• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa Hasil Pilkada

2. Peran Lembaga Peradilan/Mahkamah Konstitusi

Hakim Konstitusi M Laica Marzuki mengatakan, ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum telah memungkinkan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada). Ada pengertian baru dalam memandang Pilkada dalam Undang-Undang itu, ujarnya di depan audiens dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jum’at (17) lalu. Pendapat Laica ini menengok pada amanah Konstitusi, tepatnya

pada Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945. Pasal itu memang memberikan kewenangan pada MK untuk memutus perselisihan hasil Pemilu. Dalam produk UU anyar itu, ujarnya, Pilkada sudah dianggap sebagai general election, sehingga masuk ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus jika terjadi persengketaan. Sayangnya, menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan mewasiti perseteruan hasil Pilkada itu masih ada di tampuk kuasa Mahkamah Agung (MA).Pendapat Laica ini berhulu pada peristiwa sengketa hasil Pilkada di Depok 2005 silam. Sengketa hasil Pilkada untuk pemilihan walikota itu

telah merembet pada pertikaian antara dua massa pendukung partai besar pengusung calon. Kejadian itu, oleh para pakar tatanegara dianggap bakal berimplikasi pada sistem ketatanegaraan secara luas.Namun keyakikan pribadi Laica ini menimbulkan pertanyaan dari Widodo, salah seorang pengajar hukum tata negara dari Universitas Al-Azhar. Dengan adanya kewenangan itu, maka akan terjadi dualisme kewenangan sebab masih ada norma lain mengatakan bahwa sengketa itu ada di tangan MA. Nantinya akan terjadi dualisme kewenangan dari dua lembaga berbeda,ujarnya.50

Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa.51 Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).52

Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.

Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan

50

Hukumonline.com, didownload rabu 22 april 2009

51

Hal ini disebabkan oleh karena adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andaikata permohonan hanya diajukan oleh seseorang atau individu tertentu.

52

Perbedaan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam hal

Judicial Review yaitu dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar harus dimohonkan kepada Mahakamah Konstitusi, sedangkan pengujian seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu:

1. Tindak pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan pemenuhan persyaratan peserta pemilu.

2. Tindak pidana yang berkenaan dengan kampanye.

3. Tindak pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara.

 Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negative. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tersebut.

 Dengan berubahnya rezim pemilihan kepala daerah menjadi rezim pemilihan umum, maka penyelesaian sengketa pilkada yang semula menjadi kewenangan Mahkamah Agung beralih ke Mahkamah Konstitusi sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan tersebut tentunya mengakibatkan banyaknya persoalan yang semestinya perlu ada pengaturan lebih lanjut baik dalam UU Mahkamah Konstitusi maupun UU Pemerintahan Daerah. Ada baiknya jika pengaturan tentang Pilkada diatur tersendiri dan dikeluarkan dari UU Pemerintahan Daerah.

B. Saran

 Peradilan memiliki peran penting untuk menyelesaikan konflik dan sengketa. Hal ni juga berlaku untuk sengketa hasil Pilkada. Para pihak yang tidak puas atas keputusan penyelenggara pilkada yaitu KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat membawa masalah ini ke Lembaga peradilan yang berhak mengadili. Oleh karena itu, peranan hakim yang mengadili sengketa Pilkada itu sanat penting. Salah satu syarat penting dari hakim yang mengadili sengketa Pilkada tesebut adalah pemahaman yang kuat mengenai sistem dan proses serta kerangka ukum pemilu/Pilkada.

 Keberhasilan Pilkada mestinya tidak hanya dilihat dari selesainya seluruh tahapan sampai pengumuman pemenang. Keberhasilan Pilkada mestinya juga dilihat dari diselesaikannya segala konflik dan sengketa secara hukum dan pihak yang dirugikan dapat mengemalikan haknya melalui peradilan yang adil dan tidak memihak.

Dokumen terkait