• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil pengklasifikasian jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan, terutama dalam ekosistem mangrove disajikan pada Tabel 11. Sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan peran masing-masing suku pada setiap komunitas mangrove di lokasi penelitian secara lengkap disajikan pada Lampiran 1,2,3,4.

Tabel 11. Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.

Hutan Mangrove belum konversi Hutan Mangrove telah konversi Peran dalam lingkungan Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang Kebun campuran Tambak Lahan kosong Metode PFT 1 Fitofagus (Ft) 5 1 2 10 0 1 2 Perombak (Pr) 419 175 123 669 661 141 3 Pemangsa (Pm) 61 38 31 31 3 8 4 Pemarasit (Pp) 0 0 0 0 0 0 Jumlah 485 214 156 710 664 150 Metode PCT 1 Fitofagus (Ft) 0 1 0 0 0 0 2 Perombak (Pr) 27 30 17 74 20 14 3 Pemangsa (Pm) 1 0 0 2 1 1 4 Pemarasit (Pp) 0 0 0 0 0 0 Jumlah 28 31 17 76 21 15

Pada metode PFT, terlihat bahwa jumlah suku Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak memiliki jumlah yang terbesar, kemudian diikuti oleh kelompok pemangsa yang menempati setiap komunitas mangrove di lokasi penelitian. Selanjutnya urutan ketiga adalah kelompok fitofagus, kecuali lokasi Tambak non tumpangsari kelompok ini tidak ditemukan. Sedangkan kelompok pemarasit tidak ditemukan pada semua lokasi penelitian (Tabel 11).

Seperti halnya pada metode PFT, pada metode PCT jumlah suku Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak memiliki jumlah terbesar pada setiap komunitas mangrove di lokasi penelitian, setelah itu kelompok pemangsa (pada lokasi hutan mangrove lebat, kebun campuran, tambak, lahan kosong) dan kelompok fitofagus hanya pada hutan mangrove sedang. Sedangkan kelompok pemarasit sama sekali tidak ditemukan pada semua lokasi penelitian, seperti pada metode PFT (Tabel 11).

B. Pembahasan

B.1. Keanekaragaman Hexapoda Tanah

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Hexapoda tanah yang diperoleh dengan menggunakan metode PFT dan PCT adalah sebanyak 2.567 individu, yang terdiri atas 2.078 individu Collembola dan 489 individu Insecta (Tabel 5 dan 6). Suku atau famili yang terkumpul seluruhnya berjumlah 28 suku dan 12 ordo, yang terdiri dari 4 suku Collembola dan sisanya 24 adalah suku-suku Insecta. Collembola merupakan salah satu Filum Arthropoda tanah dan merupakan kelompok Hexapoda tanah yang keanekaragaman jenis dan jumlah individunya tinggi. Menurut Haq dan Ramani (1988), besarnya populasi fauna tanah tergantung pada kontribusi kelompok Collembola dan Acarina. Di samping itu, beberapa kelompok Acarina merupakan predator bagi Collembola, sehingga terdapat korelasi antara jumlah Collembola dan Acarina (Mercianto, 1994).

Secara keseluruhan dengan menggunakan metode PFT dan PCT total jumlah individu Hexapoda tanah (Gambar 8 dan 9) dan rata-rata jumlah suku Hexapoda tanah (Tabel 9) di hutan mangrove yang belum dikonversi lebih rendah dari pada hutan mangrove yang telah dikonversi (terutama pada komunitas kebun campuran). Hal ini diduga berkaitan dengan beragamnya jenis tumbuhan dan vegetasi yang tumbuh di daerah yang telah dikonversi, di samping itu adanya perubahan vegetasi di atas permukaan tanah, memberi pengaruh tidak langsung terhadap kehadiran Hexapoda tanah. Seperti yang dinyatakan oleh Watt (1973) dalam Adianto (1993), bahwa lingkungan fisik (dan kimia) yang mantap memungkinkan terkumpulnya keanekaragaman biologis dalam ekosistem dewasa (mantap) yang menunjang kestabilan populasi. Jadi perubahan lingkungan habitat suatu komunitas dapat menurunkan populasi atau menaikkan populasi suatu organisme yang lain, ataupun dapat menyebabkan bermigrasinya suatu kelompok fauna ke tempat yang lebih sesuai untuk hidupnya atau bahkan hilangnya suatu spesies atau kelompok fauna dari habitat aslinya yang telah mengalami perubahan tadi (Wurmbach, 1968 dalam Adianto, 1993).

B.1.1. Metode PFT

Metode perangkap Pitfall Traps (PFT) merupakan metode yang cukup memberi hasil yang baik dalam jumlah dan keanekaragaman takson. Keterbatasan metode PFT ialah

Hexapoda yang ditangkap hanyalah yang merayap dan aktif berkeliaran di permukaan tanah (Golley, 1977 dalam Suhardjono, 1985). Pernyataan ini sesuai dengan data dari hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan mangrove yang belum dikonversi maupun yang telah dikonversi. Total jumlah individu Hexapoda tanah yang diperoleh dengan metode PFT cenderung lebih tinggi (2.379 individu) daripada dengan metode PCT (188 individu) (Tabel 5 dan 6; Gambar 8 dan 9).

Perbedaan ini diduga berhubungan dengan metode pengumpulan sampel Hexapoda tanah yang digunakan. Pada metode PCT, volume sampel tanah yang diambil dibatasi pada ukuran petak (10 x 10) cm dan ketebalan antara 6-8 cm, dengan sekali pengambilan (waktu terbatas). Sedangkan dengan metode PFT, pengumpulan sampel Hexapoda tanah lebih terbuka dengan waktu yang relatif lama (selama 22 jam) sehingga hasil yang diperoleh lebih banyak dibanding metode PCT. Dugaan lain, berkaitan dengan kondisi iklim di lokasi pengambilan sampel yang tergolong kering (waktu pencuplikan bulan Mei - Juni). Pada permukaan tanah yang kering menyebabkan fauna tanah lebih cenderung bermigrasi ke lapisan yang lebih dalam, atau mungkin berada dalam tahap pradewasa (telur dan pupa) atau sebaliknya bentuk dewasa yang aktif terbang, sehingga tidak dapat terpilah oleh Corong Barlese. Setiadi (1989) mengemukakan bahwa kegiatan organisme tanah dipengaruhi oleh musim dan ke dalaman tanah. Kegiatan organisme tanah terbesar terjadi pada musim semi dan gugur, sebaliknya menurun pada musim panas dan dingin. Di samping itu, sebagian besar dari anggota Hexapoda yang tertangkap dengan metode PFT adalah yang hidup berkeliaran di atas permukaan tanah, yang masuk perangkap secara tidak sengaja kemungkinan karena terangsang oleh bau alkohol, karena alkohol merupakan zat yang cukup baik sebagai daya tarik banyak suku dari Hexapoda (Collembola dan Insecta) (Suhardjono, 1997).

Takson yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan adalah Collembola, kemudian Hymenoptera (Formicidae), dan Orthoptera (Tabel 5). Ditemukannya takson tersebut hampir di setiap jenis penutupan lahan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik setempat. Di samping itu (terutama Collembola), merupakan takson yang jumlah individunya cukup besar dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Sesuai dengan pernyataan Wallwork (1976) besarnya populasi Collembola, Hymenoptera (semut) dan Acarina (tungau) mencapai 80% dari populasi Arthropoda yang ada, merupakan ciri khas

hutan tropik. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Suhardjono (1985; 1997), Rahmawaty dkk. (2000) dan Rohyani (2001). Kemudian Russell (1988) dalam Suwondo (2002) menyebutkan bahwa Collembola merupakan mikroarthropoda tanah yang paling melimpah baik jumlah maupun keanekaragamannya serta memiliki agihan yang luas. Selanjutnya Takeda (1981) dalam Suwondo (2002) menyebutkan bahwa Collembola merupakan mikroarthropoda yang dominan pada habitat tanah, selain itu Collembola menyukai habitat permukaan tanah yang banyak mengandung serasah dari jatuhan daun, ranting serta bagian tumbuhan lainnya.

Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (485 individu) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat (Gambar 8), sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang paling melimpah/nilai dominansi (N2) tertinggi ada di hutan mangrove jarang (Tabel 9). Tingginya dominansi jumlah individu dan ordo Hexapoda tanah pada hutan mangrove lebat diduga berkaitan dengan kerapatan pohon mangrove. Menurut Arief (2007) keadaan kerapatan pohon sangat menguntungkan bagi kepadatan fauna tanah/Hexapoda tanah, karena pohon merupakan tunjangan yang berarti bagi kehidupannya. Tegakan dan tajuk pohon mampu berperan sebagai penghalang langsung dari sinar matahari atau menjadi naungan bagi Hexapoda tanah. Di sisi lain, sinar matahari juga merupakan tunjangan kehidupan bagi pohon dalam hal proses fotosintesis.

Hexapoda yang banyak ditemukan di hutan mangrove sedang dan mangrove jarang selain Collembola adalah Orthoptera (Gryllidae) dan Hymenoptera (Formicidae) (Tabel 5). Tingginya jumlah kedua ordo ini (terutama formicidae) diduga karena pada hutan mangrove sedang dan jarang, kondisi tegakan pohon mangrove sejati semakin jarang akibat aktifitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan pohon mangrove antara lain untuk kebutuhan kayu bakar dan pewarnaan jaring, sehingga memungkinkan lebih banyak sinar matahari yang mencapai lantai hutan. Dugaan ini diperkuat oleh Suwondo (2002) bahwa Formicidae lebih menyukai tempat yang terbuka, karena Formicidae umumnya bertindak sebagai pemangsa kelompok serangga lainnya. Selanjutnya Adisoemarto (1974) dalam Suhardjono (1985) menyatakan bahwa selain makanan, Orthoptera juga membutuhkan ruang terbuka dan sinar matahari untuk aktifitas geraknya. Sedangkan keberadaan Hymenoptera di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan bahan makanan, kelembaban tanah, pencahayan dan sarang yang dibangun (Wallwork,

1970). Di samping itu, terdapatnya jenis mangrove ikutan (Paku laut A. aureum) dan rumput-rumputan dengan serasah yang tergolong sedang, merupakan sumber makanan dan tempat yang paling disukai kedua ordo tersebut. Dugaan ini diperkuat Borror et al. (1996), bahwa Orthoptera merupakan Hexapoda tanah yang sering ditemukan di berbagai habitat, terutama daerah kering dan berumput. Selain itu, Orthoptera merupakan kelompok Hexapoda yang suka memakan bagian tumbuhan segar. Tumbuhan yang di makan adalah rumput dan gulma (Suhardjono, 1985).

Tingginya nilai NO (jumlah suku Hexapoda tanah) dan perolehan jumlah individu pada hutan mangrove lebat dibandingkan dengan hutan mangrove yang belum dikonversi lainnya diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari guguran daun, ranting dan cabang yang juga disebut serasah/litter (Foth, 1998). Serasah ini akan digunakan oleh Hexapoda permukaan tanah sebagai sumber makanan dan tempat hidup, karena umumnya serasah adalah daerah yang kaya akan sumber makanan, jadi semakin tebal serasah semakin banyak bahan makanan yang dapat diolah untuk menghasilkan garam-garam mineral dari proses metabolisme Hexapoda tanah (Suhardjono, 1987; Situmorang, 1999).

Pada lokasi penelitian hutan mangrove yang telah dikonversi perolehan total jumlah individu (710 individu) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di kebun campuran (Gambar 8), sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah tertinggi di lahan kosong dan kebun campuran, selanjutnya jumlah suku yang paling melimpah tertinggi di lahan kosong (Tabel 9). Keadaan ini menggambarkan bahwa daerah yang telah dikonversi dapat memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi keberadaan Hexapoda tanah. Di setiap daerah yang telah dikonversi memiliki keunggulan tersendiri yang memungkinkan kehadiran takson tertentu, sehingga mengakibatkan adanya fauna tanah yang khas.

Kebun campuran memiliki jumlah individu, jumlah ordo dan suku Hexapoda tanah tertinggi (yaitu 710 individu, 11 ordo dan 22 suku), keadaan ini diduga karena pada lokasi tersebut ditemukan jenis tumbuhan yang cukup beragam dibandingkan lokasi penelitian lainnya. Tumbuhan yang beragam ini dimungkinkan karena salinitas pada lokasi tersebut tergolong rendah yang ditunjang dengan kandungan bahan organik (C-organik) yang tergolong tinggi (Tabel 2). Salinitas tanah mempunyai peranan

penting, Sebagai faktor penentu dalam pengaturan pertumbuhan dan kelulusan hidup tanaman (MacNae, 1968 dalam Arief, 2007).

Collembola (Entomobryidae, Sminthuridae dan Isotomidae) merupakan salah satu takson Hexapoda tanah yang jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran dan tambak (Tabel 5). Kondisi ini diduga berkaitan dengan tebalnya serasah pada kedua lokasi tersebut. Serasah dapat berasal dari dari daun-daun dan ranting-ranting yang jatuh ke lantai hutan serta adanya kayu yang lapuk dari jenis pohon mangrove tersebut, kemudian mengalami pelapukan sehingga menyebabkan lantai hutan banyak ditutupi oleh serasah. Suhardjono (1985) menyatakan bahwa daerah yang banyak sumber makanan dan merupakan tempat tinggal serangga tanah adalah serasah. Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah kandungan bahan organik (C-organik), dan berdasarkan hasil analisis (Tabel 2) bahwa kriteria kandungan C-organik pada kedua lokasi tersebut tergolong tinggi (kisaran 10 – 30%) (Mustafa dkk., 1982). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari serasah. Bahan organik juga tersusun dari unsur Nitrogen, Kalium, dan Calsium. Serangga tanah hidupnya sangat tergantung pada tersedianya bahan organik berupa serasah atau lainnya di atas permukaan tanah (Suhardjono dkk., 1997).

Hymenoptera (Formicidae) merupakan salah satu ordo Hexapoda yang jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran (Tabel 5). Tingginya jumlah individu ini karena pada habitat tersebut ditemukan adanya sarang semut sebagai tempat hidup dan berkembang biak. Formicidae merupakan salah satu famili dari ordo Hymenoptera yang keberadaannya terdapat di mana-mana dan jumlahnya melebihi kebanyakan binatang darat lainnya (Borror and Delong, 1989 dalam Situmorang, 1999). Hal lain yang juga turut mempengaruhi kelimpahan Hymenoptera pada lokasi tersebut adalah adanya jenis rumput-rumputan dengan serasah yang tergolong tebal yang merupakan sumber bahan makanan dan tempat yang paling disukai oleh kelompok ini. Kenyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Adianto (1993), kepadatan individu Hymenoptera lebih banyak di petak percobaan dengan perlakuan rumput.

Diptera dan Orthopthera (Gryllidae) merupakan dua ordo Hexapoda tanah yang jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran (Tabel 5). Tingginya jumlah individu dari ordo Diptera pada kebun campuran diduga karena vegetasi tumbuhan bawah (ground cover) pada kebun campuran cukup banyak ditemukan gulma

berdaun lebar di antaranya talas lompong (Colocasia sp.), seruni laut (W. biflora), dan tembelekan (L. camara), dengan laju pertumbuhan vegetatif yang tergolong tinggi, mengakibatkan tumbuhan ini selalu memiliki daun tua dan membusuk. Bagian tumbuhan yang membusuk merupakan salah satu substrat utama yang dimanfaatkan imago Diptera sebagai makanan dan tempat bertelur (Borror et al., 1996). Gryllidae (Orthoptera) merupakan kelompok jengkrik, selama pengamatan di lapangan terlihat giat memakan bagian tumbuhan sedangkan lainnya memakan serangga lain (pemangsa). Hasil ini diperkuat oleh Suhardjono (1985), kelompok jengkrik (Gryllidae) merupakan serangga pemakan bagian tumbuhan segar, sedangkan jenis lainnya sebagai pemakan bangkai serangga lain. Tumbuhan yang dimakan ialah rumput atau gulma lainnya yang banyak terdapat di kebun campuran. Selain itu jangkrik mampu hidup pada berbagai kondisi baik basah maupun kering dan aktif pada malam hari, serta mempunyai kemampuan bergerak dan melompat yang baik. Orthoptera (Gryllidae) dan Diptera selain makanan membutuhkan pula ruang terbuka dan sinar matahari untuk aktifitas geraknya (Adisoemarto, 1974 dalam Suhardjono, 1985), Kebun campuran selain banyak ditumbuhi rumput-rumputan dan gulma juga memiliki ruang terbuka sehingga lantai hutannya banyak ditembus sinar matahari.

B.1.2. Metode PCT

Pada metode pengambilan contoh tanah dan serasah (PCT), total populasi Hexapoda tanah yang diperoleh lebih rendah (188 individu), tetapi kelompok pradewasa Hexapoda tanah cenderung lebih banyak ditemukan yaitu larva/nimfa ordo Psocoptera dibanding metode PFT. Data larva/nimfa serangga ini mendukung pernyataan Hole (1981) tentang salah satu fase dalam daur hidup serangga berada di tanah. Dengan menggunakan metode ini, fauna yang ditangkap kebanyakan dari ordo Hexapoda yang sebagian besar hidupnya berada di dalam tanah (eudafik).

Ordo yang tidak ditemukan pada metode PCT adalah Protura, padahal kelompok ini merupakan takson yang umumnya hidup di dalam tanah (Neal et a.l, 1983). Hal ini diduga karena Protura adalah takson yang keanekaragaman dan jumlah individunya kecil sehingga sulit ditemukan atau ditangkap, keadaan ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mercianto (1995) dan Rohyani (2001). Sedangkan populasi Hexapoda tanah yang ditemukan dalam jumlah yang cukup besar di berbagai jenis penutupan lahan adalah Collembola dan Psocoptera (Tabel 6). Hal ini dimungkinkan karena takson tersebut termasuk

organisme yang mempunyai kelimpahan cukup besar di habitat tanah dan penyebarannya relatif luas. Selain itu, diduga juga berkaitan dengan cara hidup kedua takson tersebut yang biasanya berkelompok, mempunyai kemampuan adaptasi dan dapat menciptakan lingkungan hidup sendiri. Takeda (1981) dalam Suwondo (2002) menyatakan bahwa Collembola merupakan mikroarthropoda yang dominan pada habitat tanah. Selain itu Collembola menyukai habitat permukaan tanah yang banyak mengandung serasah dari jatuhan daun, ranting serta bagian tumbuhan lainnya.

Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (Gambar 8) di hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31 individu). Sedangkan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi suku Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang (Tabel 9). Tingginya populasi Hexapoda tanah di hutan mangrove sedang, berkaitan dengan tingginya jumlah populasi Psocoptera dan Diptera (Phoridae) (Tabel 6) yang ditemukan di lokasi tersebut. Kondisi ini diduga terjadi karena kemampuan kedua ordo tersebut untuk beradaptasi di berbagai habitat. Jumlah yang besar dari kedua ordo ini merupakan suatu bukti keberhasilannya, sebagai sebuah kelompok yang mampu beradaptasi terhadap habitatnya (Prasetyo, 1999). Selain itu diduga berkaitan erat dengan tabiat tinggalnya di dalam tanah, yaitu baik individu Psocoptera (nimfa dan Liposcelidae) maupun Phoridae (Diptera) tergolong kelompok Hexapoda tanah yang tinggalnya menetap di dalam tanah, karena baik stadia juvenile (pradewasa) maupun imagonya dapat ditemukan di dalam tanah dan kelompok ini merupakan kelompok Arthropoda tanah yang sebenarnya (Suhardjono dan Adisoemarto, 1997).

Di hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah di kebun campuran (76 individu) menempati urutan tertinggi (Gambar 8), demikian pula halnya dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi keseluruhannya ditemukan di kebun campuran. Selanjutnya di lokasi ini ditemukan jumlah populasi Collembola, Psocoptera dan Coleoptera (Tabel 6) yang lebih tinggi dibanding dengan lokasi penelitian lainnya. Tingginya jumlah populasi ketiga takson ini diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi tersebut. Kelimpahan Collembola bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan lapisan serasah (Takeda, 1979 dalam Suhardjono, 1992). Lapisan tanah yang jumlah

individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah yang banyak serasah dan humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan organik sebagai sumber pakan (Suhardjono, 1992). Pengolahan lahan juga berpengaruh terhadap kelimpahan Collembola tanah, seperti pencangkulan yang merupakan proses pembalikan lapisan tanah dinilai menguntungkan Collembola (Hazra dan Choudhuri, 1983 dalam Suhardjono, 2007).

Pada lahan tambak, kelompok Hexapoda tanah yang populasinya paling tinggi adalah Collembola (Isotomidae) dan Diptera (Phoridae) (Tabel 6). Isotomidae merupakan suku Collembola tanah yang ukurannya cukup besar dan mudah dijumpai baik dipermuka- an lantai hutan maupun di tanah (Suhardjono dkk., 1997), sedangkan Phoridae merupakan suku Diptera yang dominan ditemukan dalam bentuk stadium dewasa dan menyukai lokasi yang banyak berbau busuk (bau bangkai). Tingginya populasi kedua takson tersebut di tambak dimungkinkan karena keadaan lokasi yang basah dan lembab serta tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik). Dugaan ini diperkuat oleh Adianto (1993), bahwa kebanyakan dari kelompok Diptera membutuhkan lingkungan yang basah dan lembab karena makanannya adalah materi tumbuhan yang telah hancur, fauna/serangga yang telah mati, jamur kayu, fases, dan telur Hexapoda. Alasan lain yang dapat dikemukakan adalah berkaitan dengan ketebalan serasah dan ditemukannya sampah-sampah kayu yang melapuk di lokasi tambak tersebut. Alasan ini diperkuat oleh pernyataan Allison (1973) dalam Adianto (1993), bahwa serasah dan sampah-sampah merupakan bahan pelindung untuk sejumlah fauna tertentu, terutama untuk kelompok Arthropoda tanah yang sebagian besar menghabiskan hidupnya di dalam tanah. Suhardjono (1985) menambahkan bahwa daerah yang banyak sumber makanan dan merupakan tempat tinggal Hexapoda tanah adalah serasah/litter.

B.2. Peran Hexapoda Tanah B.2.1. Metode PFT

Di dalam ekosistem tanah, Hexapoda (serangga) tanah mempunyai berbagai fungsi, yaitu fitofagus, perombak, pemangsa, dan pemarasit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan metode PFT, persentase jumlah perombak yang diperoleh pada hutan mangrove yang belum dikonversi memiliki jumlah terbesar di antara peran/ fungsi yang lain yaitu 86,4% di hutan mangrove lebat; 81,8% di mangrove sedang dan

78,8% di mangrove jarang. Sedangkan pada hutan mangrove yang telah dikonversi, persentase jumlah perombak yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan pada hutan mangrove yang belum dikonversi yaitu sebesar 94,2% di kebun campuran, 99,5% di tambak, dan 94,0% di lahan kosong (Gambar 10). Hasil yang diperoleh sesuai dengan yang dilaporkan Mercianto dkk. (1990); Suhardjono (1997; 1998); Rahmawaty dkk. (2000). Itulah sebabnya Hexapoda tanah pada umumnya dikenal sebagai perombak bahan organik yang sangat berperan di dalam perputaran daur hara walaupun peranannya tidak dapat langsung dirasakan oleh manusia tetapi melalui jasa biota lainnya. Sebagai perombak bahan organik, serangga (Hexapoda tanah) bersama jasad renik lainnya memanfaatkan sisa-sisa organisme yang telah mati dan mengubahnya menjadi humus. Di dalam humus tersebut terkandung nutrisi yang kemudian sangat berguna bagi kelangsungan hidup tumbuhan.

Gambar 10. Perbandingan persentase jumlah suku serangga tanah berdasarkan peran dalam lingkungan dengan metode PFT.

Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak berjumlah 717 individu didominasi oleh Collembola (641 individu), masing-masing di mangrove lebat (391), mangrove sedang (146) dan mangrove jarang (104). Selanjutnya adalah ordo Hymenoptera/Formicidae (38 individu) dan Diptera (25 individu), secara berurutan ditemukan masing-masing 4 dan 16 individu di mangrove

Pr 86,4% Ft 1,0% Pp 0,0% Pm 12,6%

Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang

Pr 99,5% Ft 0,0% Pm 0,5% Pp 0,0% Pr 94,0% Pp 0,0% Ft 0,7% Pm 5,3%

Kebun campuran Tambak NTs Lahan kosong

Pm 17,8% Ft 0,5% 0,0%Pp Pr 81,8% Pm 19,9% Pr 78,8% Pp 0,0% Ft 1,3% Ft 1,4% Pm 4,4% Pp 0,0% Pr 94,2%

lebat, 19 dan 6 individu di mangrove sedang, 15 dan 3 individu di mangrove jarang (Lampiran 1). Alasan yang sama, di antaranya keadaan serasah dan kandungan bahan organik yang menjadi faktor penentu (Tabel 2, 4). Collembola dapat ditemukan dihampir semua macam habitat dan keadaan vegetasi berpengaruh tidak langsung terhadap populasi Collembola (Suhardjono, 2000). Nooryanto (1987 dalam Rahmawaty dkk., 2000) melaporkan bahwa perbedaan tipe habitat menyebabkan adanya perbedaan populasi Collembola. Faktor lingkungan seperti pH, kandungan bahan organik, dan suhu dapat mempengaruhi keberadaan Collembola (Choudhuri and Roy, 1972; Takeda, 1981 dalam Suhardjono, 1992; Adianto, 1993; Rahmawaty dkk., 2000). Hasil penelitian menunjukkan gejala yang sama dengan hasil yang dilaporkan.

Seperti yang terlihat pada Lampiran 1, total populasi Hexapoda tanah yang berperan sebagai pemangsa sebanyak 130 individu, dengan rincian hutan mangrove lebat (61), mangrove sedang (38), dan mangrove jarang (31). Kelompok pemangsa tersebut didominasi oleh Orthoptera (114 individu), yaitu hutan mangrove lebat (56), mangrove sedang (32) dan mangrove jarang (26). Peringkat berikutnya adalah ordo Hymenoptera (11 individu), yaitu hutan mangrove lebat (2), mangrove sedang (4) dan mangrove jarang (5). Serangga yang berperan sebagai pemangsa berfungsi sebagai penyeimbang di dalam ekosistem, karena itu kehadiran pemangsa di sini juga dibutuhkan. Serangga yang berperan sebagai fitofagus (8 individu) sebagian besar dari ordo Coleoptera (4) dan Homoptera (3), sisanya dari ordo Lepidoptera (1). Sedangkan kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan.

Selanjutnya pada hutan mangrove yang telah dikonversi (Lampiran 2), terlihat bahwa jumlah perombak 1.471 individu umumnya berasal dari Collembola (1.379), Hymenoptera (44) dan Diptera (31), secara berurutan ditemukan masing-masing 598; 30; 28 individu di kebun campuran, 661; 0; 0 individu di lokasi tambak, dan 128; 14; 3 individu di lahan kosong. Seperti halnya pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok peran Hexapoda tanah yang banyak dijumpai adalah dari Collembola, Hymenoptera (Formcidae) dan Diptera. Alasan yang sama juga berlaku terhadap ketiga kelompok perombak dan kelompok lainnya (Tabel 2, 4). Kelompok Hexapoda tanah yang berperan sebagai pemangsa sebanyak 42 individu, dengan rincian di kebun campuran (31), lokasi tambak (3), dan lahan kosong (8). Kelompok ini sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (19) dan Hymeoptera (14). Hexapoda tanah yang berperan sebagai

fitofagus (11 individu) sebagian besar dari ordo Homoptera (5) dan Hemiptera (4), sisanya dari ordo Coleoptera dan Lepidoptera masing-masing 1 individu. Pada kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan, seperti pada hutan mangrove

Dokumen terkait