BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Pertanggungjawaban Pidana
1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Alf Ross, pernah mengemukakan pendapatnya sekitar apakah yang dimaksud
dengan seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya, (on guilt, Responsibility and punishment). Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral, agama,
dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu
keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran terhadap suatu sistem
aturan-aturan. Sistem aturan itu dapat bersifat luas dan aneka macam( hukum perdata,
hukum pidana aturan moral dan sebagainya). Kesamaan dari ketiganya adalah bahwa
mereka meliputi suatu rangkaian aturantentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu
kelompok tertentu. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan,
pertanggungjawab dan pemidanaan itu adalah sistem normatif.23
Berpangkal tolak pada sistem normatif yang melahirkan konsepsi kesalahan,
pertanggung jawab dan pemidanaan itu, dicobanya menganalisa tentang pertanggung
jawab pidana. Yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya
perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena
23
perbuatan itu. Bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti bahwa untuk
tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu dan sistem
hukum itu berlaku atas perbuatan ini. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
tindakan ini dapat dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Inilah dasar konsepsinya.
Seperti telah diterangkan dimuka, Alf Ross berpendapat bahwa keadilan adalah
kesamaan. Syarat kesamaan berarti bahwa tidak seorangpun diperlakukan
sewenang-wenang atau tanpa dasar berbeda dari orang-orang lain. Sedangkan arti kesamaan itu
ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran norma kesusilaan dan nnorma-norma hukum
yang berlaku. Oleh karenanya ia berpendapat bahwa keputusan yang patut dan adil
adalah keputusan yang terjadi sesuai dengan norma yang berlaku.
Dan kini, pendapatnya tentang keadilan diterapkannya dalam rumusannya tentang
pertanggungjawab pidana, yaitu adalah patut dan adil seseorang dijatuhkan pidana
karena perbuatannya jika memang telah ada aturannya dalam sistem hukum tertentu
dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Persoalan pertanggung jawab
pidana termasuk dalam persoalan keadilan.
Perlu dicatat keterangan Ross lebih jauh, bahwa dalam penegasan tentang
pertanggungjawab itu dinyatakan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan
yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang diisyaratkan. Hubungan antara
keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh
aturan hukum. Jadi pertanggungjawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan
hukum.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan
dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam
melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan, sebab azas dalam
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan (Geen staf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea)24
Penulis seperti pompe mengatakan bahwa ada kesalahan jika perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa “verwijtbaar” (dapat dicela) dan “vermijdbaar” (dapat
dihindari). Sedangkan mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah syarat-syarat
yang mendasarkan celaan peronlijk terhadap orang yang melakukan perbuatan. Sedangkan yang dirumuskan oleh Simons bahwa: “kesalahan adalah adanya keadaan
psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya
hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian
rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tada”. A.A.G. Peters
(dalam bukunya Opzet en scld in het strfrecht, deventer 1966) kesalahan dikemukakannya sebgai suatu pengertian instrumental. Dan dalam hubungan tulisan
ini yang lebih penting lagi adalah bahwa pandangan Peters ini olehnya dikaitkan
dengan pemikiran tentang kepatutan keadilan dan demokratisnya keputusan.25
Jika ada pelanggaran norma dan sanksinya, selalu akan ada pertanggungjawab.
Pertanggungjawab dapat terjadi dalam bentuk menjatuhkan denda, memenjarakan
dalam rumah penjara, dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, dijatuhi hukuman matidan
dengan banyak bentuk-bentuk lain lagi. Dasar bagi pertanggungjawab ini adalah
kesalahan, yang hanya ada karena keharusan adanya aksi yang harus dibenarkan pula.
24
Moeljatno, Hukum Pidana II, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 hal 153
25
Sementara itu mempertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika kita ingin
bersifat kemanusiaan, haruslah pula ia suatu tindakan yang masuk akal dan
berkesusilaan, demikian dikemukakan Peters.
2 Kesalahan dan Kemampuan bertanggungjawab
Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana,
maka tindak pidana merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dari
pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat
eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan
adapula syarat internal. Dalam hal ini persyaratan yang justru terletak pada diri
pembuat. Konkretnya, kondisi pembuat yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak
pidana. Syarat (internal) tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban
pidana.
Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan adalah dapat
dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat lain. Dicelanya
subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan
terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya
kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin yang normal.
Moeljatno mengatakan, ”hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal
sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang
telah dianggap baik dalam masyarakat.”26Oleh karena itu, hanya orang yang keadaan
26
batinnya normal memenuhi persyaratan untuk dinilai, apakah dapat dicela atas suatu
tindak pidana yang dilakukannya.
Keadaan batin yang normal ditentukan oleh factor akal pembuat. Akalnya dapat
membeda-bedakan perbuatn yang dapat dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh
dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana.
Dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing
kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya
diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum.
Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi
syarat untuk dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’, maka pembuat dapat
dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian, keadaan batin
pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu
bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan.
Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan adalah syarat kesalahan, sehingga
bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek
hukum manusia, mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban
pidana, sekaligus syarat adanya kesalahan.
Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negative.
bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu ketidakmampuan
bertanggungjawab27. Demikian misalnya Pasal 44 KUHP. Dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidak mampu bertanggungjawab ditandai oleh salah satudari dua
hal, yaitu: jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Tidak mampu
bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat
jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan
untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain,
seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika tidak ditemukan
keadaan-keadaan tersebut.
Tidak normalnya keadaan batin pembuat menyebabkan dirinya tidak dapat
membeda-bedakan perbuatan yang benar dan salah atau perbuatan yang
diperbolehkan atau dilarang. Tidak dapat dipertaggungjawabkan mengakibatkan tidak
dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda (sebab) seseorang tidak mampu
bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini.
Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak
perlu diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapusan
kesalahan pada dirinya. Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya
berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapuskan
pidana. Persoalan lainnya, apakah terhadap orang yang kurang dapat
dipertanggungjawabkan itu proses hukumnya diteruskan hingga diselidiki mengenai
bentuk kesalahan dan ketiadaan alasan penghapus kesalahan. Sebaiknya, jika kurang
27
dapat bertanggungjawab tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana, maka
perumusannya dalam paragraph yang terpisah dengan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
3 Bentuk-bentuk Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana
Diterimanya kesalahan dalam pengertian normatif, menyebabkan terbentuknya
kesalahan pembuat, sangat tergantung dari hasil penilaian atas keadaan batin
pembuat. Dalam hal ini keadaan batin yang kemudian mendorong pikiran pembuat
untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau menimbulkan akibat yang
dilarang undang-undang. Dengan demikian, kesalahan umumnya ditandai adanya
penggunaan pikiran pembuat, yang kemudian dari hal itu lahir suatu kelakuan (atau
tidak melakukan) atau timbul suatu akibat yang dilarang dalam hukum pidana.
Terhadap tindak pidana yang dirumuskan secara formal, pembuat mengarahkan
pikirannya untuk mewujudkan perbuatan yang dilarang. Sedangkan terhadap tindak
pidana materiil, pikiran pembuat tertuju untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
Dengan demikian, kehendak dan pengetahuannya telah mendorong pikirannya untuk
melakukan sesuatu, yang ternyata suatu tindak pidana. Dalam hal ini, isi kesalahan
ditentukan oleh penggunaan pikiran pembuat yang diarahkan pada terjadinya tindak
pidana.
Penggunaan pikirannya secara salah, yaitu ditujukan untuk mewujudkan tindak
pidana, merupakan pertanda adanya kesalahan. Tidak terdapat adanya pertanda
kesalahan, jika tindak pidana terjadi terlepas dari pengunaan pikiran pembuatnya.
yaitu mereka yang berusia antara delapan sampai delapan belas tahun, (Pasal 1 huruf
a Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) yang melakukan
tindak pidana, juga didasarkan pada hal ini. Tidak dipidananya pembuat disini, karena
pada anak-anak belum dilekatkan kewajiban untuk mengguanakan pikiran
sebagaimana yang ditentukan oleh hukum. Dengan kata lain, dalam hal tindak pidana
yang dilakukan oleh anak-anak tidak dapat dicelakan terhadapnya, maka padanya
tidak dapat dikatakan telah ada kesalahan.
Seorang pembuat juga tidak diliputi kesalahan, jika tindak pidana terjadi karena
perbuatan diluar control pikirannya. Perbuatan tersebut timbul bukan karena
(perintah) pikiran pembuat. Dalam hal ini tidak dipidananya pembuat karena
perbuatan terjadi diluar control pikirannya. Dengan demikian, dapat dikatakan tidak
terdapat pertanda kesalahan. Tidak adanya pertanda kesalahan bukan karena pembuat
tidakdapat menghindari tindak pidana tersebut, tetapi memang perbuatan tersebut
tidak usah dihindari. Tindak pidana yang terjadi karena perbuatan yang di luar kontrol
pembuatnya, umumnya dipandang sebagai defence. Dengan demikian, tindak pidana dipandang sebagai involuntary conduct dan karenanya tidak memenuhi syarat sebagai
mens rea.28
Pikiran pembuatlah yang menentukan tentang dilakukannya atau timbulnya akibat
suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan kata lain,
seharusnya pikiran pembuat harus tertuju untuk sejauh mungkin dapat berbuat lain,
selain tindak pidana. Dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian
28
mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana, disebut sebagai bentuk
kesalahan yang secara teknis disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan merupakan
tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan pembuat.29
Kesengajaan dapat terjadi, jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara
salah. Dalam ha ini, pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya, yang
tertuju pada suatu tindak pidana. Hornsby mengatakan, “wanting, thinking, and intentinally doing as an interdependent triad conceps.” ‘Kehendak’, ‘berpikir’, ‘dengan sengaja melakukan’ merupakan konsep-konsep yang saling berhubungan.
Kesengajaan ditujukan kepada terjadinya tindak pidana yang bersifat melawan
hukum. Tindak pidana disini selain merupakan perbuatan atau akibat yang mencocoki
rumusan undang-undang yang melarangnya, juga bertentangan dengan kesadaran
hukum masyarakat. Termasuk tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang
mempunyai pertalian dengan tindak pidana yang dilakukan orang lain. Singkatnya,
termasuk tindak pidana adalah percobaan dan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam
hal mana perbuatan, percobaan dan penyertaan itu bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.30
Dapat dicelanya pembuat justru karena dia telah mengarahkan kehendak dan
pengetahuannya itu untuk melakukan tindak pidana dengan sengaja. Dengan kata
lain, penilaian dapat dicelanya pembuat karena tidak berbuat lain selaintindak pidana
atau berbuat yang tidak diharapkan masyarakat atau tidak menghindari terjadinya
tindak pidana, terutama dilakukan dengan melihat apakah suatu tindak pidana terjadi
29
Ibid , 104
30
Karena kesengajaan pembuatnya. Demikian pula halnya dengan tindak pidana
penyertaan. Baik dalam suruh lakukan, turut serta melakukan, penganjuran, dan
pembantuan, selain dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan dengan
ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, masih diperlukan kesengajaan untuk
memepertanggungjawabkan pembuatnya. Menngerakkan orang lain untuk melakukan
tindak pidana, baik dalam bentuk suruh lakukan maupun dalam bentuk suruh lakukan
maupun dalam bentuk penganjuran, hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila
dilakukan dengan sengaja. Selain itu, untuk adanya turut serta melakukan diperlukan
adanya kerjasama yang sadar, sehinnga hal ini hanya mungkin terjadi kalau ada
kesengajaan.31Demikian pula halnya terhadap pembantuan. “Pada asasnya tiap kesengajaan memberi bantuan dapat dikualifikasi sebagai pembantuan.”32 Kesengajaan pembantu haruslah diarahkan pada terjadinya atau dipermudahnya
terjadi kejahatan.33
Percobaan dan penyertaan hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuat
apabila pada waktu melakukan perbuatan tersebut, batin pembuat menghendaki dan
mengetahui hal tersebut. Selain itu, percobaan dan penyertaan, tidak
dipertanggungjawabkan terhadap pembuatnya jika pada diri pembuat terdapat bentuk
kesalahan lain (kealpaan). Kesengajaan sebagai pertanda adanya kesalahan
menyebabkan sekalipun hai itu tidak dimuat dalam rumusan tindak pidana, tetapi
selalu harus diperhatikan untuk mempertanggungjawabkan seseorang. Tidak
dimuatnya unsur kesengajaan dalam hal ini, hanya mempunyai dampak dalam
31
Roeslan saleh, Op. ,cit., 31
32
Ibid., 40
33
lapangan acara (pembuktian). Dalam KUHP, terkadang Undang-Undang memang
secara eksplisit menentukan kesengajaan dalam rumusan tindak pidana.
Kadang-kadang justru hanya secara implicit. Dengan kata lain kesengajaan ‘diobjektifkan’.
Bahkan, tidak jarang kesengajaan tidak ‘tampak’ dalam rumusan tindak pidana.
Perumusan secara eksplisit ataupun samar-samar tentang kesengajaan dalam rumusan
tindak pidana, hanya sebagai alat bantu untuk menafsirkan rumusan tindak pidana
tersebut. Tentunya juga menjadi alat bantu untuk menentukan kesalahan pembuat.
Kesengajaan misalnya dirumuskan dengan berbagai istilah. ‘Dengan sengaja’
merupakan perumusan kesengajaan yang paling gamblang. Hal ini tampak misalnya
dalam Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354, dan 372 KUHP. Namun demikian,
adakalanya hal tercermin dari istilah ‘yang diketahuinya’ (misalnya dalam Pasal 24,
220,dan 419 KUHP), ‘sedang diketahuinya’ (Pasal 110, 250,dan 275 KUHP), ‘sudah
tahu’ (Pasal 483 ke-2 KUHP), ‘dapat mengetahui’ (Pasal 164 dan 464 KUHP), telah
dikenalnya (Pasal 245 dan 247 KUHP), ‘telah diketahuinya’ (Pasal 282 KUHP),
‘bertentangan dengan pengetahuannya’ (Pasal 311 KUHP), ‘pengurangan hak secara
curang’ (Pasal 397), ‘dengan tujuan yang nyata’ (Pasal 310), ‘dengan maksud’, atau
tersirat dari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana.34
Sementara itu, kesengajaan masih diklasifikasi dalam corak-corak tertentu.
Umumnya dibedakan tiga corak kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan sebagai keharusan, dan kesengajaan. Menurut Roeslan Saleh, dalam hal
ini,”maksud pembuat tertuju kepada sesuatu yang lain, tetapi padanya sementara itu
34
ada pula keyakinan, bahwa yang dimaksud ini tidak akan dapat dicapai tanpa
timbulnya akibat yang sebenarnya tidak diinginkan.”35Dengan demikian, kesengajaan kemudian hanya dibedakan dalam corak kesengajaan sebagai keharusan dan
kesengajaan sebagai kemungkinan.
Kesengajaan sebagai keharusan dapat terjadi, apabila tujuan yang hendak dicapai
pembuat hanya dapat terwujud dengan melakukan perbuatan tersebut. Kesengajaan
karena kemungkinan dapat ditentukan, baik jika pembuat mengetahui perbuatannya
juga mempunyai jangkauan untuk dalam keadaan-keadaan tertentu akan terjadi suatu
akibat, ataupun pembuat berpikir ‘apa boleh buat’ untuk mencapai tujuan tertentu dia
melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Pertanda kesalahan yang lain, secara teknis hukum pidana disebut dengan
kealpaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang bersifat eksepsional. Artinya,
tidak semua perbuatan yang terjadi karena kealpaan pembuatnya dapat dicela. Dapat
dicela pembuat terutama merujuk pada yang melakukan tindak pidana dengan
kesengajaan. Sedangkan pada kealpaan adalah pengecualian. Hanya apabila
undang-undang menentukan suatu perbuatan yang terjadi karena kealpaan menyebabkan
pembuatnya juga dapat dicela, yang merupakan tindak pidana. Corak kealpaan terdiri
dari kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari
terjadi jika pembuat idak menggunakan pikirannyadengan baik, sehingga timbul
akibat yang dilarang. Pembuatnya tidak mengetahui apa yang seharusnya dia ketahui.
Sama artinya tidak mengetahui yang dapat diketahuinya, dan tidak menduga apa yang
35
dapat diduganya.36 Pada kealpaan yang tidak disadari, pembuat justru sama sekali tidak terpikir bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan tindak pidana, padahal
seharusnya dia memikirkannya.37
B. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Dalam Pemilihan Kepala Daerah menurut Peraturan Hukum Positif yang ada di Indonesia (UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah)
Didalam UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur secara tegas mengenai
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah, hal
ini dapat kita lihat dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, dan Pasal 119,
yang mana mengatur mengenai ketentuan pidana pemilihan Kepala daerah dan wakil
Kepala Daerah.
Dalam Pasal 115 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk
pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima
belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam
36
S. R. Sianturi, Op. Cit., 196
37
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan
dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan
maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau
tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan,
menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18
(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu
rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada
padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar
sebagai pemilih dalam Pemilihan kepala daerah menurut undang-undang ini,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18
(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu
rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau
menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang
diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Pasangan calon kepala daerah/wakil
kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Dalam Pasal 116 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu
yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling singkat 15
(lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan
kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e dan huruf f diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan
kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j dan Pasal 79 ayat (1),
ayat (3), dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan
atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan
kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling
lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam
ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu
jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus
ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), diancam dengan pidana
dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari
atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat
(1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat
(2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Dalam Pasal 117 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk
memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi
lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih
Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak
(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya
sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau
denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000,00 ( satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan
suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 200.000,00 ( dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(6) Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang
pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut
tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi
seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1),
diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama
12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta
Dalam Pasal 118 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara
seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan Pasangan calon tertentu
mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil
pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah).
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil
pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat
15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau
berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan dalam Pasal 119 mengatur mengenai pidana Jika tindak pidana
dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman
pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, Pasal
BAB IV
PERAN LEMBAGA PERADILAN DALAM
SENGKETA PILKADA
A. Sengketa Pilkada
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan sengketa Pilkada adalah sebagaimana diatur dalam Pasal
66 ayat (4) dan Pasal 104 UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas UU
No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dari Pasal-Pasal tersebut sengketa
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: sengketa yang kewenangan penyelesaiannya ada
di tangan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan sengketa yang kewenangan
penyelesaiannya ada di tangan lembaga peradilan.
Sengketa Pilkada yang penyelesaiannya ditangani oleh Panwaslu adalah sengketa
yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada. Sengketa ini diselesaikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 Pasal 111 ayat (4) dan (5), yang dibedakan
lagi menjadi:
a. Laporan yang bersifat sengketa dan tidak mengandung unsur-unsur pidana,
diselesaikan oleh Panitia Pengawas Pilkada.
b. Laporan yang bersifat sengketa mengandung unsur tindak pidana,
penyelesaiannya diteruskan kepada aparat penyidik.
Sedangkan sengketa Pilkada yang penyelesaiannya ditangani oleh lembaga
peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung, adalah sengketa hasil penetapan Pilkada
No.32 Tahun 2004 Jo Peraturan MA No. 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari
KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.
2. Permasalahan Hukum yang Terjadi dalam Pilkada
Perkembangan berdemokrasi di daerah tumbuh luar biasa sejak lahirnya kebijakan
otonomi daerah. Seluruh kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sesuai
dengan amanat undang-undang yang lahir di era reformasi – kecuali jabatan Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Di beberapa daerah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melahirkan
ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas hasil Pilkada tersebut ke
pengadilan dengan alasan yang beragam.
Di Maluku Utara misalnya, penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah telah
menimbulkan kekacauan dan berakhir dengan menyisakan sejumlah permasalahan.
Bahkan, pihak KPUD Maluku Utara dipandang tidak mampu melaksanakan
pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hasil penghitungan
suara yang diperoleh masing-masing calon kepala daerah menimbulkan kontroversi.
Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat mengambil alih peran untuk
melakukan penghitungan ulang.
Intervensi KPU Pusat berawal dari keterangan KPU Provinsi Maluku Utara
(Malut) dengan KPUD Kabupaten/Kota Malut terkait kesimpangsiuran
sama, tetapi dengan angka perhitungan yang berbeda. Hal ini nampak aneh karena
sudah jelas angkanya berbeda tetapi penandatanganannya sama.38 Buah intervensi tersebut menghasilkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah Maluku Utara oleh
KPU Pusat dan membatalkan penetapan KPUD Provinsi Maluku Utara.
Secara teoritis, intervensi pusat kepada daerah memang dapat dibenarkan yaitu
apabila terjadi kemacetan dalam proses demokrasi. Kemacetan demokrasi dimaksud
adalah kondisi apabila elit daerah, baik eksekutif (birokrat) maupun legislatif
(politisi), melakukan konspirasi dengan mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat
daerah untuk kepentingan kelompok elit itu sendiri. Apabila hal itu yang terjadi,
maka campur tangan pusat, baik pemerintah pusat maupun pimpinan pusat partai
politik dapat dibenarkan dengan argumen untuk melindungi kepentingan rakyat.39
Dalam soal pengambilalihan, KPU Pusat menggunakan Pasal 122 ayat (3) UU No
22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat menjalankan tugasnya, tahapan
penyelenggaraan Pemilu untuk sementara dilaksanakan oleh KPU setingkat di
atasnya. Persoalannya, KPU Provinsi Maluku Utara berhasil menjalankan tugasnya,
bahkan sudah mengumumkan pemenang Pilkada. Jadi, tidak ada kriteria yang
membuktikan bahwa KPU Provinsi Maluku Utara tidak dapat menjalankan tugasnya,
38
Koran Sindo, 23 November 2007
39
karena telah dibuktikan dengan selesainya semua tahapan Pilkada sampai
dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi Maluku Utara No. 20/Kep/PGWG/2007
pada tanggal 16 November 2007, KPUD Malut telah menetapkan pasangan
Thaib-Abdul sebagai pemenang pilkada Gubernur Malut.
Pasal 122 ayat (3) di atas sebenarnya memberikan celah kepada KPU Pusat untuk
mengambil alih tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten. Tetapi, pengaturannya
tidak jelas. Tidak dijelaskan secara rinci dalam kondisi dan alasan apa KPU Pusat
dapat mengambil alih tugas KPUD tersebut. Apakah dapat dibenarkan apabila KPU
Pusat bersandar pada Pasal 122 ayat (3) untuk mengambil alih kewenangan KPUD
dan melakukan rekapitulasi suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dengan alasan
rapat pleno KPUD Maluku Utara beberapa kali mengalami deadlock (jalan buntu).
Jelas bahwa dalam persoalan ini KPU Pusat bertindak atas dasar pertimbangan dan
penafsiran sendiri sebab tidak ada satu Pasal pun dalam UU No 32 Tahun 2004, PP
No 6 Tahun 2007 dan UU No 22 tahun 2007 yang memberikan kewenangan kepada
KPU Pusat untuk mengadakan rekapitulasi ulang, apalagi menetapkan pasangan
calon terpilih Gubernur/Wakil Gubernur.
Kasus sengketa pilkada yang lain terjadi di Sulawesi Selatan.40 Sengketa yang berujung pada putusan MA tersebut diputuskan untuk dilakukan pemungutan suara
40
ulang di daerah pemilihan Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja. MA
menengarai telah terjadi penggelembungan suara di beberapa daerah tersebut.
Namun, putusan PK dari MA menyatakan hakim keliru menerapkan hukum dalam
sengketa pilkada Sulsel. Disebutkan, yang berwenang untuk memutuskan dilakukan
perhitungan suara dan pemungutan ulang adalah panitia pemilih kecamatan (PPK),
penggelembungan jumlah daftar pemilih tetap pada hakikatnya menjadi wewenang
Panitia Pengawas Pemilihan untuk menanganinya. MA memutuskan menolak
keberatan yang disampaikan pasangan calon gubernur Amin Syam dan calon wakil
gubernur Mansyur Ramly. Putusan yang dikeluarkan melalui rapat permusyawaratan
MA itu dipimpin langsung Ketua MA, Bagir Manan, tertanggal 18 Maret 2008.
Dengan demikian, pasangan pemenang Pilkada Sulsel ditetapkan kepada Syahrul
Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang (Sayang) yang terpilih pada November 2007.
Berbeda dengan sengketa pilkada Depok.41 Awal konflik pilkada Depok ketika salah satu pasangan dari lima pasangan, yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad
mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 11 Juli 2005 dengan
menggugat KPU Kota Depok. Alasannya, terdapat kesalahan perhitungan suara
sehingga pasangan itu dirugikan. Sebelumnya, KPU Depok mengumumkan hasil
perhitungan suara pilkada 2005. Pasangan Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra
meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul
Kamal-Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi
41
Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481 suara
(6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).
Pada 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No
01/Pilkada/2005/PT Bandung yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan
menyatakan batal hasil perhitungan suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah
perhitungan suara yang benar, yaitu suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad menjadi
269.551, sedangan suara Nur Mahmudi Isma’il turun menjadi 204.828. Keputusan
ini-pun menganulir kemenangan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun W dan
memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.
Atas putusan PT Jabar tersebut, KPU Depok menolak dan mengajukan memori
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005. Pada 8
September 2005 MA mengumumkan pembentukan Majelis PK perkara sengketa
Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim agung. MA akhirnya memutuskan
mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok, membatalkan putusan PT Jabar di
Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak keberatan dari permohonan Badrul
Kamal-Syihabuddin ihwal pilkada Depok. Dengan putusan MA ini berarti Nur
Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra sah dan punya kekuatan hukum yang tetap
sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada 3 Januari 2006, pasangan Badrul
Kamal mengajukan permohonan keberatan atas putusan MA ke Mahmakah
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
bahwa penyelesaian sengketa pilkada diserahkan melalui proses hukum di Mahkamah
Agung di satu sisi. Sementara, di sisi lain putusan sengketa pemilihan kepala daerah
oleh Mahkamah Agung di beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh,
putusan sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan
pilkada Depok yang berbuntut kontroversi tersebut menunjukkan ketidakjelasan
putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal putusan itu
seharusnya mencerminkan penyelesaian terakhir sengketa pilkada.
Harapan adanya putusan hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak
yang bersengketa nampaknya sulit dicapai. Putusan Mahkamah Agung yang
memerintahkan dilakukannya pilkada ulang atau perhitungan ulang hasilnya digugat
lagi. Tentu saja persoalan akan bertambah runyam. Wajar apabila banyak orang yang
menggugat putusan MA. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik
terhadap MA agak rendah, dan banyak pihak yang berkeinginan agar penyelesaian
sengketa pilkada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi.
Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum, telah memungkinkan MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Hal ini
disebabkan karena adanya perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu.
Permasalahannya adalah apa konsekuensi yuridis perubahan rezim pilkada menjadi
B. Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa Hasil Pilkada
Reformasi dapat diakui mampu meletakkan dasar-dasar substansial bagi
pembangunan demokrasi di indonesia. Salah satu produk reformasi di bidang
pembangunan demokrasi adalah Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan
pemilihan presiden Republik Indonesia secara langsung. Hal ini sangat jauh berbeda
dengan kondisi sebelumnya. Sebagai refresentasi dari rakyat MPR menentukan
pemimpin Negara, rakyatlah yang menentukan siapa pemimpin negara yang
dikehendaki. Sedangkan sebelum reformasi hal tersebut tidak diberikan wewenang
untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Pengalaman pertama, dalam pemilihan pesiden secara langsung dinilai berbagai
kalangan berjalan lancer dan aman. Hal inipun yang kemudian mendapat pujian dari
berbagai negara seperti Amerika, Perancis dan Inggris.42
Keadaan demikian membuat sikap optimis bahwa pembangunan demokrasi di
indonesia akan berjalan dengan baik, sehingga mendorong terciptanya proses
demokrasi di Indonesia secara cepat, utuh dan menyeluruh.
Dengan kondisi yang demikian maka, disahkanlah Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 UUD
1945. sebagai pelaksanaan dari ketentuan Undang-undang Pmerintahan Daerah
tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
42
Dalam konsep berpikir para wakil rakyat saat itu, bagaimana menetapkan
konsep-konsep dasar pemilihan kepala daerah secara langsung, belum tergambar intrik-intrik
yang bakal tumbuh dan bahkan berkembang akibat pelaksanaan Pilkada.43 Tidak terbayangkan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang sangat rawan terjadinya konflik
horizontal antar masa pendukung peserta Pilkada. Menurut pendapat sejumlah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Institut Titian Perdamaian, LBH jakarta,
Perludem, KIPP, KRHN, dan Cetro, Tahapan penetapan hasil Pilkada merupakan
potensi terbesar pecahnya konflik, disebabkan ketidakpuasan calon dan masa
pendukungnya.44 Kondisi ini disebabkan adanya pandangan masyarakat bahwa “Tata Cara penetapan hasil Pilkada sama dengan tata cara penetapan Pemenang Pilpres”,
yaitu bahwa apabila pasangan calon yang memperoleh 50 persen lebih dinyatakan
sebagai pemenang dan bila tidak ada pasangan calon yang mencapai 50 persen lebih
dilakukan pemilihan ulang padahal menurut ketentuan Pasal 107 UU No. 32 Tahun
2004 dinyatakan “calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen dan terbanyak maka dinyatakan sebagai pemenang”.
Keadaan tersebut, membuat masa pendukung tidak bisa meneria kekalahan,
karena pasangan calon hanya dipilih oleh sedikit orang. Ketidakpuasan/keberatan
tentang hasil penghitungan suara hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
Mahkamah Konstitusi45 untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, yang
43
Ibid,.hal. 4
44
Tempo Interaktif, Jakarta: “Tahap Penetapan Hasil Pilkada Paling Rawan”, Seni, 06 Juni 2005.
45
pada awalnya sangat mengkhawatirkan masyarakat mengingat track record lembaga
ini dalam menangani berbagai kasus.46
1. Kewenangan Lembaga Peradilan/Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada
Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan lembaga baru yang menjadi
bagian dari kekuasaan kehakiman, yang berfungsi menangani perkara tertentu di
bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.47 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”.
Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,
terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan umum kepala
daerah. Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik
46
Danggu Konradus, “jangan Diamkan Sengketa Pilkada”. www: http/google, Jumat 26 Agustus 2005
47
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Dengan demikian, apabila pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilu maka
penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945. Persoalannya,
UU No 32 tahun 2004 masih mengatur perselisihan hasil pilkada menjadi
kewenangan Mahkamah Agung sehingga perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk
mempertegas pengaturan mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Melalui UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pilkada telah dialihkan dari MA ke MK.
Peralihan locus penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C
yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan.”
Bunyi Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut dari sudut legal drafting
menimbulkan persoalan. Pertama, menurut Jimly Asshiddiqie,48 Pasal 236C mempunyai penafsiran ganda. Frase “paling lama” dalam kalimat tersebut praktiknya
bisa lebih cepat (satu atau dua hari, pen), apalagi latar belakang munculnya Pasal itu
semata-mata hanya ingin memberi waktu persiapan kepada MK. Misalnya, apabila
48
dalam jangka waktu satu bulan sejak disahkan UU No. 12 tahun 2008 MK sudah siap,
maka perselisihan hasil pilkada dapat langsung ditangani oleh MK. Penafsiran kedua,
maksud “paling lama” adalah sebelum 18 bulan. Artinya, meskipun MK sudah
mempunyai persiapan yang matang, sengketa tersebut tidak serta merta atau belum
dapat dialihkan. Untuk memastikan mana yang benar, maka penafsiran ganda tersebut
dapat dibawa ke MK untuk judicial review. Namun demikian, hal ini
kemungkinannya kecil karena sulit mencari alasan konstitusionalnya. Untuk itu,
Jimly mengembalikan persoalan ini kepada pembentuk undang-undang yaitu Presiden
dan DPR.
Hal senada juga dikatakan oleh Bagir Manan49 bahwa kata ”paling lama” itu bisa jadi besok. Seharusnya isi Pasal itu bukan menggunakan frase ”paling lama” 18
bulan, melainkan dijelaskan dengan kalimat, semua sengketa pilkada yang sudah
diselesaikan oleh MA, kemudian sengketa yang baru ditangani oleh MK. Dengan
demikian, sebuah undang-undang akan memberikan kepastian dan konsisten.
Kedua, sebuah Pasal dalam undang-undang akan tetap dinyatakan berlaku apabila
dalam undang-undang perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau
diubah dengan rumusan Pasal yang baru. UU No 12 Tahun 2008 tidak mengubah
Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan MA untuk
memutus sengketa pilkada. Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 berbunyi:
49
“Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam
waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah”.
Pola pikir anggota DPR dalam membahas undang-undang tersebut keliru karena
lebih mengedepankan proses peralihan dibandingkan dasar hukum utamanya, yakni
Pasal 106. Hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi substantif di dalam UU Pemda
terbaru karena di satu sisi memuat teknis pengalihan tetapi di sisi lain justru
”menjamin” kondisi awalnya tetap ada. Untuk mempertegas atau memberikan
kapastian hukum tentang kewenangan penyelesaian sengketa pilkada masuk dalam
wewenang MK dapat dilakukan pertama, diatur kembali dalam UU pilkada secara
tersendiri dan menyatakan Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tidak berlaku
atau; kedua, dapat dimasukkan ke dalam UU MK yang sekarang sedang direvisi.
Beralihnya penyelesaian sengketa pilkada ke MK akan membawa harapan baru
karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini
dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani sengketa pemilu. Namun
demikian, yang perlu dipikirkan adalah, apabila dalam suatu kasus yang telah diputus
ternyata terdapat bukti baru, apakah MK akan membuka upaya hukum peninjauan
kembali sebagaimana pranata di MA? Di samping itu, beberapa Pasal yang terdapat
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara
dalam Perselisihan Pemilihan Umum perlu dilakukan perubahan misalnya, Bab I
Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota”. Bab III tentang Tata Cara Mengajukan Permohonan,
Pasal 5 ayat (2) seharusnya ditambah huruf (d) yang berbunyi “calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah”. Bab II Pasal 3 ditambah dengan huruf (d) “Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah”. Pasal 4 ditambah dengan huruf (d) yang berbunyi
“terpilihnya calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.
UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 telah
membawa perubahan besar terhadap penyelenggaraan pilkada di Indonesia.
Perubahan itu antara lain dialihkannya penanganan sengketa hasil pilkada dari MA ke
MK. Hal ini merupakan penegasan tentang masuknya pilkada dalam rezim pemilu.
Adanya perubahan tersebut telah menimbulkan banyak persoalan sehingga
terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah. Beberapa pekerjaan rumah
tersebut antara lain: pertama, Pasal 22E UUD 1945 yang menjadi sandaran hukum
penyelenggaraan pemilu sebaiknya dilakukan perubahan sehingga berbunyi
“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Kepala daerah dan Wakil Kerpala Daerah”. Kedua, tentang peran
regulasi pemerintah dalam pilkada. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang
meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana tidak dilakukan
perubahan. Padahal, apabila pilkada sudah beralih ke rezim pemilu, PP tersebut
mutlak tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang
tidak ikut direvisi yaitu: Pasal 65 ayat (4) yang berbunyi ”Tata cara pelaksanaan masa
persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah”; Pasal 98 ayat (3) yang menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut
mengenai, pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat (2) yang menyatakan
bahwa “tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal 114 ayat (4) yaitu “tata
cara untuk menjadi pemantau pemilih dan pementauan pemilihan serta pencaburan
hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Ketiga, tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut
UU No. 32 Tahun 2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala
daerah dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama dengan usul DPRD dan kedua
tanpa usul DPRD. Persoalan akan muncul pada pemberhetian kepala daerah dan
wakil kepala daerah melalui cara yang pertama. UU No. 32 tahun 2004 Pasal 29 jo
Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan bahwa
“pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden
dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala
Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak
Banyaknya persoalan yang ditimbulkan akibat adanya perubahan Kedua UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, adalah sebuah keniscayaan untuk
segera diterbitkannya UU Mahkamah Konstitusi yang baru dan UU Pilkada yang
nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan pilkada di seluruh
Indonesia. Pengaturan lebih lanjut dalam kedua UU tersebut diharapkan dapat
mengantipasi berbagai kendala yang mungkin muncul.
2. Peran Lembaga Peradilan/Mahkamah Konstitusi
Hakim Konstitusi M Laica Marzuki mengatakan, ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum telah
memungkinkan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perselisihan hasil pemilihan
kepala daerah (Pilkada). Ada pengertian baru dalam memandang Pilkada dalam
Undang-Undang itu, ujarnya di depan audiens dalam sebuah diskusi di Jakarta,
Jum’at (17) lalu. Pendapat Laica ini menengok pada amanah Konstitusi, tepatnya
pada Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945. Pasal itu memang memberikan kewenangan
pada MK untuk memutus perselisihan hasil Pemilu. Dalam produk UU anyar itu,
ujarnya, Pilkada sudah dianggap sebagai general election, sehingga masuk ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus jika terjadi persengketaan.
Sayangnya, menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
kewenangan mewasiti perseteruan hasil Pilkada itu masih ada di tampuk kuasa
Mahkamah Agung (MA).Pendapat Laica ini berhulu pada peristiwa sengketa hasil
telah merembet pada pertikaian antara dua massa pendukung partai besar pengusung
calon. Kejadian itu, oleh para pakar tatanegara dianggap bakal berimplikasi pada
sistem ketatanegaraan secara luas.Namun keyakikan pribadi Laica ini menimbulkan
pertanyaan dari Widodo, salah seorang pengajar hukum tata negara dari Universitas
Al-Azhar. Dengan adanya kewenangan itu, maka akan terjadi dualisme kewenangan
sebab masih ada norma lain mengatakan bahwa sengketa itu ada di tangan MA.
Nantinya akan terjadi dualisme kewenangan dari dua lembaga berbeda,ujarnya.50 Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki
karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh
peradilan biasa.51 Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai
orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau
masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).52
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara
yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan
individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan
penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di
pengadilan-pengadilan lainnya.
Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang
hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan
50
Hukumonline.com, didownload rabu 22 april 2009
51
Hal ini disebabkan oleh karena adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andaikata permohonan hanya diajukan oleh seseorang atau individu tertentu.
52
Perbedaan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam hal
kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum
Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya.
Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN
dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU
Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah dapat dikelompokkan
menjadi tiga berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan
Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
yaitu:
1. Tindak pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan
pemenuhan persyaratan peserta pemilu.
2. Tindak pidana yang berkenaan dengan kampanye.
3. Tindak pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil
pemungutan suara.
Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara
negative. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang
kemampuan bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu
ketidakmampuan bertanggungjawab. Tidak mampu bertanggungjawab
adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau
gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan
untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya.
Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika
Dengan berubahnya rezim pemilihan kepala daerah menjadi rezim
pemilihan umum, maka penyelesaian sengketa pilkada yang semula
menjadi kewenangan Mahkamah Agung beralih ke Mahkamah Konstitusi
sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan tersebut tentunya
mengakibatkan banyaknya persoalan yang semestinya perlu ada
pengaturan lebih lanjut baik dalam UU Mahkamah Konstitusi maupun UU
Pemerintahan Daerah. Ada baiknya jika pengaturan tentang Pilkada diatur
tersendiri dan dikeluarkan dari UU Pemerintahan Daerah.
B. Saran
Peradilan memiliki peran penting untuk menyelesaikan konflik dan
sengketa. Hal ni juga berlaku untuk sengketa hasil Pilkada. Para pihak
yang tidak puas atas keputusan penyelenggara pilkada yaitu KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten/Kota dapat membawa masalah ini ke Lembaga
peradilan yang berhak mengadili. Oleh karena itu, peranan hakim yang
mengadili sengketa Pilkada itu sanat penting. Salah satu syarat penting
dari hakim yang mengadili sengketa Pilkada tesebut adalah pemahaman
yang kuat mengenai sistem dan proses serta kerangka ukum
Keberhasilan Pilkada mestinya tidak hanya dilihat dari selesainya seluruh
tahapan sampai pengumuman pemenang. Keberhasilan Pilkada mestinya
juga dilihat dari diselesaikannya segala konflik dan sengketa secara
hukum dan pihak yang dirugikan dapat mengemalikan haknya melalui