• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

7. Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter

Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak menjadi penting dalam proses pendidikan karakter. Orang tua yang bijaksana akan mengajak anak sejak dini untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Saat itulah pendidikan karakter diberikan. Mengenalkan anak akan perbedaan di sekelilingnya dan dilihatkan dalam tanggung jawab hidup sehari-hari, merupakan sarana anak untuk belajar menghargai perbedaan di sekelilingnya dan mengembangkan karakter di tengah

berkembangnya masyarakat. Pada tahap ini orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai universal seperti cara menghargai orang lain, berbuat adil pada diri sendiri dan orang lain, dan orang lain (Eko Harianto, 2011: 50). Pendidikan karakter sebagai salah satu alternatif solusi mengatasi persoalan degradasi moral bangsa sangat penting dilakukan sejak usia dini (Billah, 2016: 269).

Orang tua adalah contoh keteladanan dan perilaku bagi anak. Oleh karena itu, orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata, bersikap, maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan karakter ini demikian besar (Eko Harianto, 2011: 50),

sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa “Wanita adalah tiang

negara. Manakala wanitanya baik, maka baiklah negara. Manakala

wanitanya rusak, maka rusaklah negara”.

Peran bapak sebagai kepala keluarga juga harus mampu menjadi teladan yang baik, karena ayah yang terlibat hubungan dengan anaknya sejak awal akan mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, kemampuan menolong diri sendiri, bahkan meningkatkan kemampuan yang lebih baik dari anak lain. Kedekatan dengan ayah tentunya juga akan mempengaruhi pembentukan karakter anak (Eko Harianto, 2011: 50).

Di mata anak, orang tua (ayah-ibu) adalah figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh anak-anaknya. Oleh sebab itu, ayah-ibu harus mampu memberi contoh yang baik pada anak-anaknya, memberi pengasuhan yang benar serta mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dalam batasan yang wajar. Dengan memainkan peranan yang benar dalam mendidik dan mengasuh anak, anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Dan yang tidak kalah pentingnya, anak akan tumbuh menjadi anak yang berkarakter tidak mudah larut oleh budaya buruk dari luar serta menjadi anak yang berkepribadian baik sebagai aset generasi penerus bangsa di masa depan.

Beberapa kondisi yang berhubungan dengan kebutuhan akan perilaku disiplin pada individu:

a. Proses penanaman perilaku disiplin pada satu anak dapat berbeda

dengan anak yang lain, walaupun dalam usia yang sama. Misalnya, pada satu anak cukup dilakukan dengan kata-kata untuk tidak bermain dengan korek api, sementara pada anak lain diperlukan juga sentilan di jari secara fisik untuk membuatnya mengerti akan larangan itu.

b. Kebutuhan akan disiplin bervariasi sesuai dengan saat atau waktu tertentu dalam suatu hari, di samping adanya faktor usia yang berpengaruh, misalnya kebutuhan akan disiplin di siang hari, pagi hari, atau malam hari.

c. Aktivitas-aktivitas yang mempengaruhi kebutuhan mereka akan disiplin. Disiplin paling mungkin dibutuhkan dalam kegiatan- kegiatan rutin, seperti makan, tidur, atau mempersiapkan sekolah. Kegiatan ini akan lebih banyak membutuhkan disiplin dibanding ketika anak-anak sedang membaca atau bermain.

d. Kebutuhan akan disiplin bervariasi sesuai dengan hari-hari dalam

dalam satu minggu. Hari Senin dan akhir Minggu (weekends)

adalah waktu di mana disiplin paling sering dibutuhkan.

e. Kebutuhan akan disiplin bervariasi sesuai dengan usia. Anak yang

lebih tua sering lebih sedikit membutuhkan disiplin beserta aneka macamnya dibanding anak yang lebih muda (Dolet Unaradjan, 2003: 14).

Ada empat hal penting yang harus dipertimbangkan dalam mendisiplinkan (Dolet Unaradjan, 2003: 15):

a. Aturan-aturan (Rules)

Aturan digambarkan sebagai pola berperilaku di rumah, di sekolah, ataupun di masyarakat. Aturan-aturan itu memiliki nilai pendidikan dan membantu anak untuk menahan perilaku yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

b. Hukuman (Punisment)

Beberapa fungsi hukuman dalam menanamkan disiplin adalah sebagai berikut:

1) Yang bersifat membatasi, yaitu hukuman akan menghalangi pengulangan perilaku yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

2) Yang bersifat mendidik, yaitu anak-anak belajar tentang hal

baik dan buruk melalui pemberian atau tidak diberikannya hukuman ketika mereka bertindak tidak sesuai dengan standar sosial yang berlaku.

3) Sebagai pembangkit motivasi untuk menghindari perilaku yang

ditolak masyarakat.

c. Imbalan (Reward)

Imbalan merupakan suatu penghargaan untuk hasil baik yang telah dicapai. Imbalan tidak harus berbentuk materi, tetapi bisa juga dalam bentuk kata-kata yang menyenangkan (pujian), senyuman, tepukan, dan belaian.

Beberapa fungsi imbalan dalam disiplin yang berperan dalam mengajari anak untuk berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat adalah sebagai berikut:

1) Yang memiliki nilai mendidik, yaitu imbalan yang diberikan

setelah anak berperilaku tertentu, sehingga anak tahu bahwa perilaku itu adalah perilaku yang baik.

2) Imbalan menyediakan suatu motivasi untuk mengulangi

perilaku yang diterima masyarakat.

3) Imbalan menyediakan penguat (reinforcement) bagi perilaku

d. Konsistensi

Konsistensi berarti suatu derajat kesesuaian atau stabilitas

(uniformity or stability). Konsistensi harus menjadi ciri dari seluruh segi dalam penanaman disiplin. Hukuman diberikan bagi perilaku yang tidak sesuai dan hadiah untuk yang sesuai. Fungsi konsistensi yang penting dalam disiplin, sebagai berikut:

1) Kosnsistensi dapat meningkatkan proses belajar untuk

berdisiplin.

2) Konsistensi memiliki nilai motivasional yang kuat untuk

melakukan tindakan yang baik di masyarakat dan menjauhi tindakan yang buruk.

3) Konsistensi membantu perkembangan anak untuk hormat pada

aturan-aturan dan masyarakat sebagai otoritas. Anak-anak yang telah berdisiplin secara konsisten mempunyai motivasi yang lebih kuat untuk berperilaku sesuai dengan standar sosial yang berlaku dibanding dengan anak-anak yang berdisiplin secara tidak konsisten.

Kunci utamanya adalah konsistensi dan persistensi dari orang tua. Disiplin tidak sama dengan kekerasan, kemarahan, luapan emosi, ataupun hukuman. Hukuman adalah cara terakhir yang diterapkan bila disiplin sudah berulang kali dilanggar, dan sudah ada persetujuan bersama diantara orang tua dan anak (Naura Jasmine. 2009: 76).

Hukuman haruslah tidak bersifat menyakiti secara fisik, mental atau verbal, namun berupa kesepakatan bahwa si anak akan kehilangan haknya tertentu bila melanggar disiplin tertentu (Naura Jasmine, 2009: 77).

Dokumen terkait