• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Perempuan dalam kebudayaan Pahamang

Dalam dokumen T1 712010049 Full text (Halaman 38-42)

Pada pembahasan bagian sebelumnya dapat kita lihat bahwa sebuah masyarakat selalu menyatu dengan kebudayaannya, dan bahwa kebudayaan itu sendiri menyatu dalam diri manusia. Karena itu budaya menjadi identitas dari suatu masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan manusia telah dibentuk oleh kebudayaan tempat ia berada dan bertumbuh. Kebudayaan sebagai sebuah identitas kemudian dihormati dijaga, dipegang dan dilestarikan oleh masyarakat yang menganut kebudayaan tersebut.

28

Masyarakat Sumba memiliki kebudayaannya sendiri, kebudayaan masyarakat Sumba sangat terkait dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya sejak dulu yaitu kepercayaan Marapu. Hingga kini masyarakat Sumba masih terus mempertahankan kebudayaan dan nilai-nilai dari kebudayaan yang ada di Sumba secara turun temurun, sekalipun sebagian besar masyarakat tidak lagi menganut kepercayaan Marapu dan berkembangnya kebudayaan itu sendiri seiring dengan perkembangan zaman. Seperti dikatakan oleh E.B Taylor, ia mendefinisikan kebudayaan yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat.70 Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat Sumba dimana kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Sumba telah mempengaruhi pola hidup masyarakat itu sendiri.

Kebudayaan sebagai bagian dari pembentukan identitas diri seseorang, dimana kebudayaan itu sendiri turut mempengaruhi peran yang dimiliki oleh seseorang dalam masyarakat tempat ia berada dalam artian bahwa masyarakat tempat seseorang bertumbuh turut mempengaruhi peran dan perkembangan seseorang. Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat Sumba, peran yang diemban oleh individu dipengaruhi oleh masyarakat tempat orang itu bertumbuh, dan masing-masing orang terikat pada norma-norma yang telah ditentukan dalam masyarakat. Hommes mendefinisikan peranan sebagai petunjuk kelakuan yang diatur menurut norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh seorang perempuan Sumba yang belum menikah memiliki status sebagai anak dan ia berperan sesuai nilai dan norma yang mengatur bagaimana anak seharusnya berperilaku kepada orang tua dan masyarakat. Setelah perempuan menikah maka ia akan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang mengatur bagaimana ia harus berperan. Salah satu bentuk penting dari peranan menurut Hommes yakni meramalkan perbuatan dari orang lain dan peranan diri sendiri pada masa depan.71 Sejak kecil laki-laki dan perempuan sudah diberikan peran masing-masing, dan lewat pengamatan dengan melihat peran yang dilakukan oleh orang dewasa sudah terekam dalam memori mereka berdasarkan pengamatan terhadap orang dewasa akan peran mereka ketika menjadi dewasa. Seperti seorang anak perempuan yang melihat ayahnya sebagai kepala rumah tangga, yang lebih banyak beraktifitas pada rana publik dan ibunya yang bekerja didapur, mengurus rumah, menjaga anak- anak atau

70

Lihat pada bagian III

29

berada pada rana domestik, maka ketika seorang anak perempuan menikah ia akan menjadikan ingatan tentang ayah dan juga ibunya sebagai tolak ukur caranya berperan dalam berumah tangga. Ia akan melihat suaminya sebagai kepala rumah tangga, sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga dan yang lebih berperan pada ranah publik dan ia juga akan menempatkan diri seperti ibunya yang bekerja di dapur, mengurus urusan rumah dan mengurus anak-anak atau berada pada ranah domestik.

Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Sumba, konstruksi budaya dalam masyarakat Sumba turut membentuk peran laki-laki dan perempuan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa budaya patriaki memiliki peran yang besar bagi masyarakat yang ada di Sumba. Contohnya saja dalam rumah tangga masyarakat Sumba yang menjunjung tinggi pemahaman bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga yang memiliki hak untuk mengambil keputusan dalam rumah tangga dan juga sebagai pemimpin dalam keluarga tersebut. Dalam pemahaman orang Sumba perempuan tidak memilki kedudukan dalam urusan adat maupun dalam upacara keagamaan, meskipun perempuan mempunyai peranan tetapi dengan adanya pemahaman masyarakat Sumba bahwa urusan adat merupakan bagian dari laki-laki maka sudah seharusnya dalam upacara adat ataupun diskusi adat merupakan bagian laki-laki, perempuan hanya mengurusi hal-hal yang bersifat domestik saja.

Seperti ketika proses Pahamang ini berlangsung, perempuan turut berperan hanya saja perannya dibatasi pada urusan domestik, perempuan tidak akan duduk bersama dengan laki-laki di tikar adat karena mereka tahu bahwa tempat mereka adalah di dapur untuk menyiapkan makanan dan minum bagi semua orang. Keterbatasan peran perempuan dalam diskusi adat Pahamang sudah merupakan hal yang wajar bagi perempuan dan laki-laki, tanpa diarahkan perempuan dan laki-laki sudah mengetahui tempatnya dimana. Hal ini memang tidak dapat diubah karena telah membudaya dalam masyarakat Sumba, dan jika terjadi perubahan maka orang-orang akan mempertanyakan hal tersebut. Sebagai contoh dari hasil wawancara dengan salah satu nara sumber perempuan yang mencoba membuat perubahan dengan mencoba mengganti peran laki-laki namun orang-orang mempertayakan hal tersebut .

Contohnya saja dalam hal mengundang orang atau kabihu lain hal ini biasa dilakukan oleh laki-laki dengan membawa alas bicara (bawaan) biasanya berupa kain, mamuli dan lulu amahu, dalam hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan oleh perempuan, karena kabihu atau marga

lain akan merasa direndahkan, “bahkan saya pernah mencoba untuk mengundang namun

30

hidupun mereka belum pernah melihat perempuan yang datang mengundang untuk

penguburan”.72

Hal ini menunjukkan bahwa setiap peran perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan dalam suatu masyarakat tidak dapat diubah, karena masyarakat telah berpegang pada tradisi yang dihidupi selama ini.

Salah satu dari unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Konjaninggrat adalah organisasi sosial yang merupakan bentuk pembagian peran dan menetapkan fungsi dalam setiap kehidupan anggota masyarakat.73 Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Sumba setiap anggota masyarakat memiliki peran yang telah disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Sumba, dan peran yang diembankan oleh masing-masing orang harus sesuai dengan norma-norma yang belaku. Sama halnya dalam budaya pahamang peran laki-laki dan perempuan telah ditentukan dimana laki-laki berkewajiban untuk berada ditikar adat dan perempuan yang mengurus segala urusan domestik. Hal ini yang kemudian dipertahankan oleh masyarakat Sumba dan menjadi tolak ukur mereka dalam mengambil perannya masing-masing dalam masyarakat.

Keterbatasan peran perempuan dalam budaya pahamang merupakan hal yang wajar saja bagi masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi dan telah turun temurun dijalankan oleh masyarakat, sehingga masyarakat Sumba khususnya perempuan tidak akan mempertanyakan keterlibatan mereka pada tikar adat. Seperti yang dikemukakan Ficte bahwa wanita dikuasai, karena itu merupakan keinginannya, keinginan yang berasal dari moral wanita itu sendiri untuk dikuasai. Sebenarnya hal demikian bukan semata-mata keinginan dari perempuan, tetapi karena adanya budaya patriaki yang mengkontruksikan perempuan harus seperti itu. Sehingga bentuk ketidak adilan baik dalam pembagian kerja yang terjadi dalam masyarakat maupun keluarga dianggap sebagai hal yang wajar.74 Hal ini tidak akan menimbulkan kesan negatif karena perempuan sendiri menganggab bahwa sudah tugas dan kewajiban laki-laki dalam mengambil keputusan dan ini juga sebagai bentuk penghargaan perempuan terhadap laki-laki sebagai seorang kepala rumah tangga. Meskipun tanpa disadari perempuan telah ditindas oleh budaya yang berlaku melalui konstruksi sosial yaitu dari pihak laki-laki. Dengan kata lain perempuan telah merasa aman dengan ketertindasan yang dialaminya.

72

Wawancara dengan Ibu Marlina Rambu Meha, 15 Desember 2016 pukul 17.00 WITA 73

Koentjaraninggrat, 2003, 217. 74 Budiman, 1985, 7.

31

Mengacu pada pendapat kaum liberal bahwa seseorang baik laki-laki maupun perempuan memiliki nilai otonom, nilai moral, persamaan hak dan derajat serta bebas untuk melakukan apa saja, maka dengan demikian perempuan seharusnya memiliki kesempatan/hak yang sama dalam mengambil keputusan. Perempuan adalah mahkluk rasional yang juga sama dengan laki-laki, dengan rasionalitas yang dimiliki perempuan seharusnya mampu bersaing untuk merekontruksi kembali nilai budaya. Ini yang seharusnya juga dapat menjadi pertimbangan bagi perempuan-perempuan yang ada di Sumba, bahwa perempuan-perempuan juga memiliki hak untuk dapat menyampaikan pendapat dan pendapat mereka juga patut didengar karena mereka adalah makhluk yang juga memiliki rasionalitas. Namun ini bukan berarti perempuan menuntut agar posisinya melebihi laki-laki akan tetapi tujuan yang seharusnya dicapai yaitu masing-masing dari laki-laki dan perempuan berada pada posisi yang semestinya saling mendukung.

Dalam dokumen T1 712010049 Full text (Halaman 38-42)

Dokumen terkait