• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN FARMASI KLINIK DALAM MENDUKUNG PHARMACEUTICAL CARE

Profesi Apoteker (Farmasis) diberbagai dunia telah mengalami

perkembangan yang signifikan dari paradigma Drug oriented yang

terfokus hanya pada obat menjadi

patient oriented yang mengutamakan pelayanan kefarmasian dan empati

kepada pasien. Fokus konsep pelayanan kefarmasian kepada pasien tidak hanya menyediakan terapi obat, namun juga melakukan pendekatan, rekomendasi, pemilihan

terapi dan pengambilan keputusan terhadap penggunaan obat yang

made ary Sarasmita, S. farm, m. farm. klin, apt

Pharm, Apt., yang bertugas sebagai seorang farmasis di RS Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya.

Saya mengenal Bapak Drs. Muhammad Yahya, Sp FRS, Apt ketika saya melakukan praktek profesi apoteker dan praktek profesi sebagai seorang magister farmasis klinik (magang) ketika masih menempuh pendidikan di Universitas Airlangga. Saya mengenal beliau sebagai sosok yang sangat fokus dan memiliki tanggung jawab penuh terhadap pelayanan kefarmasian klinik dan pemantauan terapi obat yang tepat bagi pasien. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Hisfarsi Provinsi Jawa Timur. Saya mendapatkan banyak pengalaman terkait pelayanan farmasi klinik saat bekerjasama dengan Beliau. Beliau merupakan seorang Farmasis yang bertugas di IRNA Obstetri dan Ginekologi (Obsgyn) RSUD Dr. Soetomo. Di IRNA Obsgyn, beliau berperan dan memiliki tanggung jawab terhadap proses pengadaan obat, penyimpanan obat, distribusi obat kepada pasien dan juga pelayanan farmasi klinik.

Di IRNA Osbgyn, banyak pasien penderita kanker yang mendapatkan kemoterapi sitostatika. Hal ini menjadi perhatian dan kewaspadaan bagi seorang farmasis klinik dalam melakukan penentuan regimentasi obat yang tepat bagi pasien. Sebagai seorang Apoteker Spesialis Farmasi Rumah Sakit/ SpFRS (nama lain dari Farmasis Klinik), beliau selalu melakukan perhitungan masing-masing obat sitostatika yang akan diracik di Unit Produksi RS dan diberikan kepada pasien setiap hari. Setiap sitostatika yang akan diracik, dituliskan dalam form permintaan penggunaan sitostatika yang memuat informasi identitas pasien, diagnosis penyakit pasien, kondisi klinis pasien, hasil laboratorium terkini yang terkait (seperti fungsi ginjal dan fungsi hepar), jumlah obat yang diberikan, pelarut yang digunakan, rute pemberian, dan interval pemberian. Sebelum dilakukan peracikan, form tersebut harus diperiksa oleh seorang farmasis klinik terkait perhitungan ketepatan dosis dan pemilihan pelarut yang diberikan. Setelah disetujui, barulah form tersebut ditandatangani oleh seorang farmasis klinik dan dilanjutkan ke Unit Produksi untuk dilakukan peracikan/ pencampuran.

Selain itu, beliau juga melakukan pemberian KIE kepada pasien, baik kepada pasien sebelum mendapatkan kemoterapi, pasien yang sedang menjalani kemoterapi, pasien yang mendapatkan terapi obat non- kemoterapi, serta pasien yang akan keluar rumah sakit.Beliau juga tidak sungkan/segan untuk menanyakan kembali apakah pasien memahami informasi yang telah diberikan dan bersedia untuk menjelaskan kembali informasi apabila pasien belum merasa belum mendapat informasi yang jelas. Beliau juga sering memberikan daftar/ kartu tentang jadwal penggunaan obat, terutama pada pasien yang mendapatkan terapi polifarmasi. Beliau melakukan kunjungan bedvisite secara mandiri dan bersama-sama dengan dokter/ perawat/ bidan guna memantau efek terapi obat dan efek samping obat yang dapat timbul pada pasien.

atdanpenentuanregimentasi obat pasien dan mengkomunikasikannya kepada dokter. Selain mempertimbangkan aspek Evidence Based Medicine, beliau merupakan sosok yang tidak ragu dalam membahas suatu terapi pasien berdasarkan pustaka-pustaka dan penelitian-penelitian terkini bersama- sama dengan dokter diruangan. Selain menjalin komunikasi inter profesional, beliau juga aktif dalam melaksanakan kunjungan kepasien (bedvisite) guna memantau efek terapi dan juga

mengidentifikasi efek samping obat yang mungkin dirasakan oleh pasien.Beliau juga melakukan bedvisite dengan rasa simpati kepada pasien dan juga keluarga pasien.

Adanya dua sosok farmasi klinik seperti sosok Bapak Muhammad Yahya dan Ibu Widyati membuat saya bangga terhadap profesi farmasi karena seorang farmasis berperan sentral dalam penata laksanaan terapi obat pasien guna meningkatkan derajat dan kualitas hidup pasien. Menurut Ernawati (2007), dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdapat kendala/ hambatan yang bersifat internal dan eksternal. Hambatan yang bersifat internal berasal dari diri farmasis sendiri yang masih belum dapat memahami perannya sebagai seorang farmasis, belum memiliki kompetensi dan keahlian terkait farmasi klinik dan kurang percaya diri dalam menjalin komunikasi terapetik dengan pasien maupun tenaga kesehatan lain. Hambatan ini dapat ditanggulangi dengan melakukan pendidikan kefarmasian berkelanjutan (continuing professional development), melengkapi diri dengan pengetahuan, wawasan baru dan perkembangan tentang ilmu farmasi klinik. K edepannya, harapannya peran farmasis klinik di Indonesia dapat berkembang ke arah pelayanan farmasi klinik subspesialistik seperti halnya tenaga kesehatan lain, dimana hal ini sudah berkembang diluar negeri seperti pelayanan farmasis klinik untuk pasien pediatrik, geriatrik, degeneratif kronik/ penyakit dalam, onkologi-hematologi, bedah, gawat darurat, saraf, dan lain sebagainya guna meningkatkan pelayanan kefarmasian dan meningkatkan outcome dan kualitas hidup pasien.n

Selain sosok Bapak Drs. Muhammad Yahya, SpFRS, Apt, saya mengenal sosok Dr.Widyati, M.Clin. Pharm, Apt sebagai seorang Farmasis Klinik yang sangat concern (fokus)dan bertanggung jawab terhadap pelayanan kefarmasian kepada pasien serta pemantauan terhadap out come terapi dan efek samping obat. Saya mengenal Beliau saat saya melakukan magang praktek profesi apoteker di IRNA Neurologi RS AL Dr. Ramelan Surabaya.

Saya mengenal beliau sebagai sosok yang aktif dalam melakukan pemberian konseling, informasi dan edukasi (KIE) kepada pasien serta menjalin komunikasi interprofesional dengan tenaga kesehatan lain, seperti dokter dan perawat. Beliau juga merupakan sosok yang berperan penuh dalam pemilihan terapi, pemberianrekomendasiterapiob

Dua sosok farmasi klinik seperti sosok Bapak Muhammad Yahya dan Ibu Widyati membuat saya

bangga terhadap profesi farmasi karena seorang farmasis berperan sentral

dalam penata laksanaan terapi obat pasien guna meningkatkan derajat dan

kualitas hidup pasien.

gambar 1. pengobatan obat yang Rasional - 6 Tepat Jangan meremehkan cara

administrasi obat:

sebelum atau sesudah makan

Kasus terkait administrasi Captopril di atas hanya satu dari sekian banyak contoh interaksi obat dan makanan yang seringkali kurang mendapat perhatian. Pasien hipertensi yang tidak mengetahui cara minum Captopril yang benar bisa saja meminumnya sesaat setelah makan. Pasien tersebut bisa saja minum obat secara teratur, tetapi apakah tekanan darahnya dapat terkontrol hanya dengan teratur minum obat saja? Mengacu pada Penggunaan Obat Rasional (POR), keberhasilan terapi tidak hanya bergantung pada ketepatan diagnosis dan jenis obat, tetapi cara pemberian obat juga ikut menentukan dan tentunya tidak menjadi kurang penting dibanding ketepatan yang lain (gambar 1).

Interaksi terjadi antara Captopril dan makanan. Administrasi Captopril bersama dengan makanan akan mengurangi bioavailibilitasnya sekitar 30-40%. Bisa dibayangkan jika ketersediaan obat di dalam darah menurun secara signifikan, tentunya akan

Sejauh mana perhatian Apoteker menceg

Dokumen terkait