PERAN KELUARGA
DALAM MEMBENTUK KARAKTER DISIPLIN
BERIBADAH ANAK KELUARGA TNI-ANGKATAN
DARAT
(Studi Kasus di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa
Salatiga) Tahun 2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
TYAS INDRA YUDIANTARI
NIM 11114226
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PERAN KELUARGA
DALAM MEMBENTUK KARAKTER DISIPLIN
BERIBADAH ANAK KELUARGA TNI-ANGKATAN
DARAT
(Studi Kasus di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa
Salatiga) Tahun 2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
TYAS INDRA YUDIANTARI
NIM 11114226
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
ABSTRAK
Yudiantari, Tyas Indra. 2018. Peran Keluarga dalam Membentuk Karakter
Disiplin Beribadah Anak Keluarga TNI-Angakatan Darat (Studi Kasus di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga) Tahun 2017. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. Mansur, M.Ag.
Kata Kunci: anak di lingkungan asrama militer TNI-AD, pembentukan
karakter disiplin ibadah, peran keluarga
Penelitian ini membahas peran pendidikan keluarga menurut konsepsi Islam yang diimplementasikan ke dalam format pendidikan TNI di lingkungan Asmil Yonif 411/Pandawa Salatiga yang dapat membentuk dan membangun sikap disiplin kepada anak, baik disiplin waktu maupun giat beribadah. Dengan fokus penelitian (1) bagaimana peran keluarga TNI dalam membentuk karakter disiplin anak dalam beribadah di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga tahun 2018?. (2) Bagaimana bentuk pendidikan karakter disiplin ibadah yang ideal bagi anak di lingkungan Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga?. Penelitian kualitatif ini dalam pengumpulan data yang dibutuhkan menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi.
DAFTAR ISI
HALAMAN ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ... iv
MOTTO ... v
E. Definisi Operasional... 8
F. Metode Penelitian... 10
G. Sistematika penulisan ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan dalam Keluarga dan Pendidikan 1. Pengertian Keluarga ... 15
2. Pengertian Orang Tua ... 16
4. Kewajiban dan Hak Orang Tua dan Anak ... 19
5. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan ... 23
6. Relasi Antar Personal dalam Keluarga ... 25
7. Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter ... 29
8. Upaya Orang Tua dalam Meningkatkan Kedisiplinan Diri Anak ... 35
B. Tinjauan Tentang Kedisiplinan Anak dalam Beribadah 1. Pengertian Kedisiplinan ... 44
2. Tujuan Disiplin... 46
3. Macam-Macam Disiplin... 46
4. Kegunaan Disiplin ... 51 A. Gambaran Umum Yonif 411 Kostrad Salatiga 1. Sejarah Berdirinya Yonif 411 Kostrad Salatiga ... 59
2. Letak Geografis ... 62
3. Visi Misi TNI-AD ... 63
4. Kegiatan Keagamaan di Asmil Yonif 411/Pandawa Salatiga 64 B. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Penduduk Asmil Yonif 411/Pandawa Salatiga Kompi Markas/Mayangkara ... 66
2. Kondisi Penduduk Penduduk Asmil Yonif 411/Pandawa Salatiga Kompi Markas/Mayangkara ... 67
Salatiga Kompi Markas/Mayangkara ... 67
4. Kondisi Pendidikan Anak Penduduk Asmil Yonif 411/
Pandawa Salatiga Kompi Markas/Mayangkara ... 68
C. Hasil Penelitian
1. Peran Keluarga TNI dalam Membentuk Karakter Disiplin Anak
dalam Beribadah... 69
2. Bentuk Pendidikan Karakter Disiplin Ibadah yang Ideal
bagi Anak di Lingkungan TNI ... 71 BAB IV PEMBAHASAN
A. Peran Keluarga TNI dalam Membentuk Karakter Disiplin
Anak dalam Beribadah ... 87
B. Bentuk Pendidikan Karakter Disiplin Ibadah yang Ideal
bagi Anak di Lingkungan TNI ... 91 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 95 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
1. NOTA PEMBIMBING SKRIPSI
2. SURAT PERMOHONAN IZIN PENELITIAN
3. SURAT KETERANGAN PENELITIAN
4. PEDOMAN WAWANCARA
5. HASIL WAWANCARA
6. DOKUMENTASI
7. LEMBAR KONSULTASI
8. KETERANGAN SKK
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Batas-Batas Wilayah Yonif 411/Pandawa Salatiga
Tabel 3.2 Profesi/Mata Pencaharian Penduduk Perempuan di Kompi
Markas/Mayangkara Asmil 411/Pandawa Salatiga
Tabel 3.3 Pendidikan Pendudukan Asmil Yonif 411/Pandawa
Salatiga
Tabel 3.4 Jumlah Pemeluk Agama Penduduk Asmil Yonif
411/Pandawa Salatiga
Tabel 3.5 Pendidikan Anak Penduduk Asmil Yonif 411/Pandawa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang bergelut secara intens dengan pendidikan. Itulah sebabnya manusia dijuluki sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik secara sekaligus (Sukardjo & Ukim, 2009: 1). Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang senantiasa terlibat dalam proses pendidikan, baik yang dilakukan orang lain maupun
terhadap dirinya sendiri. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat (life
long education) yang berlangsung sejak di buaian hingga ke liang lahat (from the cradle to the grave) (Sukardjo & Ukim, 2009: 1).
Pendidikan diharapkan dapat membentuk generasi muda yang memiliki pengetahuan, keterampilan, serta berbudi pekerti luhur, sehingga mereka mampu mengakses peran mereka di masa yang akan datang. Itulah artinya, pendidikan mesti membekali anak didik dengan keterampilan yang sangat dibutuhkan sesuai tuntutan zaman (Agus Wibowo, 2013: 2-3).
Sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
Tolak ukur pendidikan yang membina kepribadian harus jelas. Berhubungan dengan pendidikan Islam, pembinaan kepribadian yang dimaksud adalah kepribadian yang merujuk pada ajaran Islam. Contoh paling sempurna di antara semua manusia adalah pribadi Nabi Muhammad S.A.W. karena Allah S.W.T. menegaskan bahwa Rasulullah S.A.W.
menjadi uswatun khasanah (contoh yang baik) bagi umat manusia.
Tujuan pendidikan Islam adalah mendidik manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat, serta gemar untuk mengamalkan, mengembangkan ajaran Islam yang berhubungan dengan Allah bahkan manusia sesamanya, di dunia dan di akhirat nanti (Zakiah Darajat, 2008: 29-30). Jadi, tujuan pendidikan Islam adalah tercapainya manusia seutuhnya, yaitu manusia berakhlak mulia yang terbina potensinya secara menyeluruh baik secara fisik intektual maupun akhlak agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah yang bahagia di dunia dan akhirat.
bertanggung jawab dalam perencana dan pengawas kependidikan, oleh karena itu, peran keluarga dalam pelaksanaan kependidikan sangatlah dibutuhkan.
Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama dalam setiap aspek kehidupan (Mohammad Takdir Illahi, 2013: 82). Banyak waktu luang yang dihabiskan bersama keluarga sejak anak dalam kandungan sampai dengan dilahirkan, tempat pertama mereka belajar yaitu dengan keluarga, karena keluarga adalah fase awal dalam membentuk generasi berkualitas, mandiri, tangguh, potensial, dan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa (Mohammad Takdir Illahi, 2013: 82).
Keluarga terutama kedua orang tua adalah penanggung jawab utama dalam proses pendidikan anak dan menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan anak dalam mencapai pendidikan yang hakiki, sebagaimana dalam firman Allah S.W.T surat at-Tahriim ayat 6:
اَي
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan”.
anaknya, juga adanya penerimaan dan tuntunan dari orang tua dan melihat bagaimana orang tua menerapkan disiplin kepada anak-anaknya (Muallifah, 2009: 42).
Peranan keluarga sangat besar menyiapkan anak, sehingga mampu mandiri, bertanggung jawab, dan disiplin di tengah masyarakat. Untuk itu diperlukan perhatian orang tua yang dimanifestasikan pada pola kepemimpinan terhadap anak dan dapat mendorong kemajuan anak di dalam keluarga, sehingga tercipta keluarga yang sejahtera, bahagia dunia dan akhirat.
Keluarga dituntut agar dapat merealisasikan nilai-nilai positif, sehingga terbina kepribadian dan karakter anak yang baik dan disiplin untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang diharapkan. Untuk itu orang tua harus terlebih dahulu menjalankan perintah agama serta memiliki akhlak yang baik, karena anak akan mencontoh apa yang dilihat dari orang tuanya, baik dalam pergaulan hidup maupun dalam berbagai hal akan menjadi teladan dan pedoman yang akan ditiru oleh anak-anaknya.
memiliki bekal pengetahuan agama dan akhlak yang baik untuk diajarkan kepada anaknya.
Walaupun dalam keadaan sesibuk apapun orang tua harus bisa menerapkan sikap disiplin belajar agama Islam bagi anak-anaknya. Karena, bagaimanapun juga pendidikan dan pengarahan langsung dari orang tua akan lebih berarti dan bermakna bagi si anak dari pada pendidikan dari lembaga lain. Dengan pengarahan langsung dari orang tua itu salah satu bentuk bukti orang tua perhatian terhadap anaknya. Orang tua tidak boleh hanya mengandalkan uang dan menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada orang lain seperti guru atau sekolahan, TPQ atau guru ngaji, mereka menganggap bahwa kewajibannya mereka sudah terwakilkan pada pihak yang bersangkutan dan orang tua sudah tidak lagi memberikan perhatian yang cukup kepada anak-anaknya. Karena, pendidikan dilaksanakan tidak hanya pada lembaga pendidikan saja, tetapi peran orang tua dan masyarakat juga sangat mempengaruhi proses perkembangan pendidikan si anak.
orang tuanya pada masa pendidikan kemiliteran terdapat beberapa pendidikan kegamaan dan ke-rohaniahan tidak serta merta mendidik keras kedisiplinan yang akan diterapkan kepada anak mereka. Disiplin militer dalam TNI keyakinan dan taat loyal kepada atasan dengan berpegang teguh kepada sendi-sendi yang dinyatakan dalam sapta marga dan sumpah prajurit. Bukan hanya disiplin militer saja yang diterapkan dalam TNI yaitu ada disiplin beribadah, yaitu keyakinan dan taat kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang diterapkan kepada setiap anggotanya, ibadah mahdhah
yang dilakukan setiap prajurit TNI di lingkungan Arama Militer Yonif
411/Pandawa Salatiga shalat berjama’ah di masjid pandawa, yasinan rutin
yang diselenggarakan di masjid pandawa, kemudian ibadah ghairu
mahdhah melakukan bakti sosial, menjaga tali silahturahim antar sesama anggota, gotong royong, menjaga kerapihan dalam sikap dan tindakan.
Oleh karena itu, peneliti mengangkat judul PERAN KELUARGA
DALAM MEMBENTUK KARAKTER DISIPLIN BERIBADAH
ANAK KELUARGA TNI-ANGKATAN DARAT (Studi Kasus di
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, pokok
permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana peran keluarga TNI dalam membentuk karakter disiplin
anak dalam beribadah di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga Tahun 2017?
2. Bagaimana bentuk pendidikan karakter disiplin ibadah yang ideal bagi
anak di lingkungan TNI di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga Tahun 2017?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui peran keluarga TNI dalam membentuk karakter
disiplin anak dalam beribadah di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga Tahun 2017.
2. Untuk mengetahui bentuk pendidikan karakter disiplin ibadah yang
ideal bagi anak di lingkungan TNI di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga Tahun 2017.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Memberikan konstribusi keilmuan terhadap penelitian pendidikan
secara umum.
b. Menambah dan memperkaya khasanah keilmuan dalam dunia
pendidikan yang berhubungan dengan konsep pendidikan keluarga dalam pembentukan karakter disiplin beribadah.
c. Memberi sumbangan data ilmiah di bidang pendidikan khususnya
di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
2. Secara Praktis
a. Bagi orang tua, khususnya di lingkungan Asrama Militer Yonif
411 Pandawa Salatiga, merupakan bahan masukan sebagai langkah yang efektif agar tetap membimbing kedisiplinan belajar agama Islam kepada anak-anaknya.
b. Bagi anak, setidaknya dapat dijadikan bahan pertimbangan agar
memiliki kemauan keras untuk selalu meningkatkan kedisiplinan dalam beribadah.
c. Bagi penulis, untuk menambah wawasan mengenai peran
pendidikan keluarga dalam pembentukan karakter disiplin ibadah anak di lingkungan militer.
E. Definisi Operasional
ruang lingkup penelitian, adapun penjelasan judul dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Peran pendidikan keluarga
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, peran berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa (Depdiknas, 2001: 854). Pendidikan keluarga adalah pendidikan atau pembinaan secara informal yang diberikan dalam keluarga kepada anak berupa
pembinaan kepribadian, memimpin, memelihara, mengasihi,
bertanggung jawab, dan memberi pengetahuan untuk setiap proses perkembangannya. Keluarga merupakan akar bagi terbentuknya akhlak dan karakter anak, dan subjek dalam keluarga sebagai pendidik adalah orang tua (Haitami Salim, 2013: 135).
2. Pembentukan karakter disiplin
3. Ibadah
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (Depdiknas, 2001: 415).
4. Anak
Manusia yang berkembang menuju ke tingkat yang dewasa yang memerlukan bimbingan dan pertolongan dari orang lain yang sudah dewasa guna melakukan tugasnya sebagai makhluk (Angeningsih, 2016: 65)
5. TNI-Angkatan Darat
Singkatan dari Tentara Nasiona Indonesia yang berada di naungan presiden republik Indonesia sebagai kekuatan inti SISHANKAMRATA (Sistem pertahanan keamanan rakyat semesta) yang menjaga NKRI dari berbagai ancaman dan serangan dari dalam maupun luar (KEPUTUSAN DANKODIKLAT TNI AD NOMOR KEP/325/XI/2011 TANGGAL 24 NOPEMBER 2011).
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
tindakan, dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2011: 6).
Laporan penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan secara jelas. Peneliti akan mengkaji permasalahan secara langsung dengan sepenuhnya melibatkan diri pada situasi yang diteliti dan mengkaji buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga. Lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian dengan beberapa pertimbangan, yaitu belum pernah ada yang melakukan penelitian serupa di tempat tersebut. Alasan lainnya adalah ketertarikan peneliti terhadap peran keluarga menurut konsepsi Islam yang di
implementasikan ke dalam format keluarga TNI yang nota bene
bergerak dalam bidang militer yang dapat membentuk dan membangun karakter anak untuk berdisiplin dan giat beribadah.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi.
a. Metode Observasi
indra (Arikunto, 2014: 199). Metode ini digunakan untuk mengamati secara langsung terhadap keluarga TNI Angkatan Darat dan aktifitas ibadah anak dalam kehidupan sehari-hari.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu
yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2011: 186). Dalam penelitian ini yang diwawancarai adalah orang tua yang berprofesi sebagai TNI. Adapun yang akan menjadi informan dalam penelitian ini adalah keluarga TNI di Asrama Militer Yonif 411/Pandawa Salatiga yang berjumlah 144 keluarga dalam Kompi A, peneliti mengambil 20 keluarga untuk menjadi informan yang dipilih secara random.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2014: 274). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data mengenai situasi umum lokasi penelitian, dokumentasi kegiatan penelitian dan dokumentasi lainnya sebagai penguat seluruh
informasi yang didokumentasikan adalah aktifitas yang
karakter disiplin ibadah anak di lingkungan keluarga TNI. Dengan dokumentasi maka data yang diperoleh akan lebih terbukti kebenarannya. Metode ini berfungsi untuk mendapatkan data-data yang diperoleh di lapangan, adapun yang diperlukan untuk keperluan dokumentasi.
4. Analisis Data
Adapun analisis data yang digunakan penulis adalah teknik analisis deskriptif, yaitu pengumpulan data berupa kata-kata, gambar, yang mana data tersebut berasal dari naskah, hasil wawancara, catatan lapangan, foto, dan lain-lain (Moleong, 2011: 11). Setelah semua data yang diperlukan dalam penulisan ini terkumpul, maka selanjutnya data diolah dan disajikan dengan menggunakan teknik deskriptif.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penulisan skripsi ini terbagi menjadi lima pokok pikiran yang masing-masing termuat dalam bab yang berbeda-beda. Berikut uraian dari masing-masing bab:
BAB IPendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Pustaka. Pada bab ini akan dikemukakan hal-hal
yang diteliti yang pertama, yaitu tinjauan dalam keluarga dan pendidikan
dan hak anggota keluarga, peranan orang tua dalam pendidikan, relasi antar personal dalam keluarga, peran keluarga dalam pembentukan karakter, upaya orang tua dalam meningkatkan disiplin diri anak. Yang
kedua, yaitu tinjauan kedisiplinan beribadah, pengertian kedisiplinan, tujuan disiplin, macam-macam disiplin, bentuk dan pendekatan kedisiplinan, pengertian ibadah, disiplin dalam beribadah, kegunaan
disiplin, pengertian ibadah. Ketiga, tinjauan mengenai TNI pengertian
TNI, sapta marga TNI, delapan wajib TNI, sumpah prajurit, serta disiplin militer.
BAB III Hasil Penelitian. Pada bab ini akan dikemukakan tentang gambaran umum lokasi lingkungan akademis TNI Angkatan Darat dan objek penelitian dan penyajian hasil penelitian.
BAB IV Pembahasan. Pada bab ini akan dikemukakan pembahasan hasil penelitian di lapangan yang dipaparkan dalam bab III. Pembahasan dilakukan untuk menjawab masalah penelitian yang diintregasikan ke dalam kumpulan pengetahuan yang sudah ada dengan jalan menjelaskan temuan penelitian dalam konteks khasanah ilmu.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan dalam Keluarga dan Pendidikan
1. Pengertian Keluarga
Menurut Maulana (dalam Safrudin, 2015: 15) keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang khas dan bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada di dalam keluarga tersebut.
Menurut Achmad (dalam Safrudin, 2015: 15) keluarga adalah suatu kelompok sosial yang ditandai oleh tempat tinggal bersama, kerjasama ekonomi, dan reproduksi yang dipersatukan oleh pertalian perkawinan atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang saling berinteraksi sesuai dengan peranan-peranan sosialnya.
walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib, 1998: 17).
Dari beberapa pengertian di atas, keluarga adalah sekelompok orang yang terdiri dari kepala keluarga dan anggotanya dalam ikatan nikah ataupun nasab yang hidup dalam satu tempat tinggal, memiliki aturan yang ditaati secara bersama dan mampu mempengaruhi antar anggotanya serta memiliki tujuan dan program yang jelas.
2. Pengertian Orang Tua
Menurut Thamrin Nasution (dalam Angeningsih, 2016: 27) orang tua merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu. Sementara, menurut Hurlock (dalam Angeningsih, 2016: 27) orang tua merupakan orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Jadi, orang tua adalah pemimpin dan pengendali yang memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam kehidupan anak.
3. Tipe Orang Tua
anak-anaknya. Orang tua dapat dikelompokkan dalam tiga tipe (Bambang & Hanny, 2013: 26-28), yaitu:
a. Orang tua pendekat (Attacher)
Adalah orang tua yang mencoba mendekatkan diri kepada anak-anaknya. Mereka selalu menjaga citra, berorientasi apa kata orang terhadap mereka. Kepribadian mereka mengacu kepada emosi, perasaan, citra, dan penerimaan.
Sisi positif yang perlu ditingkatkan dari kelompok orang tua ini adalah orang tua yang percaya diri, memberi dukungan kepada anak-anak, memberi dengan tulus, mampu membangun hubungan, memiliki empati, suka mengasuh, mendukung potensi orang lain, serta penuh perhatian.
Sisi negatif yang perlu diperbaiki adalah selalu mencari
penerimaan dari lingkungan, “moody”, suka menyanjung anak,
selalu ingin memiliki citra orang tua sempurna, mementingkan hasil dan kurang sabar dalam pelaksanaan, melankolis, emosi mudah meningkat, egosentris.
b. Orang tua penjaga jarak (Detacher)
banyak hal. Mereka mengandalkan pikiran logis dalam berargumentasi.
Sisi positif yang perlu ditingkatkan dari kelompok ini adalah rasionalitas, tenang dan seimbang, objektif, mandiri, tidak menghakimi, bisa menahan diri, bertanggung jawab, tekun, berpikir jernih, serta mampu memecahkan masalah.
Sisi negatif yang perlu diperbaiki adalah menarik diri dari interaksi pribadi, menginginkan privasi, kurang spontan, tidak komunikatif, ketakutan, ragu-ragu, defensif, curiga, serta suka menunda-nunda.
c. Orang tua bela diri (Defender)
Adalah kelompok orang tua yang membela diri, memiliki kepribadian yang mengacu kepada fisik, naluri, dan penghargaan. Orang tua yang terlalu mengandalkan nalurinya untuk merasa aman serta ingin didengar dan dihargai anak-anaknya.
Sisi positif yang perlu ditingkatkan dari orang tua ini adalah terus terang, melindungi yang lemah, berorientasi pada detail, terus-menerus memperbaiki diri, serta memiliki kemampuan analisis.
4. Kewajiban dan Hak Orang Tua dan Anak
a. Kewajiban dan hak Ayah
Seorang ayah sebagai kepala keluarga sudah selazimnya tidak sebatas mencukupi keperluan anggotanya secara batin saja. Akan tetapi, sang ayah sekaligus suami juga berkewajiban dalam pemenuhan keperluan lahir khususnya yang bersifat primer berupa sandang, pangan, dan papan, serta pendidikan.
Kewajiban besar yang harus dipikul seorang suami mencakup memelihara keluarga dari api neraka, mencari dan memberi nafkah secara halal, bertanggung jawab atas ketenangan, keselamatan, dan kesejahteraan keluarga, memimpin keluarga, mendidik anak dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab, mencari istri yang shalehah, memberi kebebasan berpikir dan bertindak kepada istri sesuai dengan ajaran agama, mendoakan anak-anaknya, menciptakan kedamaian (ketenangan jiwa) dalam keluarga memilih lingkungan yang baik serta berbuat adil (Safrudin, 2015: 36).
Adapun hak suami atau ayah dalam keluarga di antaranya dihormati dan ditaati oleh seluruh anggota keluarga, dibantu dalam mengelola rumah tangga, diperlakukan dengan baik dan penuh cinta kasih dalam memenuhi kebutuhan fisik, biologis maupun psikisnya, menuntut istri untuk menjaga kehormatan dirinya dan keluarga yang diamanahkan kepadanya, disantuni dan disayangi di hari tua oleh anak bahkan setelah meninggalnya (Safrudin, 2015: 38).
b. Kewajiban dan hak Ibu
Seorang perempuan yang berperan sebagai ibu atau istri hendaknya memiliki kewajiban untuk senantiasa taat, hormat dan patuh pada norma agama dan susila, memberikan kasih sayang dan menjadi tempat curahan hati anggota keluarganya, mengatur dan mengurus rumah tangga, merawat, mendidik dan melatih anak-anaknya sebagai amanah Allah S.W.T, memelihara dan menjaga kehormatan serta melindungi diri dan harta benda keluarga, menerima dan menghormati pemberian (nafkah) suami serta mencukupkan (mengelola) dengan baik, cermat, hemat, dan bijak (Safrudin, 2015: 40).
dicukupi segala kebutuhannya baik ketika masih berusia muda maupun ketika sudah berusia lanjut serta memperoleh kecukupan lahir maupun batin (Safrudin, 2015: 40).
c. Kewajiban dan hak anak
Beberapa kewajiban yang harus dilakukan anak di antaranya adalah hormat dan patuh pada kedua orang tua, berakhlak baik pada keluarga, mendoakan keluarga khususnya kedua orang tua, menyambung silahturahmi dengan kerabat dan teman orang tua ketika orang tua sudah meninggal, menjunjung tinggi nama baik orang tua dan sebagainya (Safrudin, 2015: 42).
Hak anak dalam keluarga pada hakikatnya mencakup aspek spiritual, sosial, maupun emosional (Safrudin, 2015: 41-42). Adapun rincian dari ketiga aspek di atas pada subtansinya mencakup:
Sedangkan, hak memperoleh air susu ibu kandung maksud bahwa setiap anak yang dilahirkan pada hakikatnya membutuhkan asupan makanan yang cocok terbaik berupa air susu ibu. Sebab, air susu ibu secara klinis mengandung selain sebagai bahan makanan yang paling baik bagi anak juga mengandung suplemen pelindung terhadap berbagai penyakit.
Kedua, seorang anak berhak memperoleh pengasuhan dari kedua orang tuanya. Pengasuhan ini dapat berupa pemeliharaan dalam bentuk pemberian makan, minum, pakaian, dan kesehatan, serta pendidikan yang terbaik sesuai dengan kemampuan anak. Hal
ini sebagaimana diamanahkan Allah SWT dalam al-Qur’an surah
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”.
Dalam ajaran Islam, pendidikan spiritual diberikan dengan mengumandangkan kalimat adzan pada telinga sebelah kanan dan iqomah pada telingan sebelah kiri. Dengan demikian, imunisasi pertama yang harus diterima anak adalah imunisasi aqidah melalui lafad kalimat-kalimat Allah, bukan imunisasi kesehatan fisik semata.
Ketiga, anak berhak memperoleh nama yang baik. Pemberian sebuah nama atas kelahiran seorang anak adalah sebuah
do’a sepanjang hayat dari kedua orang tua. Istilah jawa
menyebutnya asma kinarya japa (nama adalah do’a atau
pengharapan dari kedua orang tuanya). Dalam istilah lain, nama adalah sebuah harapan dari kedua orang tuanya agar kelak menjadi anak yang berhasil dan sukses sesuai dengan apa yang dicita-citakannya. Keempat, anak berhak mendapatkan bimbingan dan nasihat dari kedua orang tuanya termasuk pertimbangan dalam memperoleh jodoh atau calon pasangan hidup.
5. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan
a. Peranan Ibu dalam Pendidikan
akan tetapi ia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan kejiwaan yang menentuka perkembangan selanjutnya.
b. Peranan Ayah dalam Pendidikan
Ayah itu berperan penting dalam perkembangan anaknya secara langsung. Mereka dapat membelai, mengadakan kontak bahasa, berbicara, atau bercanda dengan anaknya. Semuanya itu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan aktivitas anak (Save M. Dagun, 2013: 15). Misalnya, menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungannya dan situasi di luar rumah. Ia memberi dorongan, membiarkan anak mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan permainan yang menarik, mengajar mereka membaca, mengajak anak untuk memperhatikan kejadian-kejadian dan hal-hal yang menarik di luar rumah., serta mengajak anak berdiskusi. Semua tindakan ini adalah cara ayah (orang tua) untuk memperkenalkan anak dengan lingkungan hidupnya dan dapat mempengaruhi anak dalam menghadapi perubahan sosial dan membantu perkembangan kognitifnya di kemudian hari.
mendukung istrinya, sang ayah secara tidak langsung mempengaruhi anaknya. Istri yang merasa disayang suaminya dengan sendirinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap anak.
6. Relasi Antar Personal dalam Keluarga
Kehadiran keluarga sebagai komunitas masyarakat terkecil memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan komunitas masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, kehidupan keluarga yang harmonis perlu dibangun di atas dasar sistem interaksi yang kondusif. Pendidikan dasar yang baik harus diberikan kepada anggota keluarga sedini mungkin dalam upaya memerankan fungsi pendidikan dalam keluarga, yaitu menumbuhkembangkan potensi laten anak, sebagai wahana untuk mentransferkan nilai-nilai dan sebagai agen transformasi kebudayaan. Persoalannya adalah bagaimana sebenarnya bentuk-bentuk interasi dalam keluarga. Ada beberapa bentuk-bentuk interaksi dalam keluarga, yaitu interaksi antara suami dan istri, interaksi antara ayah, ibu, dan anak, interaksi antara Ibu dan anak, interaksi antara ayah dan anak, dan interaksi antara anak dan anak (Syaiful Bahri, 2004: 49-60).
a. Interaksi antara Suami dan Istri
harus dipecahkan, karena masalah anak, karena masalah sandang pangan, karena untuk meluruskan kesalahan pengertian antara suami dan istri, dan sebagainya (Syaiful Bahri, 2004: 49). Dalam berumah tangga, bahu-membahu dan saling membantu antara suami-istri sering sangat membantu untuk meringankan kegiatan suami atau istri dalam menyelesaikan suatu tugas. Mereka terlibat dalam aktivitas yang saling mengisi, tapi masing-masing berdiri sendiri (Syaiful Bahri, 2004: 52).
b. Interaksi antara Ayah, Ibu dan Anak
Untuk mendukung ke arah pengembangan diri anak yang baik salah satu upayanya adalah pendidikan disiplin (Syaiful Bahri, 2004: 55). Pendidikan disiplin dapat diberikan dalam bentuk keteladanan dalam rumah tangga. Ayah dan ibu harus memberikan teladan dalam hal disiplin yang baik dengan bijaksana dan dengan menggunakan pujian, bukan selalu dengan kritik atau hukuman. Sebab anak yang tumbuh dalam suasana pujian dan persetujuan akan tumbuh lebih bahagia, lebih produktif dan lebih patuh dari pada anak yang terus-menerus dikritik. Untuk melahirkan anak dengan disiplin yang baik tidak mungkin dapat terbentuk dalam waktu singkat, tetapi diperlukan waktu yang cukup lama dalam siklus proses. Karenanya mendidik anak butuh kesabaran dan memiliki kepekaan terhadap anak.
c. Interaksi antara Ibu dan Anak
dengan kehidupan kelompok yang saling berhubungan dan saling ketergantungan dalam jalinan interaksi sosial.
d. Interaksi antara Ayah dan Anak
Dengan posisi dan peranan yang sedikit berbeda antara ibu dan ayah melahirkan hubungan yang bervariasi dengan anak. Meski begitu, baik ibu maupun ayah, sama-sama berusaha berada sedekat mungkin dengan anak-anaknya, seolah-olah tidak ada jarak. Karena hanya dengan begitu, orang tua dapat memberikan pendidikan lebih intensif kepada anaknya di rumah.
Seorang ayah dengan kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan bagi anaknya akan berusaha meluangkan waktu dan mencurahkan pikiran untuk memperhatikan pendidikan anaknya (Syaiful Bahri, 2004: 59). Rela menyisihkan uangnya untuk membelikan buku dan peralatan sekolah anak. menyediakan ruang belajar khusus untuk keperluan belajar anak, membantu anak bila dia mengalami kesulitan belajar. Menjadi pendengar yang baik
ketika anak menceritakan berbagai pengalaman yang
didapatkannya di luar rumah.
e. Interaksi antara Anak dan Anak
antara kakak dan adiknya untuk membicarakan rencana berkunjung ke rumah teman atau seorang adik yang meminta bantuan kepada kakaknya bagaimana cara belajar yang baik adalah bentuk interaksi antara sesama anak.
Interaksi yang berlangsung di antara mereka tidak sepihak, tetapi secara timbal balik. Pada suatu waktu, mungkin saja seorang kakak yang memulai pembicaraan untuk membicarakan sesuatu hal kepada adiknya. Tetapi, di lain kesempatan bisa saja seorang adik yang memulai pembicaraan untuk membicarakan sesuatu hal kepada kakaknya. Mereka berbicara antar sesama mereka, tanpa melibatkan orang tua. Bahasa yang mereka pergunakan sesuai dengan alam pemikiran dan tingkat penguasaan bahasa yang dikuasai. Mereka bertukar pengalaman, bersenda gurau, bermain atau melakukan aktivitas apa saja menurut cara mereka masing-masing dalam suka dan duka (Syaiful Bahri, 2004: 60).
7. Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter
berkembangnya masyarakat. Pada tahap ini orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai universal seperti cara menghargai orang lain, berbuat adil pada diri sendiri dan orang lain, dan orang lain (Eko Harianto, 2011: 50). Pendidikan karakter sebagai salah satu alternatif solusi mengatasi persoalan degradasi moral bangsa sangat penting dilakukan sejak usia dini (Billah, 2016: 269).
Orang tua adalah contoh keteladanan dan perilaku bagi anak. Oleh karena itu, orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata, bersikap, maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan karakter ini demikian besar (Eko Harianto, 2011: 50),
sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa “Wanita adalah tiang
negara. Manakala wanitanya baik, maka baiklah negara. Manakala
wanitanya rusak, maka rusaklah negara”.
Di mata anak, orang tua (ayah-ibu) adalah figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh anak-anaknya. Oleh sebab itu, ayah-ibu harus mampu memberi contoh yang baik pada anak-anaknya, memberi pengasuhan yang benar serta mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dalam batasan yang wajar. Dengan memainkan peranan yang benar dalam mendidik dan mengasuh anak, anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Dan yang tidak kalah pentingnya, anak akan tumbuh menjadi anak yang berkarakter tidak mudah larut oleh budaya buruk dari luar serta menjadi anak yang berkepribadian baik sebagai aset generasi penerus bangsa di masa depan.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan kebutuhan akan perilaku disiplin pada individu:
a. Proses penanaman perilaku disiplin pada satu anak dapat berbeda
dengan anak yang lain, walaupun dalam usia yang sama. Misalnya, pada satu anak cukup dilakukan dengan kata-kata untuk tidak bermain dengan korek api, sementara pada anak lain diperlukan juga sentilan di jari secara fisik untuk membuatnya mengerti akan larangan itu.
c. Aktivitas-aktivitas yang mempengaruhi kebutuhan mereka akan disiplin. Disiplin paling mungkin dibutuhkan dalam kegiatan-kegiatan rutin, seperti makan, tidur, atau mempersiapkan sekolah. Kegiatan ini akan lebih banyak membutuhkan disiplin dibanding ketika anak-anak sedang membaca atau bermain.
d. Kebutuhan akan disiplin bervariasi sesuai dengan hari-hari dalam
dalam satu minggu. Hari Senin dan akhir Minggu (weekends)
adalah waktu di mana disiplin paling sering dibutuhkan.
e. Kebutuhan akan disiplin bervariasi sesuai dengan usia. Anak yang
lebih tua sering lebih sedikit membutuhkan disiplin beserta aneka macamnya dibanding anak yang lebih muda (Dolet Unaradjan, 2003: 14).
Ada empat hal penting yang harus dipertimbangkan dalam mendisiplinkan (Dolet Unaradjan, 2003: 15):
a. Aturan-aturan (Rules)
Aturan digambarkan sebagai pola berperilaku di rumah, di sekolah, ataupun di masyarakat. Aturan-aturan itu memiliki nilai pendidikan dan membantu anak untuk menahan perilaku yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
b. Hukuman (Punisment)
1) Yang bersifat membatasi, yaitu hukuman akan menghalangi pengulangan perilaku yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
2) Yang bersifat mendidik, yaitu anak-anak belajar tentang hal
baik dan buruk melalui pemberian atau tidak diberikannya hukuman ketika mereka bertindak tidak sesuai dengan standar sosial yang berlaku.
3) Sebagai pembangkit motivasi untuk menghindari perilaku yang
ditolak masyarakat.
c. Imbalan (Reward)
Imbalan merupakan suatu penghargaan untuk hasil baik yang telah dicapai. Imbalan tidak harus berbentuk materi, tetapi bisa juga dalam bentuk kata-kata yang menyenangkan (pujian), senyuman, tepukan, dan belaian.
Beberapa fungsi imbalan dalam disiplin yang berperan dalam mengajari anak untuk berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat adalah sebagai berikut:
1) Yang memiliki nilai mendidik, yaitu imbalan yang diberikan
setelah anak berperilaku tertentu, sehingga anak tahu bahwa perilaku itu adalah perilaku yang baik.
2) Imbalan menyediakan suatu motivasi untuk mengulangi
perilaku yang diterima masyarakat.
3) Imbalan menyediakan penguat (reinforcement) bagi perilaku
d. Konsistensi
Konsistensi berarti suatu derajat kesesuaian atau stabilitas
(uniformity or stability). Konsistensi harus menjadi ciri dari seluruh segi dalam penanaman disiplin. Hukuman diberikan bagi perilaku yang tidak sesuai dan hadiah untuk yang sesuai. Fungsi konsistensi yang penting dalam disiplin, sebagai berikut:
1) Kosnsistensi dapat meningkatkan proses belajar untuk
berdisiplin.
2) Konsistensi memiliki nilai motivasional yang kuat untuk
melakukan tindakan yang baik di masyarakat dan menjauhi tindakan yang buruk.
3) Konsistensi membantu perkembangan anak untuk hormat pada
aturan-aturan dan masyarakat sebagai otoritas. Anak-anak yang telah berdisiplin secara konsisten mempunyai motivasi yang lebih kuat untuk berperilaku sesuai dengan standar sosial yang berlaku dibanding dengan anak-anak yang berdisiplin secara tidak konsisten.
Hukuman haruslah tidak bersifat menyakiti secara fisik, mental atau verbal, namun berupa kesepakatan bahwa si anak akan kehilangan haknya tertentu bila melanggar disiplin tertentu (Naura Jasmine, 2009: 77).
8. Upaya Orang Tua dalam Meningkatkan Kedisiplinan Diri Anak
Upaya orang tua dalam meningkatkan kedisiplinan diri anak ada beberapa hal (Shochib, 1998: 70-86), yaitu:
a. Penataan lingkungan fisik
Upaya penataan lingkungan fisik telah diapresiasi sebagai lahan dialog oleh anak-anaknya. Penghayatan ini ditimbulkan oleh rasa terlindung dan aman dalam diri mereka. Mereka merasakan adanya keakraban dalam berbagai nilai moral. Bagi mereka, rumah benar-benar dirasakan sebagai bagian dari dirinya dan membuat mereka mampu mengapresiasikan adanya kebersamaan dalam penataan ruangan dan bentuk-bentuk (Moh Shochib, 1998: 71). Penataan ruangan rumah terutama kamar dan ruangan belajar untuk anak dilakukan melalui pelibatan anak-anak, karena hal tersebut akan menimbulkan rasa nyaman, dan terciptanya dialog antar anggota keluarga.
b. Penataan lingkungan sosial
1) Penataan Lingkungan Sosial Internal
merasakannya sebagai bantuan karena adanya suasana kedekatan dan keakraban di antara orang tua dengan anak. Keakraban dan kedekatan orang tua dengan anak menyebabkan mereka mampu berkomunikasi secara efektif dalam meletakkan dasar-dasar untuk berhubungan secara akrab dan dekat. Kemampuan orang tua dalam melakukan komunikasi efektif ini, juga karena mereka mampu membaca dunia anak-anaknya (selera, keinginan, hasrat, pikiran dan kebutuhan). Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar bagi orang tua ketika berkomunikasi dengan anak sehingga dapat berjalan secara efektif (Widijo, 2017: 121), yaitu:
a) Membangun empati
Membangun empati merupakan prinsip dasar utama bagi terwujudnya komunikasi efektif. Sering kali apa yang dirasakan oleh anak tidak sama dengan yang dirasakan oleh orang tua. Di sinilah orang tua seharusnya mampu mengembangkan sikap empatinya kepada anak. Karena, dengan sikap empati ini maka orang tua dituntut untuk bersedia ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak.
b) Pahamilah dari sudut pandang anak
Biarkan anak mengutarakan apa yang dilihat, dipikir, ataupun dirasakan. Orang tua perlu memberi ruang kebebasan kepada anak supaya dapat mengekspresikan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, tanpa ada keinginan untuk mengatur anak.
c) Berperan sebagai pendengar
Salah satu aspek terpenting supaya orang tua dapat
memahami dan mengerti maksud anak dalam
berkomunikasi adalah sebagai pendengar. Memang hal ini membutuhkan kerendahan hati dari orang tua untuk dengan sabar menerima semua hal yang menjadi ungkapan anak.
d) Jangan melakukan evaluasi
Dalam melakukan komunikasi dengan anak sering kali orang tua menempatkan posisi yang lebih tinggi dari pada anak, sehingga hubungan yang terjadi seakan-akan hubungan formal dan berstruktur. Tidak menutup kemungkinan muncullah anggapan bahwa anak merupakan
“bawahan” orang tua. Anggapan seperti inilah yang sering
kali mendorong orang tua untuk melakukan penilaian terhadap apa yang dikatakan anak.
ingin dikatakan. Hal ini akan menjadi pemicu bagi anak untuk memunculkan sikap dan perilaku takut salah. Sebagai akibatnya anak akan mengambil posisi lebih baik diam, karena takut kalau disalahkan.
e) Jadilah motivator
Menjadi motivator atau pemberi motivasi supaya anak mau berkomunikasi sangatlah penting. Mengapa demikian? Sering kali muncul keengganan dari anak untuk sekadar berbincang dengan orang tua. Kalau hal ini terjadi, maka orang tua harus mampu menciptakan situasi yang menumbuhkan keberanian anak untuk berbicara. Bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, misalnya orang tua menyuruh anak untuk mengomentari sesuatu yang terjadi.
Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antar orang tua dan anak. Sebab, dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan di antara anggota keluarga (Alex Sobur, 1991: 7). Bagaimanapun juga tidak ada seorangpun dapat menjalin komunikasi dengan anak bila mereka tidak pernah bertemu ataupun bercakap-cakap bersama.
dialog-dialog yang penuh kehangatan dan keakraban dengan anak-anaknya. Dengan komunikasi dialogis, dunia anak dapat diabaca oleh orang tua sehingga mereka dapat menjelaskan kepada anak tujuan yang diinginkan untuk kepentingannya. Orang tua dapat menjelaskan tujuannya untuk diterima secara rasional oleh anak. Anak yang menerima secara rasional tersebut dapat mengapresiakan upaya orang tuanya (Moh Shochib, 1998: 74).
2) Penataan Lingkungan Sosial Eksternal
Kedekatan dan keakraban anak-anak dengan nilai moral dari penataan eksternal didasari dengan keakraban dan kedekatan dengan nilai moral yang dibangun oleh penataan lingkungan sosial internal (Moh Shochib, 1998: 78).
c. Penataan lingkungan pendidikan
1) Penataan lingkungan pendidikan internal
diapresiasi bersama (Moh Sochib, 1998: 79). Oleh sebab itu, orang tua harus dapat membaca dunia anak dengan memahami selera, kebutuhan, pikiran, dan keinginan anaknya.
2) Penataan lingkungan pendidikan eksternal
Penataan lingkungan pendidikan eksternal dilakukan oleh orang tua untuk menanamkan nilai moral ilmiah pada anak. Melalui arahan dan bimbingan agar senantiasa selektif dalam memilih teman bergaul, rajin belajar, dan senantiasa mengupayakan agar mereka bersekolah di sekolah favorit (Moh Shochib, 1998: 83). Namun, motivasi dan dorongan dari orang tua tidak akan dihayati atau diapresiasi jika tidak ada pancaran
kewibawaan dan kepercayaan orang tua, terciptanya
komunikasi dialogis antara orang tua dan anak. penghayatan dan pengapresiasian anak terhadap motivasi dan dorongan orang tua untuk memiliki dan mengembangkan nilai moral dasar tampak dalam perilaku kesehariannya.
d. Dialog orang tua dengan anak
diri secara penuh kepada orang tua (Moh Shochib, 1998: 84). Penghayatan dan apresiasi diri mereka terhadap orang tua membuat dialog dalam keluarga benar-benar diapresiasi sesuai dengan rasa keanakan mereka. Mereka merasakan adanya kedekatan, keakraban, kebersamaan, dan keterpautan diri kepada keluarga.
e. Penataan suasana psikologis
Salah satu bentuk penataan suasana psikologis keluarga yaitu dengan memahami dan mengerti motivasi belajar. Hal yang dapat dilakukan agar memahami dan mengerti motivasi belajar, yaitu orang tua menciptakan suasana keluarga yang sarat dengan rasa kebersamaan, keakraban, kedekatan, komunikasi sambung rasa dengan anak, pemberian teladan-teladan, sikap terbuka, serta kesatuan dalam melaksanakan nilai moral dasar dalam kehidupan keseharian keluarga (Moh Shochib, 1998: 84).
f. Penataan sosiobudaya
yang serius, memelihara kebersihan ruangan dalam rumah, meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan berlaku sopan pada orang lain meskipun orang tua sedang tidak ada di rumah.
g. Perilaku orang tua saat bertemu anak
Pertemuan kebersamaan antara orang tua dengan anak senantiasan harus didasari oleh tampilnya nilai-nilai moral dasar. Nilai-nilai moral yang orang tua upayakan untuk tampil dalam setiap pertemuaan dengan anak-anaknya adalah nilai kebersihan, nilai sosial (keakraban dan keharmonisan hubungan, dan kesopanan), nilai ilmiah (menciptakan suasana hening jika anak sedang belajar dan membantunya jika mengalami kesulitan), nilai
demokrasi (berdialog dengan anak-anak dalam suasana
kebersamaan, saling memiliki, dan keterbukaan), nilai tanggung jawab (membuat dan mematuhi aturan-aturan), serta nilai keteladanan (memberikan contoh untuk adik dan kakaknya) (Moh Shochib, 1998: 85).
h. Kontrol orang tua terhadap perilaku anak
Shochib, 1998: 86). Misalnya kontrol terhadap nilai moral sosial ditunjukkan dalam tindakan orang tua agar anak-anak selektif dalam memilih dan bergaul dengan sahabat-sahabat karibnya. Karena orang tua sadar bahwa dalam persahabatan juga terdapat nilai-nilai yang bisa merusak dasar-dasar nilai moral yang telah mereka bangun di dalam lingkungan keluarga. Kontrol yang diberikan dengan penuh asih, asuh, dan kebijakan mnyebabkan rasa keterpaksaan yang dialami anak pada awalnya lambat laun berkembang menjadi kesadaran diri. Mereka menyadari bahwa apa yang dikontrol orang tuanya, semata-mata dilakukan demi kebaikan dan kemaslahatan dirinya.
i. Nilai moral yang dijadikan dasar berperilaku orang tua dan yang diupayakan kepada anak
Penempatan dan pengupayaan nilai moral dasar sebagai dasar pijakan berperilaku orang tua dilandasi oleh kesadaran mereka bahwa nilai dasar (agama) dapat menjadi benteng kokoh untuk mencegah anak-anaknya melakukan penyimpangan-penyimpangan perilaku (berani kepada orang tua, minum-minuman keras, atau berkelahi) (Moh Shochib, 1998: 87). Oleh karena itu, disiplin belajar merupakan hal yang penting terutama belajar agama Islam dan disiplin beribadah, karena hal tersebut dapat membawa pengaruh atau tingkah laku anak yang lain dalam kehidupan sehari-hari.
B. Tinjauan Tentang Kedisiplinan Anak dalam Beribadah
1. Pengertian Kedisiplinan
Disiplin berasal dari bahasa latin Discere yang berarti belajar
(Subur, 2015: 297). Dari kata ini muncullah kata Disciplina yang
peraturan (Muhammad & Kusumaning, 2016: 192). Makna dasar disiplin ialah tertib (Edi & Chaerul, 2009: 9). Dalam pengertian yang lebih luas, disiplin sama maksudnya dengan kepatuhan atau ketaatan terhadap semua aturan dan tatanan yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat. Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk berdisiplin,
dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, Allah Swt berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 59:
اَي
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
2. Tujuan Disiplin
Tujuan dari disiplin adalah untuk membina anak agar belajar menguasai dirinya (Alex Sobur, 1991: 32). Selanjutnya, penguasaan diri itu punya manfaat macam-macam. Misalnya, untuk mencapai sesuatu keinginan pribadi, atau menjaga nama baik dengan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tuntutan lingkungannya. Tujuan disiplin bukan untuk mengekang kebebasan, tetapi justru untuk memberi kebebasan dalam lingkup yang aman. Misalnya, kita
mengatakan pada anak, “bermainlah di halaman, tapi jangan sampai ke
luar pagar.” Dalam hal ini, si anak mendapat kebebasan bermain, tapi
di tempat yang aman dari lalu lintas ramai. Di luar pagar ada kemungkinan ia cedera, karena di sana memamng bukan tempat untuk bermain.
3. Macam-Macam Disiplin
Disiplin waktu dalam keluarga terbagi menjadi beberapa hal (Safrudin, 2015: 223-226) diantaranya:
a. Disiplin Waktu dalam Beribadah
2015: 223). Setiap anak bagi keluarga muslim hendaknya diberikan kewajiban berdisiplin shalat sebanyak lima waktu dalam sehari semalam. Hal ini selain bersifat kewajiban, shalat merupakan sarana penanaman disiplin waktu dalam proses pelaksanaannya.
Disiplin dalam beribadah pada hakikatnya sebagai upaya agar setiap keluarga mampu menjalankan kehidupan secara seimbang antara dunia dan akhirat. Sehingga kedua-duanya dapat diperoleh kebahagiaan. Disiplin dalam beribadah bukan berarti bersifat menyiksa atau membatasi privasi kesibukan seseorang. Namun, disiplin beribadah lebih memberikan rasa bahagia dan ketentraman bagi setiap keluarga.
b. Disiplin Waktu dalam Bekerja
program kerja keesokan harinya sembari berdo’a, di sela-sela waktu istirahatnya. Bahkan adapula kepala keluarga yang masih produktif menghasilkan berbagai karya dan finansial di sela-sela waktu istirahatnya dengan menuliskan ide-idenya menjadi produk
ilmiah yang disumbangkan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. sumbangan inilah yang mungkin dapat dikatakan sebagai sedekah ilmiah.
Sebaliknya disiplin dalam menyelesaikan pekerjaan dalam keluarga khususnya di rumah perlu ditanamkan kepada anak sejak usia dini disesuaikan dengan usia dan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Setelah anak tumbuh dalam usia sekolah, anak terbiasa melakukan pekerjaan rumah membantu orang tuanya secara disiplin dengan tidak mengganggu jam belajarnya. Kita bisa melihat berbagai produk anak-anak masa klasik mereka tumbuh menjadi anak yang mandiri, kreatif, dan disiplin dikarenakan mereka terbiasa melakukan pekerjaan membantu kedua orang tuanya. Berbeda dengan anak sekarang, sebagian besar dari mereka
lebih memprioritaskan bermain game dan jenis permainan lainnya
dari pada melakukan suatu pekerjaan di rumahnya (Safrudin, 2015: 225).
c. Disiplin Waktu dalam Belajar
2015: 225). Kebiasaan belajar ini hendaknya ditanamkan anak melalui pemberian jadwal yang tepat, misalnya belajar agama dilakukan sore hari, belajar materi pelajaran dilakukan malam hari, dan pagi hari setelah shalat subuh ataupun waktu-waktu efektif lainnya yang disesuaikan dengan kebiasaan setiap keluarga.
Melalui disiplin dalam belajar, seorang anak hendaknya senantiasa diberikan motivasi dalam mendukung proses tersebut. Adapun bentuk motivasi ini dapat berupa hadiah, himbauan, mendatangkan guru privat, memberikan pertanyaan kritis, dan kreatif serta bentuk motivasi lainnya yang disesuaikan dengan tingkat kesenangan anak. Sebagai catatan, kedua orang tua hendaknya ikut dalam proses belajar anak-anaknya sehingga materi yang sedang dipelajari dapat terkontrol secara optimal.
d. Disiplin Waktu dalam Bersilahturahmi
Secara umum silahturahmi dapat dipahami dengan menjalin hubungan tali persaudaraan baik dengan kerabat maupun orang lain (Safrudin, 2015: 225). Silahturahmi ini selain sebagai ajaran Islam juga menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia pada saat lebaran. dalam proses tersebut, mereka saling merelakan kesalahan yang telah diperbuatnya dan mengokohkan kembali hubungan yang selama ini terbilang kurang erat.
interaksi sosial antar sesama terjalin dan mampu menumbuhkan simpati maupun empati terhadap orang lain. Silahturahmi menjadi kebutuhan manusia, karena posisi manusia selama hidup selain manjadi makhluk individu juga mutlak menjadi makhluk sosial yang memerlukan interaksi dan komunikasi dengan sesamanya. Sehingga melalui silahturahmi setiap orang dapat besikap bijak dalam memahami kehendak orang lain atau kerap disebut cerdas secara sosial yakni sebuah kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan dengan orang lain. Keluarga yang sukses
tentunya membiasakan diri untuk bersilahturahmi guna
mengembangkan kecerdasan sosial dan menjalin hubungan kekerabatan dengan sesama (Safrudin, 2015: 226).
e. Disiplin Waktu dalam Kebersamaan
Kebahagiaan dan kebersamaan tidak selamanya memerlukan biaya dan sarana yang mahal. Namun, kebersamaan berkumpul di rumah, atau dalam rekreasi alam yang serba gratis perlu dilakukan secara tepat, misalnya dalam waktu seminggu
sekali ataupun sebulan sekali. Kebersamaan ini selain
menumbuhkan rasa memiliki dan mengayomi juga mempererat dan mengakrabkan kembali hubungan antara orang tua dengan anak ataupun sebaliknya.
4. Kegunaan Disiplin
Di balik keteraturan dan keterarahan hidup manusia terdapat kedamaian, keberhasilan, dan kebahagiaan yang merupakan dambaan setiap insan. Sepanjang hidupnya, manusia membutuhkan suasana yang aman dan harmonis. Kebutuhan dan harapan akan keadaan seperti inilah yang mendorong manusia untuk berdisiplin diri. Karena setiap manusia adalah makhluk individual dan sosial, maka manfaat disiplin diri tersebut dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan maupun orang-orang di sekitarnya.
a. Bagi diri sendiri
atau disertasinya dapat selesai pada waktunya. Untuk mencapai keberhasilan, maka berbagai macam tuntutan dan persyaratan harus dipenuhi. Dalam hal ini, pengendalian diri dari berbagai kecenderungan yang dapat menghambat kelancaran usaha tersebut atau pengaturan waktu sangat penting. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keinginan untuk mencapai keberhasilan dalam karya mendorong seseorang untuk berdisiplin diri (Dolet Unaradjan, 2003: 17).
Jika kita memiliki keutamaan disiplin dan menjadi orang disiplin, kita mengadakan dan bekerja dengan disiplin beserta segala tuntunannya, sejak merencanakan dan melaksanakan kegiatan, dan mengevaluasi hasil dan mengambil tindak lanjut.kita datang dan memulai kegiatan dan mengakhirinya pada waktu yang sudah ditetapkan (Mangunnhardjana, 2016: 126). Pada waktu melaksanakan kegiatan, kita mendayagunakan segala pikiran, hati, tekad, dan tenaga, serta segala kecapakan dan kemampuannya. Meskipun demikian, kita tidak terkena stres, dan dapat hidup dan melakukan kegiatan dan kerja dengan tenang. Karena kita memiliki
gaya hidup antisipatif-aktif-reflektif (antisipasion, active,
reflective).
b. Bagi orang lain
orang yang bersangkutan, disiplin diri juga berguna untuk orang lain. Sebagai anggota masyarakat, pola hidup disiplin dari seseorang akan ditiru oleh orang lain, terutama pribadi-pribadi yang telah mengalami efek positif dari cara hidup ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa disiplin diri berguna bagi setiap individu maupun masyarakat di mana ia menjadi anggotanya (Dolet Unaradjan, 2003: 20).
5. Pengertian Ibadah
Ibadah dapat diartikan dengan berbakti, berkhidmat, patuh, tunduk, serta mengesakan Allah Swt (Zulkifli, 2017: 11). Ibadah dilakukan dengan penuh ketaatan kepada Allah Swt dengan harapan ridho dan perlindungan dariNya. Serta dilakukan harus sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Rasulullah Saw. Arti ibadah, yaitu penyembahan seseorang hamba terhadap Tuhannya yang dilakukan dengan merendahkan diri serendah-rendahnya, dengan hati yang ikhlas menurut cara-cara yang ditentukan oleh agama (Slamet & Suyono, 1998: 11). Ibadah inilah yang menjadi tujuan dari pencipataan manusia, Allah Swt berfiman dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56-58:
اَمَو
Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh (QS Adz Dzariyat ayat 56-58).
Dari ayat di atas bahwasannya penciptaan jin dan manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah Swt, untuk menaati segala perintahNya, dan menjauhi segala laranganNya. Secara garis besar ibadah itu dapat dikategorikan menjadi dua bagian (Zulkifli, 2017:11), yaitu:
a. Ibadah Mahdhah (pokok)
Kelompok ibadah ini adalah segala sesuatu yang menjadi rukun Islam, apabila hilang salah satu ibadah tersebut di saat syarat wajib untuk melaksanakannya terpenuhi, maka akan mengakibatkan kurang dan bahkan batalnya status keislaman seseorang. Ibadah mahdhah ialah yang hanya berhubungan dengan Allah semata secara vertikal (Zulkifli, 2017: 25). Macam ibadah ini anatar lain, shalat yang harus diawali dengan bersuci dan disertai pengasahan syahadat, puasa, zakat, dan haji. Ibadah bentuk ini dilaksanakan dengan prinsip (Zulkifli, 2017: 25), sebagai berikut:
1) Keberadaan ibadah ini harus ada dalil perintahnya, baik dari Allah Swt maupun Rasulullah Saw. Dengan kata lain bahwa ibadah dalam bentuk ini tidak boleh ada atau terlarang adanya jika atidak ada dalil yang memerintahkannya.
2) Bentuk, sifat serta tata caranya harus berdasarkan contoh
Rasulullah Saw.
pertimbangan akal, tetapi murni wahyu Allah Swt dan disebut
juga dengan ta’abbudy yaitu penghambaan semata.
b. Ibadah Ghairu Mahdhah (ibadah yang bukan pokok)
Ibadah dalam bentuk ini tidak selalu menyangkut antara hamba dengan hamba yang lainnya secara horizontal, disebut juga ibadah umum (Zulkifli, 2017: 26). Prinsip ibadah ini, yaitu:
1) Keberadaannya selama tidak ada dalil yang melarang dan
selalu ada kemaslahatan, seperti membangun rumah sakit, sekolah, jalan raya dan lain-lain maka ibadah seperti ini dapat dilaksanakan.
2) Tata caranya tidak perlu harus mengikuti contoh Rasulullah
Saw.
3) Sifat ibadah ini sangatlah rasional, realistis dan aktual, sebab keberadaannya, tata cara dan tujuannya dapat diukur dengan kacamata manusia atau pertimbangan akal.
4) Azaz dalam ibadah ini adalah manfaat atau kemaslathatan atau
segala sesuatu yang dilakukan dengan niat, dan ikhlas karena Allah Swt. Dalam ajaran agama Islam, semuanya diatur mulai dari kita bangun tidur sampai tidur kembali. Dalam melatih anak agar disiplin beribadah dimulai dari usia dini dengan hal-hal yang kecil, misalnya ketika adzan berkumandang anak dibiasakan agar segera menunaikan ibadah shalat pada awal waktu, melatih anak agar dermawan (shadaqoh), yaitu dengan cara melatih anak agar senang memberi kepada orang yang sedang membutuhkan bantuan, dan lain-lain.
C. Tinjauan Mengenai TNI
1. Pengertian TNI
Singkatan dari Tentara Nasional Indonesia yang berada di naungan presiden republik Indonesia sebagai kekuatan inti SISHANKAMRATA (Sistem pertahanan keamanan rakyat semesta) yang menjaga NKRI dari berbagai ancaman dan serangan dari dalam maupun luar (KEPUTUSAN DANKODIKLAT TNI AD NOMOR KEP/325/XI/2011 TANGGAL 24 NOPEMBER 2011).
2. Sapta Marga TNI
a. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
bersendika Pancasila.
b. Kami Patriot Indonesia, pendukung serta pembela Ideologi Negara
c. Kami Kesatria Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
d. Kami prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, adalah
Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia.
e. Kami Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, memegang
teguh disiplin patuh dan taat kepada Pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit.
f. Kami Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa.
g. Kami Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, setia dan
menepati janji, serta sumpah Prajurit (Amiroeddin, 1996: 102)
3. Delapan Wajib TNI
a. Bersikap ramah tamah terhadap rakyat.
b. Bersikap sopan santun terhadap rakyat.
c. Menjunjung tinggi kehormatan wanita.
d. Menjaga kehormatan diri di muka umum.
e. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya.
f. Tidak sekali-kali merugikan rakyat.
g. Menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi
4. Sumpah Prajurit
Saya bersumpah demi Allah:
a. Setia kepada Pemerintah dan tunduk kepada Undang-Undang
b. Tunduk kepada Hukum Tentara
c. Menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab
kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia
d. Memegang teguh disiplin Tentara, berarti tunduk, setia, hormat
serta taat kepada atasan dengan tak membantah perintah atau putusan.
e. Memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya (Amiroeddin,
1996: 101).
5. Disiplin Militer
Disiplin militer merupakan suatu ketaatan yang dilandasi oleh kesadaran lahir dan batin atas pengabdian nusa dan bangsa serta merupakan perwujudan pengendalian diri untuk tidak melanggar perintah kedinasan dan tata kehidupan prajurit (Amiroeddin, 1996: 29). Dalam undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 1997 pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa:
“Disiplin prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh-sungguh setiap prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang didukung oleh kesadaran yang bersendika Sapta Marga dan Sumpah Prajurit untuk menunaikan tugas dan kewajiban serta bersikap dan berperilaku sesuai dengan aturan-aturan atau tata kehidupan prajurit Angkatan Bersenjata
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Yonif 411 Kostrad Salatiga
1. Sejarah Berdirinya Yonif 411 Kostrad Salatiga
a. Masa Sebelum Pembentukan Batalyon K
Pada tahun 1950 di Jawa Tengah tepatnya didaerah Solo berdiri Brigade 5 yang kemudian berubah menjadi Brigade Panembahan Senopati ( Brigade Petugas ) dan mempunyai 3 Batalyon masing-masing Batalyon 351 berkedudukan di Klaten dengan Komandannya Mayor Soenitiyoso, Batalyon 352 serta Batalyon 353 dengan Komandannya Mayor Sudigdo.Batalyon 351 kemudian mendapat tugas operasi APRA dan penumpasan DI/TII Kartosuwiryo di daerah Jawa Barat (Sumber: Dokumentasi Sejarah Singkat Satuan Yonif Mekanis 411/Pandawa).
diserahkan kepada Mayor Sudiro untuk kemudian pimpinan batalyon diserah terimakan kepada Mayor Ranoewidjojo (Sumber:
Dokumentasi Sejarah Singkat Satuan Yonif Mekanis
411/Pandawa).
b. Penggabungan Batalyon 444 dan Batalyon 446 menjadi Batalyon
K
Tahun 1961 Resimen Infanteri 15 berubah namanya menjadi Brigade Infanteri 6 dan Batalyon dilingkungan Brigade Infanteri 6 pun direorganisasi masing-masing menjadi Batalyon 444, Batalyon 445, Batalyon 446 dan Batalyon 451, Batalyon 444 dipimpin berturut-turut oleh Mayor Marwotosoeko, Mayor Soeryo Soesilo, ( Eks ) Mayor Kaderi. Sedangkan Batalyon 446 dipimpin berturut-turut oleh Mayor Samsoeharto, Mayor Soerono dan Mayor Soedarso (Sumber: Dokumentasi Sejarah Singkat Satuan Yonif Mekanis 411/Pandawa).