• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Masyarakat Tengaran dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Kecamatan Tengaran 1947-1949 T1 152010009 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Masyarakat Tengaran dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Kecamatan Tengaran 1947-1949 T1 152010009 BAB IV"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

25 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Daerah Kecamatan Tengaran 1947

Sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, daerah Tengaran secara struktural merupakan daerah kecamatan, bagian dari kawedanan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kecamatan Tengaran terdiri dari 20 desa, yaitu Tengaran, Tegalrejo, Sruwen, Sugihan, Duren, Regunung, Cukil, Klero, Butuh, Patemon, Karangduren, Bener, Tegalwaton, Barukan, Nyamat, Noborejo, Tingkir Lor, Tingkir Tengah, Cebongan dan Kalibening (Kusdi, wawancara 29 September 2013 ). Kecamatan Tengaran berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara Kota Salatiga b. Sebelah Selatan Kecamatan Ampel

c. Sebelah Timur Kecamatan Susukan dan Suruh

d. Sebelah Barat Kecamatan Ampel dan Kecamatan Getasan.

(2)

26 terutama tanaman palawija. Daerah ini juga mempunyai potensi hidrologi yang cukup besar, yaitu adanya mata air Umbul Senjoyo dan aliran Kali Tanggi yang tidak pernah kering airnya meskipun di musim kemarau. Hamparan sawah terbentang di sepanjang aliran Kali Tanggi yaitu dari Desa Tengaran, Desa Sruwen, sampai Desa Duren. Melihat letak geografisnya, wilayah Kecamatan Tengaran cukup strategis, di Tenggara Kota Salatiga dan diantara dua kota besar yaitu Kota Semarang dan Kota Solo.

Sejak jaman Jepang penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional semakin meluas. Bahasa yang lazim digunakan masyarakat sehari hari di kalangan masyarakat Kecamatan Tengaran dan sekitarnya adalah bahasa Jawa. Dalam bidang agama, mayoritas penduduk beragama Islam. Dari segi adat istiadat, sinkritisme Hindu-Jawa dan Islam masih dianut oleh sebagian besar masyarakat terutama ketika upacara selamatan. B. Aksi Militer Belanda I

(3)

27

Leger (KNIL) dibawah pimpinan Letnan Jenderal Van Oyen (Husni

Thamrin, dkk., 2008: 144). Dengan meningkatnya aktivitas Belanda di Jakarta, ancaman kepada pemerintah RI semakin berbahaya, sehingga pada 4 Januari 1946, ibu kota RI pindah ke Yogyakarta. Kota itu dipilih karena dianggap lebin aman dari gangguan NICA (Moehkardi, 2012: 114).

Sebelum Belanda melancarkan agresi militernya yang petama, keadaan perang di daerah Tengaran sudah terasa. Banyak pemuda bergabung bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan Sekutu (Inggris) di Ambarawa. Setelah pasukan Indonesia dapat merebut kembali kota itu dari tangan Inggris pada bulan Desember 1945, Kota Salatiga oleh TKR dijadikan Markas Pimpinan Pertempuran (MPP) yang mengomando jalannya pertempuran di sekitar Kota Semarang (Moehkardi, 2012: 261). Pertempuran di Semarang mulai reda sejak Februari 1946 setelah Syahrir melakukan pendekatan diplomasi dalam perjanjian Linggarjati (Moehkardi, 2012: 262).

(4)

28 oleh tim yang disebut Komisi Jenderal dengan ketua Schermerhorn dengan anggotanya yaitu Max Van Pool, F. De Boer dan H.J. Van Mook. Selaku mediator, Inggris diwakili oleh Lord Killern (Husni Thamrin, dkk., 2008: 146).

Hasil perundingan Linggarjati terdiri dari 17 pasal dengan pokok-pokok kesepakatan sebagai berikut:

1. Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera.

2. Pemerintah Belanda dan RI bersama-sama mendirikan sebuah negara berdaulat dan demokrasi dengan bentuk negara perserikatan bernama Negara Indonesia Serikat (NIS) (K.M.L Tobing, 1986: 5).

3. Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan terwujudnya NIS dan Persekutuan Belanda-Indonesia sebelum 1 Januari 1949 (K.M.L Tobing, 1986: 8). 4. Pemerintah RI mengakui hak-hak milik orang-orang non RI

yang menuntut dilakukan dan dikembalikannya barang-barang milik mereka yang berada didalam kekuasaan de facto. Panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan dan pengembalian.

(5)

29 Dengan ditandatanganinya perjanjian Linggarjati, Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera. RI dan Belanda setuju bekerjasama untuk mendirikan sebuah negara persatuan bernama Negara Indonesia Serikat (NIS) yang rencananya dibentuk sebelum tanggal 1 Januari 1949. Tiga komponen NIS terdiri dari Republik Indonesia, Negara Kalimantan dan Indonesia bagian Timur. NIS secara simbolis dikepalai oleh Ratu Belanda, yang terdiri dari Kerajaan Belanda dan NIS (Anthony J.S. Reid, 1996: 189).

(6)

30 Saat Tentara Inggris ditarik mundur, kedudukan Tentara Belanda di Semarang sudah kuat. Belanda mulai mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang kedudukan Pasukan Indonesia di Semarang pada bulan Juli 1947 (Moehkardi, 2012: 264). Pagi hari sekitar pukul 06.00 beberapa pesawat tempur Belanda Mustang P-41 atau yang terkenal dengan sebutan Cocor Merah mengudara dari Lapangan Terbang Kalibanteng, Semarang. Mereka memburu pos-pos TNI di sekitar jalan poros Ungaran, Demak, Kendal yang mengarah ke Semarang. Penyerangan itu dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pasukan infanteri dan kavaleri Belanda dalam rangka menduduki Semarang pada tanggal 3 Juni 1947 (Husni Thamrin, dkk., 2008: 170).

Setelah menguasai Semarang, Belanda tidak mau mengakui Pemerintahan RI di Semarang (Moehkardi, 2012: 262). Kota Semarang lalu menjadi pangkalan militer Belanda yang dipersiapkan untuk merebut wilayah RI di Jawa Tengah (Moehkardi, 2012: 264). Di sana telah bercokol Brigade Tijger (Brigade T) yang dipimpin kolonel Van Langen. Rencana sasaran gerak Brigade T adalah sebagai berikut: (Ani Olivia, 2005: 57).

a. Ke arah Selatan: menduduki garis Bedono, Ambarawa, Tuntang dan Bringin.

b. Ke arah Timur: menduduki garis Purwosari dan Mranggen. c. Ke arah Barat: menduduki garis Mangkang Wetan, Wijon dan

(7)

31 d. Pemusatan pasukan di rayon Ungaran dan Bawen untuk

digunakan pada pelaksanaan Plan Rotterdam (penyerbuan dan pendudukan ke Kota Yogya dan Solo).

Tepat pada 21 Juli 1947 tentara Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke daerah Republik. Serangan tersebut oleh bangsa Indonesia dikenal dengan nama “Agresi Militer I”. Belanda bergerak dari markas induk militer Semarang menuju ke Selatan yaitu ke Srondol, Ungaran dan Ambarawa. Dari Ungaran, Pasukan Belanda sebagian menuju ke Bringin, Salatiga, dan Tengaran (Ani Olivia, 2005: 56).

1. Salatiga Jatuh

Pada tanggal 22 Juli 1947, Pasukan Belanda dari Tuntang bergerak ke arah Salatiga. Saat Belanda melancarkan serangannya, Kota Salatiga dalam keadaan kosong karena sebagian besar Pasukan TNI yang bermarkas di Salatiga sedang ditugaskan di front Ungaran, Delik dan Tuntang. Lemahnya pertahanan TNI di kota itu dapat ditembus dengan mudah oleh Belanda dalam waktu singkat. Belanda menduduki Kota Salatiga hanya beberapa jam, lalu mereka kembali lagi ke Tuntang. Tujuan mereka adalah untuk membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan di Hotel Kalitaman. Setelah Pasukan Belanda mundur dari Salatiga, TNI nama baru dari TRI melakukan konsolidasi kekuatan (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 120).

(8)

32 sekiranya dapat digunakan untuk kepentingan Belanda pasca ditinggal oleh TNI. Berdasarkan pertimbangan taktis, pimpinan TNI di Salatiga kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan kota itu. Gedung-gedung yang sekiranya dapat dipakai Belanda dibumihanguskan. Sebelum Salatiga dibumihanguskan, untuk menghindari supaya orang-orang Cina tidak diperalat oleh Belanda, mereka diungsikan ke Tengaran sebelum kemudian dipindahkan ke Kota Solo. Aksi bumi hangus tidak hanya terjadi di Kota Salatiga. Di kota-kota kecamatan antara lain di pasar Suruh, Kantor Asisten Wedana Bringin, rumah onderneming, sekolah dan stasiun Gogodalem juga dibakar. Untuk menghambat gerak laju Pasukan Belanda, jembatan-jembatan yang menghubungkan Kota Salatiga juga dihancurkan. Esok harinya pada tanggal 23 Juli Belanda dapat menduduki Kota Salatiga tanpa ada perlawanan yang berarti (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 122).

(9)

33 Sebelum Belanda sampai ke Klero, para pemuda Tengaran ikut berjuang bersama TLRI di Getasan. Di sana kekuatan TLRI sebanyak 60 prajurit dipimpin oleh Letnan Bibin. Pemuda dari Tengaran bernama Subardi merasakan pertempuran perdananya di daerah Getasan. Meskipun hanya bersenjata bambu runcing, Subardi bersama kesembilan temannya dari Tengaran tidak gentar bertempur dengan Pasukan Belanda. Saat itu di Tengaran belum dibentuk barisan pejuang, sehingga para pemuda ketika bertempur hanya sekedar ikut-ikutan saja. Baru sekitar akhir tahun 1947, di Tengaran dibentuk sebuah barisan benama Pasukan Clurut (Subardi,

wawancara 29 September 2013 ). Bersamaan dengan itu pada awal 1948,

TNI juga membentuk laskar bernama Laskar Barisan Tahan Udji (Batu) yang terdiri dari para garong (Kusdi, wawancara 29 September 2013).

TLRI berjuang bersama rakyat di Getasan selama dua bulan. Di sana TLRI dan laskar-laskar perjuangan rakyat gencar melakukan serangan terhadap konvoi Belanda di Pulian Kopeng. Karena Belanda semakin ganas menyerang daerah itu dengan pesawat Cocor Merah, pasukan TLRI bersama Subardi dan kesembilan orang temannya pidah ke Dusun Sumber, Desa Timpik Susukan. Di sana TLRI memanfaatkan rumah H. Sukaryo (60 tahun) sebagai markas pertahanan (Subardi,

wawancara 29 September 2013 ).

(10)

34 Kareben. Sedangkan, gerilyawan dari rakyat termasuk Subardi menggunakan granat dan bambu runcing. Lima hari pasca pindahnya markas TLRI dari Getasan ke Susukan, Subardi mendapat tugas untuk menangkap mata-mata Belanda di Desa Jati, Suruh. Setelah menangkap seorang pribumi yang yang bekerja sebagai mata-mata Belanda, Subardi membawa mata-mata tersebut ke markas TLRI di Desa Timpik untuk diintrogasi mendalam. Subardi bertugas di Susukan selama dua bulan, selanjutnya Subardi mendapat tugas berjaga di Wonosegoro, Boyolali. Ketika bertugas di Wonosegoro gerilyawan RI sering mendapat serangan dari Pasukan Belanda terutama di daerah Karangggede. Belanda menyerang dari arah barat yaitu dari arah Suruh. Tujuan Belanda menyerang Karanggede karena di daerah ini terdapat jalan pintas ke Kota Solo tanpa melewati Tengaran (Subardi, wawancara 29 September 2013 ).

2. Belanda Menyerbu Tengaran

(11)

35 terdiri dari negara Australia, Belgia dan Amerika Serikat (Tashadi, dkk., 1997: 120).

Belanda memanfaatkan masa damai untuk memindahkan pasukannya dari Semarang ke Salatiga. Belanda pertama kali menduduki Desa Tegalwaton. Di sana mereka membangun markas di dekat sumber air Senjoyo. Setelah menduduki Senjoyo, Belanda menduduki Kebonjeruk, Karangduren. Di Kebonjeruk, Belanda mendirikan markas pertahanan untuk menjaga Kota Salatiga dari serangan gerilyawan Republik. Di sana, Belanda menempati bekas kantor perusahaan perkebunan jeruk yang sudah lama ditinggal pemiliknya ketika Jepang menginvasi Indonesia. Meskipun ditinggal pemiliknya, bangunan tersebut masih kokoh berdiri. Markas Belanda tersebut dikelilingi tembok beton dan tanggul dari tanah sebagai benteng (Jarkoni, wawancara 28 September 2013). Markas Kebonjeruk merupakan titik tengah pertahanan Belanda di Tengaran. Dari markas Kebonjeruk ke markas Senjoyo bisa ditempuh melalui jalan pedesaan ke arah timur laut. Sedangkan dari markas Kebonjeruk ke pos penjagaan Belanda di Klero tinggal mengikuti jalan raya Solo-Semarang ke arah Selatan. Dari markas Kebonjeruk ke tangsi Belanda di Setugur dapat melewati Desa Noborejo ke arah Barat.

(12)

36 (Barat Karanggede). Di sana mereka menyerang Masjid Petak (Susukan). Dari dua desa yang diserang tentara Belanda, jumlah korban meninggal dunia mencapai 89 orang karena dibantai oleh Belanda, dua diantaranya masih bayi (A.H. Nasution, VI, 1978: 169). Setelah menggempur Masjid Petak, pada tanggal 18 Oktober, markas Belanda di Kebonjeruk mendapat tambahan personil dari Salatiga. Mereka diangkut dengan truk dan membawa sepucuk kanon (A.H. Nasution, VI, 1978: 169). Kemudian pada tanggal 25 Oktober, Belanda menghujani daerah Ampel dengan tembakan kanon dari Kebonjeruk (A.H. Nasution, VI, 1978: 171).

Klero merupakan ladang pertempuran antara Belanda dan TNI. Berbeda dengan Belanda, sejak awal Agresi Militer I, TNI sudah terlebih dahulu membuat pos pertahanan di Klero Selatan. Di sana TNI menempati rumah Kasah Rejo sebagai markas kompi Rustam dan pos darurat PMI. Hampir setiap hari Belanda melakukan teror di Klero. Setiap kali meletus pertempuran di daerah ini, pejuang yang terluka dipikul ke rumah Kasah Rejo. Salah satu korban pertempuran Klero pada akhir tahun 1947 adalah Sartimin. Di rumah Kasah Rejo, Sartimin hanya diberi pertolongan pertama, setelah itu dia dibawa pergi ke daerah Republik yang lebih aman (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

(13)

37 juga mengadakan aksi teror terhadap Pasukan Belanda di Kebonjeruk (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Kusdi, wawancara 29 September 2013).

Akhir 1947, TNI menyerang markas Belanda di Kebonjeruk dengan menggunakan mortir dan brengun. Tetapi, tidak satupun Belanda yang berani keluar dari markas tersebut. Sebelum subuh TNI sudah meninggalkan Kebonjeruk dan kembali ke markas Tegalrejo, namun sebagian dari mereka mampir ke Dampit Klero. Selang beberapa hari pasca serangan ke Kebonjeruk, TNI yang sedang berkumpul di Klero mendapat balasan dari Belanda. Belanda menembaki rumah Kasah Rejo yang dicurigai sebagai markas TNI. Melihat rumah Kasah Rejo kosong, Belanda menghentikan tembakan. Lalu Belanda mengarahkan mulut pelontar mortirnya ke Dusun Dampit. Mortir-mortir yang dilontarkan dari Utara Masjid Klero jatuh di sekitar dapur umum. Anggota TNI yang sedang makan siang dengan kolak gori (buah nangka mentah) berlari cerai-berai tidak beraturan ke segala arah untuk menyelamatkan diri. Saat peristiwa itu berlangsung, dari pihak TNI tidak ada yang menjadi korban (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

(14)

38 dalam masjid saat Belanda menyerbu. Peristiwa penyerangan Rumah Kasah Rejo tidak berlangsung lama. Warga yang mendengar suara tembakan segera berlindung ke bawah kolong amben. Lantai di bawah

amben sudah mereka gali sebelum perang berlangsung untuk lubang

persembunyian. Amben adalah meja berukuran besar yang difungsikan sebagai tempat tidur. Selain menggali tanah di bawah amben, warga setempat juga membuat lubang persembunyian di depan rumah mereka. Lubang dengan kedalaman rata-rata 2-3 meter tersebut, dibuat cekungan di salah satu dindingnya. Cekungan itulah yang berfungsi sebagai pelindung ketika terjadi serangan kanon.

3. Periode Renville (Masa Damai)

Pada tanggal 17 Januari 1948, Perdana Menteri Amir Syarifuddin menandatangain perjanjian Renville. Kebijakan yang diambil oleh Amir Syarifuddin sangat merugikan pihak Republik baik dibidang politik, ekonomi, maupun militer. Kerugian di pihak Republik adalah sebagai berikut (Wiyono M.A, dkk., 1983 :98):

1. Dalam bidang politik: Pemerintah Republik Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda pada aksi militer pertama. Wilayah Republik Indonesia tinggal 2/3 dari Jawa dan 1/5 dari pulau Sumatera. Batas wilayah Republik Indonesia dengan daerah pendudukan terkenal dengan nama “garis van Mook.”

(15)

39 perdagangan kepada Belanda, sehingga memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Belanda untuk melakukan blokade ekonomi terhadap Republik.

3. Dalam bidang militer: Pemerintah Republik Indonesia harus menyerahkan kantong-kantong gerilya atau kantong-kantong pertahanan kepada musuh.

Di Jawa Tengah, perundingan antara militer Belanda dan Republik berlangsung di tiga tempat, yaitu Tengaran, Parakan dan Gombong. Perundingan di Tengaran, delegasi RI diketuai oleh Letkol Mursito yang didampingi oleh Residen Semarang dan Residen Surakarta. Sementara di pihak Belanda diketuai oleh Letkol AJP. Brummer didampingi oleh Mayor FA. Semit, Kapten A.V. Vosveld dan Residen Salatiga, Emanuel. Sedangkan wakil dari KTN adalah Kolonel Survy dari Belgia dan Mayor Mackie dari Amerika Serikat (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 124).

(16)

40 1. Daerah demiliterisasi letaknya diantara pos-pos Belanda dan

pos-pos Indonesia yang terkemuka.

2. Penetapan batas-batas dari zona demiliterisasi akan segera dilakukan dengan teliti oleh kedua pihak.

3. Selama belum ada instruksi lainnya dari atasan maka barisan-barisan patroli diperbolehkan mengadakan patroli masing-masing sampai jarak 100 meter dari garis Status Quo (SQ). Dalam menjalan patroli diharapkan jangan sampai ada bentrokan atau insiden.

4. Jika terjadi papasan antar kedua pihak, maka untuk menghindari bentrokan, kedua pihak harus mengangkat kedua tangannya ke atas dan tidak boleh mendekat apabila tidak ada hal penting untuk dirundingkan.

5. Untuk menjaga ketertiban bersama antar kedua pihak, komandan sektor dari kedua belah pihak memberi instruksi kepada anak buahnya supaya tidak sampai melakukan sabotase. 6. Dari daerah-daerah yang akan ditinggalkan oleh pasukan

Indonesia akan diberi peta tentang adanya landmijnen (ranjau darat) yang nantinya akan diambil bersama.

(17)

41 C.M. Schilperoord. Papan tersebut bertuliskan “Status quo-lijn” dengan huruf berwarna putih dan background berwarna hitam, sedangkan sebaliknya ditulis “Garis Status Quo” dengan huruf berwana putih dan

background berwarna merah. Tidak hanya di Kali Tanggi, papan garis

status quo juga dipasang di Karanggede, Djabi, Betok, Walang, Turi, Kedodong, Tanjung Anjar, Djatisono, Dempet dan seterusnya hingga ke muara Laut Utara Jawa.

(18)

42 lapis. Pos pertahanan di garis depan (lini pertama) membentang dari Ngaglik, Soka, Kembang, Jomblang, Tengaran, Duren Sawit, Jembangan, Putatan dan Karangwuni. Pos pertahanan garis kedua tersebar di Pentur, Karang Gondang, Ngadirejo, Karangboyo, Sembung, Tegalrejo, Sruwen, Sugihan dan Gondang Wedelan. Markas komandonya berada di Dusun Kalicacing, Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel (Peta lihat Gambar 1). Sektor PP4B dipimpin oleh Letkol Suyoto yang bermarkas di Karangggede. Berhubung di PP4B tidak mendapat tekanan seberat di sektor PP4A, maka di sepanjang wilayah sektor PP4B dari Kecamatan Susukan sampai Wonosegoro, hanya disusun pertahanan satu lapis. Pos-pos pertahanan di sektor PP4B yaitu di Deresan, Karangtanggung, Klego, Pentur, Kacangan, Susukan, Karanggede, dan Wonosegoro (Peta lihat Gambar 2). Di masing-masing sektor dibagi menjadi beberapa Comando Operasi Pertempuran (COP). Sektor PP4A dibagi menjadi dua COP yang terletak di Tengaran dan Ngaglik. Komandan COP Sektor I Tengaran adalah Kapten Sarsono. Sedangkan Komandan COP Sektor II Ngaglik dipegang oleh Letkol Slamet Riyadi. Sektor PP4A berhadapan langsung dengan pos-pos Belanda. Pos Belanda tersebar di Ngaglik (di rumah H. Nakhrowi), Ngrandon, Karang Duren (dinas petanian), Tingkir, Setugur, Bawangan, Dadapayam, Tempuran, Wiru, Getas, Bringin dan pos polisi Sumber Rejo (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 125).

[image:18.595.103.514.219.636.2]
(19)

43 begitu, Pasukan RI maupun Belanda berpatroli di wilayahnya masing-masing tanpa melintasi garis demarkasi. Sebagai penghubung antara pihak RI dan Belanda, Pemerintah RI membentuk Polisi Keamanan (PK) dari kesatuan Mobile Brigade (Mobrig). Mereka mengenakan identitas ban lengan warna merah dengan huruf putih bertuliskan “PK”. Sabaliknya

Belanda juga membentuk Veiligheid Politie (VP). Mereka mengenakan ban berwarna oranye bertuliskan “VP”. Di garis demarkasi hanya PK dan

VP saja yang dibolehkan melintasi garis demarkasi untuk mengadakan kontak. Meskipun cenderung kondusif, kesalah pahaman antara kedua pihak baik Republik maupun Belanda seperti melintasi batas secara ilegal bisa berujung pada insiden-insiden kecil (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 126).

(20)

44 Dengan adanya perjanjian Renville, Belanda berhasil membulatkan wilayahnya. Mereka juga berusaha memprovokasi dan memancing pertikaian dengan RI sebagai alasan bagi mereka untuk melancarkan agresinya yang ke dua. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda atas Republik dibalas TNI dengan membatasi barang dagangan tertentu yang akan dijual oleh para pedagang pelintas batas ke wilayah pendudukan. Pada waktu itu belum ada koordinasi antar sektor. Terbukti antara pos satu dengan pos lainnya peraturannya tidak sama. Akibat tidak adanya koordinasi dengan baik, blokade ekonomi yang dilakukan oleh TNI tidak efektif. Adapun perbedaan ketentuan barang yang tidak boleh dijual di daerah pendudukan persektor: (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 137)

1. Getasan : ternak dan beras. 2. Bringin : garam.

3. Suruh : ternak dan gula. 4. Susukan : gula pasir.

5. Tengaran : lebih longgar tidak ada pembatasan.

(21)
(22)

46 Jalan yang menghubungkan daerah RI dengan daerah Pendudukan banyak dilintasi oleh para pedagang. Harga barang seperti tekstil di daerah Pendudukan lebih murah daripada di daerah pedalaman. Para pedagang mayoritas adalah perempuan. Mereka lebih suka berbelanja dengan uang kecil. Sehingga di daerah pendudukan banyak beredar uang kecil RI. Di daerah Pendudukan maupun di daerah Pedalaman, banyak beredar Oeang Repoebliek Indonesia (ORI) palsu ratusan warna hijau. Hal ini berdampak pada kegelisahan pedagang bertransaksi menggunakan uang ratusan hijau

(Arsip Delegasi Indonesia No. 528).

(23)

47 Semenjak daerah Tengaran dibagi menjadi dua pemerintahan, kegiatan mata-matapun berkembang subur. Pada tanggal 20 Mei 1948 pukul 22.00, rumah Martokirub yang terletak di Dusun Ngentak Klero kedatangan dua orang bernama Sabudi dan Kartosupar. Mereka adalah mata-mata Belanda. Kemudian Sujono dengan tujuh anggota Pasukan Batu yang bersenjatakan delapan pistol menghampiri rumah Martokirub pada pukul 23.00. Setelah Pasukan Batu mengadakan ajakan dan bujukan supaya mereka mau diajak ke daerah RI. Mereka menolak bahkan mereka berusaha merebut pistol dari salah seorang Pasukan Batu. Dengan terpaksa akhirnya Pasukan Batu melepaskan 14 kali tembakan ke arah mereka. Suara tembakan tersebut terdengar oleh petugas pos penjagaan Belanda. Lalu petugas Belanda yang berjaga di daerah Klero membunyikan kentongan terus menerus sebagai tanda bahaya. Penyergapan yang dilakukan oleh Pasukan Batu akhirnya gagal (Arsip Delegasi Indonesia

No. 566).

(24)

48 menempatkan tiga unit kanon di tangsi Salatiga dan satu unit kanon besar (dengan empat roda) di Bancakan, Sidorejo, Salatiga. Di Setugur, Belanda menempatkan 75 pasukannya yang terdiri dari bangsa pribumi. Di Kebonjeruk ditempatkan 50 pasukan yang terdiri dari orang-orang Belanda ditambah tiga juru bahasa (Arsip Delegasi Indonesia No. 555).

Sore hari pukul 17.00, Polisi Keamanan (PK) yang bertugas menjaga daerah Status Quo Kadang mencium pergerakan lima personil Pasukan Belanda dengan senjata lengkap dari arah Setugur pada tanggal 22 Mei 1948. Mereka mendekati daerah Status Quo (SQ) hingga jarak 15 meter. Pasukan RI yang berjaga di sana lalu memberi tembakan peringatan sebanyak empat kali. Akan tetapi, Belanda tidak memperhatikan isyarat tersebut, malahan mereka bersiap untuk membalas tembakan. Kemudian Belanda mundur ke arah Surodadi. Dua hari kemudian tanggal 24 Mei, pukul 17.45, Belanda mendekati daerah SQ Jlarem. Mereka berjumlah delapan personil yang terdiri dari enam tentara Heiho dan dua tentara KL. Mereka datang dari Setugur dengan persenjataan lengkap. Tidak meletus insiden bersenjata pada saat itu. Lalu pada pukul 18.00 mereka mundur ke Surodadi (Arsip Delegasi Indonesia No. 566).

(25)

49 Mereka juga memasang trekbom di sepanjang jalan yang mengarah ke selatan dari markas mereka. Masing-masing trekbom yang ditanam memiliki berat 25 Kg per bijinya. Pukul 09.00 pagi trekbom yang dipasang di sana meledak karena kawat pemicunya ditabrak oleh anjing. Suara ledakan tersebut terdengar hingga markas PK di Kadang. Untuk mengantisipasi meningkatnya penerobosan oleh Pasukan Belanda dan menghindari terjadinya tembak menembak antara kedua belah pihak, Markas Besar Kepolisian Surakarta (MBK) pada tanggal 31 Mei 1948 mengirim 10 personil PK untuk menjaga stabilitas keamanan di sekitar Kadang (Arsip Delegasi Indonesia No. 566).

Pada tanggal 5 Juni, Belanda mulai mengkonsentrasikan pasukannya ke daerah perbatasan. Kira-kira pukul 17.30, satu Brigade (2000 personil) Pasukan Belanda bersenjata lengkap sudah menempati Dusun Butuh dan Klero. Selain pemusatan pasukan di daerah perbatasan, mereka juga melatih mata-mata di markas Kebonjeruk. Rencananya Belanda akan menerjunkan 15 mata-matanya ke daerah Solo pada tanggal 25 Juni 1948. Salah satu mata-mata yang akan beroperasi di Solo bernama Suharti berusia 21 tahun dari Desa Tjokrotulung (Arsip Delegasi

Indonesia No. 566). Patroli Belanda di perbatasan semakin diperketat. Pagi

(26)

50 kuda. Pasukan RI yang berjaga di selatan Kali Serang memergokinya. Petugas menembakkan peluru ke udara sebanyak tiga kali. Tetapi penyelundup itu sudah terlanjur masuk ke daerah Pendudukan. Lalu penyelundup itu bertemu dengan Pasukan Belanda yang sedang berpatroli. Menurut laporan dari seorang mata-mata RI, Pasukan Belanda tersebut bertanya kepada penyelundup itu “opo kowe mau dibedil tentara?” (apa kamu tadi ditembak tentara?), dijawab penyelundup itu “inggih” (iya). Lantas Belanda memberi perintah melanjutkan perjalannannya kepada penyelundup itu “yo wis terusno!” (ya sudah teruskan!). Setelah itu,

Pasukan Belanda kemudian memuntahkan pelurunya ke posisi Pasukan RI. Pasukan RI membalas tembakan tersebut. Kemudian Belanda lari dan tidak lagi membalas tembakan dari Pasukan RI. Pasca insiden itu, Belanda memprovokasi masyarakat yang tinggal di Dusun Gading. Belanda memberi arahan kepada masyarakat dusun tersebut agar bersiap-siap meninggalkan dusunya ke daerah Utara, yaitu ke daerah Pendudukan yang lebih aman “Kabeh wae wong-wong penduduk kene, kudu tata-tata lo, kiro-kiro suwene rong sasi, ning kene kanggo papan pertempuran, mulo

sing tumuli golek panggonan ngungsi ngalor-ngalor kono ngendi wae sing

padha disenengi.” (Kepada semua penduduk Gading, diharuskan

(27)

51 pribumi. Kebanyakan mereka bisa bercakap dengan menggunakan bahasa Jawa, sedangkan Pasukan Belanda yang datang dari negeri Belanda hanya berjaga di markas saja (Arsip Delegasi Indonesia No. 595).

Setiap hari, Pasukan Belanda berjaga di pasar Tugu, Bener. Mereka memeriksa bawaan pedagang baju yang dibeli dari pasar Salatiga. Belanda berusaha memblokade masuknya bahan tekstil ke daerah Republik. Para pedagang hanya diperbolehkan membawa satu potong baju ke daerah Republik. Untuk para pedagang yang terlanjur membeli lebih dari satu potong baju, kelebihannya akan dirampas oleh Belanda. Para pedagang tidak mendapat uang ganti dari Belanda, malahan apabila mereka protes, pasukan yang berjaga di sana mengancam untuk membawa mereka ke Kebonjeruk (Arsip Delegasi Indonesia No. 595).

(28)

52 15-18 Juli 1948, kurang lebih 30 prajurit Belanda selesai membenahi jembatan yang terletak di Utara dan Selatan Karangduren (Arsip Delegasi

Indonesia No. 595).

Pada tanggal 20 Juli 1948, Delegasi Indonesia mendapat laporan telah terjadi pelanggaran oleh lima belas anggota V.P. yang bersenjatakan empat revolver dan 11 machine pistol. Mereka masuk ke dalam wilayah RI sejauh 150 meter dari batas demarkasi Gudean. Petugas RI yang berjaga di pos Kembang berhasil memergokinya dan kemudian memberi isyarat kepada mereka dengan tembakan peringatan sebanyak tiga kali tetapi tidak diindahkan. Lalu terjadi tembak menembak antara pasukan RI dan Pasukan Belanda. Pukul 18.00, Belanda mengerahkan pasukannya sebanyak delapan truk dan mengadakan stelling (formasi siap bertempur) mulai Desa Mongkrong hingga Ngadireno (Arsip Delegasi Indonesia No. 559).

(29)

53 diinterogasi. Karena dia tidak terbukti ikut memberontak di Solo, tidak lama kemudian akhirnya dia dibebaskan (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

(30)

54 C. Peranan Masyarakat Desa Selama Agresi Militer Belanda I

1. Peran Pamong Desa

Sejak perang melanda Kota Semarang, Ungaran, Ambarawa, Salatiga, dan Tengaran bagian Utara, maka daerah perbatasan seperti Tengaran banyak dilalui pengusi yang berasal dari daerah yang diduduki Belanda. Mereka ada yang sekedar melewati Tengaran dan ada juga yang menetap di sana. Dalam hal ini pamong desa mempunyai peran sangat penting karena di desa-desa yang ditempati pengungsi, tugas pamong desa mengkoordinir warganya untuk memberi tempat penampungan maupun memberi makan untuk pengungsi. Pada umumnya, warga desa menerima para pengungsi dengan senang hati dan tangan terbuka. Sebagai balasannya para pengungsi berusaha membantu pekerjaan tuan rumah (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 133).

(31)

55 oleh kedua pihak. Supaya mereka tidak dibunuh atau dijebloskan ke penjara, mereka harus pandai berkepala dua. Strategi berkepala dua resikonya sangat besar (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134).

Dari 20 desa yang ada di Kecamatan Tengaran hanya empat pamong desa yang pro Belanda, yakni pamong Desa Bener, Karangduren, Cukil dan Regunung (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134). Selama Belanda menduduki sebagian besar Kecamatan Tengaran, Wedana Tengaran, Wiryo dan Camat Tengaran, Siswo, secara diam-diam mengadakan pertemuan rahasia. Wedana Tengaran berkantor di Desa Tingkir (wilayah pendudukan) tetapi hatinya tetap RI. Dia sering mengirim peluru secara ilegal kepada para pejuang RI. Dia juga mengusahakan beras dan pakaian bagi pejuang RI. Kondisi selama perang, tentara RI sangat menyedihkan. Mereka banyak yang kekurangan makanan dan pakaian. Bahkan mereka sampai kekurangan selimut untuk tidur. Selimut hanya selembar kain sarung hasil sumbangan dari masyarakat sekitar (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

(32)

56 pejuang RI yang bermarkas di Desa Tegalrejo. Pejuang RI yang akan menyerang pos Belanda di Klero harus ijin Lurah Jayus. Bisa dikatakan bahwa Klero merupakan wilayah kekuasaannya hingga pemimpin pejuang RI harus bermusyawarah dahulu dengannya sebelum menyerang dan untuk mengetahui posisi Belanda di sekitar Klero. Setelah perundingan Klero, Belanda giat melakukan screening atau pembersihan. Jayus sempat dicurigai bekerja untuk Republik. Dia dihajar agen IVG sampai wajahnya biru lalu ditangkap tetapi tidak sampai dieksekusi di Kedayon. Selain Jayus, Lurah Noborejo bernama Darma Kiyat juga berjiwa Republik. Dia menyelundupkan obat-obatan melalui kurir bernama Maryam yang menyamar sebagai pedagang. Obat-obatan tersebut diperoleh dari seorang mantri kesehatan benama Binoso yang bekerja untuk Pemerintah Belanda di Salatiga (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 128).

(33)

57 mengatur tempat istirahat TNI di rumah-rumah milik warganya (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

Tidak semua lurah berpihak dengan pemerintah RI, salah satunya adalah Lurah Karangduren. Lurah Karangduren merupakan agen IVG. Sebagai Agen IVG dia bertugas mencari orang-orang Republik yang berbahaya bagi Belanda. Setelah Lurah itu menemukan orang yang dicurigai sebagai mata-mata, lalu ia melapor kepada pimpinan IVG. Dari laporan tersebut kemudian Pasukan Belanda yang bertugas menangkap orang yang diduga berbahaya bagi pemerintah Belanda di Tengaran. Mereka yang ditangkap akan diinterogasi tentang keterlibatannya membantu Pemerintah RI. Siksakan fisik juga dilakukan oleh agen IVG agar orang yang diduga pembantu Republik mengakui kesalahannya. Apabila orang tersebut terbukti dengan sengaja membantu RI dan membahayakan Pemerintah Belanda, mereka akan dihukum mati di Kedayon. Sedang untuk kesalahan ringan seperti ketahuan membantu logistik pejuang RI, mereka dipenjarakan di Ambarawa maupun di Nusa Kambangan.

2. Logistik

(34)

58 dapur umum. Masyarakat desa yang dipimpin oleh pamong desa wajib melakukan ronda setiap malam untuk menjaga keamanan desanya (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 134).

Dapur umum didirikan berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain. Dapur umum dapat dibedakan menjadi dua macam yakni, dapur umum besar dan dapur umum kecil. Dapur umum besar diselengarakan oleh Comando Operasi Pertempuran setempat yang dibiayai langsung oleh pemerintah RI. Dapur umum besar fungsinya untuk melayani logistik bagi pasukan resmi dalam jumlah yang besar. Di sektor PP4A dapur umum besar didirikan di Desa Tegalrejo dan Desa Kaligentong. Dapur umum besar hanya dikhususkan untuk TNI yang kebetulan singgah maupun yang bergerilya di sektor PP4A. Untuk memasak nasi, dapur umum besar biasanya menggunakan drum karena bahan yang dimasak sangat banyak. Petugas dapur umum terdiri dari Laskar Putri dan anggota TNI. Operasional dapur umum mendapat bantuan tenaga dari masyarakat setempat. Bagi masyarakat yang menyumbangkan jasa, mereka mendapat imbalan berupa setengah liter beras (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 135).

(35)

59 desa. Bahan yang dimasak di dapur umum kecil dikumpulkan dari masyarakat kemudian diserahkan pada pejuang yang melewati desa ataupun singgah di desa. Bahan yang dimasak tidak banyak hanya cukup untuk dua sampai tiga regu. Di samping itu, adapula penduduk yang memberikan makanan bagi pejuang sebagai tanda simpati (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 135).

(36)

60 Pasukan Clurut bukan termasuk TNI sehingga mereka tidak mendapat jatah makan dari dapur umum. Meskipun begitu, mereka tidak mati kelaparan. Mereka berjuang dengan modal sendiri yaitu dengan membawa makanan dari rumah mereka masing-masing. Memang, kadang-kadang mereka diberi nasi nuk (nasi jatah) dari dapur umum, tetapi tidak rutin seperti halnya anggota TNI. Selama di Tegalrejo, Pasukan Clurut hidup penuh kebersamaan. Mereka tidak mementingkan ego pribadi melainkan nasib kelompok. Suatu ketika menjelang Belanda melakukan doorstoot ke Tengaran, mereka bersama-sama merebus tempe pemberian warga. Meskipun hanya sedikit, tempe yang direbus tadi tidak dimakan perseorangan tetapi dibagi rata hingga semua yang pada saat itu berkumpul di rumah Dullah Sadjadi mendapat bagian sama rata (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

3. Jaringan Komunikasi

(37)

61 terikat dengan perjanjian, mereka tidak dapat melewati garis status quo. Oleh karena itu kunjungan dari masyarakat yang berasal dari daerah pendudukan dimanfaatkan TNI untuk menggali informasi mengenai kekuatan Belanda di daerah pendudukan (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

Tengaran bagian Selatan merupakan target tembakan kanon Belanda dari Kebonjeruk. Oleh Sebab itu, keamanan pengungsi menjadi prioritas RI. Agar para pengungsi terhindar dari pecahan peluru kanon, mereka ditempatkan di daerah aman yaitu di Desa Patemon (daerah SQ) dan Kembang, Ampel. Desa Kembang dianggap lebih aman karena terletak di lereng Gunung Merbabu dan letaknya jauh dari jalan raya Solo-Semarang. Tempat itu memiliki persediaan air yang melimpah sehingga pengungsi tidak kekurangan air (Suratman Murbowijoyo, wawancara 22 September 2013).

(38)

62 di Kembang dan sedikitnya pasokan barang dari daerah Republik. Untuk mengatasi kelangkaan barang itu peran pedagang pelintas batas menjadi sangat penting. Pedagang pelintas batas, selain berdagang dengan menyelundupkan barang dari daerah pendudukan juga berperan sebagai mata-mata RI. Tak jarang dari mereka juga menyelundupkan peluru dan obat-obatan (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

Untuk menyelundupkan barang dari daerah pendudukan ke daerah Republik, prosesnya sangat sulit. Mereka harus berhati-hati ketika melewati pos penjagaan Belanda yang tersebar di sepanjang jalan Noborejo sampai Kali Tanggi. Meskipun secara de facto daerah Republik terus dipersempit, para pedagang bisa keluar masuk di wilayah pendudukan. Daerah status quo merupakan daerah yang paling sulit untuk ditembus. Mereka harus melewati jalan setapak (jalan tikus) untuk menghindari patroli Pasukan Belanda. Sesampainya di daerah Republik, mereka juga belum aman. Patroli pasukan RI selalu mengintai mereka. Apabila mereka dicurigai sebagai mata-mata Belanda, mereka akan dibunuh (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

(39)

63 juga diwajibkan memiliki surat tanda penduduk untuk memudahkan petugas membedakan orang Republik dan orang Pendudukan (Sin Po, 5 Juli 1948 kol.4).

Kelompok gerilya yang berperan dalam kegiatan komunikasi adalah Barisan Clurut atau Pasukan Clurut. Dalam bahasa Jawa clurut adalah nama binatang sejenis tikus. Mobilitas yang tinggi diperlukan untuk bergerak cepat membawa informasi dari satu tempat ke tempat lain. Pasukan Clurut berasal dari kelaskaran Islam yaitu Hizbullah-Sabilillah pimpinan Kapten Kyai Mawardi. Selain sebagai kurir surat, mereka juga dilatih untuk menyusup di pos musuh. Sebagai halnya Barisan Maling, mereka menguasai ilmu sirep dan ilmu kebal. Dengan ilmunya itu mereka mudah menyusup ke markas musuh (Chusnul Hajati: 1997: 136). Di daerah Ngaglik (Sektor II), Pasukan Batu sangat aktif memantau pergerakan Belanda. Komunikasi antara Pemimpin Batu dan markas Polisi Keamanan di Kadang berupa lembaran-lebaran surat. Biasanya isi surat tersebut adalah laporan mengenai penerobosan yang dilakukan oleh Pasukan Belanda di daerah SQ.

(40)

64 Ngesrep, Tegalrejo. Mereka bertemu dengan TNI dari Tengaran yang sedang berganti jaga. Agar tidak terjadi tembak-menembak, Jarkoni anggota Pasukan Clurut yang berjaga di Ngesrep berteriak kepada rombongan TNI itu “telo” (ketela rambat) dijawab anggota TNI itu dengan

boleng” (setengah cacat dan rasanya pahit). Karena jawabannya benar,

mereka diperbolehkan berjalan ke daerah Selatan (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

4. Situasi di Tengaran (Daerah Pendudukan)

Jatuhnya Kota Salatiga berdampak pada banyaknya pengungsi yang mencari tempat aman di luar Kota Salatiga. Biasanya pengungsi dipimpin oleh pamong desa yang berkuasa sebelumnya. Karena pamong praja juga pindah ke wilayah Republik otomatis terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah pendudukan Belanda. Untuk mengisi kekosongan, Belanda membentuk pemerintah Recomba (Regerings Comisie voor

Bestuurs Angelegenheden) atau pangreh praja. Belanda memanfaatkan

pegawai-pegawai Indonesia yang tidak ikut mengungsi ke wilayah Republik untuk dijadikan aparatur pemerintah Pendudukan (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 127).

Di daerah yang diduduki Belanda, mata uang Jepang dan mata uang Republik Indonesia (ORI) diganti dengan mata uang NICA sebagai alat pembayaran yang sah. Pemerintah Belanda mendirikan Algemene

Distributis Dienst (ADD) yang berfungsi untuk mengurusi kesejahteraan

(41)

65 metega dan hampir semua kebutuhan sehari-hari dengan harga jual yang murah. ADD dijadikan alat propaganda bagi Belanda untuk menarik simpati orang-orang Republik agar mau pindah ke wilayah Belanda. Jawatan Penerangan Regerings Voorlichting Dienst (RVD) bertugas menyiarkan propaganda Belanda untuk menanamkan kepercayaan kepada masyarakat agar mau berpihak kepada Belanda. Sedangkan Dienst der

Leger Contacten (DLC) bertugas memberikan doktrin-doktrin kepada

tentara Belanda Koninklijk Leger (KL) dan Koninklijk Nedherlands

Indische Leger (KNIL) tentang tugas suci Belanda di Indonesia (Chusnul

Hajati, dkk., 1997: 127).

(42)

66 Banyaknya penduduk yang keluar masuk wilayah pendudukan, membuat Belanda kuatir akan adanya penyusupan oleh pejuang Republik. Pada bulan Juli 1948, Belanda berencana mengatasi banyaknya penduduk ilegal yang berasal dari wilayah Republik. Orang-orang Republik yang tadinya bebas melewati daerah pendudukan, setelah diberlakukannya

passenstelsel atau larangan untuk memasuki daerah pendudukan, mereka

harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat masuk ke wilayah pendudukan misalnya mereka adalah anggota Palang Merah atau keluarga tawanan (Sin Po, 5 Juli 1948 kol. 4).

Untuk menjaring informasi, Belanda menyebar mata-mata dibawah

Intelichtingen Veiligheids Grouep (IVG). Kekejaman mereka tidak kalah

dengan Kenpetai di jaman Jepang. Susunan staf IVG Salatiga sebagai berikut (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129):

Komandan : Lettu Draaisma Wakil Komandan : De Liezer

Anggota Tim : Van Beeks, Hiks, Sutayo, Saban Purnomo,

Screening Temu, Sunaryo, Holan Sumodilogo, Sunawan, Parwoto dan Tan Soen Am.

Kepala Staf : Sersan Michael alias Djajusman digantikan Tommy Suryadi Penyelidik : Sersan Swart (Kepala),

Sastra Suratman (Wakil Kepala) Diaenur, Rasmal Slamet dan Gito (anggota)

(43)

orang-67 orang seperti itu, Belanda dengan rutin melakukan screening atau pembersihan. Pejuang yang tertangkap oleh IVG Salatiga mengalami siksaan yang berat. Mereka yang terbukti bersalah karena melawan Belanda akan dieksekusi di Kedayon. Untuk mengeksekusi pejuang, Belanda telah menyiapkan satu peleton algojo dari Brigade Tijger (Brigade T). Sedangkan apabila melakukan kesalahan sedang mereka akan dimasukan ke penjara Nusa Kambangan dan Ambarawa (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129).

Belanda juga dibantu oleh pasukan bersenjata yang direkrut dari etnis Cina yang diberi nama Po An Tui. Masalah rasial digunakan oleh Belanda untuk memojokan RI di pecaturan politik dunia. Sejumlah harian Cina seperti Kenapo, Sin Mi-in dan Sin Po yang terbit di daerah pendudukan, mendukung Belanda dalam mengabarkan berita mengenai masalah diskriminasi ras yang diterima etnis Cina selama berada di pengungsian (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129).

(44)

68 membantu memberi informasi kepada pejuang RI tentang aktifitas Belanda di Klero (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 128).

D. Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda II dilancarkan bersamaan dengan serangan terhadap Ibukota RI di Yogyakarta. Pada tanggal 18 Desember 1948, Pasukan Belanda yang dikonsentrasikan di daerah Salatiga diberangkatkan menuju Kota Solo. Untuk melancarkan aksinya yang ke II, pesawat capung pengintai Belanda setiap hari berputar-putar di langit sektor PP4A Tengaran. Sore hari menjelang pergerakan pasukan ke Solo, sejumlah truk bertuliskan “Naar Solo” disiapkan dengan menarik persenjataan berat.

(45)

69 Meskipun pihak Indonesia sudah menghancurkan jembatan Kali Tanggi, dengan mudah mereka memasang jembatan belley sehingga pasukan mereka dapat terus bergerak maju. Kendaraan berat jenis buldozer milik Belanda dengan mudah menutup lubang-lubang yang dibuat sebagai rintangan oleh pejuang RI yang membentang dari Kali Tanggi hingga Boyolali. Kayu-kayu besar yang melintang di jalan dengan mudah dibersihkan sehingga Belanda dapat mengepung pejuang RI di Tengaran (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Kusdi, wawancara 29 September 2013).

(46)

70 gerakan mundur. Mereka menolak untuk menyerah dan terus melawan hingga akhirnya mereka gugur (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 139).

Sebelum kekuatan utama TNI di Tengaran dapat dipukul mundur ke arah Solo, Belanda berusaha menerobos dari dua sayap pertahanan PP4A yang berada di sebelah Barat dan Timur. Di sebalah Barat, Belanda menyerang Ngaglik dari Setugur, dari arah Timur Belanda menyerang pos pertahanan RI di Karangwuni dari Dusun Gading (wilayah pendudukan). Pertahanan PP4A di bagian timurlah yang dapat ditembus Belanda terlebih dahulu. Kemudian Belanda bergerak ke Sruwen. Dari Sruwen Belanda memecah pasukannya untuk mengurung gerak mundur TNI yang akan lari ke Ampel. Belanda selanjutnya bergerak ke Kalisoko. Di Kalisoko banyak pejuang RI yang ditangkap. Mereka kemudian digiring ke Kaliwaru untuk diinterogasi (Kusdi, wawancara 29 September 2013)..

Pejuang yang tertangkap oleh Belanda sebelum dan sesudah

doorstoot banyak yang direkrut Belanda untuk dijadikan mata-mata

(47)

71 Muhadi memberontak dan melarikan diri. Ketika akan melarikan diri Muhadi ditembak mati oleh serdadu Belanda dan akhirnya meninggal dan dimakamkan di Tempat Makam Umum (TPU) Dusun Ngesrep, Desa Tegalrejo (Wito Turut, wawancara 30 September 2013).

Pada tanggal 21 Desember 1948, Belanda sudah menguasai Kota Solo. Setelah Kota Solo dikuasai, mereka mempertahankan jalan yang menghubungkan jalan Solo-Semarang. Jalur Solo-Semarang merupakan urat nadi untuk menguasai pedalaman Jawa Tengah. TNI berusaha mengimbangi ofensif Belanda dengan menggeser pasukannya dari Lawu mendekati Semarang. Brigade V TNI dipecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok wingate dan wehrkreise (WK). WK merupakan pusat pertahanan dan perlawanan gerilya yang dilancarkan secara luas dan didalam wilayahnya terdapat daerah-daerah basis, sekaligus sebagai daerah pangkalan gerilya. WK dilengkapi dengan kekuatan satuan-satuan tempur (Batalyon-batalyon infanteri), Komando Teritorial,

Sub-Wehrkreise (SWK), Pasukan Mobil, satuan-satuan bantuan tempur dan

(48)

72 dan Yon 2 berusaha berwingate ke daerah Salatiga dan Semarang. Pelaksanaan wingate ternyata mengalami kendala. Cuaca buruk di musim penghujan menghambat gerakan. Yon Sunitiyoso akhirnya tetap berada di Klaten, Yon Suradji tertahan di sekitar Merbabu dan Yon Sudigdo tertahan di Wonosegoro (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 140).

(49)

73 Setelah Tengaran didoorstoot, Belanda menempatkan satu kompi pasukan baret hijau dengan senjata lengkap di Randusari (Timur pasar Tengaran). Penempatan satu kompi baret hijau di Tengaran tidak lain hanyalah untuk mempertahankan jalur utama Semarang-Solo. Usaha mempertahankan jalur Semarang-Solo tidaklah mudah bagi Belanda. Dari pihak Belanda banyak memakan korban ketika berusaha mengedrop pasukan dari Semarang ke Solo. Seperti halnya akhir Januari 1949, Letda Sudarkoco memerintahkan enam pemuda Tengaran yaitu Sugianto, Kusdi, Tulus, Jupri, Sukijan dan Amat untuk menanam ranjau darat di Jembatan Krakal. Satu truk dari konvoi Belanda dari arah Solo hancur (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 145).

(50)

74 kota-kota saja. Jalan Semarang-Solo merupakan ladang pembantaian bagi konvoi Pasukan Belanda sejak bulan Maret 1949. TNI maupun laskar yang sudah berpengalaman menghadapi Belanda menjadi ancaman serius yang sebelumnya tidak dipikirkan dampaknya oleh Belanda saat mendoorstoot Solo. Di Kaligentong Ampel, vorijder yang sedang mengawal konvoi Belanda dihabisi oleh anak buah Sumitro bernama Kusdi. Kusdi berani melakukan penghadangan karena ingin membalas kematian ayahnya. Di saat vorijder itu datang dari arah Salatiga, satu dari

dua vorijder berhasil ditembak mati oleh Kusdi. Vorijder tersebut berhasil

diidentifikasi bahwa dia berasal dari kesatuan Anjing Hitam NICA dengan pangkat sersan. Setelah vorijder itu jatuh, kemudian Kusdi mengambil uang Rp. 6000,00 dari saku mayat tersbut dan juga menggondol machine pistol dan pistol milik serdadu Belanda yang tewas tadi (Kusdi,

wawancara 29 September 2013).

Doorstoot Belanda di sektor PP4A berdampak pada terhentinya

(51)

75 beras, biasanya dapur umum Tegalrejo menyediakan nasi jagung lauk sayur. Kalau beruntung, Pasukan TNI yang berwingate dapat merasakan tempe goreng pemberian warga (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014). Selain di daerah Tegalrejo Tengaran, dapur umum juga didirikan oleh masyarakat di Balai Desa Urut Sewu dan Mrican Kecamatan Ampel. Dengan demikian jelas bahwa sumber utama dukungan logistik TNI di bekas PP4A diperoleh dari rakyat (Sidik Suwarno, wawancara 14 Januari 2014).

Setelah bertempur kurang lebih enam bulan, Pasukan Belanda mengalami kekalahan besar. Belanda hanya berkuasa atas kota-kota saja, seperti Semarang dan Salatiga. TNI yang tadinya terpukul, menjadi memukul. Setelah melakukan wingate dari Solo dan Yogya ke daerah pendudukan, Pasukan Belanda terkepung di daerah Solo. Bantuan pasukan dari Salatiga terhenti di daerah Tengaran dan Boyolali. Setiap hari Zeni Tempur Belanda harus membenahi jembatan-jembatan yang rusak akibat bom-bom milik pejuang. Di Ampel, pasukan gerilya yang terdiri dari rakyat mulai berani mengepung pos-pos Belanda (Sidik Suwarno,

wawancara 14 Januari 2014).

(52)

76 Ngaglik. Sementara Bupati Semarang Sumardjito dan Kepala Polisi Sutardjo sudah masuk ke Salatiga untuk membicarakan penyerahan Salatiga ke tangan Republik. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, wilayah RI dipulihkan kembali. Baru tanggal 29 Desember Kota Salatiga resmi masuk Republik Indonesia diikuti kecamatan-kecamatan di sekitar Salatiga (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 150).

1. Peran Ulama

Setelah keluar “Resolusi Jihad” oleh fatwa Rois Akbar NU, K.H.

Hasyim Asy’ari maka semangat membela kemerdekaan menggelora di

penjuru tanah air. Pemuda-pemuda Islam menggabungkan diri dalam pasukan Hizbullah, sedangkan orang-orang Islam kalangan awam bergabung dengan pasukan Sabilillah. Untuk mendampingi Hizbullah dan Sabilllah, ditunjuk para kyai yang tergabung dalam barisan Mujahidin.

Pada tanggal 5 Juni 1946, dibentuklah Hizbullah Divisi Semarang yang bermarkas di Salatiga. Komandan Divisi Semarang dipegang oleh Harsono. Divisi Semarang dipecah menjadi tiga resimen. Resimen Demak dipimpin oleh M. Moehdi, Resimen Purwodadi dipegang oleh Sudarsono, dan Resimen Semarang dipegang oleh Abdul Rozaq. Tugas dari masing-masing Komandan Resimen adalah (Tashadi, dkk., 1997: 59):

1. Membentuk batalyon-batalyon di setiap kawedanan.

(53)

77 3. Mengadakan mobilisasi pemuda-pemuda Islam di tiap-tiap

kebupaten dan bekerjasama dengan para kyai yang saat itu tergabung dalam barisan Sabilillah.

4. Mengadakan latihan kemiliteran dan mempersiapkan pasukan bila ada perintah maju ke front.

5. Menggali dana berupa uang dan bahan makanan di daerahnya. Peran ulama selama perang mempertahankan kemerdekaan di Tengaran tidak dapat dipandang sebelah mata. Para ulama memberi kontribusi penting dalam menyediakan massa selama perang. Mereka menjadi tokoh panutan masyarakat karena mayoritas masyarakat Tengaran beragama Islam. Sejak proklamasi kemerdekaan mereka berpegang teguh pada prinsip anti penjajahan, sehingga Belanda menganggap bahwa ulama dengan pondok pesantrennya merupakan pusat perlawanan. Pada kenyataannya memang banyak pondok pesantren maupun masjid-masjid yang digunakan sebagai markas perjuangan dan pengkaderan pemuda untuk dijadikan pejuang.

(54)

78 Sebagai imam dan anggota laskar, mereka tidak mendapat gaji dan juga tidak mendapat jabatan dalam pemerintah sipil maupun militer. Keikutsertaan mereka mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah murni karena mereka mencintai bangsa Indonesia. Semangat perjuangan dilandasi oleh semangat jihad fi Sabilillah, yaitu semangat berjuang di jalan Allah. Jihad fi Sabilillah tidak lain adalah semangat berjuang membela kebenaran yaitu membela tanah airnya dari kaum jahat, yaitu penjajah Belanda (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013) .

(55)

79 Untuk meningkatkan keterampilan anak asuhnya (anggota laskar Hizbullah) para kyai membina ideologi, kerohanian, dan jasmani anak asuhnya. Pembinaan ideologi dilakukan dengan cara menanamkan nasionalisme dan patriotisme. Mereka juga menekankan agar anak asuhnya selalu mencintai bangsanya. Penderitaan rakyat yang dibuat oleh Belanda harus segera diakhiri dengan jihad fi Sabilillah. Rasa senasib sepenanggungan dijajah Belanda melahirkan ikatan batin yang kuat antara pasukan Hizbullah dan masyarakat Tengaran, sehingga anak asuh para kyai berani berkorban demi masyarakat (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

Kyai sebagai pemimpin spiritual juga memberi bekal spiritual kepada anak asuhnya. Bukan hanya anak asuhnya saja, tetapi juga pejuang non Hizbullah yang bertempur di Tengaran. Sebelum anak asuhnya bertempur, para kyai jauh hari telah mengasah kerohanian anak asuhnya dengan bermacam-macam doa keselamatan. Doa keselamatan bagi mereka yang paling umum sebelum terjun melaksanakan tugas adalah doa kebal peluru dan kebal senjata tajam. Mereka diharuskan puasa mutih selama tujuh hari. Puasa mutih beda dengan puasa dibulan Ramadhan. Puasa

mutih adalah berpuasa atau berpantang makan dan minum apa saja kecuali

(56)

80 puasa hari itu sudah usai. Puasa mutih hanya diperbolehkan memakan sekepal (segenggam) nasi putih dan segelas air putih. Sehabis waktu sahur ataupun buka, mereka tidak boleh makan apa-apa lagi hingga tujuh hari lamanya. Selama tujuh hari itu mereka juga harus menjaga kelakuan dan napsu duniawi. Sebelum anak asuhnya berangkat mengemban tugas, Kyai Mawardi selalu menyepuh (memberi doa) pada peralatan yang akan dibawa anak asuhnya mengemban misi dengan doa-doa keselamatan. Hal itu bertujuan untuk menguatkan moril mereka selama menjalankan tugas (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Subardi, wawancara 29 September 2013).

Diluar kegiatan bertempur, pembinaan rohani sangat diutamakan kepada anak asuhnya seperti memupuk keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kedisiplinan sholat lima waktu, sholat tahajud dan hajat, mengaji, puasa senin-kamis, dan memberi pencerahan dari ayat Alquran maupun Alhadits. Markas Kaliwaru dijadikan sebagai pusat pembinaan moral dan akhlak pemuda Hizbullah Tengaran. Dengan semboyan “Hidup Mulya, Mati Sorga” anak asuh Kyai Mawardi tidak

gentar melawan Belanda meskipun hanya bersenjatakan golok dan bambu runcing (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

(57)

81 TNI untuk mengumpulkan massa maupun sebagai mata-mata di daerah Pendudukan. Gerilyawan yang akan menyerang pos Belanda di Kebonjeruk, mereka harus ijin Kyai Abu Ngamar dahulu. Apabila Kyai Abu Ngamar tidak mengijinkannya, gerilyawan tidak jadi menyerang. Kyai Abu Ngamar sangat dekat dengan TNI karena dia adalah mantan tentara jaman Jepang yang memberontak pada tahun 1945. Pergerakan Belanda di Kebonjeruk dimonitorinya dan rutin dilaporkan kepada pemimpin pejuang di Desa Tegalrejo. Kyai Abu Ngamar tahu persis keadaan Belanda di Kebonjeruk. Oleh karena itu, masalah pengaturan jadwal serangan TNI ke Kebonjeruk menjadi tanggung jawabnya. Setelah perjanjian Klero, Belanda mengadakan penangkapan besar-besaran terhadap penduduk yang membahayakan kedudukan Belanda. Kyai Abu Ngamar ditangkap dan rencana akan dieksekusi di Kedayon. Tetapi Kyai Abu Ngamar tidak jadi dieksekusi karena eksekutornya kenal dengan dia. Pada masa Jepang, eksekutor yang akan mengeksekusi Kyai Abu Ngamar pernah menjadi anak buahnya. Setelah Belanda menduduki Pulau Jawa, dia bergabung dengan KNIL. Akhirnya, Kyai Abu Ngamar selamat dari Kedayon kemudian ditahan di Nusa Kambangan karena dia dianggap sebagai Republikan yang berbahaya (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

(58)

82 dapat menangkap seorang TNI ataupun orang Republik yang berbahaya bagi Belanda akan mendapat hadiah uang. Karena desakan kebutuhan perut, banyak orang yang dahulunya Republik tergiur dengan tawaran Belanda tersebut. Orang Republik yang bergabung dengan IVG adalah Kyai Ngusman. Pada tahun 1947, Kyai Ngusman adalah pejuang Republik yang militan memerangi Belanda. Kyai Ngusman masuk Barisan Kyai Tengaran dan membawahi Pasukan Clurut. Namun pada tahun 1948, dia terbujuk dengan rayuan Belanda karena mereka menjamin kehidupan yang layak bagi anggota IVG. Keikutsertaan Kyai Ngusman ke dalam IVG bisa jadi karena kedekatan dia dengan agen IVG yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Pamannya adalah seorang Lurah Karangduren. Lurah Karangduren ini terkenal sangat loyal kepada pemerintah Belanda (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

(59)

83 ke arah Timur menuju Durensawit, tetapi enggan mereka lakukan karena mereka ingin membakar semangat juang anak asuhnya yang sempat turun morilnya saat mereka mundur ke Masjid Kaliwaru. Masjid Kaliwaru akhirnya dikepung oleh ratusan serdadu Belanda yang bersenjata lengkap. Untuk mengangkat moril anak asuhnya, dengan semangat jihad fi

Sabilillah, Kyai Mawardi dengan gagah berani melawan kepungan

Belanda dengan samurai peninggalan jaman Jepang. Meskipun diberondong peluru dia tidak mati. Bahkan, dari pihak Belanda banyak jatuh korban karena sabetan samurai Kyai Mawardi tersebut. Tentara Belanda yang umumnya masih berusia remaja secara psikologis morilnya sudah turun. Hal itu disebabkan karena teman-teman mereka banyak yang tewas di tangan TNI maupun laskar non TNI. Mereka yang terluka maupun yang tewas langsung diangkut ke atas truk untuk dilarikan ke Salatiga (Jarkoni, wawancara 28 September 2013, Kusdi, wawancara 29 September 2013), dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013).

Ketika samurainya direbut seorang Pasukan Belanda, samurai tadi dihunuskan ke tubuh Kyai Mawardi. Akhirnya, Kyai Mawardi gugur tepat di depan pintu rumah haji Bakri. Dalam peristiwa tersebut gugur pula empat anggota dari Barisan Kyai Tengaran yang tidak mau menyerah. Mereka yang gugur adalah Kyai Saghoji, Kyai Bajuri, Kyai Amri, dan Kyai Dulbari (Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Wito Turut,

(60)

84 2. Peran Pasukan Clurut

Ketika Pasukan Belanda menduduki Kota Salatiga, masyarakat dari daerah Tengaran tidak tinggal diam. Ulama sekaligus Pasukan Sabilillah yang dahulunya ikut berjuang dalam perang Kemerdekaan melawan tentara Jepang bernama Kyai Mawardi, mengumpulkan pemuda dari daerah Tengaran untuk direkrut menjadi pasukan gerilya. Pemuda-pemuda dari daerah Tengaran dikumpulkan dengan media pengajian yang digelar di Masjid Tengaran. Dalam pengajian itu, Kyai Mawardi berdakwah tentang cinta tanah air dan jihad fi sabilillah. Para pemuda sangat antusias mendengarkan ceramah dari Kyai Mawardi. Pada hari itu juga, 20 pemuda yang hadir di Masjd Tengaran tertarik dengan ajakan Kyai Maward dan membentuk sebuah Barisan Pejuang bernama Pasukan Hizbullah.

(61)

85 menembak dan melempar granat dengan benar, Pada hari itu juga Dullah Sadjadi melatih fisik dan kemampuan bertempur Pasukan Hizbullah dengan sebuah permainan mencari target sasaran berupa bendera putih. Pada saat itu Dullah Sadjadi memasang bendera putih di makam Dusun Ngentak, Klero (dekat komplek situs Candi Klero). Bendera itu dikibarkan pada sebatang bambu yang tingginya sepuluh meter. Setelah dipasang di atas makam, lalu Dullah Sadjadi kembali ke Markas Kaliwaru. Dia memerintahkan anggotanya untuk mencari bendera yang dimaksud. Untuk mencapai target yang dituju, anggota Pasukan Hizbullah harus berjalan melewati anak Sungai Serang yaitu Kali Tanggi. Mereka merangkak naik pada tebing Kali Tanggi yang tingginya sekitar 30 meter menuju makam. Setelah target sasaran ditemukan, mereka membawa bendera putih yang dipasang di atas makam tadi kembali ke markas Kaliwaru (Subardi,

wawancara 29 September 2013, Mawardi, wawancara 3 Desember 2013

dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013).

(62)
(63)

87 ke Markas Kaliwaru (Subardi, wawancara 29 September 2013, dan Wito Turut, wawancara 30 September 2013).

Serangan yang dilancarkan oleh Pasukan Clurut di Markas Belanda Kebonjeruk pada tahun 1947 memotivasi pemuda-pemuda di sekitar Tengaran untuk bergabung dengan Pasukan Clurut. Pasukan Clurut yang mulanya hanya terdiri dari 20 pemuda, meningkat jumlahnya hingga 50 pemuda. Karena terlalu banyak, mereka tidak ditempatkan dibarisan depan (bertempur) saja, melainkan ada yang menjadi tukang kayu untuk masalah dapur, tobang (pembawa logistik untuk keperluan TNI), spionase (mata-mata), dan kurir surat. Meskipun begitu mereka yang ditempatkan sebagai bantuan non tempur TNI, ketika mereka dipanggil untuk bertempur, mereka selalu siap (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

(64)
(65)

89 Setelah disetujui hasil perundingan Klero mengenai garis demarkasi di Kecamatan Tengaran, maka Kecamatan Tengaran dibagi menjadi dua. Pasukan Clurut yang berasal dari rakyat tidak terikat dengan perjanjian tersebut. Mereka menyamar sebagai rakyat dan melakukan sabotase-sabotase di daerah pendudukan. Meskipun melakukan sabotase, mereka tidak menyakiti warga yang tinggal di daerah itu karena warga yang tinggal di daerah pendudukan kebanyakan masih saudara. Hal ini yang membedakan antara Pasukan Clurut dengan Pasukan Batu ketika mengemban misi. Pasukan Batu lebih agresif, karena kebanyakan dari mereka adalah bekas garong (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

Kegiatan Pasukan Clurut setelah Renville semakin membahayakan kedudukan Pasukan Belanda di Kebon Jeruk. Hampir setiap hari, pukul 21.00 Pasukan Clurut yang berkumpul di Tegalrejo mendapat perintah dari Dullah Sadjadi untuk meneror maupun mencuri senjata Pasukan Belanda di sana. Tidak semua anggota Pasukan Clurut berangkat ke Kebonjeruk, hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki keahlian melakukan sabotase. Dengan berbekal ilmu sirep (ilmu sihir) mereka dapat melumpuhkan penjaga di markas Kebonjeruk. Petugas jaga di markas Kebonjeruk dibuat tidur sehingga para Clurut bisa mengambil senjata mereka. Mereka baru kembali ke Tegalrejo setelah pukul 01.00. Bila beruntung mereka dapat membawa granat dan senapan (Mujiyem,

(66)
(67)

91 Karangduren, Ridwan anggota Pasukan Clurut yang berasal dari Karangduren juga direkrut menjadi mata-mata Belanda (Jarkoni,

wawancara 28 September 2013).

Dua hari sebelum tentara Belanda merangsek ke Kota Solo, 19 Desember pukul 01.00, truk-truk Belanda yang membawa pasukan dari Salatiga sudah ditempatkan di Kebonjeruk. Pukul 04.00, Belanda memuntahkan peluru kanonnya dari Kebonjeruk ke arah Ampel dan Tengaran. Di Tengaran, warga banyak yang menjadi korban dari pecahan peluru kanon Belanda. Salah satu korban serangan kanon Belanda di Tengaran bernama Isah. Sedangkan di Tegalrejo, Sati dan anaknya bernama Ngatini terkena pecahan peluru kanon yang jatuh di depan rumahnya. Beruntung keduannya selamat tidak sampai meninggal dunia (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014 dan Kusdi, wawancara 29 September 2013).

Malam hari sebelum Belanda melakukan doorstoot ke Tengaran, anggota Pasukan Clurut berkumpul di Masjid Kaliwaru untuk

mujahadahan bersama. Mujahadahan selesai pada pukul 00.00. Karena

(68)

92 Belanda karena di daerah tersebut ribuan TNI dan Laskar non TNI membangun kekuatan dua lini. Oleh karena itu Belanda menggunakan strategi menjapit dari dua sisi petahanan PP4A. Belanda menyerang dari tiga arah. Sayap Barat kusus menyerang daerah Ngaglik. Sayap Timur menyerang Gading, dan kekuatan utama di Tengah (Klero) bertugas

mendoorstoot pertahanan Tengaran. Pertahanan Gading (Karangwuni)

(69)

93 digiring ke Kebonjeruk. Dari Kebonjeruk mereka digiring ke penjara Salatiga. Dari penjara Salatiga mereka disaring berdasarkan kejahatan mereka. Mereka yang terkena hukuman berat akan dieksekusi di Kedayon (Kusdi, wawancara 29 September 2013).

Saat Belanda mengepung markas Clurut di Kaliwaru, banyak Pasukan Clurut yang berlari ke arah Barat. Salah satunya adalah Subardi yang lolos dari penyergapan Belanda. Dari Kaliwaru dia berlari ke Sampetan. Di sana dia bergabung dengan Pasukan Clurut yang selamat dari sergapan Belanda di Desa Tegalrejo. Berbeda dengan nasib Jarkoni, saat Belanda menyerang Markas Clurut, Jarkoni tertangkap oleh Belanda. Dia sempat akan dibunuh, kemudian Lurah Tengaran mencegahnya dan mengakui bahwa dia adalah warganya sehingga dia tidak jadi ditembak di tempat. Jarkoni mendekam di penjara Salatiga selama tiga bulan. Selama dipenjara, dia mendapat pelayanan yang cukup baik dari Belanda karena saat diinterogasi dia mengaku sebagai tobang (Jarkoni, wawancara 28 September 2013).

(70)

94 ketentraman Belanda di daerah Pendudukan. Belanda menggeledah rumah Dullah Sadjadi tetapi tidak ketemu. Saat Belanda masuk ke rumah Dullah Sadjadi, dia langsung bersembunyi naik di atas pogo (tempat mengeringkan kayu yang dipasang di atas tungku). Dullah Sadjadi tidak sempat mengambil senjata dan granatnya sembunyi. Malam hari dirasa keadaan sudah aman, Dulah Sadjadi pergi ke Kaligentong mencari sisa pasukannya yang selamat (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014). Di hari itu juga, Mujiyem istri Dullah Sadjadi bersembunyi di jurang Kali Tempuran. Setelah keadaan mulai kondusif, Mujiyem keluar dari persembunyiannya dan bergerak menuju Kaligentong mencari tempat aman. Setelah beberapa hari mengungsi ke Kaligentong, Mujiyen pindah ke Kembang (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

Saat Belanda mendoorstoot Tengaran, Belanda mengusahakan sepanjang radius 1 Km dari jalan Solo-Semarang harus bersih dari gangguan gerilyawan (Suratman Murbowijoyo, wawancara 22 September 2013). Oleh karena itu, Belanda melakukan penangkapan warga di daerah Tegalrejo. Saat melakukan penangkapan sering kali mereka asal tangkap. Warga Tegalrejo yang sedang berladang benama Juri dan Marto tiba-tiba ditangkap. Padahal mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi

(doorstoot ke Tengaran). Siang hari mereka ditangkap dan dibawa ke

(71)

95 Juri memberondong tempat persembunyian Juri di Jurang Ngesrep tetapi dia selamat. Kemudian dia pergi ke Tegalrejo, dari Tegalrejo Juri langsung ke Ngaglik (markas pertahanan terdepan dan terakhir TNI di Sektor PP4A saat Belanda mendoorstoot Tengaran). Karena Juri kabur dari kamp tawanan di Kaliwaru, Marto teman Juri dituduh oleh penyidik Belanda akan ikut kabur. Karena tuduhan itu, Marto tidak dilepaskan seperti masyarakat lainnya. Malahan dia dijadikan tawanan Belanda di Kebonjeruk yang setiap harinya harus mengangkut ransel-ransel Belanda dari gudang ke truk maupun sebaliknya (Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014).

(72)

96 beberapa hari, Pasukan Clurut kembali ke Sampetan lewat jalur Kopeng. Menjelang waktu subuh, Pasukan Clurut sudah berada di Kopeng. Mereka disergap Pasukan Belanda dengan diberondong peluru. Tidak ada satupun anggota Pasukan Clurut yang menjadi korban. Setelah itu, mereka menyusuri lereng Merbabu dan pada malam harinya sampailah di Sampetan, Ampel (Jumari, wawancara 3 Desember 2013).

Selama berada di lereng Gunung Merbabu, Pasukan Clurut selalu waspada terhadap pergerakan Belanda di daerah Sampetan, Ampel. Meskipun pimpinan utama (Kyai Mawardi) sudah gugur, semangat perjuangan melawan penjajahan tidak terhenti. 1 Maret 1949 terjadi serangan umum terhadap pos-pos Belanda di

Gambar

Gambar 2). Di masing-masing sektor dibagi  menjadi beberapa Comando

Referensi

Dokumen terkait

Jika dalam penelitian Djati Pratiwi menggunakan pendekatan Multidimensional, Sedangkan dalam penelitian yang berjudul Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung

Seperti halnya di sekolah-sekolah negeri maupun swasta dari tingkat SD, SMP, SMA maupun SMK dalam memberikan mata pelajaran pendidikan sejarah, khususnya mengenai