya sampai pada

tingkat penyiksaan.

Demikian juga perlakuan kejam dipradugakan berada ‘di antara tata cara

tidak manusiawi dan penyiksaan.’ Maka itu, sekalipun suatu tindakan bisa lolos

dari katagori penyiksaan, ia tetap bisa dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak

manusiawi, atau merendahkan martabat yang semuanya dilarang oleh kovenan.

19

(40)

Tujuan utama ketentuan itu ialah ‘untuk melindungi martabat sekaligus keutuhan

fisik dan mental individu. 20

Jadi penyiksaan merupakan sebuah tindakan yang tidak manusiawi yang

berhubungan dengan rasa sakit, dan derita yang harus ditentang karena tidak

sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang beradab. Oleh karenanya, dalam

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam,

Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, mengharuskan negara

untuk menahan dan menyelenggarakan proses pengadilan ketika si pelaku yang

diduga melakukannya ada dalam wilayah yang termasuk di dalam yurisdiksinya,

dan belum menjadi subyek permintaan ekstradisi.21

20

Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, Trjmh, Penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNAS HAM, 2007), Cet. I, h. 76

21Ibid

(41)

Penyiksaan merupakan tindakan yang mengakibatkan penderitaan atau rasa

sakit yang pedih. Beragam bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian

kepada korban atau orang yang diduga melanggar tindak pidana1 sebenarnya

membuktikan ketidakprofesionalan polisi dalam menangani suatu kasus pidana.

Nur Kholis2 mengatakan bahwa kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat

kepolisian selama tahun 2007 sampai 2008 ini ada 180 kasus. Menurut Nur Kholis,

kasus kekerasan aparat keamanan sepanjang tahun 2007-2008 di Indonesia, polisi

berada di urutan pertama. Urutan kedua, dilakukan aparat TNI sebanyak 18 kasus.

Rinciannya, 4 kasus oleh AL, 12 kasus dilakukan aparat AD, dan 2 kasus dilakukan

aparat AU.3

Ada dua tahap di mana polisi kerap melakukan penyiksaan terhadap orang

yang diduga melanggar tindak pidana, yaitu pada tahap penangkapan4 dan

1

Yang dimaksud dengan korban atau orang yang diduga melanggar tindak pidana dalam konteks penulisan skripsi ini adalah tersangka dan terdakwa. Tersangka adalah seseorang yang disangka sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak. Justru sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tenatang Pokok Kekuasaan Kehakiman, orang demikian wajib dianggap sebagai belum bersalah ({resumption of Innocence/ Asas Praduga Tak Bersalah). Sedangkan terdakwa adalah sesorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Edisi Revisi 2002, (Jakarta: Djambatan, 2002), Cet. 3, h. 13-14

2

Anggota Komisioner di KOMNAS HAM

3

http://www.detiknews.com, Komnas HAM Catat 180 Korban Kekerasan Polisi, Desember 2009

4

Berdasarkan Pasal 1 ayat (20) KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik

(42)

pemeriksaan atau proses pembuatan BAP.5 Dalam proses penangkapan dan

pemeriksaan, seorang polisi harus menghormati hak asasi manusia sebagaimana

diatur pada Pasal 16 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Republik Indonesia, yaitu menghormati hak asasi manusia termasuk

hak-hak para pelanggar tindak pidana untuk tidak disiksa. Penghormatan ini seharusnya

dapat ditunjukkan dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan dengan berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan;

3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

5. Menghormati hak asasi manusia.

Berdasarkan data-data yang ditemukan penulis melalui studi kepustakaan,

berikut akan dijelaskan tentang bentuk-bentuk penyiksaan pada tahap penangkapan

dan tahap pemeriksaan.

berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

5

Berdasarkan Pasal 75 KUHAP, pemeriksaan adalah proses pemeriksaan terhadap seorang tersangka yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atas kekuatan sumpah jabatan, ditanda tangani pemeriksa dan yang diperiksa.

(43)

A. Tahap Penangkapan

Bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada tahap

penangkapan cenderung menggunakan penyiksaan secara fisik, misalnya dengan

tindakan pemaksaan secara semena-mena dan menembak, bahkan cenderung

tidak mentaati asas hukum yaitu tanpa membawa surat penangkapan. Penyiksaan

ini dapat digambarkan dalam beberapa kasus berikut ini;

Pada bulan Nopember 2008, polisi menembak mati Kusrin yang

dilaporkan tertangkap basah mencuri kayu di Blora Jawa Tengah, bersama 29

orang lainnya. Petugas polisi dilaporkan memberi tembakan peringatan, tapi

sebutir peluru meleset dan mengenai Kusrin. Setelah tiga malam di rumah sakit,

Kusrin meninggal. Sebuah penyidikan polisi dilakukan untuk memeriksa insiden

tersebut. Dalam berita disebutkan bahwa Kusrin tidak melakukan perlawanan

selama proses penangkapannya, tetapi entah kenapa polisi harus mengeluarkan

tembakan peringatan yang akhirnya dilaporkan meleset dan mengakhiri hidup

Kusrin.6

Selanjutnya adalah kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat

kepolisian sektor Cengkareng Jakarta Barat terhadap 5 (lima) orang yang diduga

merampok nasabah Bank pada 9 Januari 2007. Lima korban penyiksaan tersebut

adalah Nurhadi meninggal dunia, 4 temannya babak belur, gigi rontok, wajah

lebam dan kuku-kuku jari dicabuti. Menurut Marbun, Kanit Reskrim Polsek

Cengkareng, Nurhadi meninggal setelah ditembak karena berusaha melarikan diri.

6

(44)

Keluarga melihat Nurhadi di Rumah Sakit dalam kondisi berlumuran lumpur,

kepala penuh darah, kaki kanan patah, dan bekas lubang tembakan di paha kanan.

Padahal terdapat alibi kuat bahwa Nurhadi dan teman-temannya pada saat terjadi

perampokan tidak berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Karena Nurhadi

sedang tidur di rumah, 3 temannya bermain bola, 1 temannya lagi sedang

membantu orang tuanya mengangkut air.7

Ketiga adalah kasus pengroyokan yang dilakukan oleh aparat kepolisian

Medan terhadap Suherman yang diduga melakukan perampokan dengan

menggunakan senjata api. Juliana Tanjung (Istri Korban) menceritakan sebagai

berikut:

“Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 11 April 2007sekitar pukul 04.00 WIB, sebanyak 30-an orang berpakaian polisi dan berpakaian preman lengkap dengan senjata mendatangi rumah korban. Mendengar suara ribut-ribut Saya membuka pintu, tiba-tiba sejumlah polisi masuk ke dalam rumah dan menangkap Suherman yang saat itu sedang tidur. Tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan, surat penggeledahan dan surat penyitaan, polisi langsung memboyong Suherman dengan tangan diborgol dan kaki dirantai. Lalu polisi lainnya mengobrak abrik kamar korban untuk mencari barang bukti. Tiba-tiba ada sepucuk senapan api (senpi) di atas brankas. Menurut Saya senpi itu sengaja diletakkan polisi, karena suaminya tidak pernah memiliki senpi. Dalam penggeledahan di dalam kamar pasangan suami istri tersebut, polisi mengambil uang Rp.125 juta dari brankas, Rp. 4 juta dari dompet Suherman, Rp. 5 juta uang belanja dari dompet Saya, bahkan 2 celengan plastik berbentuk binatang berjumlah Rp. 5 juta serta perhiasan emas 500 gram ikut diambil polisi. Selain itu 4 unit sepeda motor, 1 unit mobil Toyota Avanza, 3 lembar sertifikat tanah dan 1 lembar BPKB, ATM dan paspor ikut dibawa”.

“Horeee…, kita berhasil, kita jadi kaya,” ucap Juli menirukan teriakan sejumlah oknum polisi setelah berhasil mengambil uang dan perhiasan keluarga Suherman. Setelah petugas menggeledah dan menyita harta benda dari rumahnya, ia bersama dua anaknya serta keluarganya yang lain

7

(45)

mendatangi Poltabes MS sekitar pukul 06.00 WIB, dan langsung menjalani pemeriksaan oleh anggota polisi. Tidak lama kemudian ia mendapat kabar bahwa suaminya telah meninggal dunia dengan luka tembak di bagian dada, bagian pusar, pangkal paha. Sekira pukul 18.00 WIB usai menjalani pemeriksaan, ia bersama keluarga mendatangi RS Bhayangkara Medan dan melihat jenasah suaminya dengan luka 5 tembakan di tubuh.

Mengetahui kedatangan mereka di RS Bhayangkara Medan, salah seorang petugas kepolisian memberikan amplop berisi uang Rp 500.000 kepadanya dan mengatakan uang itu sebagai uang belasungkawa pihak kepolisian, karena pihak kepolisian telah menghabisi nyawa suaminya (Suherman). Pukul 20.30 WIB jasad alm Suherman mereka kebumikan di pekuburan muslim Jalan Bersama Mandala By Pass Medan.

Lebih lanjut Juliana mengatakan, tuduhan polisi menyebutkan suaminya perampok bersenpi di Medan adalah tidak benar, karena sejak ia berumah tangga dengan suaminya, mereka sama-sama bekerja berdagang dan kemudian suaminya membuka usaha jual beli sepeda motor serta meminjamkan uang kepada tetangga.

“Kalau benar suamiku perampok, mengapa saat ditangkap Poltabes MS beberapa waktu lalu dalam kasus perkelahian tidak diusut dan ditahan? Kok malah ditangguhkan tapi seminggu kemudian suaminya dituduh sebagai perampok bersenpi dan ditembak mati tanpa lebih dahulu diproses”, sesalnya.8

Keempat kasus Tuan Marsudi yang ditangkap dengan cara ditodongkan

pistol. Marsudi Tri Wijaya (32) warga Jalan batang Kuis, Desa Rotan Dusun II

Percut Seituan Sumatra Utara dijemput polisi pukul 05.00 WIB. Menurut Jaya,

abang korban, polisi memiting Marsudi dengan acungan pistol lalu

memasukkannya ke dalam mobil. Rusmini (28), istri korban tidak diperkenankan

menyongsong suaminya saat digiring polisi. Jaya sendiri yang rumahnya berjarak

beberapa meter dari rumah adiknya terbangun mendengar suara ribut-ribut.

Ketika keluar rumah, adiknya sudah dibawa, yang tinggal beberapa orang polisi

8

(46)

yang menggerebek isi rumah. Penjemputan Marsudi tersebut kata Jaya tanpa surat

penangkapan resmi. Warga setempat yang menanyakan kejadian tersebut dihardik

polisi untuk tidak ikut campur. Sampai Marsudi tewas ditembak, polisi tidak

memberitahukan kepada pihak keluarga, mereka tahu setelah menonton tayangan

televisi lokal. Ironisnya, empat hari kemudian setelah Marsudi dimakamkan,

barulah surat penangkapan dikirim polisi, itupun melalui kepala Desa lalu

diantarkan Kepling ke rumah korban. Saat mengurus otopsi jenazah, Jaya seperti

“dipimpong” pihak Poltabes. Jaya juga nyaris terjebak saat mengurus, pada salah

satu poin disebutkan keluarga tidak keberatan kalau jenazah tidak diotopsi.

“Untung saja saya membacanya, lalu saya menulis kembali surat permohonan

otopsi dengan tulis tangan,” ucap Jaya.9

Sebenarnya, kekuasaan untuk menggunakan kekuatan yang diberikan

kepada para polisi dibatasi oleh hukum dan standar HAM Internasional yang

relevan, yang dasarnya adalah hak untuk hidup. Kovenan Hak-hak Sipil dan

Politik (ICCPR) yang menetapkan bahwa ”Pada setiap insan manusia melekat hak

untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang manusia pun

bisa dirampas kehidupannya secara sewenang-wenang”. Pada pasal 4 ICCPR,

negara-negara tidak bisa memperlunak kewajiban mereka menuntut ketetapan ini,

sekalipun ”dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa.”

Dan bahwa hak untuk hidup ditetapkan dalam perundang-undangan nasional.10

9

Ibid

10

(47)

B. Tahap Pemeriksaan

Penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ternyata tidak sekedar

bersifat fisik, melainkan juga ada yang bersifat psikis. Penyiksaan yang bersifat

psikis ini sebagaimana terjadi pada tahap pemeriksaan yang dialami oleh Budi

Hardjono di Pondok Gede Bekasi. Peristiwa ini terjadi di Jl. Raya Hankam,

Pondok Gede, Bekasi, 17 Desember 2002 dimana Budi Hardjono dituduh

membunuh ayah kandungnya bernama Ali Harta Winata. Budi Hardjono dalam

pemeriksaan mengaku disiksa oleh penyidik untuk mengakui pembunuhan

terhadap ayah kandungnya. Meskipun dalam persidangan tidak terbukti telah

melakukan tindak pidana, namun pihak kepolisisan tidak merehabilitasi nama

baik Budi Hardjono.

Sebelum Budi Hardjono diperiksa, ibunya yang bernama Eni diperiksa di

Polres Metro Bekasi. Pada saat itu kondisi fisiknya sakit karena mengalami

luka-luka diwajahnya akibat pukulan kayu balok. Selama diperiksa, tiga hari dua

malam Ibu Eni harus tidur di ubin tanpa selimut di dalam ruang sempit. Dalam

proses pemeriksaan Ibu Eni dipaksa mengatakan bahwa Budi lah yang membunuh

ayahnya sendiri. Penyidik pun mengancam akan membunuh Budi Hardjono bila

(48)

Saksi lain pun diperiksa di bawah ancama todongan senjata api. Ningsih

dipaksa mengaku bahwa ia melihat Budi menyeret ayahnya ke kamar mandi pada

saat malam kejadian. Pengakuan di kepolisian kemudian disangkal di pengadilan

karena merasa memberikan keterangan di bawah tekanan dan tidak sebenarnya

terjadi.

Nasib Budi sebagai tersangka jauh lebih buruk di banding kedua saksi

tersebut di atas. Budi mengalami penyiksaan fisik dan mental selama dalam

penahanan Polres Bekasi. Budi pun dipaksa mengakui dan mengiyakan semua

cerita versi penyidik, demi menjaga keselamatan ibunya yang diancam akan

dibunuh oleh penyidik apabila budi menyangkal karangan cerita versi polisi.

Pihak Kepolisian Polda Metro Jaya megatakan telah membentuk tim

untuk melihat kembali proses pemeriksaan atas Budi Hardjono, mulai dari tingkat

penyelidikan sampai ke pemberkasan. Tim tersebut beranggotakan Direktorat

Reserse Kriminal Umum, bidang hukum, serta bidang profesi dan bidang

pengamanan. Hingga sekarang tidak diketahui secara jelas langkah-langkah dari

penyelesaian penyiksaan terhadap kasus Budi Hardjono, para pihak yang

bertanggungjawab atas peristiwa tersebut seperti mantan Kepala Polres Bekasi

Komisaris Besar Bahtiar Tambunan justru masih menjabat Kepala Unit I/Tanah

(49)

Dari uraian peristiwa dan bentuk-bentuk kekerasan di atas, kecenderungan

penggunaan pengakuan tersangka sebagai alat bukti oleh penyidik kepolisian.11

Kasus penyiksaan terhadap Budi Hardjono di atas dapat dikatakan sebagai bentuk

penyiksaan secara psikis atau kekerasan non fisik berupa diancam, dipaksa

mengaku dan disuruh-suruh.

Selanjutnya kasus Teguh Uripno yang ditangkap pada 20 April 2007,

kemudian disiksa sampai meninggal dunia. Hal ini terlihat dari retorika polisi

yang menolak keluarga Teguh Uripno ketika hendak menjenguknya. Sebagai

mana diberitakan oleh media, menyusul penangkapan terhadap Teguh Uripno

sekitar pukul 11.00 WIB, keluarganya segera menuju Kepolisian Sektor Serpong.

Ketika mereka meminta bertemu dengan Teguh Uripno, petugas Kepolisian tidak

memperbolehkan mereka untuk saling bertemu. Keesokan harinya, pada tanggal

21 April 2007, keluarga Uripno kembali lagi, tetapi sekali lagi petugas kepolisian

mencegah mereka untuk bertemu dia, tanpa memberikan penjelasan yang berarti.

Sekitar pukul 15.30 WIB, perwakilan kepolisian mendatangi kediaman keluarga

korban dan memberitahukan bahwa Teguh Uripno telah meninggal dunia ketika

sedang dibawa ke rumah sakit. Saat di rumah sakit, pihak keluarga meminta untuk

melihat jenazahnya dan menemukan sejumlah bekas luka pukul dan memar.

Berdasarkan rekam jejak media, lengan korban telah patah dan tengkoraknya

mengalami keretakan. Penyebab kematian adalah pemukulan benda tumpul pada

bagian tengkorak.

11

(50)

Dilaporkan bahwa dua petugas Kepolisan bernama Brigadir Satu Polisi

Syarifudin dan Brigadir Polisi Arifin melakukan pemukulan sehingga

menimbulkan luka serius terhadap korban ketika dia sedang berada dalam

tahanan. Tujuh Polisi lainnya yang namanya masih dirahasiakan, dituduh atas

kejahatan serupa karena mendiamkan terjadinya peristiwa tersebut. Direktorat

Reserse Kriminal Umum Kepolisian Resort Tangerang menyatakan bahwa

mereka telah memulai penyidikan, namun hingga sejauh ini perkembangannya

masih belum memuaskan.12

Kasus selanjutnya terjadi di luar Jakarta, tepatnya yaitu di Solo Jawa

Tengah. Peristiwa ini terjadi pada 20 November 2006 dengan korban Roni

Ronaldo alias Gendon, sedangkan pelaku penyiksanya adalah Brigadir Didik

Setyawan yang dibantu oleh Aiptu M. Trikogani, Briptu Supriyanto, Brigadir Aan

Yuantoro Briptu Sudalmi dan Bripda Kristian Fery. Didik Setyawan diadili di

Pengadilan Negeri Klas I Surakarta dan diputus bersalah pada 14 Mei 2007.

Bentuk penyiksaan yang dialami oleh Roni Ronaldo adalah penyiksaan

bersifat fisik berupa pemukulan dengan menggunakan benda-benda keras seperti

tongkat. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Klas. 1

Surakarta dengan Nomor : 77/Pid.B/2007/PN.Ska;

“Bahwa pada hari Senin tanggal 20 November 2006 sekitar pukul 15.00 WIB, terdakwa Didik Setyawan menelepon Brigadir Aan Yuantoro untuk membantu terdakwa Didi Setyawan yang telah berhasil menangkap Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon di jalan raya daerah Kp. Ketelan Kec. Banjarsari Surakarta, lalu Brigadir Aan Yuantoro mengajak teman-temannya yang bernama Aiptu M.

12

(51)

Trikogani, Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto menemui terdakwa Didik Setyawan. Briptu Sudalmi bersama dengan Aiptu M. Trikogani, dan Briptu Supriyanto pergi menggunakan mobil Suzuki Carry Futura warna ungu No. Pol. AD 8937 NU (milik Polsektabes Banjarsari), kemudian setelah sampai di tempat tertangkapnya Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon tersebut, Briptu Sudalmi bersama Aiptu M. Trikogani dan Briptu Supriyanto menaikkan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon ke dalam mobil dan di bawa ke Polsektabes Banjarsari di mana pada saat ini yang mengemudikan mobil adalah Aiptu M. Trikogani, untuk Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto mendampingi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon di tempat duduk belakang, sedangkan Brigadir Aan Yuantoro mengendarai sepeda motor milik Roni Ronaldo dan terdakwa Didik Setyawan mengendarai sepeda motornya sendiri”.

(52)
(53)

bangun lalu menampar mata kanan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan tangan kanannya sebanyak 2 kali, setelah itu mengambil rotan warna hitam yang ada di lantai dan memukulkan ke arah lengan tangan, punggung, pinggang, paha dan pergelangan tangan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak masing-masing 1 kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan dan ditulis lagi pengakuan tersebut dalam berita acara oleh terdakwa, kemudian Bripda Kristian Fery meletakkan kembali rotan tersebut di lantai dan meninggalkan ruangan Opsnal.13

Pihak keluarga Roni Ronaldo tidak mau diajak damai oleh pihak

Kepolisian, maka pada tanggal 12 Desember 2006, Didik Setyawan akhirnya

dapat ditahan oleh pihak Kepolisian Banjarsari Surakarta sampai dengan 31

Desember 2007 untuk dilakukan pemeriksaan. Kemudian dilakukan perpanjangan

penahanan pada 1 Januari 2007 hingga 9 Februari 2007.

Pada tanggal 9 Februari 2007, berkas perkara Didik Setyawan

dilimpahkan ke Penuntut Umum. Kemudian pada tanggal 22 Februari 2007,

berkas dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Klas I Surakarta.14 Didik Setyawan

dijerat menggunakan pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

tentang penganiayaan dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana

“Penganiayaan yang mengakibatkan mati dilakukan secara bersama-sama”. Didik

Setyawan dihukum selama 1 tahun 6 bulan.15

Kasus Didik Setyawan di atas merupakan potret buram penegakan hukum

kasus penyiksaan di Indonesia. Secara normatif, penghukuman terhadap Didik

13

Putusan Pengadilan Negeri Klas. 1 Surakarta dengan Nomor : 77/Pid.B/2007/PN. Ska, h. 2-4

14

Ibid, ... h. 1

15Ibid

(54)

Setyawan memang sudah terlihat memenuhi unsur-unsur penegakan hukumnya,

namun jika dibandingkan dengan rasa keadilan di masyarakat, maka tentu

pemenuhan unsur normatif tersebut masih jauh dari rasa keadilan korban.

Rasa keadilan korban ini ditunjukkan oleh orang tua Roni Ronaldo yaitu

Rahyono yang mengatakan, "Saya jelas-jelas tidak bisa menerima vonis hakim yang diputuskan ini. Karena hanya berkisar satu sampai dua tahun saja. Bayangkan saja, ini adalah kasus pembunuhan, menghilangkan nyawa orang lain." 16

Kasus Didik Setyawan ini memberikan bukti betapa tidak sempurnanya

legislasi Indonesia mengenai penyiksaan. Bahkan, kenyataannya penyiksaan

masih bukan merupakan pelanggaran HAM. Jika seorang warga biasa melakukan

penganiayaan terhadap seseorang hingga menyebabkan mati, maka tentu dia

dapat didakwa atas pembunuhan berencana dan ancaman pidananya bisa seberat

hukuman mati, penjara seumur hidup atau lima belas tahun penjara. Namun,

ketika kejahatan yang sama dilakukan oleh aparat negara, pengadilan akan

menjatuhkan hukuman yang ringan. Pertanyaan yang muncul dalam benak orang

biasa adalah atas dasar apa pembunuhan terhadap seseorang oleh petugas

berseragam berbeda dengan yang dilakukan oleh warga biasa?.

Sebisa mungkin petugas penegak hukum harus menerapkan cara-cara

tanpa kekerasan sebelum menggunakan kekuatan dan senjata api yang hanya bisa

16

(55)

Referensi

Dokumen terkait

Rendemen yang tinggi pada pelarut metanol diduga karena keong kowoe mengandung lebih banyak senyawa aktif yang bersifat polar.. Salamah

Jualan lebih luas merupakan motif yang ketiga yang sebagian besar informan yang membuat mereka bergabung dengan komunitas facebook Pekanbaru Jual Beli Online

Nilai konstanta dari persamaan tersebut adalah 19.463, menunjukkan besarnya variabel terikat price earning ratio yang dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yaitu leverage ,

matlab, program yang akan dijalankan di ketik pada layar editor.setelah.. selesai di ketik maka untuk menjalankannya adalah dengan klik pada. perintah “debug”

FKIP UM Metro dapat terus membatu guru dalam meningkatkan pemahaman guru dan siswa tentang pemanfaatan ruang sejarah (history room) sebagai media pembelajaran

Dalam hal aset keuangan atau liabilitas keuangan tidak diukur pada nilai wajar melalui laba rugi, nilai wajar tersebut ditambah atau dikurang dengan biaya

Pada percobaan kemajuan seleksi dan penam- pilan galur generasi F2–F4 pada perakitan kedelai berumur genjah dan ukuran biji besar, hasil percobaan menunjukkan persilangan Grobogan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat konsumsi minuman tradisional beralkohol, frekuensi konsumsi minuman tradisional beralkohol dalam 1 minggu, jumlah