• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

DI BERBAGAI JENIS PENUTUPAN LAHAN

PADA EKOSISTEM MANGROVE

(Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)

ABD. WAHID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Studi Keanekaragaman

Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)” adalah karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2007

(3)

ABSTRACT

ABD. WAHID. Study of Soil Hexapods Diversity in Different Type of Land Cover on Mangrove Ecosystem in Togean Island National Park, Tojo Una-Una Regency. Under direction of HADI S. ALIKODRA, and YAYUK R. SUHARDJONO.

Soil fauna is known compose 75% of each one million type of teresterial animal in the world. That number is dominated by Arthropods, specially Hexapods. In Indonesia, the research of soil Hexapods on mangrove ecosystem is very limited. Consequently, the information about diversity and role of Hexapods is also limited. Based on the reasons as mentioned above, this research focused on inventarisation of soil Hexapods diversity in ecosystem of mangrove. This research was conducted on the six types of land cover in the area of National Park of Togean Island, Tojo Una-Una Regency, Central Sulawesi Province. The data were collected from February to July 2007 by using “Pitfall Traps (PFT) and soil sampel (PCT)” method. The result showed that, the different density of population and diversity of soil Hexapods is influenced by compositioin of vegetation, litter layer, and composition of organic matter (C-organic) on six types of land. Soil environment factor like: temperature, humidity, pH, organic matter (C-organic and N-total) are also influence the abundance of soil Hexapods. This research collected 2,567 individu of soil Hexapods, compose of 2,078 Collembola, 489 Insect, which where grouped on 28 family and 12 ordo. Mangrove ecosystem with high density of different type of vegetation have a good composition and diversity of soil Hexapods. The number family that have a role as decomposition is more (78.8%-100%) than as fitofag, predator, and parasit. The variation of family with different role will emprove the stabilization of mangrove ecosystem.

(4)

RINGKASAN

ABD. WAHID. Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Kepulauan Togean,

Kabupaten Tojo Una-Una - Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh HADI S.

ALIKODRA dan YAYUK R. SUHARDJONO.

Pada kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean hutan mangrove umumnya rusak karena kegiatan konversi hutan mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, daerah pertanian, perkebunan, tambak, pemukiman dan pembangunan. Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan

Salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah. Fauna tanah (serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun 75% dari setiap satu juta jenis binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah yang besar tersebut didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda (serangga) (Biological Survey of Canada, 1991). Hexapoda tanah berfungsi sebagai perombak bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu, parasit dan pemangsa, serta sebagai pengendali penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Peranannya tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa biota lain. Oleh karena itu, peran utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi kurang mendapat perhatian. Padahal tanpa kehadiran Hexapoda tanah, perombakan tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan berjalan sangat lambat.

Data dasar mengenai keanekaragaman dan keadaan populasi Hexapoda tanah pada suatu habitat akan berguna dalam mengkaji lebih rinci peran dan manfaatnya yang berkaitan dengan kemapanan ekosistem tempat mereka hidup. Informasi yang lengkap mengenai Hexapoda tanah pada suatu habitat tertentu akan membantu dalam pengelolaan kawasan yang lebih berkesinambungan.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji kepadatan populasi dan keanekaragaman Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove, peran/fungsi masing-masing suku Hexapoda tanah dalam ekosistem mangrove, serta mengkaji faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) yang mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah. Penelitian dilakukan di Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah pada enam lokasi penelitian yaitu hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang, kebun campuran, tambak dan lahan kosong. Pengumpulan Hexapoda tanah dilakukan dengan menggunakan metode perangkap sumuran atau

Pitfall Traps (PFT) dan pengambilan contoh tanah (PCT). Untuk analisis data digunakan

indeks Hill (Ludwig dan Reynolds, 1988) dengan program BioDAP for Windowsv.1988, dan analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter faktor lingkungan tanah (MINITAB Versi 14.01).

(5)

Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada lokasi penelitian lebih tinggi daripada dengan menggunakan PCT, kecuali pada tambak non tumpangsari perolehan jumlah ordo dan suku lebih tinggi pada PCT. Namun jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah dan yang paling melimpah dengan menggunakan PCT lebih tinggi daripada dengan PFT.

Takson dengan jumlah individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan pada daerah permukaan tanah adalah Collembola, disusul Hymenoptera (Formicidae) dan Orthoptera, sedangkan di dalam tanah adalah Collembola dan Psocoptera. Collembola dan Hymenoptera (Formicidae) merupakan takson yang ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah dengan kelimpahan individu tinggi. Ditemukannya kedua takson tersebut hampir di setiap jenis penutupan lahan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik setempat. Di samping itu (terutama Collembola), merupakan takson yang jumlah individunya cukup besar dan memiliki keanekaragaman yang tinggi serta penyebarannya relatif luas di tanah.

Secara keseluruhan dengan menggunakan metode PFT dan PCT total jumlah individu Hexapoda tanah dan rata-rata jumlah suku Hexapoda tanah di hutan mangrove yang belum dikonversi lebih rendah daripada hutan mangrove yang telah dikonversi (terutama pada komunitas kebun campuran). Hal ini diduga berkaitan dengan beragamnya vegetasi yang tumbuh di daerah yang telah dikonversi, serta adanya perubahan vegetasi di atas permukaan tanah, memberi pengaruh tidak langsung terhadap kehadiran Hexapoda tanah. Selain itu diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik dan N-total).

Dengan metode PFT, pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (485) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang paling melimpah (N2) tertinggi pada di hutan mangrove jarang. Di daerah yang telah dikonversi total jumlah individu (710) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di kebun campuran, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah dan paling melimpah tertinggi di lahan kosong, selain itu jumlah suku yang melimpah tertinggi juga ditemukan di kebun campuran.

Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, dengan metode PCT, total jumlah individu di hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31). Sedangkan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi suku tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang. Di hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah tertinggi (76) di kebun campuran, demikian pula dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi semuanya ditemukan di kebun campuran. Tingginya nilai keanekaragaman Hexapoda tanah ini diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi tersebut. Menurut Suhardjono (1992), kelimpahan Collembola dan Hexapoda tanah lainnya bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan lapisan serasah. Lapisan tanah yang jumlah individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah yang banyak serasah dan humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan organik sebagai sumber pakan.

(6)

memiliki komposisi Hexapoda tanah yang rendah, mengindikasikan kondisi ekosistem yang kurang stabil.

Berdasarkan perannya dalam lingkungan, kelompok perombak mendominasi pada setiap jenis penutupan lahan, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah. Persentase perombak dipermukaan tanah (metode PFT) berkisar 78,8% - 99,5%, sedangkan di dalam tanah (metode PCT) 93,3% - 100%.

Dengan metode PFT, jumlah individu Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak memiliki jumlah terbesar, baik pada hutan mangrove yang belum dikonversi (kisaran 78,8% - 86,4%), maupun pada hutan mangrove yang telah dikonversi (kisaran 94,0% - 99,5%). Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda perombak berjumlah 717 individu didominasi oleh Collembola (641), diikuti oleh ordo Hymenoptera/Formicidae (38) dan Diptera (25). Hexapoda tanah yang berperan sebagai pemangsa (130 individu) sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (114), Hymenoptera (11). Serangga yang berperan sebagai fitofagus (8 individu) umumnya berasal dari ordo Coleoptera (4) dan Homoptera (3), sedangkan kelompok pemarasit tidak satupun yang ditemukan. Pada hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah perombak 1.471 individu umumnya berasal dari Collembola (1.379), Hymenoptera (44) dan Diptera (31). Kelompok yang berperan sebagai pemangsa (42 individu), sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (19) dan Hymeoptera (14). Kelompok fitofagus (11 individu) didominasi ordo Homoptera (5) dan Hemiptera (4), sisanya dari ordo Coleoptera dan Lepidoptera. Pada kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan, seperti pada hutan mangrove yang belum dikonversi.

Pada metode PCT, jumlah perombak yang diperoleh sangat dominan baik pada hutan mangrove yang belum dikonversi (kisaran 96,4% - 100%) maupun hutan mangrove yang telah dikonversi (kisaran 93,3% - 97,4%). Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda perombak berjumlah 76 individu didominasi oleh ordo Psocoptera (36), Collembola (14) dan Diptera (14). Kelompok predator/pemangsa hanya ditemukan pada ordo Diptera (1 individu), sedangkan kelompok fitofagus diwakili oleh ordo Homoptera (1 individu). Pada hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah perombak 112 individu umumnya berasal dari Collembola (44), diikuti ordo Psocoptera (32) dan Coleoptera (20). Kelompok peran yang lain yaitu pemangsa/predator ditemukan dalam populasi yang rendah (4 individu) diwakili oleh ordo Diptera, Hymenoptera dan Coleoptera. Dua kelompok peran yang lain, yaitu fitofagus dan pemarasit tidak ditemukan pada lokasi tersebut.

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban tanah, pH, salinitas dan bahan organik (C-organik) tanah lebih berpengaruh terhadap kelimpahan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh pada kelimpahan Hexapoda yang hidup di dalam tanah (eudafik) adalah suhu dan kelembaban tanah, porositas, pH, dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

STUDI KEANEKARAGAMAN HEXAPODA TANAH

DI BERBAGAI JENIS PENUTUPAN LAHAN

PADA EKOSISTEM MANGROVE

(Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)

ABD. WAHID

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis

Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)

Nama : Abd. Wahid

NIM : P052050041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono Ketua Anggota

Diketahui

Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Etty Riani, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tak lupa shalawat dan salam dipersembahkan kepada Nabiullah Muhammad SAW atas keteladannya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Pebruari 2007 – Juli 2007 adalah Keanekaragaman Hayati dengan judul “Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis Penutupan Lahan pada Ekosistem Mangrove (studi kasus di TN Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah)”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS dan Ibu Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono selaku komisi pembimbing atas arahan dan diskusi yang sangat berharga selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi serta seluruh staf pengajar Pascasarjana Program Studi PSL yang telah memberikan pengetahuan yang tak ternilai selama masa perkuliahan. Disamping itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor serta Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB. Demikian pula pada Pengelola Biaya Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) Dikti atas dukungan biaya selama masa studi.

Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada Saudara Risman alias ”Koa” warga desa Lembanato di kepulauan Togean atas semua bantuan dan fasilitas yang diberikan selama pengumpulan data di lapangan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Fatimah dan Bapak Darmawan dari Laboratorium Zoologi LIPI di Cibinong atas bantuannya selama pengamatan di laboratorium, serta semua pihak yang telah memberi bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penghargaan yang tinggi disampaikan kepada teman-temanku angkatan 2005 program studi PSL terima kasih untuk persahabatan, bantuan serta dukungan dalam menyelesaikan studi.

Pada akhirnya, karya tulis ini penulis persembahkan buat Mama dan Papa tercinta karena dengan doa dan keridhaan semua ini dapat berjalan lancar, serta kepada istri tercinta Dra. Amna Thahir, ketiga anakku Fahrul Ramadhan Junus, Nurfadhila Junus dan Farhana Shinta Wahid atas keikhlasan, pengertian, doa dan dorongan serta semangat untuk pencapaian semua ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kita semua yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2007

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Soni, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah pada tanggal 05 Oktober 1967 dari Ayah Jasin Junus (Purnawirawan ABRI) dan Ibu Hj. Zakia Maseng. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara.

Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri I Kotamadya Gorontalo dan pada tahun yang sama melanjutkan studi ke Universitas Samratulangi (UNSRAT) Manado Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1991. Sejak Pebruari tahun 1993 penulis tercatat sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (UNTAD) Palu. Pada tahun ajaran 2005/2006 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Sains, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan dari BPPS Dikti, dan suporting biaya riset dari Yayasan Fuji Xerox Asia Pacific – Astra Graphia.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I PENDAHULUAN ... 1

A Latar Belakang ... 1

B Kerangka Pemikiran ... 4

C Perumusan Masalah ... 7

D Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

E Hipotesis ... 8

II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A Tinjauan Umum Hutan Mangrove ... 9

B Tinjauan Umum Fauna Tanah ... 13

C Serangga (Hexapoda) ... 18

D Indeks Keanekaragaman ... 21

III METODE PENELITIAN ... 23

A Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

B Bahan dan Alat Penelitian ... 23

C Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 23

D Metode Pengambilan Data ... 28

E Identifikasi dan Analisis Peran Hexapoda Tanah ... 32

F Analisis Data ... 33

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A Hasil ... 36

A.1 Faktor Lingkungan Fisik dan Kimia ... 36

A.2 Vegetasi ... 39

A.3 Serasah ... 40

A.4 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ... 42

A.5 Peran Hexapoda Tanah ... 51

B Pembahasan ... 52

B.1 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ... 52

B.2 Peran Hexapoda Tanah ... 59

B.3 Hubungan Kelimpahan Hexapoda Tanah dengan Faktor Lingkungan Fisik Tanah …... 65

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A Kesimpulan ... 67

B Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... ... 69

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian ... 23

2 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada masing-masing lokasi

penelitian ... 36

3 Jenis dan kerapatan tumbuhan pada masing-masing lokasi ... 40

4 Hasil pengamatan keadaan serasah di berbagai jenis komunitas pada

ekosistem mangrove di lokasi penelitian ... 41

5 Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem

mangrove dengan menggunakan metode Pitfall trap (PFT) ... 43

6 Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Pengambilan contoh tanah

(PCT) ... 45

7 Populasi serangga tanah dengan metode Pengambilan contoh tanah

(PCT) pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ... 46

8 Jumlah ordo, suku dan individu dari dua metode pengumpulan

serangga pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ... 48

9 Nilai keanekaragaman famili atau suku Hexapoda tanah pada 6 tipe

komunitas mangrove di lokasi penelitian ... 49

10 Suku serangga tanah berdasarkan nilai kelimpahan (N1) dan nilai dominansi (N2) Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di

lokasi penelitian ... 50

11 Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan

pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ... 51

12 Koefisien korelasi1)

antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ... 6

2 Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ± 362,605.00 ha

di Kabupaten Tojo Una-Una ... 24

3 Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di

Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean ... 26

4 Tata letak petak penelitian di lapangan ... 29

5 Perangkap sumuran (PFT) di lapangan ... 30

6 Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese

modifikasi) ... 31

7 Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove

di lokasi penelitian ... 35

8 Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pitfall trap

(PFT) ... 44

9 Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode

Pengambilan contoh tanah (PCT) ... 48

10 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran

dalam lingkungan dengan metode PFT …... 60

11 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PFT (Pitfall trap) ... 75

2 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PFT

(Pitfall trap) ... 76

3 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PCT

(Pengambilan contoh tanah) ... 77

4 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PCT

(Pengambilan contoh tanah) ... 78

5 Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan

parameter faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat ... 79

6 Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah yang ditemukan di

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan

yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut (terutama di pantai yang

terlindung, muara laguna, muara sungai). Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara

alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas

dari genangan pada saat pasang rendah yang komunitas tumbuhannya bertoleransi

terhadap garam. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan

biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (The

Mangrove Information Center, 2006).

Ekosistem mangrove bersifat unik, karena merupakan gabungan dari ciri-ciri

tumbuhan yang hidup di darat dan di laut yang dipengaruhi oleh periode pasang surut air

laut, oleh karena itu tidak semua jenis fauna yang mampu beradaptasi sehingga kelompok

fauna yang bertahan merupakan jenis fauna yang spesifik. Umumnya mangrove

mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor).

Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin

oksigen atau bahkan anaerob.

Pengertian hutan mangrove tidak terbatas pada daerah bervegetasi, tetapi daerah

terbuka atau berlumpur, selalu atau secara teratur tergenang air laut, atau terletak di

antara hutan dan laut, yang sering dikenal dengan daerah payau. Mangrove merupakan

jalur hijau yang terdapat di teluk-teluk, delta, muara sungai, sampai menjorok ke arah

pedalaman dan garis pantai. Di dalam ekosistem hutan mangrove terintegrasi dua tipe

ekosistem yaitu ekosistem darat dan laut, sehingga kerusakan di hutan mangrove akan

mengakibatkan rusaknya dua tipe ekosistem tersebut.

Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat

bagi umat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah

pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis

ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, hutan mangrove juga

merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis

(18)

(biodiversity) dan plasma nutfah yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang

kehidupan. Dengan sistem perakaran dan penutupan tajuk (canopy) yang rapat serta

kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran

gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya.

Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan

estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi, hutan mangrove dapat

dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang (charcoal) dan bahan

baku kertas. Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut

lainnya.

Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat unik, merupakan

sumber daya alam yang sangat potensial. Menurut Alikodra dalam Wetlands International

(2007) luas mangrove Indonesia sekitar 3,5 juta ha atau 18-32% total luas mangrove

seluruh dunia. Angka ini merupakan yang terluas dibandingkan dengan Brasil (1,3 juta

ha), Nigeria (1,1 juta ha), dan Australia (0,9 juta ha). Di Indonesia sendiri, perusakan

hutan mangrove sudah tergolong cukup parah. Menurut Kusmana dalam Harian Berita

Sore (2007) bahwasekitar 6,7 juta ha atau 70% dari luas 9,4 juta ha hutan mangrove di

Indonesia dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove

yang sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama di Jawa,

Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, pada tahun 1999 luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi pertambakan mencapai 840.000 ha, sehingga hutan mangrove banyak yang mengalami kerusakan (Gunarto dan Hanafi, 2000 dalam Gunarto, 2004).

Saat ini, kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan fenomena umum di

berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kerusakan hutan

ini terutama disebabkan oleh konversi mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi

lainnya (industri, pertambangan dan lain-lain) yang tidak berlandaskan asas kelestarian

serta oleh kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali. Adanya konversi hutan mangrove

ini telah menyebabkan semakin menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia.

(19)

organik yang berasal dari sisa pakan pada usaha budidaya tambak intensif di lingkungan perairan pantai juga menyebabkan bakteri oportunistik patogen berubah menjadi betul-betul patogen seperti bakteri Vibrio harveyi. Dampak lainnya adalah menurunnya keanekaragaman hayati organisme komunitas terestis akuatik (Soeriaatmadja, 1997).

Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) menempati luas kawasan sebesar

362.605 ha (SK Menhut RI No. 418/Menhut/2004) dengan luas daratan yang relative

sempit (sekitar 25.832 ha) selebihnya merupakan wilayah perairan, terdiri dari

pulau-pulau yang terpisah dan kondisi topografi yang berbukit-bukit memberikan korelasi yang

signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan dengan pesisir dan

laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat berpengaruh terhadap

kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (Anonim, 2007).

Hutan mangrove yang merupakan tumbuhan yang dipengaruhi oleh pasang surut

air laut memberikan sumbangan yang besar bagi kelestarian pesisir dan laut di kepulauan

Togean, dengan luas hutan mangrove diperkirakan sekitar 5.051 ha yang tersebar di

beberapa gugusan pulau seperti Batudaka, Togean, Talatakoh dan sebagian pulau Walea.

Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Kepulauan Togean selain menjaga

keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang

yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean. Meski memiliki luasan yang tidak

terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi kepulauan

Togean (Anonim, 2007; CII-Togean Program, 2005).

Survey yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) di sekitar

Taman Nasional Kepulauan Togean menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove

yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Kerusakan terbesar terjadi akibat penebangan

pohon mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, konversi hutan mangrove

untuk perluasan pemukiman penduduk, usaha pertambakan, serta pengambilan kulit

bakau jenis Rhizophora (Ф 20-30 cm) untuk bahan pewarna jaring, akibatnya pohon yang

dikuliti lambat laun akan mati karena terganggunya suplai makanan dari akar menuju ke

daun (CII-Togean Program, 2005).

Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai

ekologi dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber

(20)

yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah. Fauna tanah

(serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun sekitar 75% dari setiap satu juta jenis

binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah yang besar tersebut

didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda/serangga (Biological Survey

of Canada, 1991 dalam Suhardjono dkk. 2000). Hexapoda tanah dapat mempercepat

proses perombakan bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu. Selain itu

berperan sebagai parasit, pemangsa dan pengendali penyakit tanaman terutama yang

disebabkan oleh jamur. Peranan tersebut tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia

tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa biota lainnya. Oleh karena itu, peran

utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi kurang mendapat perhatian. Padahal

tanpa kehadirannya, perombakan tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan

berjalan sangat lambat.

Mengingat pentingnya peranan Hexapoda tanah dan terbatasnya informasi

mengenai keberadaannya pada ekosistem mangrove, maka hal ini menjadi sangat

menarik dan bermanfaat untuk dikaji lebih lanjut, terutama pengaruh konversi hutan

mangrove terhadap keberadaan Hexapoda tanah di sekitar kawasan TNKT. Hasil

kajian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk membantu melestarikan

keanekaraga-man hayati serta memberi masukan dalam pengelolaan hutan keanekaraga-mangrove yang

berwawasan lingkungan.

B. Kerangka Pemikiran

Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) mempunyai keanekaragaman

flora dan fauna yang unik dan tinggi dengan luas daratan yang relative sempit (sekitar

25.832 ha), terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terpisah dan kondisi topografi yang

berbukit-bukit, serta memiliki berbagai tipe ekosistem baik di darat maupun di laut mulai

dari hutan dataran rendah (low-land forest), pantai berbatu, hutan bakau (mangrove),

padang lamun (sea-grass bed) dan terumbu karang (coral reefs). Hal ini memberikan

korelasi yang signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan

dengan pesisir dan laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat

berpengaruh terhadap kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (CII-Yayasan Pijak, 2001).

Kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di TNKT umumnya

(21)

hutan mangrove menjadi kawasan pemukiman, pertambakan, dan eksploitasi (penebangan) hutan mangrove untuk bahan bangunan, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan organisme dari komunitas terestis akuatik.

Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai

ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber

keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati

yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya

Hexapoda tanah.

Kehadiran Hexapoda tanah dibutuhkan karena kemampuannya dalam

menghancurkan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi, sehingga

unsur hara yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian

aneka fenomena di dalam tanah. Selain itu Hexapoda tanah juga berperan dalam proses

perombakan bahan organik tanah dan keberadaan serta aktifitasnya berpengaruh positif

terhadap sifat fisik tanah (Setiadi, 1989; Suhardjono dan Adisoemarto, 1998;

Poerwowidodo, 1992). Sumberdaya tanah merupakan salah satu komponen lahan yang

langsung berhubungan dengan pertumbuhan tanaman hutan yang memiliki kemampuan

berbeda antara satu jenis dengan jenis yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya

pengaruh sifat fisik-kimia, faktor iklim dan keberadaan organisme tanah termasuk di

dalamnya Hexapoda pada setiap jenis tanah tersebut.

Oleh karena itu diperlukan kajian dalam bentuk eksplorasi mengenai

keaneka-ragaman Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada kawasan ekosistem

mangrove di sekitar TNKT, terutama pengaruh konversi hutan mangrove terhadap

keberadaan Hexapoda tanah, mengingat keberadaannya sebagai salah satu komponen

ekosistem dalam menjaga keseimbangan ekosistem mangrove yaitu sebagai perombak

(22)

Ket. : : Ru an g lin gku p p en elit ian

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian. Eksplorasi

Keanekaragaman Hexapoda tanah

Peran/fungsi (takson) Hexapoda tanah Faktor lingk. Tanah

(fisik & kimia tanah) KONVERSI HUTAN MANGROVE

 Kawasan Pemukiman  Usaha pertambakan

 Eksploitasi hutan untuk kegiatan lain.

PERUBAHAN STRUKTUR/

VEGETASI PERUBAHAN

FAKTOR LINGK TANAH (fisik & kim ia tan ah)

FUNGSI EKOLOGIS TERGANGGU

Dampak Terhadap Mata Rantai Ekologis Hutan Mangrove

HEXAPODA TANAH Sumber KEHATI

FAUNA TANAH TAMAN NASIONAL

KEPULAUAN TOGEAN (TNKT) SK Men hut. RI No. 418 / Men hut/ 20 0 4

Luas Kawasan sebesar 362.60 5 ha

POTENSI SDA

; SD H utan

; Laut dan Perikan an

; Pariwisata (Bahari dan Budaya)

HUTAN MANGROVE (EKOSISTEM MANGROVE)

 Sangat berperan bagi kelestarian kawasan pesisir & laut di TNKT  Habitat ekosistem yang terus di

eksploitasi/kerusakan fisik di TNKT

KELESTARIAN KEHATI (Hexapoda tanah) UPAYA MENJAGA

(23)

C. Perumusan Masalah

Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai sekitar

kawasan TNKT mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan

sumberdaya alam secara berlebihan, antara lain hutan mangrove dengan cepat menjadi

semakin menipis dan rusak. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap

habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan

mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri

dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu

menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah

pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi

terbesar bagi pengrusakan mangrove.

Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan

kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber

keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati

yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya

Hexapoda tanah. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga

kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di

sekitarnya. Menurut Poerwowidodo (1992) kelompok fauna tanah berperan penting

dalam perombakan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi. Dengan

demikian anasir hara dan senyawa lain yang terbebaskan dapat berperan dalam daur

kehidupan dan pengendali aneka fenomena di dalam tanah. Dengan kata lain dilihat

dari fungsi, organisme tanah ini memainkan peranan yang sangat penting dalam

mempertahankan dinamika dan keseimbangan ekosistem alam. Adanya konversi hutan

mangrove akibat aktifitas manusia menyebabkan perubahan fungsi pada ekosistem

mangrove, sehingga akan memberikan dampak terhadap keberadaan kelompok fauna

tanah terutama Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan mangrove.

Berdasarkan perumusan permasalahan yang dikemukakan dan pendekatan yang

(24)

1. Bagaimana dampak konversi hutan mangrove terhadap keberadaan

(keanekaragaman takson) Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan

mangrove.

2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah)

terhadap kelimpahan Hexapoda tanah.

3. Bagaimana peran/fungsi Hexapoda tanah dalam membantu menjaga

keseimbangan ekosistem mangrove.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji :

1. Keanekaragaman Hexapoda tanah pada tahap suku/famili di berbagai jenis

penutupan lahan pada kawasan ekosistem mangrove.

2. Peran atau fungsi masing-masing takson/suku Hexapoda tanah di dalam

ekosistem mangrove.

3. Faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) yang mempengaruhi

kelimpahan Hexapoda tanah di dalam ekosistem mangrove.

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Memperoleh informasi mengenai keanekaragaman takson dan peran penting

Hexapoda tanah dalam membantu menjaga keseimbangan ekosistem

mangrove.

2. Meningkatkan pengetahuan tentang keanekaragaman Hexapoda tanah sehingga

membantu memotivasi untuk tetap melestarikan keanekaragaman hayati.

3. Memberi masukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang berwawasan

lingkungan dengan berdasar pada keanekaragaman Hexapoda tanah.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Keanekaragaman Hexapoda tanah berbeda pada berbagai jenis penutupan

lahan di kawasan ekosistem mangrove.

2. Kelimpahan Hexapoda tanah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban,

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hutan Mangrove

A.1. Pengertian

Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat

diperbaharui (renewwable natural resources). Berdasarkan S.K. Dirtjen Kehutanan

No. 60/Kpts/Dj./I/1978; hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di

sepanjang pantai atau muara sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, yang

tergenang air laut pada saat pasang dan bebas dari genangan air laut pada saat surut

(Arief, 2007).

Seringkali kata mangrove disamakan dengan kata mangal, tetapi MacNae

(1968) dalam Arief (2007) menyarankan agar kata "mangrove" digunakan untuk

satuan pohon, sedangkan kata "mangal" berlaku untuk komunitas tumbuhan tersebut.

Di Suriname, kata mangro pada awalnya merupakan kata umum yang dipakai untuk

jenis Rhizophora mangle. Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan

suatu individu tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di

Perancis, kata mangrove sama artinya dengan kata manglier.

Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian

zone intertidal tropika dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang

terbasahi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi makluk yang tidak

dapat hidup dalam lingkungan bebas garam; khusus yang berupa tumbuh-tumbuhan

disebut halofita (halophytic vegetation) (Arief, 2007).

Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya mempunyai arti yang sama,

yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit subtropika, terdapat di pantai

rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh pasang surut

air laut. Mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan

keseim-bangan siklus biologi di suatu perairan (Arief, 2007).

A.2. Fungsi Mangrove

Fungsi ekologis ekosistem mangrove adalah sangat khas dan kedudukannya

tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya (Anwar et al., 1984). Hutan mangrove memiliki

(26)

a. Fungsi biologis

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrien untuk kelangsungan

proses ekologis dan biologi. Hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan

ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya, misalnya sebagai tempat pencarian

pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang, dan biota air lainnya, tempat

bersarang berbagai jenis burung, dan habitat berbagai jenis fauna (Anwar et al., 1984;

Genisa, 1994). Selain itu juga merupakan suatu habitat yang kaya akan

keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu, hutan mangrove merupakan habitat yang

sangat disukai sebagai tempat mencari makan (feeding ground), bersarang (nesting

ground) dan berkembang biak (nursery ground) oleh banyak satwa (Komar, dkk.,

1994; Sumarhani, 1994). Diana dkk. (1994) menyatakan bahwa, fungsi biologi yang

diperoleh dari hutan mangrove adalah: a) sebagai produsen primer energi makhluk

hidup melalui serasah yang menjadi basis rantai makanan yang kompleks, b) sebagai

tempat bertelur, memijah dan mencari makan benih-benih udang, ikan, dan

kerang-kerangan, c) sebagai tempat bersarang burung, kepiting, reptil, ular, dan satwa

lainnya, dan d) sebagai habitat alami bagi banyak jenis biota.

b. Fungsi fisik

Hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi

pantai dan tebing sungai, serta penyerap bahan pencemar (Anwar et al., 1984; Genisa,

1994). Peranan sebagai fungsi lindung ditunjukkan oleh hutan mangrove di sepanjang

pantai, yaitu sebagai penangkis gelombang laut, sehingga melindungi pantai dari

hempasan gelombang, pelindung alami yang paling kuat terhadap erosi pantai

(abrasi), dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan (Sikong, 1978; Widatra

dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Selain itu, hutan mangrove

juga berkemampuan memperbaiki tanah dengan bentuk sistem perakarannya.

Manfaat perakaran mangrove adalah untuk menenangkan gerakan air yang

berkelanjutan, menahan kembalinya atau terhanyutnya bahan organik dan lumpur

dari sungai ke laut, dan menguatkan garis-garis pantai (Hardjosentono, 1994 dalam

(27)

c. Fungsi ekonomis

Hutan mangrove mempunyai fungsi potensial sebagai tambak, tempat

pembuatan garam, tempat rekreasi, penyedia bahan bakar, bahan bangunan, dan

bahan baku industri (chips, pulp, dan kertas) (Sikong, 1978; Kartawinata dkk., 1978;

Anwar et al., 1984; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk.,

1994). Menurut Wibawa dkk. (1994), mangrove merupakan sumberdaya modal

(capital resource) yang dapat memberi pelayanan ekonomi, antara lain: memberikan

kesempatan kerja, peluang berusaha sebagai sumber pendapatan dan pelayanan

dalam perlindungan sumberdaya alam lainnya (misalnya kerusakan pantai, karang,

dan kemusnahan flora dan fauna).

A.3. Adaptasi Mangrove

Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dalam kondisi

tempat terjadinya penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan

pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Sirkulasi yang tetap

(terus-menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan respirasi dan

produksi yang dilakukan oleh tumbuhan (Dahuri dkk., 1996). Setiap tipe mangrove

yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, di antaranya tanah, genangan

air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai, dan

aktivitas manusia (Sukardjo, 1984). Hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas,

memiliki rantai makanan yang mendukung kehidupan berbagai jenis makhluk dari

tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang kompleks (Odum, 1996).

Pohon mangrove mempunyai sejumlah ciri morfologi khusus yang

memungkinkan mereka hidup di perairan lautan yang dangkal, yaitu berakar pendek,

menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari

batang dan/atau dahan. Daun-daunnya kuat, mengandung banyak air dan mempunyai

jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi (Nybakken, 1992).

Sugianto (1983) dan Whitten et al., (1987) menyatakan bahwa hutan mangrove

mempunyai cara yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Cara yang

dimaksud antara lain bentuk jenis-jenis akar khas yang merupakan salah satu ciri khas

pohon mangrove, yaitu: 1) Akar tunjang dan akar udara yang dijumpai pada pohon

(28)

sp. dan Sonneratia sp.), dan 3) Akar lutut pada pohon Bruguiera sp., Lumnitzera sp.,

dan Xylocarpus sp.

A.4. Fauna Mangrove

Anwar et al. (1984) membagi fauna hutan mangrove menjadi dua bagian,

yaitu: komponen yang mutlak hidup bergantung pada air (fauna aquatik) seperti:

kepiting, siput. kerang; cacing, dan ikan; dan yang hidup di daratan atau tidak

langsung tergantung pada air laut, antara lain serangga, laba-laba, ular, kadal, tikus,

monyet dan burung.

Mac Nae (1968) dalam Arief (2007), telah menyelidiki secara intensif hewan

yang ada di hutan mangrove dan menyimpulkan bahwa hutan mengrove dapat dibagi

menjadi enam macam habitat. yaitu:

1. Tajuk pohon pada pokoknya dihuni oleh burung, mamalia, dan insekta yang

datang dari hutan/tempat sekitarnya. .

2. Lubang pada cabang busuk dan air pada celah retakan antara batang dan ranting

(habitat yang sangat baik bagi larva nyamuk).

3. Permukaan tanah dan di bawah tanah hidup berbagai jenis siput dan kepiting.

Selanjutnya ditambahkan oleh Hutching and Saenger (1987), bahwa selain yang

telah disebutkan, di atas permukaan tanah juga hidup berbagai jenis semut.

4. Bagian batang dan akar nafas (tempat hidup bangsa kerang dan mollusca). Akar

mangrove merupakan substrat yang baik untuk berbagai jenis binatang yang

menempel, selain itu ikan dan berbagai jenis moluska dan krustasea yang hidup

bebas juga menemukan tempat berlindung di antara akar mangrove (Sikong,

1978)

5. Pohon kecil dihuni oleh jenis-jenis kepiting, larva nyamuk, dan katak.

6. Bagian yang berair dihuni oleh ikan, buaya, dan jenis-jenis biawak.

Fauna mangrove memiliki banyak peran, antara lain :

1. Sumber protein hewani. Jenis-jenis yang umum dikonsumsi penduduk adalah

ikan; moluska, dan kepiting.

2. Bahan produksi, seperti kulit yang dihasilkan oleh kelompok reptilia, yaitu ular.

Supriyatna (1984 dalam Suhardjono dan Adisoemarto, 1998), melaporkan bahwa

(29)

beberapa jenis di antaranya yang potensial sebagai penghasil kulit yang dapat

dikembangkan.

3. Perombak bahan organik. Penelitian mengenai dekomposisi serasah hutan

mangrove sering dilakukan, namun belum pernah melibatkan peran fauna

mangrove dalam proses perombakan. Pada umumnya Arthropoda ini berperan

sebagai pemotong dan pencerna, agar sisa bahan organik menjadi potongan atau

bagian lebih kecil dan lunak, sehingga jasad renik dengan mudah melanjutkan

proses perombakannya (Kevan, 1965 dalam Adianto, 1993).

4. Penyerbukan. Beberapa jenis serangga seperti kelompok lebah madu (Apis spp.),

tawon endas (Xylocopa spp.) dan kumbang mudah ditemukan di antara

bunga-bunga mangrove. Besar kemungkinan kelompok lain seperti kelelawar dan burung

juga berperan sebagai penyerbuk mangrove atau anggota vegetasi lain

(Suhardjono dan Adisoemarto, 1998). Whitten, et al. (1987) melaporkan bahwa di

sepanjang pantai Sulawesi terdapat 34 jenis burung laut yang digolongkan sebagai

jenis yang bermigrasi dan menghabiskan sebagian waktunya di mangrove.

B. Tinjauan Umum Fauna Tanah

B.1. Pengertian Fauna Tanah

Fauna tanah adalah organisme yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya

dihabiskan di dalam tanah (Wallwork, 1976; Kimmins, 1987). Suhardjono dan

Adisoemarto (1997) menyatakan bahwa, Arthropoda tanah adalah semua kelompok

binatang yang sebagian atau seluruh daur hidupnya bergantung kepada tanah karena

sumber pakannya terdapat di tanah. Jasad tanah yang dinyatakan oleh Poerwowidodo

(1992) adalah semua jasad hidup yang seluruh atau sebagian besar daur hidup dan

kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tanah. Kelompok ini

mencakup jasad tanah yang kasat mata dan jasad renik dari golongan binatang

misalnya protozoa dan tumbuhan misalnya bakteri. Wallwork (1976) melaporkan

adanya lima kelompok Arthrophoda yang sering ditemukan di tanah, yaitu:

(30)

B.2. Macam Fauna Tanah

Kelompok fauna tanah sangat banyak dan beraneka-ragam, mulai dari

Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata.

Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah,

habitat yang dipilihnya, yang mempengaruhi sistem tanah dan kegiatan makannya

(Suin, 2003; Hole, 1981).

a. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh.

Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1)

Mikrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh berkisar antara 20 μ dan 200 μ,

misalnya: Protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera, dan Tardigrada, (2) Mesofauna,

adalah kelompok ukuran tubuh berkisar antara 200 μ dan 1 cm, contohnya adalah:

Acarina, Collembola, Nematoda, Rotifera, Araneida, larva serangga, dan Isopoda, (3)

Makrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh lebih besar dari 1 cm, termasuk

pada kelompok ini adalah: Megascolesidae, Mollusca, Insecta, dan Vertebrata

(Wallwork. 1970; Brown, 1980; Kimmins, 1987). Sedangkan menurut Suhardjono dan

Adisoemarto (1997), berdasarkan ukuran tubuh fauna tanah dikelompokkan menjadi:

(1) Mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti:

Protozoa dan stadia pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda, (2)

Mesofauna adalah kelompok yang berukuran tubuh 0.16 - 10.4 mm dan merupakan

kelompok terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida,

Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa

binatang lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking; (3) Makrofauna adalah

kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh >10.5 mm, seperti: Insekta,

Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil.

b. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan kehadiran

Berdasarkan kehadiran fauna tanah dibagi atas kelompok transien, temporer,

periodik, dan permanen (Suin, 2003). Sedangkan Hole (1981) membagi binatang tanah ke

dalam enam kategori berdasarkan keberadaannya di dalam tanah, yakni: 1) Permanen,

yaitu fauna tanah yang seluruh daur hidupnya berada di dalam tanah, contohnya cacing

tanah dan Collembola, 2) Sementara, yaitu binatang tanah yang salah satu fase hidupnya

(31)

larva-larva serangga, 3) Periodik, yaitu binatang-binatang tanah yang sering

berpindah-pindah masuk dan keluar dari tanah, contohnya bentuk-bentuk aktif serangga, 4)

Bertukar-tukar, yaitu satu atau lebih generasi binatang yang berada di dalam tanah,

generasi lainnya hidup di atas tanah, contohnya Rhopalosiphoninus dan Biorhiza, 5)

Mendiami sementara, yaitu fase inaktif (telur, pupa, fase hibernasi) berada di tanah dan

fase aktif berada di atas tanah, contohnya serangga, 6) Kebetulan, yaitu binatang yang

jatuh atau tertiup angin dari tajuk dan masuk ke dalam tanah, contohnya larva serangga

dari tajuk pohon dan binatang permukaan yang jatuh ke dalam lubang tanah. Dari

pendapat Hole (1981) tersebut menurut Suhardjono (1997), dibedakan menjadi empat

kelompok saja, karena sebenarnya pembagian nomor 2, 4, dan 5 hampir serupa, yaitu

singgah (transit), sementara, berkala (periodik), dan menetap (permanen).

c. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan tempat hidup pada lapisan tanah

Berdasarkan tempat hidupnya pada lapisan tanah, digolongkan sebagai : (1)

Epigon, yaitu fauna tanah yang hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan

tanah, (2) Hemiedafon, hidup pada lapisan organik tanah, (3) Euedafon, yang hidup

pada lapisan mineral tanah (Suin, 2003).

d. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan cara mempengaruhi sistem tanah

Menurut Hole (1981), binatang tanah dibagi menjadi dua golongan berdasarkan

caranya mempengaruhi sistem tanah, yaitu: (1). Binatang eksopedonik (mempengaruhi

dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran besar, sebagian

besar tidak menghuni sistem tanah; meliputi kelas Mamalia, Aves, Reptilia, dan

Amphibia. (2) Binatang endopedonik (mempengaruhi dari dalam tanah), golongan ini

mencakup binatang-binatang berukuran kecil sampai sedang (θ < 1,0 cm), umumnya

tinggal di dalam sistem tanah dan mempengaruhi penampilannya dari sisi dalam,

meliputi kelas Hexapoda, Myriapoda, Arachnida, Crustacea, Tardigrada, Onychophora,

Oligochaeta, Hirudinea, dan Gastropoda.

e. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan jenis makanan/cara makan.

Fauna tanah juga dibedakan berdasarkan jenis makanan, ada yang bersifat

(32)

(1980), dan Borror, et al. (1996) membagi binatang tanah berdasarkan kebiasaan

makannya, yaitu:

1) Microphytic feeders, merupakan binatang pemakan tumbuhan mikro, seperti

spora dan lumut. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa spesies

semut, Nematoda, Protozoa, dan beberapa Mollusca.

2) Saprophytic feeders, merupakan pemakan bahan organik (serasah segar,

setengah segar dan bahan organik yang telah melapuk), contohnya cacing

tanah, Millipoda, Isopoda, Acarina, dan Collembola. Termasuk di dalamnya

binatang tanah pemakan feses (coprophagous), pemakan kayu mati

(xylophagous) dan pemakan bangkai (necrophagous).

3) Phytophagous, merupakan binatang pemakan tumbuhan (contohnya Mollusca

dan larva Lepidoptera), pemakan sistem perakaran (contohnya kumbang

Scarabidae, Lepidoptera, Mollusca dan jangkrik), pemakan bagian kayu

(contohnya beberapa jenis rayap dan larva Coleoptera).

4) Carnivora, termasuk dalam kelompok ini adalah predator (pemakan binatang

tanah lain) seperti Carabidae, Staphylinidae, laba-laba, kalajengking,

Centipede, beberapa Nematoda dan Mollusca.

B.3. Peran Fauna Tanah

Secara esensial semua fauna yang menghuni lingkungan hutan mempengaruhi

sifat-sifat tanah (Setiadi, 1989). Kehadiran jasad tanah yang beraneka ragam dengan

populasi optimum di ekosistem hutan tanaman sangat penting untuk melestarikan

kesinambungan dan kecukupan pasokan hara melalui keikutsertaannya dalam

menghancurkan dan menguraikan bahan organik (Poerwowidodo dan Haneda, 1998).

Fauna tanah berperan penting dalam menghancurkan dan menguraikan bahan

organik untuk memperoleh energi. Dengan demikian anasir hara dan senyawa lain

yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian aneka

fenomena di dalam tanah. Kehidupan dan kegiatannya yang khusus ini menjadikannya

sebagai salah satu faktor pembentuk tanah (Poerwowidodo, 1992). Selanjutnya Setiadi

(1989) menambahkan bahwa organisme tanah berperan penting di dalam

ekosistemnya, yaitu sebagai perombak bahan organik dan mensintesa kemudian

(33)

tumbuh-tumbuhan hijau. Dengan kata lain, dilihat dari fungsi, organisme tanah ini memainkan

peranan yang sangat penting dalam mempertahankan dinamika dan stabilitas

ekosistem alam.

Di dalam tanah telah diketahui bahwa komponen biotik memberikan

sumbangan terhadap proses aliran energi dari ekosistem setempat. Hal tersebut dicapai

karena kelompok biotis ini dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan

dan hewan yang telah mati. Proses inilah yang dikenal dengan proses dekomposisi

atau perombakan (Burges and Raw, 1967). Serangga tanah berfungsi sebagai

perombak material tanaman dan penghancur kayu (Wallwork, 1976). Secara garis

besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut; pertama-tama perombak yang

besar atau makrofauna meremah-remah substansi nabati yang telah mati, kemudian

materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses.

Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh mesofauna dan atau makrofauna

pemakan kotoran, seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam

bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme terutama

bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, dapat pula feses

dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang

terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna

apabila hasil ekskresi hewan ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh

mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui

proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam

mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi (Burges and Raw, 1967).

B.4. Pengaruh Tanah dan Vegetasi terhadap Keberadaan Fauna Tanah

Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga kehidupannya

sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di sekitarnya

(Suin, 2003). Menurut Szujecki (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi

keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada

gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh

terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan

telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya. Fauna tanah bereaksi

(34)

iklim atau akibat pengolahan tanah (Herbke, 1962; Brauns, 1968; Graff, 1971 dalam

Adianto, 1993).

Populasi fauna tanah umumnya meningkat pada tanah subur yang mampu

menyuplai nutrisi tetapi sifat kimiawi tanah biasanya kurang berpengaruh langsung

daripada sifat fisik tanah (Setiadi, 1989). Selain itu pula ditambahkan oleh Setiadi

(1989) bahwa kegiatan organisme tanah juga dipengaruhi oleh musim dan

kedalaman tanah, karena setiap organisme tanah mempunyai selang optimum untuk

pertumbuhannya. Kegiatan organisme tanah yang terbesar terjadi pada musim semi

dan gugur, menurun pada musim panas dan dingin serta kegiatan biasanya terpusat

di permukaan tanah (Setiadi, 1989).

Kedalaman lapisan tanah menentukan kadar bahan organik dan nitrogen.

Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm, makin ke

bawah makin berkurang. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia tanah

dan meningkatkan aktifitas biota tanah. Sumber utama bahan organik tanah berupa

jaringan tumbuhan, sedangkan sumber kedua adalah hewan. Kandungan bahan

organik di dalam tanah dipengaruhi oleh keadaan iklim, terutama suhu dan curah

hujan. Kandungan kapur, erosi, tekstur, drainase dan vegetasi penutup tanah juga

dapat mempengaruhi penimbunan bahan organik tanah (Buckman dan Brady, 1982;

Foth, 1998).

C. Serangga (Hexapoda)

C.1. Klasifikasi Serangga

Dunia binatang terbagi menjadi 14 filum berdasarkan tingkat kekompleksan

dan urutan evolusinya, sehingga filum binatang disusun dari filum yang rendah ke

filum yang tinggi. Semua serangga adalah anggota dari filum Arthropoda (binatang

dengan kaki beruas-ruas), yang terbagi menjadi tiga sub filum, yaitu Trilobita (telah

punah dan tinggal fosil), Chelicerata (terdiri atas beberapa kelas termasuk Arachnida),

dan Mandibulata (terdiri atas beberapa kelas yang salah satunya adalah kelas

Insecta/Hexapoda) (Lilies, 1997).

Kelas Hexapoda dibagi menjadi beberapa ordo (Borror et al., 1996), yaitu

(35)

Grylloblattaria, Phasmida, Orthoptera, Mantodea, Blattaria, Isoptera, Dermaptera,

Embiidina, Plecoptera, Zoroptera, Psocoptera, Pthiroptera, Hemiptera, Homoptera,

Thysanoptera, Neuroptera, Coleoptera, Strepsiptera, Mecoptera, Siphonaptera,

Diptera, Trichoptera, Lepidoptera, dan Hymenoptera. Sedangkan menurut Kristensen

(1991), Hexapoda diangkat jadi super kelas dan terbagi ke dalam dua kelas, yaitu:

Ellipura (Pra-insecta) dan Insecta. Ellipura terdiri atas ordo Collembola, Protura, dan

Diplura. Sedangkan dalam kelas Insecta ada 25 ordo, meliputi : Orthoptera, Isoptera,

Blattodea, Mantodea, Grylloblattodea, Phasmatodea, Strepsiptera, Dermaptera,

Embioptera, Plecoptera, Psocoptera, Zoraptera, Thysanoptera, Hemiptera, Coleoptera,

Neuroptera, Trichoptera, Lepidoptera, Diptera, Siphanoptera, Pthiroptera, Megaloptera,

Rhapidioptera, Mecoptera, dan Hymenoptera.

Berdasarkan klasifikasi Manton (1979 dalam Suhardjono, 2007) yang

memisahkan Collembola dari kelas Insecta (Serangga). Selanjutnya Jordana dan Arbea

(1989) membedakan kelas Collembola menjadi empat ordo berdasarkan bentuk tubuh.

Ordo pertama adalah Poduromorpha bertubuh gilik dengan pembagian ruas-ruas toraks

dan abdomen tampak jelas. Ordo kedua adalah Entomobryomorpha bertubuh gilik, bagian

dorsal ruas toraks pertama tidak jelas. Ordo ketiga adalah Symphyleona dengan bentuk

tubuh bulat, dengan ruas-ruas toraks masih terlihat dan ruas abdomen ke-4 menjadi

abdomen kecil. Ordo keempat adalah Neelipleona juga bertubuh bulat, tetapi ruas-ruas

toraks tidak jelas dan pada umumnya tidak bermata (Suhardjono, 2007).

Pada umumnya serangga dewasa mempunyai ciri-ciri : tubuh terdiri dari tiga

bagian (kepala, toraks dan abdomen), sepasang antena, dua pasang sayap, tiga pasang

kaki serta mempunyai bagian-bagian mulut yang terdiri dari mandibula, maksila,

hipofaring, epifaring, labium dan labrum (Mani, 1982; Natawigena, 1990; Borror et all.,

1996).

C.2. Peran Serangga

Serangga tidak selalu bersifat hama. Lingkungan telah mempunyai sistem

keseimbangan antara komponen-komponennya (Hardi dan Anggraeni, 1997). Ditinjau

dari segi kepentingan manusia, serangga dapat digolongkan ke dalam: 1) serangga

hama, termasuk serangga yang dapat menimbulkan kerugian, seperti ulat, wereng,

(36)

penghasil bahan makanan bagi manusia, ikan, dan burung, seperti lebah dan ulat

sutera, 3) serangga penyerbuk, yang dapat membantu penyerbukan tanaman, sehingga

menunjang keberhasilan pembuahan, seperti kupu-kupu, kumbang, dan beberapa

spesies lebah (Natawigena, 1990).

Serangga mempunyai peranan yang berguna bagi organisme lain, sebagaimana

disebutkan oleh Partosoedjono (1985) adalah sebagai berikut:

1. Membantu dalam aktifitas penyerbukan, baik pada tanaman pertanian, perkebunan,

maupun kehutanan.

2. Menghasilkan produk madu dari peternakan lebah madu.

3. Ulat sutera (Bombyx mori) banyak diternakkan sebagai penghasil kokon sutera yang

merupakan bahan baku bagi industri tekstil.

4. Penyedia bahan makanan, baik bagi manusia, ikan, maupun burung.

5. Perombak, beberapa jenis serangga memakan sisa-sisa tumbuhan dan organisme

lain yang telah mati.

6. Musuh alami, dalam hal ini sebagai parasit dan predator, misalnya dari ordo

Odonata, Orthoptera, Hymenoptera dan Hemiptera.

Beberapa di antara serangga mempunyai peranan amat kecil terhadap bahan

organik tanah, sedang lainnya seperti semut dan kumbang sangat mempengaruhi

susunan humus karena ditranslokasikan atau dicernakan. Hasil kerja semut sangat

nyata, karena serangga ini menggunakan jaringan tumbuhan yang sedikit banyak

telah terurai sebagai makanan. Jadi berperan sebagai pengurai perintis, proses yang

akan dilanjutkan oleh bakteri dan fungi (Buckman dan Brady, 1982).

Collembola merupakan kelompok serangga tanah, yang berperan penting

dalam membantu mempercepat proses perombakan bahan organik tanah. Hal ini

disebabkan karena mereka mengkonsumsi jamur dan bahan organik membusuk.

Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator (=indikator hayati) polusi

tanah dari logam berat atau pestisida. Di samping itu, berkat perilakunya dalam

mengkonsumsi jamur, maka Collembola dapat dimanfaatkan sebagai pengendali

penyakit tanaman. Pada sawah yang diberakan dapat ditemukan Collembola dalam

jumlah banyak. Dalam kondisi ini, Collembola merupakan cadangan pakan bagi

(37)

alternatif bagi predator. Dengan demikian, Collembola dinilai membantu menjaga

keseimbang-an ekosistem lahan persawahan dengan mempertahankan populasi

serangga predator (Suhardjono, 2007).

C.3. Habitat Serangga

Habitat adalah tempat suatu organisme hidup (Romoser dan Stoffolano, 1998).

Pada dasarnya serangga merupakan hewan darat, walaupun sebagian besar ada yang

hidup di air tawar, air asin dan macam habitat lain.

Serangga banyak ditemukan pada lapisan serasah dan di lapisan tanah atas,

baik secara berkoloni (seperti: Isoptera dan Hymenoptera) maupun secara individu

(seperti: Diptera, Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, Acarina, dan Collembola)

(Daly, 1978). Collembola tanah terdapat pada lapisan tanah atas, berkisar pada

kedalaman tanah dari 0 cm sampai 15 cm (Suhardjono, 1992). Selanjutnya

Suhardjono (2007) mengemukakan bahwa sebagian besar anggota Collembola

adalah penghuni tanah, namun ada beberapa yang dapat ditemukan pada kanopi

dengan ketinggian 40 m. Binatang ini menempati berbagai macam habitat, dari tepi

pantai sampai pegunungan tinggi bahkan yang bersalju.

D. Indeks Keanekaragaman

Berbagai konsep dan ide pengukuran keanekaragaman hayati sampai saat ini

masih merupakan bahan diskusi menarik di kalangan para ahli ekologi. Secara

umum, seluruh konsep tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara

lain: "kekayaan jenis" (species richness), "heterogenitas" (heterogenity), dan "eveness

" (Bengen, 2000; Suin, 2003).

Menurut Situmorang (1999) Hexapoda yang sering ditemukan di permukaan

tanah kebanyakan berasal dari ordo Hymenoptera, Diptera, Orthoptera dan Collembola.

Sedangkan menurut Salim (1998) keanekaragaman jenis Hexapoda tanah terbesar

adalah di hutan daratan campuran, sedangkan yang terkecil di hutan mangrove yang

rusak. Ordo Hemiptera memiliki kelimpahan tertinggi disusul oleh ordo Orthoptera,

Hymenoptera, Diptera, Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera. Namun Hexapoda dari

ordo Hemiptera dan Coleoptera tidak ditemukan di tipe ekosistem hutan mangrove yang

(38)

Keanekaragaman Hexapoda di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain bahan organik dan pH tanah (Adianto, 1993). Sumber bahan organik di lantai

hutan berasal dari guguran daun, ranting dan cabang atau disebut juga dengan serasah.

Besarnya kandungan bahan organik ini dapat dilihat dari kandungan C-organik tanah.

Sedangkan tingginya kemasaman suatu sistem tanah dapat mempengaruhi keberadaan

fauna tanah. Wallwork (1976) mengatakan bahwa Collembola dan Acarina akan

melimpah pada komunitas yang memiliki kemasaman yang cukup tinggi. Hal ini juga

didukung oleh Adianto (1993) yang mengatakan bahwa Collembola merupakan fauna

yang dominan karena habitatnya bersifat asam.

Kehidupan di dalam tanah selain ditentukan oleh pH, kandungan C-organik dan

salinitas juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kandungan air tanah, faktor iklim

mikro di dalam tanah dan cahaya matahari (Adianto, 1993). Faktor-faktor abiotis tersebut

dapat menentukan kehadiran atau ketidak-hadiran suatu jenis tertentu dari Hexapoda

tanah atau dapat pula menentukan kepadatan populasi fauna tanah.

Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk mencirikan hubungan

kelompok marga dan komunitas (Ludwig and Reynolds, 1988). Indeks

keanekaragaman marga (genus diversity indices) dapat dilihat dari dua komponen,

yaitu: 1) jumlah marga dalam komunitas, yang sering disebut kekayaan marga

(genus richness) 2). kemerataan marga (genus eveness) atau keseimbangan, yang

menggambarkan distribusi kelimpahan di antara jenis. Sehingga dapat dikatakan

bahwa indeks keanekaragaman merupakan kombinasi nilai dari kekayaan jenis dan

kemerataan. Berbagai metode dan rumus digunakan untuk mengukur indeks

keanekaragaman serangga (Shannon and Wiener, Simpson, dan Hill),

masing-masing metode mempunyai cara penghitungan dengan rumus dan tujuan tertentu.

(39)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di hutan mangrove yang berada dalam kawasan Taman Nasional

Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Unauna. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada

Gambar 2 dan 3. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil survey pendahuluan serta

dukungan data dari CII-Togean Program tentang situasi dan kondisi hutan mangrove di

kawasan TNKT. Deskripsi titik koordinat masing-masing lokasi penelitian sebagaimana

tercantum pada Tabel 1. Penelitian ini dilaksanakan sejak Pebruari 2007 sampai Juli 2007.

Tabel 1. Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian

No. Lokasi Koordinat Jenis penutupan lahan

mangrove 1 Desa Lembanato S 00o20’04,8” E 121o57’02,6” Hutan mangrove lebat 2 Desa Taningkola S 00o25’50,0” E 121o49’33,8” Hutan mangrove sedang 3 Teluk kilat (Hole kilat) S 00o22’43,0” E 121o56’50,9” Hutan mangrove jarang 4 Desa Taningkola S 00o25’50,0” E 121o49’33,8” Kebun campuran

5 Desa Baulu S 00o21’36,3” E 121o59’10,8” Tambak non tumpangsari 6 Desa Baulu S 00o21’40,9” E 121o59’08,2” Lahan kosong

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah; (1) contoh tanah komposit (serasah,

humus dan tanah), (2) alkohol 70% digunakan selama analisis di laboratorium dan lapangan,

(3) gliserin digunakan di lapangan untuk mengurangi penguapan alkohol, dan (4) bahan-bahan

kimia untuk analisis tanah di laboratorium.

Alat-alat yang digunakan adalah; (1) cangkul kecil, (2) parang/pisau, (3) ring sampel,

(4) termometer tanah (5) tabung plastik bekas isi film, (6) gelas plastik, (7) kantong

blacu/karung terigu, (8) pita ukur 200 cm, (9) penggaris 20 cm, (10) soil tester, (11) pinset, (12)

kamera digital, (13) GPS (Garmin III plus), (14) tali plastik, (15) mikroskop binokuler, (16)

peralatan untuk analisis tanah di laboratorium dan (17) peralatan untuk identifikasi Hexapoda

tanah.

C. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Wilayah kepulauan Togean letaknya terpencil dan terisolasi dari daratan yang luas

karena dibatasi oleh wilayah perairan. Kepulauan ini terdiri dari ± 50 pulau besar dan

(40)

Una-Una dan Malenge (Gamba

Gambar

Gambar 1.   Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 2. Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ± 362,605.00 ha
Gambar 3. Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di  kawasan
Gambar 4.   Tata letak petak penelitian di lapangan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kurang sadarnya sikap terhadap Tuhan YME, hubungannya dengan diri sendiri adalah belum ada tenaga pengajar untuk menumbuhkan bakat dan minat anak panti oleh

Keragaman morfologi dari 10 genotipe dianalisis berdasarkan karakter kualitatif dan kuantitatif mengikuti panduan UPOV untuk anggrek Phalaenopsis, sedangkan keragaman biokimia

 Kos jualan – rujuk angka sendiri dengan syarat ada butiran Kos Jualan dan formula betul, stok awal + kos belian – stok akhir..  Untung bersih – tiada

Pembelajaran menulis ilmiah dengan metode PRAM (Produksi, Retensi, Atensi, Motivasi) mengacu pada silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) matakuliah Menulis Ilmiah

Tujuan dan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh latihan Kekuatan dan kelentukan otot punggung terhadap penurunan tingkat nyeri punggung bawah pada lansia di

Reaktor plug flow Adalah suatu alat yang digunakan untuk mereaksikan suatu reaktan dalam hal ini fluida dan mengubahnya menjadi produk dengan

Pada saat mencerna makanan, lambung melakukan gerakan peristaltik tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada

DM pada penderita yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap