• Tidak ada hasil yang ditemukan

∑� ℎ 100%

Keterangan:

DB = daya berkecambah (%)

KN I = jumlah kecambah normal pada pengamatan pertama ( HST)

KN II = jumlah kecambah normal pada pengamatan terakhir ( HST) 10.Indeks vigor diuji dengan metode uji diatas kertas (UDK). Kecambah

normal dihitung pada 7 HST

Indeks vigor = 100% 11.Kecepatan tumbuh (KCT) KCT=% 0

12.Bobot kering kecambah normal (BKKN)

BKKN = K1– K0 Keterangan:

K0 = Bobot awal kantong yang telah diisi dengan kecambah normal K1 = Bobot kantong setelah di oven pada suhu 60 0C selama 3 x 24 jam 13.Bobot 100 butir benih

Percobaan III. Penyimpanan serbuk sari cabai

Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) satu faktor yaitu lama simpan serbuk sari yang terdiri atas 13 taraf (0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55 dan 60 hari setelah simpan) dengan tiga ulangan. Genotipe yang digunakan dalam percobaan ini adalah IPB C2 dan IPB C145 sebagai tetua betina dan genotipe IPB C5 sebagai tetua jantan. Model linier yang digunakan adalah:

Yij = µ + αi+ βj+ єij

Keterangan:

Yijk : Nilai pengamatan pengaruh faktor lama penyimpanan ke-i dan kelompok ke-j.

µ : Nilai rataan.

αi : Pengaruh lama simpan ke-i. βj : Pengaruh kelompok ke-j.

εijk : Galat percobaan pada lama simpan ke-i dan kelompok ke-j.

Percobaan ketiga ini terdiri atas 39 satuan percobaan. Data dianalisis menggunakan uji F, apabila hasil yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang

11 nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test

(DMRT) pada taraf 5%.

Tahap pelaksanaan pada percobaan tiga ini adalah sebagai berikut:

1. Teknis budidaya yang diterapkan adalah hasil terbaik dari percobaan ke dua. 2. Penanaman tetua jantan dilakukan secara serentak, sementara penanaman

tetua betina setiap genotipe dilakukan pada waktu yang berbeda dan bertahap sesuai ketepatan waktu saat akan diserbuki.

3. Pengelolaan serbuk sari sebelum penyimpanan dilakukan seperti pada percobaan pertama.

4. Penyimpanan serbuk sari dimulai dengan memisahkan antera dari bagian bunga lainnya. Antera tersebut selanjutnya diletakkan di dalam wadah dari alumunium foil dan disimpan di ruang ber-AC selama 24 jam.

5. Antera tersebut selanjutnya diekstraksi untuk memperoleh serbuk sari. Serbuk sari yang diperoleh kemudian dikeringkan di dalam wadah yang berisi MgCl2 (RH 35-45%) selama 24 jam. Kemudian serbuk sari dimasukkan ke dalam microtube dan dibagi menjadi dua yaitu untuk pengujian in vitro dan untuk penyerbukan pada tetua betina. Serbuk sari tersebut selanjutnya disimpan di dalam deep frezeer (-200C ± 2 0C).

6. Pengamatan viabilitas awal serbuk sari dilakukan sebelum serbuk sari digunakan.

7. Pengecambahan serbuk sari cabai menggunakan media terbaik dari percobaan pertama.

8. Lot serbuk sari yang diuji daya berkecambahnya digunakan untuk menyerbuk bunga pada tetua betina. Penyerbukan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 06.00-08.00 wib.

9. Pemanenan buah dilakukan ketika buah telah berwarna merah 80%. Setelah ekstraksi benih dikeringkan pada suhu ruang selama 1–3 hari dan dilakukan pengujian mutu benih.

Pengamatan

1. Daya berkecambah serbuk sari pada setiap lama simpan menggunakan media yang menghasilkan daya berkecambah paling tinggi pada Percobaan 1.

2. Pembentukan buah (fruit set) dihitung dengan rumus :

Fruit set =

100%

3. Pembentukan biji (seed set) dihitung berdasarkan proporsi biji yang terbentuk dengan rata-rata ovul yang terbentuk dalam ovarium.

Seed set =

100%

4. Bobot buah dihitung dari masing-masing 10 buah dari setiap pemanenan untuk produksi benih.

5. Daya berkecambah benih (DB) 6. Indeks vigor

7. Kecepatan tumbuh (KCT)

8. Bobot kering kecambah normal (BKKN) 9. Bobot 100 Butir

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Penelitian

Peneliltian dilakukan di kebun percobaan IPB Leuwikopo dan Cikabayan. Percobaan pertama dan kedua dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo. Percobaan ketiga dilakukan di Kebun Percobaan Cikabayan dan Leuwikopo. Pelaksanaan penelitian dimulai pada April 2014 sampai Oktober 2015. Lahan percobaan Leuwikopo merupakan lahan dengan jenis tanah latosol dengan pH berkisar 4.7–4.8. Kandungan unsur boron berdasarkan laporan hasil pengujian tanah terhadap unsur boron sebelum dilakukan penanaman adalah 0.36–0.40 ppm. Faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya saat penanaman. Percobaan pertama dan kedua berlangsung dari bulan April sampai dengan November 2014. Berdasarkan data BMKG (2015) curah hujan rata-rata selama April–November 2014 sangat berfluktuatif. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April (511 mm/bulan), Agustus (538 mm/bulan) dan November (673 mm/bulan). Curah hujan pada bulan Juni dan September sangat rendah yaitu 85 mm/bulan dan 22 mm/bulan. Rata-rata temperatur, kelembaban dan intensitas cahaya pada April adalah 26.20 0C, 83% dan 322 cal cm-2 dan 26.6 0C, 80% dan 310 cal cm-2 pada akhir penanaman.

Curah hujan yang sangat bervariasi setiap bulannya menyebabkan tingginya serangan hama dan penyakit selama penanaman. Hama yang dominan menyerang saat itu adalah belalang dengan tingkat serangan yang tinggi dimana lebih dari 50% pertanaman harus disulam kembali. Organisme pengganggu lainnya adalah patogen tular tanah Sclerotium yang biasanya terdapat pada lahan bekas penanaman tanaman kacang-kacangan. Patogen ini menyebabkan tanaman pada fase bibit mati dan menyerang tanaman yang berada di sekitar tanaman yang telah terserang.

Memasuki fase pertumbuhan generatif tanaman banyak terserang penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum sp capsici. dan antraknosa yang disebabkan oleh cendawan colletotrichum spp. Tingginya serangan penyakit ini disebabkan oleh kondisi di sekitar pertanaman yang terlebih dahulu telah diserang oleh cendawan tersebut serta mulai tingginya curah hujan.

Pelaksanaan percobaan ketiga dilakukan pada bulan Februari sampai Oktober 2015 di dua lokasi yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya serangan hama dan penyakit karena penanaman yang dilakukan bertahap pada tetua betina maupun tetua jantan. Penanaman tetua jantan dilakukan di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo, sedangkan tetua betina ditanam di Kebun Percobaan IPB Cikabayan.

Curah hujan bulanan pada awal penanaman adalah 346 mm/bulan dan 79 mm/bulan pada periode pemanenan buah akhir. Temperatur dan intensitas cahaya awal penanaman hingga pemanenan berkisar 25.0–26.3 0C dan 259–369 cal cm-2, dengan kelembaban udara pada awal penanaman berkisar 88–86% dan kelembaban menurun pada periode pemanenan buah yaitu 74–70%.

Periode penyerbukan mulai dilakukan pada bulan April hingga Juni. Curah hujan pada bulan ini 206 mm/bulan, 202 mm/bulan dan 90 mm/bulan.

13 Selama penyerbukan dilakukan, kondisi cerah dan tidak terjadi hujan sampai penyerbukan dengan penggunaan serbuk sari yang disimpan pada 60 hari setelah simpan (HSS). Pelaksanaan kegiatan penyerbukan dilakukan mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya serangga penyerbuk yang hinggap pada bunga yang telah diserbuki.

Serangan hama dan penyakit dalam percobaan ketiga yang dilakukan di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo mulai terjadi pada akhir bulan April. Hama yang menyerang adalah kutu kebul dan lalat buah. Tingginya serangan kutu kebul yang juga sebagai vektor yang selanjutnya menyebabkan penyakit kuning pada tanaman cabai. Penyakit layu fusarium dan antraknosa juga menyerang pada percobaan ketiga.

Kondisi pertanaman tetua betina yang ditanam di Kebun Percobaan Cikabayan cenderung baik. Selama pertanaman, serangan hama mulai terjadi pada bulan Juni hingga Juli. Hama yang menyerang pertanaman adalah lalat buah. Hal ini menyebabkan banyaknya buah yang rontok akibat serangan. Pengendalian menggunakan perangkap belum dapat mengatasi tingginya serangan lalat buah.

Morfologi Bunga Cabai

Tanaman cabai yang digunakan dalam percobaan I adalah genotipe IPB C5, IPB C291 dan IPB C174, sedangkan pada percobaan II hanya digunakan genotipe IPB C5. Ketiga genotipe tersebut diuji sebagai tetua jantan. Mahkota ketiga genotipe berwarna putih dengan jumlah 6-8. Bentuk dan warna antera dari ketiga genotipe berbeda. Genotipe IPB C5 memiliki warna antera abu-abu kebiruan, sedangkan genotipe IPB C291 berwarna abu-abu pudar sampai tua dan genotipe IPB C174 berwarna abu-abu.

Berdasarkan posisinya, genotipe IPB C5 memiliki posisi stigma sejajar atau lebih pendek dari pada antera. Pada genotipe IPB C291 dan IPB C174, posisi stigma lebih tinggi dari posisi antera. Panjang putik cabai IPB C5 sekitar 2.50 mm, sedangkan panjang putik IPB C174 dan IPB C291 masing-masing sekitar 4.20 mm dan 6.10 mm (Gambar 1). Tingginya posisi putik dari antera pada genotipe IPB C291 dan IPB C174 yang dikelompokkan dalam cabai rawit ini memungkinkan terjadinya penyerbukan silang yang tinggi.

(IPB C5) (IPB C291) (IPB C174)

Gambar 1 Morfologi bunga tiga genotipe cabai IPB (a = antera, s = stigma)

a s

s

a

a

14

Genotipe yang digunakan pada percobaan III adalah genotipe IPB C5 sebagai sumber serbuk sari yang akan digunakan untuk persilangan dengan tetua betina yaitu genotipe IPB C2 dan IPB C145. Ritonga (2013) mengemukakan bahwa genotipe IPB C2 memiliki kemampuan menyerbuk silang alami yang tinggi (26.11%) dibandingkan genotipe IPB C5 (8.63%). Kemampuannya yang tinggi dalam menyerbuk silang dan posisi putik yang lebih tinggi dari antera merupakan salah satu alasan genotipe ini digunakan sebagai tetua betina. Genotipe IPB C5 dan IPB C2 merupakan plasma nutfah lokal dan kedua genotipe ini merupakan tetua jantan dan betina cabai hibrida CH3 dengan potensi hasil tinggi (23.53 ton ha-1).

Penggunaan genotipe IPB C145 sebagai tetua betina dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi keberhasilan persilangannya dengan genotipe IPB C5. Genotipe IPB C145 ini memiliki jumlah buah per tanaman yang tinggi serta lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman cabai.

Pengujian Media Perkecambahan Serbuk Sari Cabai

Daya berkecambah serbuk sari ditentukan oleh media perkecambahan serbuk sari dan lama waktu inkubasi (Gambar 2). Secara umum, penggunaan media (M3) yang merupakan media formulasi Schreiber dan Dresselhaus (2003) menghasilkan daya berkecambah serbuk sari yang lebih tinggi pada ketiga genotipe yang diamati. Formula media ini merupakan yang pertama menggunakan PEG, agar absorbsi media oleh serbuk sari dapat terjadi secara perlahan untuk mempertahankan integritas membran sel. Gambar 2 menunjukkan bahwa media yang mengandung PEG (M3, M4, M5) menghasilkan daya berkecambah yang lebih tinggi daripada media tanpa PEG.

Daya berkecambah serbuk sari pada ketiga genotipe menunjukkan peningkatan saat inkubasi selama 4 jam. Peningkatan daya berkecambah serbuk sari genotipe IPB C5 dan IPB C291 yang diinkubasi selama 4 jam tidak signifikan dibandingkan saat diinkubasi selama 2 jam. Pertambahan lama inkubasi selama 4 jam nyata meningkatkan daya berkecambah serbuk sari pada genotipe IPB C174. Pertambahan lama waktu inkubasi selama 6 jam tidak meningkatkan daya berkecambah serbuk sari pada ketiga genotipe. Daya berkecambah serbuk sari menggunakan media (M3) pada genotipe IPB C5 berkisar 68.51–74.76%, genotipe IPB C174 42.92-55.77% dan genotipe IPB C291 62.36-68.91%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi dan komposisi setiap senyawa yang terdapat dalam media akan mempengaruhi daya berkecambah serbuk sari. Simanjuntak et al. (2013) yang menyatakan bahwa penggunaan senyawa H3BO3, sukrosa dan CaCl2 dengan konsentrasi yang berbeda dalam setiap senyawa akan menghasilkan daya berkecambah serbuk sari yang berbeda pada cabai rawit dan cabai besar. Pada serbuk sari cabai besar, konsentrasi H3BO3 0.01 g 50 mL-1 menghasilkan daya berkecambah yang lebih tinggi dibandingkan pada kosentrasi 0.005 g 50 mL-1. Konsentrasi sukrosa 5 g 50 mL-1 menghasilkan daya berkecambah yang lebih tinggi dibandingkan pada konsentrasi 7.5 g 50 mL-1. Daya berkecambah serbuk sari pada konsentrasi CaCl2 0.025 dan 0.055 g 50 mL-1 tidak menunjukkan perbedaan, namun peningkatan konsentrasi menjadi 0.11 g 50 mL-1 dapat menurunkan daya berkecambah serbuk sari cabai besar.

15

Gambar 2 Daya berkecambah serbuk sari tiga genotipe cabai IPB pada berbagai media perkecambahan

Media M3 juga menghasilkan perkecambahan serbuk sari dengan tabung serbuk sari paling panjang dibandingkan media yang lain (Gambar 3). Pertumbuhan tabung serbuk sari pada 2 jam pertama (0-2 jam) mencapai sekitar 0.07–0.17 cm pada IPB C5, 0.06-0.14 cm pada IPB C174 dan 0.01-0.16 cm pada IPB C291. Panjang tabung serbuk sari meningkat pesat pada rentang inkubasi 4-6 jam. Panjang tabung serbuk sari yang diinkubasi selama 4-6 jam pada media (M3) mencapai 0.321 cm pada genotipe IPB C5, 0.519 cm pada genotipe IPB C174 dan 1.848 cm pada genotipe IPB C291.

Gambar 3 Panjang tabung serbuk sari tiga genotipe cabai IPB pada berbagai media perkecambahan

Berdasarkan hasil pengamatan daya berkecambah dan panjang tabung serbuk sari dapat ditentukan bahwa pengamatan daya berkecambah serbuk sari

0 10 20 30 40 50 60 70 80 2 4 6 Da ya b er ke ca m ba h se rb uk sa ri ( % )

Lama inkubasi (jam) (IPB C5) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2 4 6

Lama inkubasi (jam) (IPB C174) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2 4 6

Lama inkubasi (jam) (IPB C291) 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 2 4 6 P an ja ng ta bun g se rb uk sa ri ( cm )

Lama inkubasi (jam) (IPB C5) 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 2 4 6

Lama inkubasi (jam) (IPB C174) 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 2 4 6

Lama inkubasi (jam) (IPB C291) 1.8 1.9 1.8 1.9 1.9 1.8

16

cabai dilakukan dengan menggunakan media M3 dengan lama waktu inkubasi selama 2 jam. Pengamatan pada 4 JSI tidak meningkatkan daya berkecambah yang nyata, sementara panjang tabung serbuk sari telah memanjang dan saling bertautan, sehingga menyulitkan pengamatan (Gambar 4).

Media yang diuji dalam penelitian ini merupakan media yang telah digunakan untuk famili Solanaceae (Mercado et al. 1994; Karni dan Aloni 2002; Kivandasannavar 2008) dan Cucurbitaceae (Fariroh et al. 2011). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa media M3 yaitu media PGM menghasilkan daya berkecambah serbuk sari cabai genotipe IPB C5, IPB C174 dan IPB C291 yang paling tinggi. Media ini mengandung 5 g sukrosa, 0.0025 g H3BO3, 0.0005 g CaCl2, 0.025 g KH2PO4, 3 g PEG 4000. Kandungan senyawa pada media M3 sama dengan media M5 yang merupakan modifikasi PGM yang dilakukan oleh Fariroh et al. (2011) untuk mengecambahkan serbuk sari mentimun (Cucurbitaceae). Modifikasi media dari Fariroh et al. (2011) menggunakan H3BO3, CaCl2 dan KH2PO4 dengan konsentrasi yang lebih tinggi.

(A) (B) (C)

Gambar 4 Serbuk sari cabai: sebelum berkecambah (A), pada 2 JSI (B) dan perkecambahan pada 4 JSI (C)

Perbedaan komposisi setiap media pengujian menunjukkan perbedaan daya berkecambah serbuk sari. Berdasarkan perbandingan dari media yang digunakan yaitu pada media M3 dan M5 dapat diketahui bahwa adanya ketepatan kandungan boron, kalsium dan fosfat dalam media PGM (M3) menunjukkan adanya peningkatan daya berkecambah serbuk sari cabai pada ketiga genotipe. Kombinasi boron, sukrosa dan kalsium dalam media mempengaruhi kekuatan dan elastisitas dinding sel. Daher et al. (2009) dan Conner (2011) telah mengemukakan berbagai fungsi boron, sukrosa dan kalsium. Boron dalam media perkecambahan berperan pertumbuhan tabung serbuk sari, menunjang pembentukan dinding sel dan selanjutnya mempengaruhi pergerakan ion dalam sel.

Kalsium juga memiliki peran penting dalam pembentukan dinding sel, penguatan dinding sel dari adanya tekanan turgor, mengontrol actin dan mempengaruhi pergerakan ion dalam pertumbuhan tabung serbuk sari. Conner (2011) menambahkan bahwa keberadaan kalsium tidak cukup kuat mempertahankan dinding sel bila pertumbuhan tabung serbuk sari berlangsung cepat. Kombinasi penggunaan boron dan kalsium diduga dapat memperkuat elastisitas dinding sel tabung serbuk sari.

Rendahnya perkecambahan serbuk sari pada media M5 diduga karena kandungan boron dan kalsium yang terlalu tinggi. Ketepatan konsentrasi dari

17 setiap unsur penyusun media sangat penting sebagaimana dikemukakan oleh Chebli dan Geitmann (2007), Daher et al. (2009) dan Conner (2011). Daher et al. (2009) dalam penelitiannya pada Arabidopsis thaliana menunjukkan bahwa persentase perkecambahan optimal pada 4 mM Ca2+. Conner (2011) juga mengemukakan tentang adanya perbedaan persentase perkecambahan serbuk sari Carya illinoinensis, persentase perkecambahan optimum terjadi pada media dengan kandungan CaNO3 0.05% dan kembali menurun pada konsentrasi 0.1 dan 0.15%.

Sukrosa hampir ditemui pada semua media perkecambahan serbuk sari berbagai spesies, karena sukrosa merupakan sumber karbon untuk pertumbuhan serbuk sari. Sukrosa juga berperan sebagai sumber energi dan pembentukan karbohidrat yang sangat dibutuhkan dalam perkecambahan serbuk sari (Boavida dan McCormick 2007). Conner (2011) menambahkan bahwa sukrosa dalam media perkecambahan juga berfungsi sebagai penyangga untuk menstabilkan tekanan osmotik pada media. Alternatif lain yang dapat digunakan atau dikombinasikan dalam media perkecambahan untuk menekan kerusakan akibat adanya potensial osmotik adalah PEG. PEG relatif bersifat membantu diluar sel karena tidak dapat memasuki sel, sedangkan sukrosa dapat menjaga kestabilan sampai dalam organel sel serbuk sari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tabung serbuk sari selama 2, 4 dan 6 jam pada media M3 dan M5 dengan kandungan sukrosa 5 g dan PEG 3 g tidak mengalami bursting (pecah), namun media M4 yang mengandung PEG lebih tinggi (22.36 g) mengalami

bursting setelah 2 jam perkecambahan. Bursting juga terjadi pada serbuk sari cabai yang dikecambahkan pada media M2 dimana media ini tidak mengandung PEG. Conner (2011) menyatakan bahwa penggunaan sukrosa yang disertai dengan PEG mampu mengurangi persentase kerusakan perkecambahan serbuk sari dibandingkan pada penggunaannya secara tunggal. Media M1 tidak menunjukkan adanya bursting selama 6 jam pertama inkubasi, diduga adanya keseimbangan osmotik dalam media M1 walaupun tanpa menggunakan PEG.

Unsur lainnya yang digunakan pada spesies Solanum adalah kalium. Kalium sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan perkecambahan serbuk sari terutama dalam inisiasi proses osmotik dalam sel (Daher et al. 2009; Biswan et al. 2013). Daher et al. (2009) menyatakan adanya peningkatan perkecambahan serbuk sari Arabidopsis pada media yang diberikan kalium 5mM.

Pengaruh aplikasi boron terhadap pertumbuhan tanaman, pembungaan dan produksi benih

Pertumbuhan tanaman

Hasil pengamatan pada pertumbuhan vegetatif menunjukkan bahwa boron mempengaruhi tinggi dikotomus ( Tabel 2). Dosis boron 2 kg ha-1 meningkatkan tinggi dikotomus tanaman. Keberadaan unsur boron yang telah optimum dalam tanah selama penelitian diduga menyebabkan penambahan boron tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman (Lampiran 3).

18

Tabel 2 Pengaruh dosis boron dan waktu aplikasi terhadap tinggi tanaman dan tinggi dikotomus

Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Tinggi dikotomus (cm) Dosis boron (kg ha-1) 0 67.07 16.47 ab 0.5 69.23 17.80 ab 1.0 71.83 15.93 b 1.5 69.20 16.45 ab 2.0 68.57 19.33 a 2.5 72.30 17.93 ab Waktu aplikasi 1 kali : 25 HST 69.35 16.26 2 kali : 25 dan 40 HST 70.34 17.80 Interaksi tn tn KK (%) 7.62 14.00

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata.

Pembungaan

Dosis boron mempengaruhi jumlah bunga yang muncul, bobot antera dan daya berkecambah serbuk sari, tetapi waktu aplikasi tidak memberikan pengaruh nyata (Tabel 3). Rodriguez et al. (2010) menyatakan bahwa boron mempengaruhi fase reproduktif tanaman terutama pada tahap mikrosporogenesis yaitu sebelum tahap interfase meiosis. Peningkatan dosis boron mulai dari 0.5– 2.0 kg ha-1 meningkatkan jumlah bunga per tanaman. Jumlah bunga per tanaman pada tanaman kontrol 268.7 kuntum dan meningkat 7.63% (289.2 kuntum) dengan aplikasi boron 0.5 kg ha-1. Peningkatan dosis boron sampai 2.0 kg ha-1 tidak meningkatkan jumlah bunga per tanaman secara nyata. Jumlah kuntum bunga per tanaman setelah aplikasi boron 0.5–2.0 kg ha-1 berkisar 289.2-301.3 kuntum per tanaman. Peningkatan dosis boron diatas 2.0 kg ha-1 menurunkan jumlah bunga per tanaman. Malvi (2011) menyatakan bahwa boron yang diaplikasikan akan berinteraksi dengan unsur makro sehingga meningkatkan penyerapan dan metabolisme nitrogen melalui mekanisme sintesis protein enzim dan mendukung masuknya substrat melalui membran plasma ke dalam sel.

Pemberian boron pada dosis 1 dan 1.5 kg ha-1 cenderung meningkatkan bobot antera, diduga karena adanya peningkatan jumlah serbuk sari per antera seperti yang dilaporkan oleh Agustin et al. (2014) yang menyatakan aplikasi boraks 10 kg ha-1 meningkatkan jumlah serbuk sari per antera pada tanaman melon. Dalam penelitian ini, jumlah serbuk sari per antera tidak diamati.

Daya berkecambah serbuk sari meningkat dengan aplikasi boron pada dosis 1.0, 1.5 dan 2.0 kg ha-1. Dosis boron 1.0 kg ha-1 meningkatkan daya berkecambah serbuk sari menjadi 59.83 % dibandingkan tanpa aplikasi boron yaitu 41.83%. Akan tetapi, aplikasi boron dengan dosis 2.0 kg ha-1 mulai menurunkan daya berkecambah serbuk sari (56%) dan semakin menurun dengan aplikasi boron pada dosis 2.5 kg ha-1.

19 Tabel 3 Pengaruh dosis boron dan waktu aplikasi terhadap jumlah bunga, bobot

antera dan daya berkecambah serbuk sari

Perlakuan Jumlah bunga Bobot antera (g) Daya berkecambah serbuk sari (%) Dosis boron (kg ha-1) 0 268.7 b 0.014 ab 41.83 c 0.5 289.2 a 0.014 ab 52.33 b 1.0 289.7 a 0.016 a 59.83 a 1.5 294.5 a 0.016 a 59.67 a 2.0 301.3 a 0.013 b 56.00 ab 2.5 285.2 ab 0.014 ab 54.67 b Waktu aplikasi 1 kali : 25 HST 290.4 0.014 8.193 2 kali : 25 dan 40 HST 285.8 0.015 8.651 Interaksi tn tn tn KK (%) 6.80 13.71 6.80

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata.

Pengaruh aplikasi boron dalam meningkatkan daya berkecambah serbuk sari telah dikemukakan oleh Nyomora et al. (2000) pada tanaman almond, Rosliani et al. (2012) pada tanaman bawang, Krudnak et al. (2013) pada tanaman bunga matahari dan Agustin et al. (2014) pada tanaman melon. Nachiangmai et al. (2004) melaporkan pentingnya boron pada tanaman gandum saat memasuki fase generatif. Keberadaan boron pada bagian organ generatif tanaman sangat mempengaruhi perkembangan mikrospora saat tanaman antesis dan selanjutnya mempengaruhi viabilitas serbuk sari. Blevins dan Lukaszewski (1998) menyebutkan bahwa boron sangat berperan pada fase reproduksi tanaman terutama dalam keberhasilan perkecambahan serbuk sari saat pembungaan yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan buah. Schreiber dan Dresselhaus (2003); Chebli dan Geitmmann (2007) menyatakan bahwa secara alami boron hanya sedikit terdapat dalam serbuk sari dan tinggi pada stigma dan tangkai putik, oleh karena itu kebutuhan unsur boron dalam proses pertumbuhan panjang tabung serbuk sari lebih tinggi.

Produksi benih

Aplikasi boron meningkatkan jumlah buah per tanaman, bobot buah dan jumlah biji per buah (Tabel 4). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peningkatan dosis boron 0.5-2.0 kg ha-1 meningkatkan jumlah buah. Buah yang terbentuk pada aplikasi boron 0.5 kg ha-1 adalah 136.3 buah, meningkat 29.81% dibandingkan kontrol. Peningkatan dosis boron 1.0-2.0 kg ha-1 tidak meningkatkan jumlah buah per tanaman. Peningkatan jumlah buah per tanaman diduga disebabkan oleh peningkatan viabilitas serbuk sari. Widiastuti (2005) mengemukakan viabilitas serbuk sari yang tinggi dapat menghasilkan buah dengan mutu yang baik dan selanjutnya menghasilkan benih dengan viabilitas yang tinggi.

20

Bobot buah cabai pada tanaman yang tidak diberi boron sebesar 7.95 g dan yang diberi boron dengan dosis 0.5 kg ha-1 menghasilkan 8.64 g meningkat (8.68%) (Tabel 4). Gedam et al. (1998) dan Agustin (2013) juga melaporkan pemberian boron mampu meningkatkan bobot dan diameter buah melon.

Pemberian boron pada 1.0–1.5 kg ha-1 meningkatkan jumlah biji per buah, masing-masing 68 dan 72 butir, meningkat 14.7 dan 19.4% bila dibandingkan dengan tanaman tanpa aplikasi boron. Berdasarkan respon bobot buah dan jumlah biji per buah terhadap aplikasi boron diduga dosis optimum untuk peningkatan hasil cabai adalah 1.5 kg ha-1.

Tabel 4 Pengaruh dosis boron dan waktu aplikasi terhadap jumlah buah, bobot per buah dan jumlah biji per buah

Perlakuan Jumlah buah per

tanaman

Bobot per buah (g)

Jumlah biji per buah Dosis boron (kg ha-1)

Dokumen terkait