• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERAN DAN TANGGUNG JAWAB HAKIM WASMAT

G. Peran dan Tanggung Jawab Hakim WASMAT Terhadap

Pemasyarakatan atau dikenal sebagai resosialisasi, merupakan suatu sistem pemidanaan dimana di Indonesia sebagai pengganti konsep penjara yang dianggap telah mengabaikan harkat manusia terhadap seorang narapidana. Pemasyarakatan sebagai pengganti penjara bukan hanya sebagai istilah, akan tetapi mengganti suatu konsep. Sehingga perlu disadari dengan baik konsep pemasyarakatan itu sendiri.91

90

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02.-PK.04.10 Tahun 1990, Bab VIII.

91

Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, mengisyaratkan bahwa sebagai suatu konsep Pemasyarakatan merupakan kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana dan tujuan Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka :

a.membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya; b.menyadari kesalahan dan memperbaiki diri; serta

c.tidak mengulangi tindak pidana.

Sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup decara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab92.

Untuk lebih jelasnya bahwa tujuan Sistem Pemasyarakatan pada intinya adalah pemulihan kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.

Dalam Sistem Pemasyarakatan Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan ber hak mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan luar, baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi, baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan sebagainya.

Untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan tersebut bahwa tanggung jawab pelaksanaan tidak semata-mata hanya di pundak Petugas Pemasyarakatan akan tetapi

92

juga mengharapkan peran serta instansi terkait seperti Kepolisisan, Kejaksaan, dan Pengadilan dan Pemerintah Daerah, juga diperlukan keikutsertaan masyarakat dalam menetapkan dan melaksanakan pembinaan baik, yang dilakukan didalam maupun diluar Lembaga.

Setiap pembinaan di dalam lembaga (institutional treatment) memiliki tujuan untuk mempersiapkan terpidana hidup di luar lembaga atau kembali ke masyarakat, oleh karena itu Lembaga Pemasyarakatan yang ingin menjadi lembaga pembinaan harus berusaha agar seluruh lingkungan di sekitar terpidana mencerminkan pembinaan dan bukan pengurungan atau pemidanaan. Maka dilakukan pembinaan di luar lembaga (non-institutional treatment), yang dikenal dengan nama pembinaan di dalam masyarakat (community treatment). Dalam sitem peradilan pidana Indonesia, bentuk awal dari “community treatment” yaitu meliputi “pidana bersyarat” dan “pelepasan bersyarat”. “Pidana bersyarat” adalah dalam bentuk pembinaan dengan cara pengawasan di dalam masyarakat sebagai pengganti kurungan, di Amerika disebut dengan probation. Sedangkan “pelepasan bersyarat” adalah pengawasan dalam masyarakat setelah pengurungan untuk jangka waktu tertentu di Amerika disebut Parole.93

Dalam KUHP pembinaan yang dikenal adalah community treatment yakni dalam bentuk pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat, sedangkan dalam Rancangan KUHP Nasional, juga terdapat “pidana pengawasan” dan “pidana kerja sosial”.

93

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1977), hal. 156.

Terhadap pelaksanaannya peran dan tanggung jawab para petugas pemasyarakatan dan Hakim WASMAT sangat menentukan agar pembinaan narapidana dapat berhasil.94

Pengadilan melalui Hakim WASMAT selalu tetap mempunyai hubungan dengan sub sistem pelaksana pidana yang telah dijatuhkannya. Supaya putusan benar- benar dilaksanakan sebagaimana yang dikehendaki dalam putusan oleh aparat pelaksananya, maka hubungannya akan terus berlanjut sampai putusan pidana selesai dilaksanakan oleh si terpidana.

Bila dilihat Keterangan Pemerintah terhadap Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana yang dapat dipakai sebagai pedoman sebagaimana yang dimaksudkan pembentuk undang-undang terhadap sistem peradilan pidana yang diinginkan, yaitu “ . . . menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana”. Rangkaian proses pidana yang dimaksudkan itu adalah “rangkaian proses peradilan pidana” atau dalam istilah asingnya disebut “Criminal Justice Process”. Dengan menempatkan pemasyarakatan sebagai salah satu sub-sub sistem lainnya (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) dalam sistem peradilan pidana, maka nampaknya Pembentuk Undang-undang sudah berpikir dalam suatu sistem peradilan pidana yang terpadu, yang dalam istilah asingnya disebut “Integrated Criminal

Justice Systeem”. Oleh karena Hakim WASMAT yang melakukan kontrol terhadap

pelaksanaan putusan Pengadilan yang dijalankan oleh aparat pelaksana, maka Hakim WASMAT inilah yang merupakan “jembatan” antara sub sistem pengadilan yang

94

menjatuhkan putusan dengan sub sistem pemasyarakatan yang dalam pelaksanaannya melakukan pemasyarakatan terhadap para narapidana.

Dasar jembatan inilah yang diletakkan dalam tugas Hakim WASMAT, yang diatur dalam Bab XX KUHAP mengenai Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Oleh karena itu yang dijadikan titik tolak dalam menjembatani Pengadilan dengan Pemasyarakatan adalah putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pengadilan yang telah menjatuhkan pidana disatu sisi sementara disisi lain masyarakat tentu menghendaki pelaksanaan pidana tersebut secara tepat atau pasti sehingga bila tidak benar-benar dilaksanakan akan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana, karena putusan pidana (yang mengandung pemasyarakatan), disamping merupakan nestapa bagi si terpidana berupa kehilangan kemerdekaan bergeraknya, juga di isi dengan pemberian pembinaan untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna sebagai tujuan pemidanaan.95

Hakim WASMAT yang diharapkan mampu untuk menjembatani dalam proses peradilan pidana akan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak yang dijembatani, yaitu Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Bagi Pengadilan (Hakim atau Hakim-Hakim), akan diketahui apakah hasil putusannya telah dilaksanakan oleh aparat pelaksana sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang- undang dan melalui putusan tersebut akan diketahui pula bagaimana sebaiknya

95

putusan dijatuhkan agar sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dilakukan oleh petugas-petugas pemasyarakatan sehingga pihak Lembaga Pemasyarakatan diharapkan akan dapat memberikan pembinaan yang baik serta terarah terhadap narapidana dengan adanya koreksi dari Hakim WASMAT sendiri, sehingga pencapaian tujuan penanggulangan dan pencegahan kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat juga akan terwujud.

Disamping menjembatani pihak pengadilan dengan pihak lapas, hakim wasmat juga memiliki keterlibatan secara langsung terhadap penentuan program- program pembinaan yang akan dilakukan oleh pihak lapas terhadap para narapidana.

Hal ini tercermin dari keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI Nomor : M.02.PR.08.03 tahun 1999 tanggal 3 Desember 1999 tentang pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang menempatkan Hakim WASMAT sebagai salah satu anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan di setiap Lembaga Pemasyarakatan dan melalui sidang TPP akan menetapkan tahap-tahap pembinaan serta pengalihan pembinaan dari tahap yang satu ketahap yang lain. Seperti yang diamanahkan dalam pasal 7 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan WBP serta Hakim WASMAT wajib mengetahui bila ada pemindahan narapidana dari Lapas yang ada dalam pengawasannya ke Lapas lain atau sebaliknya.

Disamping itu Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 1985 juga menetapkan rincian tugas-tugas hakim pengawas dan pengamat yang berhubungan erat dengan pihak lapas antara-lain:

a. Mengadakan checking on the spot

b. Mengadakan observasi terhadap keadaan, suasana dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung didalam tembok-tembok lembaga

c. Melakukan pengamatan dengan mata kepala sendiri perilaku napi sehubungan dengan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

d. Mengadakan wawancara dengan petugas lapas mengenai perilaku serta hasil-hasil pembinaan napi baik kemajuan yang diperoleh maupun kemunduran-kemunduran yang terjadi.

e. Mengadakan wawancara langsung dengan para narapidana tentang perlakuan terhadap dirinya.

f. Dsb.

Melalui kegiatan-kegiatan tersebut diatas jelas tercermin akan maksud dan tujuan dari kehadiran lembaga hakim pengawas dan pengamat tersebut dalam proses penegakan hukum dinegara kita bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seorang pelaku kejahatan harus benar-benar menyadari akan maksud dan sasaran dari putusan yang dibuatnya, sehingga menempatkan hakim tidak akan lepas tangan lagi setelah ia menjatuhkan hukuman, melainkan hakim tersebut dituntut pula akan tanggung-jawabnya terhadap pelaksanaan putusan yang ia jatuhkan itu dengan cara melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan dimaksud didalam lembaga pemasyarakatan.

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Hakim Pengawas dan Pengamat perlu ditunjang dengan dana dan sarana yang memadai serta perlu adanya sinkronisasi

petunjuk pelaksanaan tugas Hakim Pengawas dan Pengamat dari Bapak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Bapak Menteri Kehakiman maupun sinkronisasi antar instansi-instansi yang berkaitan.96

Dengan bertambahnya tugas dan tanggung jawab hakim dimaksud, maka secara otomatis bertambah pula keterlibatan hakim pengawas dan pengamat untuk turut serta dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana didalam lembaga pemasyarakatan yang tertuang dalam metode dan pola yang ditetapkan melalui sidang TPP, sehingga menciptakan hubungan antara hakim pengawas dan pengamat dengan pihak Lapas memiliki peran dalam arti tersendiri khususnya dalam hal membina narapidana.

96

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II (edisi revisi cetakan ke-4, 2003) hal. 182.

Dokumen terkait