• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH - Analisis Terhadap Tindak Pidana Yang Terdapat Dalam Pemilhan Kepala Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH - Analisis Terhadap Tindak Pidana Yang Terdapat Dalam Pemilhan Kepala Daerah"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN

TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Pertanggungjawaban Pidana

1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Alf Ross, pernah mengemukakan pendapatnya sekitar apakah yang dimaksud

dengan seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya, (on guilt, Responsibility and punishment). Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral, agama,

dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu

keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran terhadap suatu sistem

aturan-aturan. Sistem aturan itu dapat bersifat luas dan aneka macam( hukum perdata,

hukum pidana aturan moral dan sebagainya). Kesamaan dari ketiganya adalah bahwa

mereka meliputi suatu rangkaian aturantentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu

kelompok tertentu. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan,

pertanggungjawab dan pemidanaan itu adalah sistem normatif.23

Berpangkal tolak pada sistem normatif yang melahirkan konsepsi kesalahan,

pertanggung jawab dan pemidanaan itu, dicobanya menganalisa tentang pertanggung

jawab pidana. Yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya

perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena

23

(2)

perbuatan itu. Bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti bahwa untuk

tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu dan sistem

hukum itu berlaku atas perbuatan ini. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa

tindakan ini dapat dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Inilah dasar konsepsinya.

Seperti telah diterangkan dimuka, Alf Ross berpendapat bahwa keadilan adalah

kesamaan. Syarat kesamaan berarti bahwa tidak seorangpun diperlakukan

sewenang-wenang atau tanpa dasar berbeda dari orang-orang lain. Sedangkan arti kesamaan itu

ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran norma kesusilaan dan nnorma-norma hukum

yang berlaku. Oleh karenanya ia berpendapat bahwa keputusan yang patut dan adil

adalah keputusan yang terjadi sesuai dengan norma yang berlaku.

Dan kini, pendapatnya tentang keadilan diterapkannya dalam rumusannya tentang

pertanggungjawab pidana, yaitu adalah patut dan adil seseorang dijatuhkan pidana

karena perbuatannya jika memang telah ada aturannya dalam sistem hukum tertentu

dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Persoalan pertanggung jawab

pidana termasuk dalam persoalan keadilan.

Perlu dicatat keterangan Ross lebih jauh, bahwa dalam penegasan tentang

pertanggungjawab itu dinyatakan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan

yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang diisyaratkan. Hubungan antara

keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh

aturan hukum. Jadi pertanggungjawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan

hukum.

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan

(3)

dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam

melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan, sebab azas dalam

pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan (Geen staf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea)24

Penulis seperti pompe mengatakan bahwa ada kesalahan jika perbuatan yang

dilakukan oleh terdakwa “verwijtbaar” (dapat dicela) dan “vermijdbaar” (dapat

dihindari). Sedangkan mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah syarat-syarat

yang mendasarkan celaan peronlijk terhadap orang yang melakukan perbuatan. Sedangkan yang dirumuskan oleh Simons bahwa: “kesalahan adalah adanya keadaan

psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya

hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian

rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tada”. A.A.G. Peters

(dalam bukunya Opzet en scld in het strfrecht, deventer 1966) kesalahan dikemukakannya sebgai suatu pengertian instrumental. Dan dalam hubungan tulisan

ini yang lebih penting lagi adalah bahwa pandangan Peters ini olehnya dikaitkan

dengan pemikiran tentang kepatutan keadilan dan demokratisnya keputusan.25

Jika ada pelanggaran norma dan sanksinya, selalu akan ada pertanggungjawab.

Pertanggungjawab dapat terjadi dalam bentuk menjatuhkan denda, memenjarakan

dalam rumah penjara, dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, dijatuhi hukuman matidan

dengan banyak bentuk-bentuk lain lagi. Dasar bagi pertanggungjawab ini adalah

kesalahan, yang hanya ada karena keharusan adanya aksi yang harus dibenarkan pula.

24

Moeljatno, Hukum Pidana II, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 hal 153

25

(4)

Sementara itu mempertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika kita ingin

bersifat kemanusiaan, haruslah pula ia suatu tindakan yang masuk akal dan

berkesusilaan, demikian dikemukakan Peters.

2 Kesalahan dan Kemampuan bertanggungjawab

Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana,

maka tindak pidana merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dari

pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat

eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan

adapula syarat internal. Dalam hal ini persyaratan yang justru terletak pada diri

pembuat. Konkretnya, kondisi pembuat yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak

pidana. Syarat (internal) tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban

pidana.

Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan adalah dapat

dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat lain. Dicelanya

subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan

terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya

kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin yang normal.

Moeljatno mengatakan, ”hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal

sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang

telah dianggap baik dalam masyarakat.”26Oleh karena itu, hanya orang yang keadaan

26

(5)

batinnya normal memenuhi persyaratan untuk dinilai, apakah dapat dicela atas suatu

tindak pidana yang dilakukannya.

Keadaan batin yang normal ditentukan oleh factor akal pembuat. Akalnya dapat

membeda-bedakan perbuatn yang dapat dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh

dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang boleh

dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana.

Dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing

kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya

diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum.

Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi

syarat untuk dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’, maka pembuat dapat

dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian, keadaan batin

pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh

dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu

bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan.

Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan adalah syarat kesalahan, sehingga

bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek

hukum manusia, mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban

pidana, sekaligus syarat adanya kesalahan.

Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negative.

(6)

bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu ketidakmampuan

bertanggungjawab27. Demikian misalnya Pasal 44 KUHP. Dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidak mampu bertanggungjawab ditandai oleh salah satudari dua

hal, yaitu: jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Tidak mampu

bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat

jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan

untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain,

seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika tidak ditemukan

keadaan-keadaan tersebut.

Tidak normalnya keadaan batin pembuat menyebabkan dirinya tidak dapat

membeda-bedakan perbuatan yang benar dan salah atau perbuatan yang

diperbolehkan atau dilarang. Tidak dapat dipertaggungjawabkan mengakibatkan tidak

dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda (sebab) seseorang tidak mampu

bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan

dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini.

Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak

perlu diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapusan

kesalahan pada dirinya. Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya

berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapuskan

pidana. Persoalan lainnya, apakah terhadap orang yang kurang dapat

dipertanggungjawabkan itu proses hukumnya diteruskan hingga diselidiki mengenai

bentuk kesalahan dan ketiadaan alasan penghapus kesalahan. Sebaiknya, jika kurang

27

(7)

dapat bertanggungjawab tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana, maka

perumusannya dalam paragraph yang terpisah dengan tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

3 Bentuk-bentuk Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana

Diterimanya kesalahan dalam pengertian normatif, menyebabkan terbentuknya

kesalahan pembuat, sangat tergantung dari hasil penilaian atas keadaan batin

pembuat. Dalam hal ini keadaan batin yang kemudian mendorong pikiran pembuat

untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau menimbulkan akibat yang

dilarang undang-undang. Dengan demikian, kesalahan umumnya ditandai adanya

penggunaan pikiran pembuat, yang kemudian dari hal itu lahir suatu kelakuan (atau

tidak melakukan) atau timbul suatu akibat yang dilarang dalam hukum pidana.

Terhadap tindak pidana yang dirumuskan secara formal, pembuat mengarahkan

pikirannya untuk mewujudkan perbuatan yang dilarang. Sedangkan terhadap tindak

pidana materiil, pikiran pembuat tertuju untuk menimbulkan akibat yang dilarang.

Dengan demikian, kehendak dan pengetahuannya telah mendorong pikirannya untuk

melakukan sesuatu, yang ternyata suatu tindak pidana. Dalam hal ini, isi kesalahan

ditentukan oleh penggunaan pikiran pembuat yang diarahkan pada terjadinya tindak

pidana.

Penggunaan pikirannya secara salah, yaitu ditujukan untuk mewujudkan tindak

pidana, merupakan pertanda adanya kesalahan. Tidak terdapat adanya pertanda

kesalahan, jika tindak pidana terjadi terlepas dari pengunaan pikiran pembuatnya.

(8)

yaitu mereka yang berusia antara delapan sampai delapan belas tahun, (Pasal 1 huruf

a Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) yang melakukan

tindak pidana, juga didasarkan pada hal ini. Tidak dipidananya pembuat disini, karena

pada anak-anak belum dilekatkan kewajiban untuk mengguanakan pikiran

sebagaimana yang ditentukan oleh hukum. Dengan kata lain, dalam hal tindak pidana

yang dilakukan oleh anak-anak tidak dapat dicelakan terhadapnya, maka padanya

tidak dapat dikatakan telah ada kesalahan.

Seorang pembuat juga tidak diliputi kesalahan, jika tindak pidana terjadi karena

perbuatan diluar control pikirannya. Perbuatan tersebut timbul bukan karena

(perintah) pikiran pembuat. Dalam hal ini tidak dipidananya pembuat karena

perbuatan terjadi diluar control pikirannya. Dengan demikian, dapat dikatakan tidak

terdapat pertanda kesalahan. Tidak adanya pertanda kesalahan bukan karena pembuat

tidakdapat menghindari tindak pidana tersebut, tetapi memang perbuatan tersebut

tidak usah dihindari. Tindak pidana yang terjadi karena perbuatan yang di luar kontrol

pembuatnya, umumnya dipandang sebagai defence. Dengan demikian, tindak pidana dipandang sebagai involuntary conduct dan karenanya tidak memenuhi syarat sebagai

mens rea.28

Pikiran pembuatlah yang menentukan tentang dilakukannya atau timbulnya akibat

suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan kata lain,

seharusnya pikiran pembuat harus tertuju untuk sejauh mungkin dapat berbuat lain,

selain tindak pidana. Dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian

28

(9)

mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana, disebut sebagai bentuk

kesalahan yang secara teknis disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan merupakan

tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan pembuat.29

Kesengajaan dapat terjadi, jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara

salah. Dalam ha ini, pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya, yang

tertuju pada suatu tindak pidana. Hornsby mengatakan, “wanting, thinking, and intentinally doing as an interdependent triad conceps.” ‘Kehendak’, ‘berpikir’, ‘dengan sengaja melakukan’ merupakan konsep-konsep yang saling berhubungan.

Kesengajaan ditujukan kepada terjadinya tindak pidana yang bersifat melawan

hukum. Tindak pidana disini selain merupakan perbuatan atau akibat yang mencocoki

rumusan undang-undang yang melarangnya, juga bertentangan dengan kesadaran

hukum masyarakat. Termasuk tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang

mempunyai pertalian dengan tindak pidana yang dilakukan orang lain. Singkatnya,

termasuk tindak pidana adalah percobaan dan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam

hal mana perbuatan, percobaan dan penyertaan itu bersifat melawan hukum atau

bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.30

Dapat dicelanya pembuat justru karena dia telah mengarahkan kehendak dan

pengetahuannya itu untuk melakukan tindak pidana dengan sengaja. Dengan kata

lain, penilaian dapat dicelanya pembuat karena tidak berbuat lain selaintindak pidana

atau berbuat yang tidak diharapkan masyarakat atau tidak menghindari terjadinya

tindak pidana, terutama dilakukan dengan melihat apakah suatu tindak pidana terjadi

29

Ibid , 104

30

(10)

Karena kesengajaan pembuatnya. Demikian pula halnya dengan tindak pidana

penyertaan. Baik dalam suruh lakukan, turut serta melakukan, penganjuran, dan

pembantuan, selain dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan dengan

ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, masih diperlukan kesengajaan untuk

memepertanggungjawabkan pembuatnya. Menngerakkan orang lain untuk melakukan

tindak pidana, baik dalam bentuk suruh lakukan maupun dalam bentuk suruh lakukan

maupun dalam bentuk penganjuran, hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila

dilakukan dengan sengaja. Selain itu, untuk adanya turut serta melakukan diperlukan

adanya kerjasama yang sadar, sehinnga hal ini hanya mungkin terjadi kalau ada

kesengajaan.31Demikian pula halnya terhadap pembantuan. “Pada asasnya tiap kesengajaan memberi bantuan dapat dikualifikasi sebagai pembantuan.”32 Kesengajaan pembantu haruslah diarahkan pada terjadinya atau dipermudahnya

terjadi kejahatan.33

Percobaan dan penyertaan hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuat

apabila pada waktu melakukan perbuatan tersebut, batin pembuat menghendaki dan

mengetahui hal tersebut. Selain itu, percobaan dan penyertaan, tidak

dipertanggungjawabkan terhadap pembuatnya jika pada diri pembuat terdapat bentuk

kesalahan lain (kealpaan). Kesengajaan sebagai pertanda adanya kesalahan

menyebabkan sekalipun hai itu tidak dimuat dalam rumusan tindak pidana, tetapi

selalu harus diperhatikan untuk mempertanggungjawabkan seseorang. Tidak

dimuatnya unsur kesengajaan dalam hal ini, hanya mempunyai dampak dalam

31

Roeslan saleh, Op. ,cit., 31

32

Ibid., 40

33

(11)

lapangan acara (pembuktian). Dalam KUHP, terkadang Undang-Undang memang

secara eksplisit menentukan kesengajaan dalam rumusan tindak pidana.

Kadang-kadang justru hanya secara implicit. Dengan kata lain kesengajaan ‘diobjektifkan’.

Bahkan, tidak jarang kesengajaan tidak ‘tampak’ dalam rumusan tindak pidana.

Perumusan secara eksplisit ataupun samar-samar tentang kesengajaan dalam rumusan

tindak pidana, hanya sebagai alat bantu untuk menafsirkan rumusan tindak pidana

tersebut. Tentunya juga menjadi alat bantu untuk menentukan kesalahan pembuat.

Kesengajaan misalnya dirumuskan dengan berbagai istilah. ‘Dengan sengaja’

merupakan perumusan kesengajaan yang paling gamblang. Hal ini tampak misalnya

dalam Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354, dan 372 KUHP. Namun demikian,

adakalanya hal tercermin dari istilah ‘yang diketahuinya’ (misalnya dalam Pasal 24,

220,dan 419 KUHP), ‘sedang diketahuinya’ (Pasal 110, 250,dan 275 KUHP), ‘sudah

tahu’ (Pasal 483 ke-2 KUHP), ‘dapat mengetahui’ (Pasal 164 dan 464 KUHP), telah

dikenalnya (Pasal 245 dan 247 KUHP), ‘telah diketahuinya’ (Pasal 282 KUHP),

‘bertentangan dengan pengetahuannya’ (Pasal 311 KUHP), ‘pengurangan hak secara

curang’ (Pasal 397), ‘dengan tujuan yang nyata’ (Pasal 310), ‘dengan maksud’, atau

tersirat dari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana.34

Sementara itu, kesengajaan masih diklasifikasi dalam corak-corak tertentu.

Umumnya dibedakan tiga corak kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud,

kesengajaan sebagai keharusan, dan kesengajaan. Menurut Roeslan Saleh, dalam hal

ini,”maksud pembuat tertuju kepada sesuatu yang lain, tetapi padanya sementara itu

34

(12)

ada pula keyakinan, bahwa yang dimaksud ini tidak akan dapat dicapai tanpa

timbulnya akibat yang sebenarnya tidak diinginkan.”35Dengan demikian, kesengajaan kemudian hanya dibedakan dalam corak kesengajaan sebagai keharusan dan

kesengajaan sebagai kemungkinan.

Kesengajaan sebagai keharusan dapat terjadi, apabila tujuan yang hendak dicapai

pembuat hanya dapat terwujud dengan melakukan perbuatan tersebut. Kesengajaan

karena kemungkinan dapat ditentukan, baik jika pembuat mengetahui perbuatannya

juga mempunyai jangkauan untuk dalam keadaan-keadaan tertentu akan terjadi suatu

akibat, ataupun pembuat berpikir ‘apa boleh buat’ untuk mencapai tujuan tertentu dia

melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Pertanda kesalahan yang lain, secara teknis hukum pidana disebut dengan

kealpaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang bersifat eksepsional. Artinya,

tidak semua perbuatan yang terjadi karena kealpaan pembuatnya dapat dicela. Dapat

dicela pembuat terutama merujuk pada yang melakukan tindak pidana dengan

kesengajaan. Sedangkan pada kealpaan adalah pengecualian. Hanya apabila

undang-undang menentukan suatu perbuatan yang terjadi karena kealpaan menyebabkan

pembuatnya juga dapat dicela, yang merupakan tindak pidana. Corak kealpaan terdiri

dari kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari

terjadi jika pembuat idak menggunakan pikirannyadengan baik, sehingga timbul

akibat yang dilarang. Pembuatnya tidak mengetahui apa yang seharusnya dia ketahui.

Sama artinya tidak mengetahui yang dapat diketahuinya, dan tidak menduga apa yang

35

(13)

dapat diduganya.36 Pada kealpaan yang tidak disadari, pembuat justru sama sekali tidak terpikir bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan tindak pidana, padahal

seharusnya dia memikirkannya.37

B. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Dalam Pemilihan Kepala Daerah menurut Peraturan Hukum Positif yang ada di Indonesia (UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah)

Didalam UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur secara tegas mengenai

pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah, hal

ini dapat kita lihat dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, dan Pasal 119,

yang mana mengatur mengenai ketentuan pidana pemilihan Kepala daerah dan wakil

Kepala Daerah.

Dalam Pasal 115 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar

mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk

pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima

belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.

100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta

rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak

pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam

36

S. R. Sianturi, Op. Cit., 196

37

(14)

dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan

dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling

banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan

dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan

maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau

tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan

paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00

(enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan,

menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah,

diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18

(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu

rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada

padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar

sebagai pemilih dalam Pemilihan kepala daerah menurut undang-undang ini,

diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18

(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu

rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau

menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang

diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Pasangan calon kepala daerah/wakil

kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau

paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00

(enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Dalam Pasal 116 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU

(15)

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu

yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling singkat 15

(lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit

Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta

rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan

kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,

huruf e dan huruf f diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau

paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00

(enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan

kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j dan Pasal 79 ayat (1),

ayat (3), dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan

atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus

ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan

kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling

lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam

ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu

jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau

paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus

ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang

ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), diancam dengan pidana

(16)

dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari

atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat

(1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat

(2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama

24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua

ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar

dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini,

diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12

(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)

atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Dalam Pasal 117 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk

memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling

lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi

lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih

Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu

sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara

paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau

denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak

(17)

(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya

sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana penjara

paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau

denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000,00 ( satu juta rupiah).

(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan

suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara

paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda

paling sedikit Rp. 200.000,00 ( dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.

2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam

dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun

dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(6) Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang

pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut

tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan

dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00

(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi

seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1),

diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12

(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang

lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama

12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta

(18)

Dalam Pasal 118 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara

seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan Pasangan calon tertentu

mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan

pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau

denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.

10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil

pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat

4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.

2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta

rupiah).

(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil

pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat

15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit

Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu

juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau

berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara

paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling

sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sedangkan dalam Pasal 119 mengatur mengenai pidana Jika tindak pidana

dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman

pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, Pasal

(19)

BAB IV

PERAN LEMBAGA PERADILAN DALAM

SENGKETA PILKADA

A. Sengketa Pilkada

1. Pengertian

Yang dimaksud dengan sengketa Pilkada adalah sebagaimana diatur dalam Pasal

66 ayat (4) dan Pasal 104 UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas UU

No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dari Pasal-Pasal tersebut sengketa

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: sengketa yang kewenangan penyelesaiannya ada

di tangan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan sengketa yang kewenangan

penyelesaiannya ada di tangan lembaga peradilan.

Sengketa Pilkada yang penyelesaiannya ditangani oleh Panwaslu adalah sengketa

yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada. Sengketa ini diselesaikan berdasarkan

Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 Pasal 111 ayat (4) dan (5), yang dibedakan

lagi menjadi:

a. Laporan yang bersifat sengketa dan tidak mengandung unsur-unsur pidana,

diselesaikan oleh Panitia Pengawas Pilkada.

b. Laporan yang bersifat sengketa mengandung unsur tindak pidana,

penyelesaiannya diteruskan kepada aparat penyidik.

Sedangkan sengketa Pilkada yang penyelesaiannya ditangani oleh lembaga

peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung, adalah sengketa hasil penetapan Pilkada

(20)

No.32 Tahun 2004 Jo Peraturan MA No. 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan

Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari

KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.

2. Permasalahan Hukum yang Terjadi dalam Pilkada

Perkembangan berdemokrasi di daerah tumbuh luar biasa sejak lahirnya kebijakan

otonomi daerah. Seluruh kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sesuai

dengan amanat undang-undang yang lahir di era reformasi – kecuali jabatan Gubernur

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Di beberapa daerah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melahirkan

ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas hasil Pilkada tersebut ke

pengadilan dengan alasan yang beragam.

Di Maluku Utara misalnya, penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah telah

menimbulkan kekacauan dan berakhir dengan menyisakan sejumlah permasalahan.

Bahkan, pihak KPUD Maluku Utara dipandang tidak mampu melaksanakan

pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hasil penghitungan

suara yang diperoleh masing-masing calon kepala daerah menimbulkan kontroversi.

Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat mengambil alih peran untuk

melakukan penghitungan ulang.

Intervensi KPU Pusat berawal dari keterangan KPU Provinsi Maluku Utara

(Malut) dengan KPUD Kabupaten/Kota Malut terkait kesimpangsiuran

(21)

sama, tetapi dengan angka perhitungan yang berbeda. Hal ini nampak aneh karena

sudah jelas angkanya berbeda tetapi penandatanganannya sama.38 Buah intervensi tersebut menghasilkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah Maluku Utara oleh

KPU Pusat dan membatalkan penetapan KPUD Provinsi Maluku Utara.

Secara teoritis, intervensi pusat kepada daerah memang dapat dibenarkan yaitu

apabila terjadi kemacetan dalam proses demokrasi. Kemacetan demokrasi dimaksud

adalah kondisi apabila elit daerah, baik eksekutif (birokrat) maupun legislatif

(politisi), melakukan konspirasi dengan mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat

daerah untuk kepentingan kelompok elit itu sendiri. Apabila hal itu yang terjadi,

maka campur tangan pusat, baik pemerintah pusat maupun pimpinan pusat partai

politik dapat dibenarkan dengan argumen untuk melindungi kepentingan rakyat.39

Dalam soal pengambilalihan, KPU Pusat menggunakan Pasal 122 ayat (3) UU No

22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan

KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat menjalankan tugasnya, tahapan

penyelenggaraan Pemilu untuk sementara dilaksanakan oleh KPU setingkat di

atasnya. Persoalannya, KPU Provinsi Maluku Utara berhasil menjalankan tugasnya,

bahkan sudah mengumumkan pemenang Pilkada. Jadi, tidak ada kriteria yang

membuktikan bahwa KPU Provinsi Maluku Utara tidak dapat menjalankan tugasnya,

38

Koran Sindo, 23 November 2007

39

(22)

karena telah dibuktikan dengan selesainya semua tahapan Pilkada sampai

dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi Maluku Utara No. 20/Kep/PGWG/2007

pada tanggal 16 November 2007, KPUD Malut telah menetapkan pasangan

Thaib-Abdul sebagai pemenang pilkada Gubernur Malut.

Pasal 122 ayat (3) di atas sebenarnya memberikan celah kepada KPU Pusat untuk

mengambil alih tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten. Tetapi, pengaturannya

tidak jelas. Tidak dijelaskan secara rinci dalam kondisi dan alasan apa KPU Pusat

dapat mengambil alih tugas KPUD tersebut. Apakah dapat dibenarkan apabila KPU

Pusat bersandar pada Pasal 122 ayat (3) untuk mengambil alih kewenangan KPUD

dan melakukan rekapitulasi suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dengan alasan

rapat pleno KPUD Maluku Utara beberapa kali mengalami deadlock (jalan buntu).

Jelas bahwa dalam persoalan ini KPU Pusat bertindak atas dasar pertimbangan dan

penafsiran sendiri sebab tidak ada satu Pasal pun dalam UU No 32 Tahun 2004, PP

No 6 Tahun 2007 dan UU No 22 tahun 2007 yang memberikan kewenangan kepada

KPU Pusat untuk mengadakan rekapitulasi ulang, apalagi menetapkan pasangan

calon terpilih Gubernur/Wakil Gubernur.

Kasus sengketa pilkada yang lain terjadi di Sulawesi Selatan.40 Sengketa yang berujung pada putusan MA tersebut diputuskan untuk dilakukan pemungutan suara

40

(23)

ulang di daerah pemilihan Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja. MA

menengarai telah terjadi penggelembungan suara di beberapa daerah tersebut.

Namun, putusan PK dari MA menyatakan hakim keliru menerapkan hukum dalam

sengketa pilkada Sulsel. Disebutkan, yang berwenang untuk memutuskan dilakukan

perhitungan suara dan pemungutan ulang adalah panitia pemilih kecamatan (PPK),

penggelembungan jumlah daftar pemilih tetap pada hakikatnya menjadi wewenang

Panitia Pengawas Pemilihan untuk menanganinya. MA memutuskan menolak

keberatan yang disampaikan pasangan calon gubernur Amin Syam dan calon wakil

gubernur Mansyur Ramly. Putusan yang dikeluarkan melalui rapat permusyawaratan

MA itu dipimpin langsung Ketua MA, Bagir Manan, tertanggal 18 Maret 2008.

Dengan demikian, pasangan pemenang Pilkada Sulsel ditetapkan kepada Syahrul

Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang (Sayang) yang terpilih pada November 2007.

Berbeda dengan sengketa pilkada Depok.41 Awal konflik pilkada Depok ketika salah satu pasangan dari lima pasangan, yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad

mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 11 Juli 2005 dengan

menggugat KPU Kota Depok. Alasannya, terdapat kesalahan perhitungan suara

sehingga pasangan itu dirugikan. Sebelumnya, KPU Depok mengumumkan hasil

perhitungan suara pilkada 2005. Pasangan Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra

meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul

Kamal-Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi

41

(24)

Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481 suara

(6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).

Pada 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No

01/Pilkada/2005/PT Bandung yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan

menyatakan batal hasil perhitungan suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah

perhitungan suara yang benar, yaitu suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad menjadi

269.551, sedangan suara Nur Mahmudi Isma’il turun menjadi 204.828. Keputusan

ini-pun menganulir kemenangan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun W dan

memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.

Atas putusan PT Jabar tersebut, KPU Depok menolak dan mengajukan memori

Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005. Pada 8

September 2005 MA mengumumkan pembentukan Majelis PK perkara sengketa

Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim agung. MA akhirnya memutuskan

mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok, membatalkan putusan PT Jabar di

Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak keberatan dari permohonan Badrul

Kamal-Syihabuddin ihwal pilkada Depok. Dengan putusan MA ini berarti Nur

Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra sah dan punya kekuatan hukum yang tetap

sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada 3 Januari 2006, pasangan Badrul

Kamal mengajukan permohonan keberatan atas putusan MA ke Mahmakah

(25)

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan

bahwa penyelesaian sengketa pilkada diserahkan melalui proses hukum di Mahkamah

Agung di satu sisi. Sementara, di sisi lain putusan sengketa pemilihan kepala daerah

oleh Mahkamah Agung di beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh,

putusan sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan

pilkada Depok yang berbuntut kontroversi tersebut menunjukkan ketidakjelasan

putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal putusan itu

seharusnya mencerminkan penyelesaian terakhir sengketa pilkada.

Harapan adanya putusan hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak

yang bersengketa nampaknya sulit dicapai. Putusan Mahkamah Agung yang

memerintahkan dilakukannya pilkada ulang atau perhitungan ulang hasilnya digugat

lagi. Tentu saja persoalan akan bertambah runyam. Wajar apabila banyak orang yang

menggugat putusan MA. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik

terhadap MA agak rendah, dan banyak pihak yang berkeinginan agar penyelesaian

sengketa pilkada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi.

Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan

Umum, telah memungkinkan MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Hal ini

disebabkan karena adanya perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu.

Permasalahannya adalah apa konsekuensi yuridis perubahan rezim pilkada menjadi

(26)

B. Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa Hasil Pilkada

Reformasi dapat diakui mampu meletakkan dasar-dasar substansial bagi

pembangunan demokrasi di indonesia. Salah satu produk reformasi di bidang

pembangunan demokrasi adalah Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan

pemilihan presiden Republik Indonesia secara langsung. Hal ini sangat jauh berbeda

dengan kondisi sebelumnya. Sebagai refresentasi dari rakyat MPR menentukan

pemimpin Negara, rakyatlah yang menentukan siapa pemimpin negara yang

dikehendaki. Sedangkan sebelum reformasi hal tersebut tidak diberikan wewenang

untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Pengalaman pertama, dalam pemilihan pesiden secara langsung dinilai berbagai

kalangan berjalan lancer dan aman. Hal inipun yang kemudian mendapat pujian dari

berbagai negara seperti Amerika, Perancis dan Inggris.42

Keadaan demikian membuat sikap optimis bahwa pembangunan demokrasi di

indonesia akan berjalan dengan baik, sehingga mendorong terciptanya proses

demokrasi di Indonesia secara cepat, utuh dan menyeluruh.

Dengan kondisi yang demikian maka, disahkanlah Undang-Undang No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 UUD

1945. sebagai pelaksanaan dari ketentuan Undang-undang Pmerintahan Daerah

tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang

Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah.

42

(27)

Dalam konsep berpikir para wakil rakyat saat itu, bagaimana menetapkan

konsep-konsep dasar pemilihan kepala daerah secara langsung, belum tergambar intrik-intrik

yang bakal tumbuh dan bahkan berkembang akibat pelaksanaan Pilkada.43 Tidak terbayangkan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang sangat rawan terjadinya konflik

horizontal antar masa pendukung peserta Pilkada. Menurut pendapat sejumlah

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Institut Titian Perdamaian, LBH jakarta,

Perludem, KIPP, KRHN, dan Cetro, Tahapan penetapan hasil Pilkada merupakan

potensi terbesar pecahnya konflik, disebabkan ketidakpuasan calon dan masa

pendukungnya.44 Kondisi ini disebabkan adanya pandangan masyarakat bahwa “Tata Cara penetapan hasil Pilkada sama dengan tata cara penetapan Pemenang Pilpres”,

yaitu bahwa apabila pasangan calon yang memperoleh 50 persen lebih dinyatakan

sebagai pemenang dan bila tidak ada pasangan calon yang mencapai 50 persen lebih

dilakukan pemilihan ulang padahal menurut ketentuan Pasal 107 UU No. 32 Tahun

2004 dinyatakan “calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen dan terbanyak maka dinyatakan sebagai pemenang”.

Keadaan tersebut, membuat masa pendukung tidak bisa meneria kekalahan,

karena pasangan calon hanya dipilih oleh sedikit orang. Ketidakpuasan/keberatan

tentang hasil penghitungan suara hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada

Mahkamah Konstitusi45 untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, yang

43

Ibid,.hal. 4

44

Tempo Interaktif, Jakarta: “Tahap Penetapan Hasil Pilkada Paling Rawan”, Seni, 06 Juni 2005.

45

(28)

pada awalnya sangat mengkhawatirkan masyarakat mengingat track record lembaga

ini dalam menangani berbagai kasus.46

1. Kewenangan Lembaga Peradilan/Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada

Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan lembaga baru yang menjadi

bagian dari kekuasaan kehakiman, yang berfungsi menangani perkara tertentu di

bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara

bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.47 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum”.

Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,

terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan umum kepala

daerah. Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala

Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik

46

Danggu Konradus, “jangan Diamkan Sengketa Pilkada”. www: http/google, Jumat 26 Agustus 2005

47

(29)

Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Dengan demikian, apabila pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilu maka

penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan Mahkamah

Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945. Persoalannya,

UU No 32 tahun 2004 masih mengatur perselisihan hasil pilkada menjadi

kewenangan Mahkamah Agung sehingga perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk

mempertegas pengaturan mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah.

Melalui UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pilkada telah dialihkan dari MA ke MK.

Peralihan locus penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C

yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada

Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini

diundangkan.”

Bunyi Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut dari sudut legal drafting

menimbulkan persoalan. Pertama, menurut Jimly Asshiddiqie,48 Pasal 236C mempunyai penafsiran ganda. Frase “paling lama” dalam kalimat tersebut praktiknya

bisa lebih cepat (satu atau dua hari, pen), apalagi latar belakang munculnya Pasal itu

semata-mata hanya ingin memberi waktu persiapan kepada MK. Misalnya, apabila

48

(30)

dalam jangka waktu satu bulan sejak disahkan UU No. 12 tahun 2008 MK sudah siap,

maka perselisihan hasil pilkada dapat langsung ditangani oleh MK. Penafsiran kedua,

maksud “paling lama” adalah sebelum 18 bulan. Artinya, meskipun MK sudah

mempunyai persiapan yang matang, sengketa tersebut tidak serta merta atau belum

dapat dialihkan. Untuk memastikan mana yang benar, maka penafsiran ganda tersebut

dapat dibawa ke MK untuk judicial review. Namun demikian, hal ini

kemungkinannya kecil karena sulit mencari alasan konstitusionalnya. Untuk itu,

Jimly mengembalikan persoalan ini kepada pembentuk undang-undang yaitu Presiden

dan DPR.

Hal senada juga dikatakan oleh Bagir Manan49 bahwa kata ”paling lama” itu bisa jadi besok. Seharusnya isi Pasal itu bukan menggunakan frase ”paling lama” 18

bulan, melainkan dijelaskan dengan kalimat, semua sengketa pilkada yang sudah

diselesaikan oleh MA, kemudian sengketa yang baru ditangani oleh MK. Dengan

demikian, sebuah undang-undang akan memberikan kepastian dan konsisten.

Kedua, sebuah Pasal dalam undang-undang akan tetap dinyatakan berlaku apabila

dalam undang-undang perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau

diubah dengan rumusan Pasal yang baru. UU No 12 Tahun 2008 tidak mengubah

Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan MA untuk

memutus sengketa pilkada. Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 berbunyi:

49

(31)

“Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam

waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah”.

Pola pikir anggota DPR dalam membahas undang-undang tersebut keliru karena

lebih mengedepankan proses peralihan dibandingkan dasar hukum utamanya, yakni

Pasal 106. Hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi substantif di dalam UU Pemda

terbaru karena di satu sisi memuat teknis pengalihan tetapi di sisi lain justru

”menjamin” kondisi awalnya tetap ada. Untuk mempertegas atau memberikan

kapastian hukum tentang kewenangan penyelesaian sengketa pilkada masuk dalam

wewenang MK dapat dilakukan pertama, diatur kembali dalam UU pilkada secara

tersendiri dan menyatakan Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tidak berlaku

atau; kedua, dapat dimasukkan ke dalam UU MK yang sekarang sedang direvisi.

Beralihnya penyelesaian sengketa pilkada ke MK akan membawa harapan baru

karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini

dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani sengketa pemilu. Namun

demikian, yang perlu dipikirkan adalah, apabila dalam suatu kasus yang telah diputus

ternyata terdapat bukti baru, apakah MK akan membuka upaya hukum peninjauan

kembali sebagaimana pranata di MA? Di samping itu, beberapa Pasal yang terdapat

dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara

dalam Perselisihan Pemilihan Umum perlu dilakukan perubahan misalnya, Bab I

(32)

Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota”. Bab III tentang Tata Cara Mengajukan Permohonan,

Pasal 5 ayat (2) seharusnya ditambah huruf (d) yang berbunyi “calon kepala daerah

dan wakil kepala daerah”. Bab II Pasal 3 ditambah dengan huruf (d) “Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah”. Pasal 4 ditambah dengan huruf (d) yang berbunyi

“terpilihnya calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.

UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 telah

membawa perubahan besar terhadap penyelenggaraan pilkada di Indonesia.

Perubahan itu antara lain dialihkannya penanganan sengketa hasil pilkada dari MA ke

MK. Hal ini merupakan penegasan tentang masuknya pilkada dalam rezim pemilu.

Adanya perubahan tersebut telah menimbulkan banyak persoalan sehingga

terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah. Beberapa pekerjaan rumah

tersebut antara lain: pertama, Pasal 22E UUD 1945 yang menjadi sandaran hukum

penyelenggaraan pemilu sebaiknya dilakukan perubahan sehingga berbunyi

“Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, Kepala daerah dan Wakil Kerpala Daerah”. Kedua, tentang peran

regulasi pemerintah dalam pilkada. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang

meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana tidak dilakukan

perubahan. Padahal, apabila pilkada sudah beralih ke rezim pemilu, PP tersebut

mutlak tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan

(33)

Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang

tidak ikut direvisi yaitu: Pasal 65 ayat (4) yang berbunyi ”Tata cara pelaksanaan masa

persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan

Pemerintah”; Pasal 98 ayat (3) yang menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut

mengenai, pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat (2) yang menyatakan

bahwa “tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD

dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal 114 ayat (4) yaitu “tata

cara untuk menjadi pemantau pemilih dan pementauan pemilihan serta pencaburan

hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

Ketiga, tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut

UU No. 32 Tahun 2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala

daerah dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama dengan usul DPRD dan kedua

tanpa usul DPRD. Persoalan akan muncul pada pemberhetian kepala daerah dan

wakil kepala daerah melalui cara yang pertama. UU No. 32 tahun 2004 Pasal 29 jo

Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan

dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan bahwa

“pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden

dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala

Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak

(34)

Banyaknya persoalan yang ditimbulkan akibat adanya perubahan Kedua UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, adalah sebuah keniscayaan untuk

segera diterbitkannya UU Mahkamah Konstitusi yang baru dan UU Pilkada yang

nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan pilkada di seluruh

Indonesia. Pengaturan lebih lanjut dalam kedua UU tersebut diharapkan dapat

mengantipasi berbagai kendala yang mungkin muncul.

2. Peran Lembaga Peradilan/Mahkamah Konstitusi

Hakim Konstitusi M Laica Marzuki mengatakan, ketentuan dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum telah

memungkinkan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perselisihan hasil pemilihan

kepala daerah (Pilkada). Ada pengertian baru dalam memandang Pilkada dalam

Undang-Undang itu, ujarnya di depan audiens dalam sebuah diskusi di Jakarta,

Jum’at (17) lalu. Pendapat Laica ini menengok pada amanah Konstitusi, tepatnya

pada Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945. Pasal itu memang memberikan kewenangan

pada MK untuk memutus perselisihan hasil Pemilu. Dalam produk UU anyar itu,

ujarnya, Pilkada sudah dianggap sebagai general election, sehingga masuk ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus jika terjadi persengketaan.

Sayangnya, menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

kewenangan mewasiti perseteruan hasil Pilkada itu masih ada di tampuk kuasa

Mahkamah Agung (MA).Pendapat Laica ini berhulu pada peristiwa sengketa hasil

(35)

telah merembet pada pertikaian antara dua massa pendukung partai besar pengusung

calon. Kejadian itu, oleh para pakar tatanegara dianggap bakal berimplikasi pada

sistem ketatanegaraan secara luas.Namun keyakikan pribadi Laica ini menimbulkan

pertanyaan dari Widodo, salah seorang pengajar hukum tata negara dari Universitas

Al-Azhar. Dengan adanya kewenangan itu, maka akan terjadi dualisme kewenangan

sebab masih ada norma lain mengatakan bahwa sengketa itu ada di tangan MA.

Nantinya akan terjadi dualisme kewenangan dari dua lembaga berbeda,ujarnya.50 Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki

karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh

peradilan biasa.51 Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai

orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau

masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).52

Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara

yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan

individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan

penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di

pengadilan-pengadilan lainnya.

Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang

hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan

50

Hukumonline.com, didownload rabu 22 april 2009

51

Hal ini disebabkan oleh karena adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andaikata permohonan hanya diajukan oleh seseorang atau individu tertentu.

52

Perbedaan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam hal

(36)

kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum

Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya.

Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN

dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU

Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah

Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk

(37)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah dapat dikelompokkan

menjadi tiga berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan

Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

yaitu:

1. Tindak pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan

pemenuhan persyaratan peserta pemilu.

2. Tindak pidana yang berkenaan dengan kampanye.

3. Tindak pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil

pemungutan suara.

 Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara

negative. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang

kemampuan bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu

ketidakmampuan bertanggungjawab. Tidak mampu bertanggungjawab

adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau

gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan

untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya.

Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika

(38)

 Dengan berubahnya rezim pemilihan kepala daerah menjadi rezim

pemilihan umum, maka penyelesaian sengketa pilkada yang semula

menjadi kewenangan Mahkamah Agung beralih ke Mahkamah Konstitusi

sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan tersebut tentunya

mengakibatkan banyaknya persoalan yang semestinya perlu ada

pengaturan lebih lanjut baik dalam UU Mahkamah Konstitusi maupun UU

Pemerintahan Daerah. Ada baiknya jika pengaturan tentang Pilkada diatur

tersendiri dan dikeluarkan dari UU Pemerintahan Daerah.

B. Saran

 Peradilan memiliki peran penting untuk menyelesaikan konflik dan

sengketa. Hal ni juga berlaku untuk sengketa hasil Pilkada. Para pihak

yang tidak puas atas keputusan penyelenggara pilkada yaitu KPU Provinsi

atau KPU Kabupaten/Kota dapat membawa masalah ini ke Lembaga

peradilan yang berhak mengadili. Oleh karena itu, peranan hakim yang

mengadili sengketa Pilkada itu sanat penting. Salah satu syarat penting

dari hakim yang mengadili sengketa Pilkada tesebut adalah pemahaman

yang kuat mengenai sistem dan proses serta kerangka ukum

(39)

 Keberhasilan Pilkada mestinya tidak hanya dilihat dari selesainya seluruh

tahapan sampai pengumuman pemenang. Keberhasilan Pilkada mestinya

juga dilihat dari diselesaikannya segala konflik dan sengketa secara

hukum dan pihak yang dirugikan dapat mengemalikan haknya melalui

Referensi

Dokumen terkait

Analisa Faktor Riwayat Kontrasepsi pada Wanita Peserta Program Penapisan Kanker Leher Rahim Dengan Pendekatan "See & Treat" : Untuk Deteksi Lesi Prakanker dan

Kenyataan pada kondisi dilapangan menggambarkan bahwa masih kurangnya pegawai mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing seperti masih ada

In this research, the researcher used error analysis as design of this research, based on Corder (1967) in Agustina (2016) that was determining the data, identifying the

Pri potencijalima koji se nalaze između potencijala pitinga i potencijala repasivacije, piting korozija i korozija u procjepu će se razvijati (ukoliko je počela), ali novi

Analisa Kualitas Effluent yaitu analisa pada hasil outlet dari rekator unit filter yang sudah dibuat dengan menggunakan parameter kekeruhan. Analisa ini bertujuan untuk

Strategi pemasaran melalui peningkatan kualitas produk deposito mud{a<rabah di BPRS Bumi Artha Sampang yang sangat menonjol yaitu nasabah deposan mendapatkan

1. Menurut sejumlah penelitian, makan dalam jumlah kecil tetapi sering serta memperbanyak makan makanan, seperti nasi, jagung dan roti akan menormalkan produksi

Rendemen minyak tempe optimal selama proses fermentasi lanjut diperoleh pada pemeraman hari ke-7 yaitu sebesar 13,18% diduga terkait dengan puncak aktivitas