• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS PROSES PERUMUSAN PRIVATISASI BUMN

V.2 Peran Aktor Kebijakan dalam Proses Perumusan Kebijakan

Privatisasi BUMN

Penelitian ini menemukan bahwa proses perumusan kebijakan Privatisasi BUMN melibatkan peran serta aktor utama (resmi, atau struktural), dan aktor non- utama (tidak resmi, atau non-struktural). Aktor utama yang secara resmi memiliki kewenangan pembuatan kebijakan dan berada pada struktur pemerintahan atau lembaga negara yaitu Pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif. Adapun aktor non-utama (tidak resmi) yang berada di luar struktur pemerintahan adalah kelompok kepentingan (asosiasi pengusaha) dalam hal ini investor asing atau pun investor domestik, karyawan/buruh perkerja dalam BUMN, pakar, tokoh masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan (yayasan dan lembaga swadaya masyarakat).

Berdasarkan data-data dan dokumen yang relevan dapat disajikan secara ringkas tentang peran dan fungsi aktor-aktor kebijakan tersebut dalam tabel berikut ini :

Tabel 5.1

Peran dan tanggung jawab aktor perumusan kebijakan privatisasi BUMN

Aktor Peran dan Fungsi

Pemerintah • melakukan seleksi dan menetapkan rencana Persero yang akan

diprivatisasi, metode Privatisasi yang akan digunakan, serta jenis dan rentangan jumlah saham yang akan dijual

• menuangkan hasil yang akan digunakan, jenis serta rentangan jumlah saham yang akan dijual dalam program tahunan privatisasi

• menyampaikan program tahunan Privatisasi kepada Komite Privatisasi untuk memperoleh arahan dan kepada Menteri Keuangan untuk memperoleh rekomendasi

• mengkonsolidasikan program tahunan Privatisasi kepada DPR-RI. • mensosialisasikan program tahunan Privatisasi

DPR • melakukan pembahasan dan menetapkan kebijakan privatisasi bersama eksekutif

• mengawasi penjabaran undang-undang kedalam peraturan pelaksanaan yang dilaksanakan oleh pmerintah

• melakukan kunjungan kerja/lapangan untuk melihat langsung keadaan BUMN

• menampung aspirasi karyawan/buruh kerja BUMN, termasuk menerima pengaduan tentang privatisasi BUMN

• menekan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan privatisasi BUMN dengan transparan dan sesuai dengan undang-undang yang ada

Komite Privatisasi • merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan persyaratan pelaksanaan Privatisasi

• menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlancar proses privatisasi Persero

• membahas dan memberikan jalan keluar atas pemasalahan strategis yang timbul dalam proses Privatisasi Persero termasuk yang berhubungan dengan kebijakan sektoral Pemerintah

Manjemen BUMN (Direksi/Komisaris BUMN)

• membahas substansi privatisasi BUMN di lingkungan BUMN

• melakukan audiensi dengan para pejabat di lingkungan pemerintah dan DPR

• menjaga dan mengawal implementasi UU BUMN, termasuk program privatiasi BUMN

Aktor non-resmi lainnya (buruh dan lsm)

• mengkritisi dan memberikan masukan terhadap pelaksanaan kebijakan privatisasi BUMN (UU BUMN dan peraturan tentang pelaksanaan privatiasasi BUMn itu sendiri)

Tabel 5.1 tersebut menunjukkan bahwa para aktor kebijakan telah menjalankan peran sesuai dengan fungsi masing-masing. Peran dan fungsi tersebut menunjukkan bahwa dalam proses perumusan kebijakan Privatisasi BUMN, Pemerintah diwakili terutama oleh Kementerian Negara BUMN. Selanjutnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Menteri BUMN akan melakukan seleksi dan menetapkan rencana Persero yang akan diprivatisasi, metode Privatisasi yang akan digunakan, serta jenis dan rentangan jumlah saham yang akan dijual. kemudian Menteri BUMN akan menuangkan hasil yang akan digunakan, jenis serta rentangan jumlah saham yang akan dijual dalam program tahunan Privatisasi . Selanjutnya Menteri BUMN menyampaikan program tahunan Privatisasi kepada Komite Privatisasi untuk memperoleh arahan dan kepada Menteri Keuangan untuk memperoleh rekomendasi. Setelah itu, Menteri BUMN mengkonsolidasikan program tahunan Privatisasi kepada DPR-RI.

Untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang privatisasi sehubungan dengan kebijakan lintas sektoral, pemerintah juga membentuk sebuah komite privatisasi sebagai wadah koordinasi yang tertuang dalam Keppres No.18 tahun 2006 tentang Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (PERSERO). Komite privatisasi dipimpin oleh menteri koordinator yang membidangi perekonomian dengan anggota, yaitu Menteri keuangan dan menteri teknis tempat Persero melakukan kegiatan usaha. Keanggotaan komite privatisasi ditetapkan dengan Ketetapan Presiden. Dimana peran dan fungsi komite privatisasi adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan persyaratan pelaksanaan Privatisasi, menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlancar

proses Privatisasi Persero, membahas dan memberikan jalan keluar atas pemasalahan strategis yang timbul dalam proses Privatisasi Persero termasuk yang berhubungan dengan kebijakan sektoral Pemerintah.

Aktor kebijakan resmi (struktural) berikutnya adalah DPR-RI (legislatif). Peran dan fungsi tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan, termasuk menampung aspirasi para karyawan dan burh kerja BUMN, menjadi kelompok penekan (pressure group), dan

menerima pengaduan yang terkait dengan pelaksanaan Privatisasi BUMN. DPR bersama-sama Pemerintah menetapkan kebijakan privatisasi, khususnya yang didisain dalam bentuk undang-undang (UU), bahkan berkepentingan ikut membahas peraturan pemerintah (PP) sebagai bentuk pengawasan untuk membuat sistem yang murah dan bagus guna menghemat anggaran negara. Dengan kata lain DPR telah menjalankan fungsi-fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan dalam perumusan kebijakan Privatisasi BUMN. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut tampak terjadi proses-proses legislasi-yurisdiksi, politik-publik, dan sosialisasi-mobilisasi80

Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah di dalam menjalankan peran dan fungsi di dalam perumusan kebijakan Privatisasi BUMN telah melakukan proses-proses manajerial-birokratis), politik dan yurusdiksi, dan proses publik. Proses manajerial-birokratis dilakukan dalam persiapan/pra- kebijakan dengan membentuk Komite Privatisasi dan pengelolaan kegiatan perumusan kebijakan, baik pada lingkungan internal pemerintahan maupun dalam

.

80

Topatimasang. R., Fakih, M. dan Raharjo, T. 2005. Mengubah Kebijakan Publik.

kegiatan-kegiatan yang memerlukan koordinasi dan kerjasama dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya.

Proses politik terkait dengan pembahasan bersama DPR yang melibatkan saling pengaruh untuk memperjuangkan kepentingan dan/atau keberpihakan masing-masing. Sementara proses yurisdiksi dilakukan dengan mengupayakan legalitas kebijakan yang telah ditetapkan seperti dengan mencatat dalam lembaran negara. Selanjutnya proses publik dilakukan dengan menjaring saran atau masukan dari masyarakat melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dan uji publik naskah akademik dan rancangan kebijakan. Selain itu Pemerintah melaluli kementrian BUMN juga melakukan publikasi dan sosialisasi agar para pihak yang berkepentingan dapat mengetahui kebijakan yang telah ditetapkan.

Proses perumusan kebijakan privatisasi BUMN , tidak dapat dilepaskan dari aktor kebijakan non-utama (tidak resmi, atau non-struktural). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa aktor non-struktural tersebut adalah manajemen BUMN itu sendiri. Manajemen BUMN ini, seperti sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, berperan untuk membahas substansi privatisasi BUMN di lingkungan BUMN, melakukan audiensi dengan para pejabat di lingkungan pemerintah dan DPR, menjaga dan mengawal implementasi UU BUMN,

termasuk program privatiasi BUMN. dan selanjutnya memperjuangkan

kepentingan mereka menjadi agenda institusional di lingkungan lembaga yang berwenang mengambil kebijakan privatisasi BUMN (Pemerintah dan DPR).

Kajian lebih lanjut menemukan bahwa manajemen BUMN memiliki peran langsung dan tidak langsung dalam perumusan kebijakan Privatisasi BUMN. Peran langsung dimainkan manajemen BUMN dengan terlibat dalam rapat-rapat perumusan dan pembahasan substansi kebijakan privatisasi BUMN dan peraturan pelaksanaan privatisasi tersebut. Adapun peran tidak langsung adalah menjadi kekuatan penekan (pressure power) dalam penetapan kebijakan Privatisasi BUMN dan menagih pelaksanaan privatisasi tersebut dapat menjamin hak-hak mereka. Dengan demikian manajemen BUMN memainkan peran yang sangat penting terutama pada kristalisasi isu kebijakan, pengembangan kebijakan, dan implementasi kebijakan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Cobb dan Elder yang menyatakan bahwa sebuah isu akan masuk menjadi agenda institusional apabila sebelumnya isu itu muncul di dalam agenda sistemik81

Penelitian ini juga menemukan bahwa serikat buruh dan manajemen BUMN, tampak cukup agresif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Asosiasi dengan jumlah anggota yang relatif banyak ini jelas mempunyai kekuatan negosiasi (bargaining power) dan kekuatan politis (political power) untuk menuntut pihak legislatif dan eksekutif agar memenuhi kepentingan para anggotanya. Tuntutan asosiasi ini semakin kuat dengan memobilisasi dukungan dari anggota legislatif dan aktor non-utama lain, seperti para pakar, LSM, dan organisasi massa. Selain sumber legitimasi bagi pengurus, keberhasilan memperjuangkan kepentingan para anggotanya itu juga dapat meningkatkan jaminan keberlangsungan hidup organisasi tersebut.

.

81

Parsons, W. 2005. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analis Kebijakan. Jakarta: Kencana. hal.130-131

Selanjutnya dari kajian dokumen ditemukan bahwa para aktor non-utama tersebut berpartisipasi dalam aktivitas yang diselenggarakan DPR (seperti RDPU, kunjungan kerja, dan konsultasi publik), dan aktivitas serikat buruh dan manajemen BUMN (pada saat presentasi, temu pakar, diskusi, dan lokakarya). Dalam berbagai kesempatan itu, sebagaimana catatan yang ada, para aktor non- utama tersebut meminta klarifikasi tentang substansi yang terkait dengan kebijakan privatisasi BUMN, memberikan masukan, kritik dan saran, serta dukungan untuk penyempurnaan dan pelaksanaan kebijakan privatisasi tersebut.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa aktor kebijakan non-utama, secara individual maupun berkelompok, memiliki peran yang cukup penting di dalam proses perumusan kebijakan Privatisasi BUMN. Peran tersebut diartikulasikan dalam berbagai tuntutan, saran atau masukan, bahkan dalam proses formulasi kebijakan Privatisasi BUMN. Keterlibatan ini dimungkinkan dengan berbagai alasan antara lain: (a) sebagai kepedulian mereka terhadap pengembangan BUMN di tanah air, atau (b) dalam hal tertentu untuk kepentingan individu terkait dengan kesempatan memperoleh kesejahteraan dan hidup yang lebih baik, atau (c) atau (d) sebagai “investasi politik” bagi organisasi massa.

Kajian lebih lanjut menunjukkan bahwa intensitas peran aktor kebijakan dalam perumusan peraturan yang terkait dengan privatiasi BUMN yang dimainkan oleh pihak legislatif lebih tinggi dibandingkan dengan peran pihak eksekutif. Bahkan dapat dikatakan bahwa legislatif terlampau mencampuri ranah kewenangan Pemerintah sehingga paradigma peningkatan kinerja dan mutu BUMN dalam kebijakan Privatisasi BUMN tidak dapat dijalankan karena

bergeser dengan mengutamakan kepentigan dari masing-masing anggota legislatif yang mewakili parpol atau dirinya sendiri.

Pada sisi lain, dimamika peran seperti di atas dapat dipandang bermanfaat dari aspek kinerja lembaga di atas. Dalam hal ini intensitas peran itu dapat dijadikan indikator keberhasilan kinerja DPR dan Pemerintah di dalam menjamin kepentingan rakyat, sekaligus dapat juga untuk memperkuat legitimasi di masyarakat. Demikian pula dengan Direksi/komisaris, karyawan dan Serikat Buruh kerja BUMN sangat berkepentingan dalam proses perumusan kebijakan privatisasi BUMN, karena selain sumber legitimasi bagi pengurus, keberhasilan memperjuangkan kepentingan para karyawan dan buruh BUMN dapat meningkatkan jaminan keberlangsungan hidup organisasi BUMN tersebut. Adapun intensitas peran para aktor non-utama lain itu sesungguhnya relatif kecil, karena pihak ini memiliki kepentingan tidak langsung dengan Privatisasi BUMN.

Kajian di atas menunjukkan bahwa intensitas peran para aktor perumusan kebijakan Privatisasi BUMN sangat beragam. Wahab menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas peran tersebut, antara lain: “political culture atau budaya politik, power distribution (distribusi kekuasaan), atau karakter kekuasaan yang terdapat pada sistem politik, dan policy style yang terdapat pada pelbagai negara”82

82

Wahab, A.S. 1998. Analisis Kebijakan Publik Teori dan Aplikasinya. Malang: Fakultas Ilmu Administrasi UNIBRAW. hal. 35.

. Dengan demikian dapat dipahami bahwa intensitas peran legislatif yang lebih kuat dibandingkan dengan peran eksekutif merupakan dampak dari era reformasi di Indonesia yang telah menciptakan

budaya politik yang terbuka dan distribusi kekuasaan yang cenderung menguat pada pihak legislatif.

Selanjutnya dari fenomena peran legislatif dan eksekutif tersebut tampak bahwa perumusan kebijakan merupakan domain dari tugas politisi dan birokrat. Apalagi di jaman sekarang ini, hampir di semua unit pemerintahan, netralitas politik pada jajaran eselon atas kementerian sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dicapai. Hal ini dikarenakan beberapa jabatan tinggi merupakan kedudukan khusus terkait dengan rekrutmen, seleksi dan pengangkatan untuk mendapat dukungan atau kepercayaan politik, sejalan dengan persyaratan keahlian dan keterampilan teknis.

Kajian temuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas pada dasarnya menguatkan teori bahwa proses perumusan kebijakan merupakan proses politik. Dalam proses politik tersebut terjadi saling mempengaruhi baik internal antar anggota fraksi dan komisi maupun antar fraksi dan komisi pada lembaga legislatif. Saling pengaruh mempengaruhi juga terjadi antara pihak legislatif dengan eksekutif, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Hal ini dapat dipahami karena Perusahaan negara/BUMN sangat berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Oleh karena itu dalam proses perumusan kebijakan Privatisasi BUMN harus memperhatikan semua aspek dan lingkungan yang ada, terutama agar tujuan mensejahterahkan rakyat seperti yang telah diamanatkan UUD 1945 dapat tercapai.

Namun, dalam proses perumusan kebijakan privatisasi kelima BUMN- BUMN diatas, peneliti menemukan bahwa peran aktor perumusan kebijakan

sangat kecil dalam menjalankan sosialisasi terhadap masyarakat dan kelompok kepentingan lainnya, sehingga menyebabkan kemungkinan terjadinya praktek korupsi dalam privatisasi BUMN-BUMN tersebut sangat mungkin untuk dilakukan. Dan dalam penelitian ini, paradigma pemerintah tentang pelaksanaan privatisasi BUMN masih sebatas untuk menutupi defisit APBN dan bukan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja BUMN.

Untuk menghindari hal tersebut, seharusnya proses privatisasi BUMN yang ideal adalah apabila dimulai dari rencana usulan manajemen BUMN bukan berdasarkan instruksi dari pemerintah. Privatisasi yang berasal dari usulan BUMN biasanya lebih lancar, dan pemerintah bertindak sebagai fasilitator, hanya tinggal menentukan besarnya saham yang akan dilepas, hari H-nya, modusnya apakah melalui penawaran umum ataukah aliansi strategis. Sedangkan proses-proses pembenahan intern BUMN (tidak terbatas kepada restrukturisasi, pensiun dini ) sosialisasi, dan proses lain yang diperlukan agar BUMN tersebut menjadi lebih menarik minat investor untuk menanamkan modalnya dilakukan sendiri oleh manajemen BUMN tersebut.

BAB VI

Dokumen terkait