• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejak perang melanda Kota Semarang, Ungaran, Ambarawa, Salatiga, dan Tengaran bagian Utara, maka daerah perbatasan seperti Tengaran banyak dilalui pengusi yang berasal dari daerah yang diduduki Belanda. Mereka ada yang sekedar melewati Tengaran dan ada juga yang menetap di sana. Dalam hal ini pamong desa mempunyai peran sangat penting karena di desa-desa yang ditempati pengungsi, tugas pamong desa mengkoordinir warganya untuk memberi tempat penampungan maupun memberi makan untuk pengungsi. Pada umumnya, warga desa menerima para pengungsi dengan senang hati dan tangan terbuka. Sebagai balasannya para pengungsi berusaha membantu pekerjaan tuan rumah (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 133).

Pamong desa mempunyai jabatan strategis karena mereka sebagai panutan warganya dan para pengungsi. Begitu strategisnya jabatan pamong desa, Pemerintah RI dan Belanda menyadari arti pentingnya pamong desa dalam merebut simpati rakyat. Setelah Salatiga dikuasai Belanda, banyak desa tidak mempunyai pamong desa. Mereka memilih mengungsi ke wilayah Republik. Akibatnya, di daerah yang diduduki Belanda kekurangan penguasa. Oleh karena itu, Belanda menunjuk pamong desa baru untuk menggantikan pamong desa yang ikut hijrah ke daerah Republik. Pamong desa sebagai pejabat federalis di daerah pendudukan nasibnya kurang menguntungkan. Mereka selalu dicurigai

55 oleh kedua pihak. Supaya mereka tidak dibunuh atau dijebloskan ke penjara, mereka harus pandai berkepala dua. Strategi berkepala dua resikonya sangat besar (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134).

Dari 20 desa yang ada di Kecamatan Tengaran hanya empat pamong desa yang pro Belanda, yakni pamong Desa Bener, Karangduren, Cukil dan Regunung (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134). Selama Belanda menduduki sebagian besar Kecamatan Tengaran, Wedana Tengaran, Wiryo dan Camat Tengaran, Siswo, secara diam-diam mengadakan pertemuan rahasia. Wedana Tengaran berkantor di Desa Tingkir (wilayah pendudukan) tetapi hatinya tetap RI. Dia sering mengirim peluru secara ilegal kepada para pejuang RI. Dia juga mengusahakan beras dan pakaian bagi pejuang RI. Kondisi selama perang, tentara RI sangat menyedihkan. Mereka banyak yang kekurangan makanan dan pakaian. Bahkan mereka sampai kekurangan selimut untuk tidur. Selimut hanya selembar kain sarung hasil sumbangan dari masyarakat sekitar (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

Jayus, Lurah Klero adalah lurah federalis yang dijebloskan ke penjara oleh Belanda. Jayus terbukti bersalah karena sering membantu para pejuang RI memata-matai pergerakan Belanda di Klero. Jiwa Republik Jayus terbentuk karena sebelum ditunjuk sebagai lurah dia bekerja sebagai anggota Polisi Tentara (PT). Jabatan lurah tidak membuat Jayus tunduk kepada Belanda, malahan dia selalu memonitori pergerakan Pasukan Belanda di Klero. Hasil monitoring dilaporkan kepada pemimpin

56 pejuang RI yang bermarkas di Desa Tegalrejo. Pejuang RI yang akan menyerang pos Belanda di Klero harus ijin Lurah Jayus. Bisa dikatakan bahwa Klero merupakan wilayah kekuasaannya hingga pemimpin pejuang RI harus bermusyawarah dahulu dengannya sebelum menyerang dan untuk mengetahui posisi Belanda di sekitar Klero. Setelah perundingan Klero, Belanda giat melakukan screening atau pembersihan. Jayus sempat dicurigai bekerja untuk Republik. Dia dihajar agen IVG sampai wajahnya biru lalu ditangkap tetapi tidak sampai dieksekusi di Kedayon. Selain Jayus, Lurah Noborejo bernama Darma Kiyat juga berjiwa Republik. Dia menyelundupkan obat-obatan melalui kurir bernama Maryam yang menyamar sebagai pedagang. Obat-obatan tersebut diperoleh dari seorang mantri kesehatan benama Binoso yang bekerja untuk Pemerintah Belanda di Salatiga (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 128).

Desa Tegalrejo merupakan garis pertahanan lini kedua di Sektor I Tengaran. Di desa ini, ribuan tentara RI berkumpul di Tegalrejo Lor dan Tegalrejo Kidul. Untuk mengatur logistik di Tegalrejo Kidul, didirikan dapur umum kecil di rumah Wito Surat dan dapur umum besar di rumah Suwar. Lurah Tegalrejo saat itu bernama Sudar. Dia menyuruh para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan membantu masak di dapur umum. Lurah Sudar dikenal baik kepada TNI maupun masyarakatnya. Seperti halnya ketika Sudar membagikan nasi dari dapur umum kecil kepada masyarakatnya, dia tidak pernah membuat perbedaan alias semua harus rata. Selain mengkoordinasi dapur umum kecil, Sudar juga

57 mengatur tempat istirahat TNI di rumah-rumah milik warganya (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

Tidak semua lurah berpihak dengan pemerintah RI, salah satunya adalah Lurah Karangduren. Lurah Karangduren merupakan agen IVG. Sebagai Agen IVG dia bertugas mencari orang-orang Republik yang berbahaya bagi Belanda. Setelah Lurah itu menemukan orang yang dicurigai sebagai mata-mata, lalu ia melapor kepada pimpinan IVG. Dari laporan tersebut kemudian Pasukan Belanda yang bertugas menangkap orang yang diduga berbahaya bagi pemerintah Belanda di Tengaran. Mereka yang ditangkap akan diinterogasi tentang keterlibatannya membantu Pemerintah RI. Siksakan fisik juga dilakukan oleh agen IVG agar orang yang diduga pembantu Republik mengakui kesalahannya. Apabila orang tersebut terbukti dengan sengaja membantu RI dan membahayakan Pemerintah Belanda, mereka akan dihukum mati di Kedayon. Sedang untuk kesalahan ringan seperti ketahuan membantu logistik pejuang RI, mereka dipenjarakan di Ambarawa maupun di Nusa Kambangan.

2. Logistik

Dengan ditetapkannya garis demarkasi di sepanjang aliran Kali Tanggi, kesibukan masyarakat desa-desa di Kecamatan Tengaran bagian selatan semakin meningkat. Masyarakat yang tinggal di desa-desa seperti Tengaran, Tegalrejo, Sruwen dan Sugihan harus merelakan rumahnya untuk dijadikan markas, asrama, pos Palang Merah Indonesia (PMI) dan

58 dapur umum. Masyarakat desa yang dipimpin oleh pamong desa wajib melakukan ronda setiap malam untuk menjaga keamanan desanya (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134).

Dapur umum didirikan berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain. Dapur umum dapat dibedakan menjadi dua macam yakni, dapur umum besar dan dapur umum kecil. Dapur umum besar diselengarakan oleh Comando Operasi Pertempuran setempat yang dibiayai langsung oleh pemerintah RI. Dapur umum besar fungsinya untuk melayani logistik bagi pasukan resmi dalam jumlah yang besar. Di sektor PP4A dapur umum besar didirikan di Desa Tegalrejo dan Desa Kaligentong. Dapur umum besar hanya dikhususkan untuk TNI yang kebetulan singgah maupun yang bergerilya di sektor PP4A. Untuk memasak nasi, dapur umum besar biasanya menggunakan drum karena bahan yang dimasak sangat banyak. Petugas dapur umum terdiri dari Laskar Putri dan anggota TNI. Operasional dapur umum mendapat bantuan tenaga dari masyarakat setempat. Bagi masyarakat yang menyumbangkan jasa, mereka mendapat imbalan berupa setengah liter beras (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 135).

Di Desa Tegalrejo terdapat dua dapur umum. Dapur umum besar diselenggarakan dan dibiayai oleh Pemerintah terletak di Dusun Tegalrejo Lor (di rumah Suwar). Sedangkan, dapur umum kecil terletak di Dusun Tegalrejo Kidul (di rumah Wito Surat). Berbeda dengan dapur umum besar, dapur umum kecil diadakan oleh masyarakat desa dengan biaya dari masyarakat setempat. Dapur umum kecil dikoordinasi oleh pamong

59 desa. Bahan yang dimasak di dapur umum kecil dikumpulkan dari masyarakat kemudian diserahkan pada pejuang yang melewati desa ataupun singgah di desa. Bahan yang dimasak tidak banyak hanya cukup untuk dua sampai tiga regu. Di samping itu, adapula penduduk yang memberikan makanan bagi pejuang sebagai tanda simpati (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 135).

Tanah ladang di Desa Tegalrejo banyak yang terbengkalai karena ditinggal berjuang maupun mengungsi pemiliknya. Beras pada saat itu sedang langka karena produksi beras RI tidak banyak. Kalaupun ada beras, kualitasnya jelek dan banyak kutunya. Sebagai penggantinya, mereka makan apa saja yang dapat ditemui seperti ketela rambat dan singkong. Laskar gerilya tidak masuk dalam formasi TNI. Kebutuhan logistik laskar gerilya sepenuhnya bergantung pada pemberian masyarakat. Biasanya hubungan gerilyawan dan masyarakat setempat sangat dekat. Bahkan masyarakat ada yang menganggap sebagai anaknya sendiri. Masyarakat tidak sampai hati menelantarkan mereka kelaparan. Kesadaran masyarakat setempat yang tinggi membuat para gerilyawan tetap militan di sektor PP4A karena tidak kekurangan logistik selama ikut dengan penduduk setempat. Selama menganggur atau lepas jaga, mereka membantu pekerjaan penduduk di ladang sebagai tanda terimakasih karena sudah disediakan tempat tinggal dan dicukupi logistik selama bergerilya di sektor PP4A (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

60 Pasukan Clurut bukan termasuk TNI sehingga mereka tidak mendapat jatah makan dari dapur umum. Meskipun begitu, mereka tidak mati kelaparan. Mereka berjuang dengan modal sendiri yaitu dengan membawa makanan dari rumah mereka masing-masing. Memang, kadang-kadang mereka diberi nasi nuk (nasi jatah) dari dapur umum, tetapi tidak rutin seperti halnya anggota TNI. Selama di Tegalrejo, Pasukan Clurut hidup penuh kebersamaan. Mereka tidak mementingkan ego pribadi melainkan nasib kelompok. Suatu ketika menjelang Belanda melakukan doorstoot ke Tengaran, mereka bersama-sama merebus tempe pemberian warga. Meskipun hanya sedikit, tempe yang direbus tadi tidak dimakan perseorangan tetapi dibagi rata hingga semua yang pada saat itu berkumpul di rumah Dullah Sadjadi mendapat bagian sama rata (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

Dokumen terkait