• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712010049 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 712010049 Full text"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

i

“KAJIAN SOSIO – FEMINIS TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM BUDAYA

PAHAMANG (UNTUK KEMATIAN) DALAM ADAT SUMBA TIMUR”

Oleh :

Ekawati Suzanty Mbiliyora

NIM : 712010049

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas Teologi

Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana

Sains Teologi

( S.Si-Teol )

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Motto

“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala

sesuatu, dan tidak ada rencana-

Mu yang Gagal”

-

Ayub 42 : 2 -

Persembahan

Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Kedua orang tua

saya Bapak Silas Mbiliyora dan Ibu Agustina Dingu serta kedua

adik saya Yurinius Mbiliyora dan Christine R.I Mbiliyora, trima

kasih untuk begitu banyak kasih sayang yang telah dengan

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang sudah

menyertai perjalanan kehidupan penulis, khususnya dalam proses penyelesaian studi hingga

sampai pada tahap ini. Banyak hal yang sudah penulis lalui selama menuntut ilmu di kampus ini.

Penulis menyadari bahwa sampai pada tahap ini bukan berarti tanggung jawab juga selesai,

namun semakin mempersiapkan diri untuk menghadapi tahap-tahap selanjutnya. Banyak pihak

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Pada kesempatan ini,

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Pdt. Dr. Retnowati, M.Si selaku Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen

Satya Wacana.

2. Bapak Pdt. Izak Lattu, P.HD selaku Ketua Program Studi Teologi Universitas

Kristen Satya Wacana.

3. Bapak Dr. David Samiyono selaku dosen pembimbing I dan Ibu Feriningsih B.P

Hagni, M.Th selaku pembimbing II untuk bimbingan serta arahan yang sudah

diberikan, untuk waktu yang sudah diluangkan kepada penulis selama proses

penyelesaian Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan limpah trima kasih untuk

bantuannya selama ini.

4. Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel dan Ibu Pdt. Cindy Quartyamina. Terima kasih

untuk waktu dan juga ketelitian sebagai reviewer yang telah membaca dan

memberikan masukan-masukan positif untuk penulisan Tugas Akhir ini.

5. Bapak Dr. David Samiyono selaku wali studi penulis, trima kasih atas

bimbingannya sejak awal bergabung bersama teman-teman Teologi 2010.

6. Seluruh dosen UKSW yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan

serta seluruh civitas akademika UKSW.

7. Masyarakat Kecamatan Kota Waingapu yang sudah bersedia meluangkan waktu

untuk membantu penulis dalam proses wawancara dan memberikan data, guna

menyusun tugas akhir ini.

8. Kedua orang tua terkasih Bapa Silas Mbiliyora dan Mama Agustina Dingu untuk

kasih sayangnya, dan untuk segala bentuk dukungan yang tidak dapat penulis

(8)

viii

Mbiliyora trima kasih atas segala bentuk dukungan yang tidak pernah berhenti

diberikan.

9. Untuk keluarga besar di Sumba, Alm. Martha J. Terinate, Opa Markus Mbiliyora,

Nenek Rambu Ippu Huka Pati, Bapak Yunus Osa Dingu dan Alm. Ibu Maria

Gella, Bapak No Alfons dan Ibu Fransina Dingu, trima kasih banyak untuk segala

bentuk dukungan baik moril maupun materil yang diberikan bagi penulis selama

ini.

10.Jefrison Y. Taralandu yang selalu menolong penulis selama proses penyelesaian

Tugas Akhir ini, memberikan dukungan yang luar biasa untuk penulis. Trima kasih

banyak kaka.

11.Keluarga besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) khusunya cabang

Salatiga untuk kebersamaannya selama ini, baik teman-teman maupun senior

GMKI yang sudah berbagi ilmu dan wawasan selama melakukan diskusi-diskusi

dalam organisasi, trima kasih telah menjadi keluarga untuk penulis selama di

Salatiga. Trima kasih secara khusus bagi Kecab (Apet Jomblo), Elyan Mesak Kowi

(adik laki-laki dengan segala cita-citanya), Juni ( Erik Bura), Eten (Stenly Musa),

Albert Lobo dan Chatrine Rambu Oroe serta abang Fredi B. Guti, trima kasih

untuk jalinan persaudaraan yang luar biasa.

12.Keluarga persekutuan SSBS, Kak Ranja, Kak Yermi, Kak Felix, Kak Nurti, Kak

Gery, Kak Sari, Okal, Meka, Novin, Titin dan Andri Tanggu Mara serta

kakak-kakak yang lain yang sudah berbagi pengalaman spiritual selama mengadakan

ibadah bersama.

13.Sahabat terdekat Novin Budjalemba dan Ulat Bulu (Beatriks Hia) trima kasih

untuk persahabatan kita selama di Salatiga. Sekalipun nanti kita tak berpijak pada

pulau yang sama, tetaplah saling merindukan. Saya mengasihi kalian berdua.

Untuk kakak terkasih K Yayie (Sary Rambu Pedi Mosa) trima kasih banyak sudah

jadi kakak yang luar biasa.

14.Untuk sahabat satu pulau since MMX, Aldoni Riwan Waluwandja, Rusdianto Turu

Paita, Melvian Umbu Nggaba dan Yosito Kameo terima kasih untuk persahaban

kita, trima kasih sudah jadi saudara laki-laki yang baik dan serba berkekurangan

(9)

ix

15.Persatuan Warga Sumba di Salatiga yang sudah membantu penulis beradaptasi

dengan lingkungan yang baru sejak awal datang ke Salatiga, secara khusus

angkatan 2010.

16.Teman-teman Teologi 2010, kakak-kakak angkatan dan adik-adik angkatan, untuk

kebersamaannya bersama penulis selama menuntut ilmu di UKSW, khususnya

Leri Mardani Butar-Butar, Harsie Rambi, Brigivita Marulin, Tasya Tarigan dan

Manasye Indra Kusuma.

17.Serta semua pihak yang telah membantu penyusunan Tugas Akhir ini hingga

(10)

x Abstrak

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor perempuan tidak

berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur. Diharapkan melalui

penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab perempuan tidak turut

berperan dalam kebudayaan Pahamang. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis

untuk penelitian ini yaitu metode penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,

atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam

masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan

teknik wawancara dan studi dokumentasi yang berhubungan dengan budaya Pahamang. Melalui

wawancara penulis mencoba mendapatkan informasi melalui komunikasi yang dilakukan oleh

penulis dan narasumber. Penulis juga akan menggunakan studi dokumentasi yaitu suatu metode

pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku maupun dokumen–dokumen yang

berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.

Dari penelitian yang dilakukan penulis menemukan bahwa Kebudayaan Pahamang

sebagai salah satu tradisi yang ada dianut oleh masyarakat Sumba turut menunjukkan perbedaan

peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih berperan pada rana publik dan peran

perempuan hanya dibatasi pada rana dosmestik. Keterbatasan peran perempuan dalam

kebudayaan merupakan hal yang wajar saja bagi masyarakat yang ada di Sumba, dikarenakan

kebiasaaan ini sudah merupakan tradisi dan telah turun temurun dijalankan oleh masyarakat.

Konstruksi masyarakat membuat perempuan merasa dirinya tidak mengalami apa yang disebut

dengan ketertindasan karena mereka telah larut dalam pengajaran budaya yang secara turun

temurun diberikan.

(11)

xi DAFTAR ISI Halaman Judul

Halaman Penggesahan ……….. i

Lembar Pernyataan Tidak Plagiat ………. ii

Lembar Pernyataan Persetujuan Akses ……… iii

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ………... iv

Motto ……… v

Kata Pengantar ……….. vi

Abstrak ……...………... vii

Daftar Isi ….……….. viii

Ucapan Terima Kasih ………... ix

Bagian I. Pendahuluan ………. 1

Latar Belakang ……….. 1

Bagian II. Teori Peran dan Teori –Teori Feminis ………... 6

Kebudayaan Sebagai Bagian dari Masyarakat ………. 8

Teori Peran ………... 8

Peranan Perempuan dalam Mayarakat ………. 9

Gerakan –Gerakan Feminis ……… 11

Feminis Liberal ………. 11

Feminis Radikal ……… 13

Feminis Sosialis ……… 15

Bagian III. Budaya Pahamang dalam Adat Kematian dan Peran Perempuan dalam Budaya Sumba Timur ……….. 16

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………. 16

Masyarakat Sumba ………... 17

Budaya Masyarakat Sumba ……….. 18

Kematian bagi Orang Sumba ……… 19

Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur ………... 20

Bagian IV. Peran Perempuan dalam Kebudayaan Pahamang ……….. 26

Bagian V. Kesimpulan dan Saran ………. 29

(12)

1 I. Pendahuluan

Latar Belakang

Sumba adalah sebuah pulau yang terletak di bagian Timur Indonesia. Pulau Sumba terdiri

dari empat kabupaten,yaitu: Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan

Kabupaten Sumba Barat Daya. Keempat kabupaten ini memiliki budaya yang cenderung sama

dan memiliki agama suku yang sama yaitu Marapu yang merupakan kepercayaan terhadap Dewa

atau Ilah tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan–

kekuatan sakti1 dan kepercayaan ini merupakan "kepercayaan asli" yang masih hidup dan masih

dianut oleh sebagian masyarakat yang ada di Sumba.

Berbicara tentang masyarakat tentunya ada kebiasaan yang dianut oleh masyarakat yang

kemudian menjadi kebudayaan dan turut membentuk nilai–nilai dalam masyarakat dan nilai–

nilai ini dianut oleh setiap individu dalam masyarakat itu. Kebudayaan itu sendiri merupakan

keseluruhan hasil kreatifitas manusia yang sangat kompleks, didalamnya berisi struktur–struktur

yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang berfungsi sebagai pedoman dalam

kehidupan.2 Budaya kemudian terbentuk menjadi aturan atau norma–norma yang terus mengikat

masyarakat. Karena itu budaya turut mempengaruhi pola tingkah laku bahkan sangat

berpengaruh pada setiap aspek kehidupan masyarakat yang menganut kebudayaan tersebut.

Budaya juga menolong masyarakat untuk mengetahui bagaimana cara bertindak dalam

masyarakat.

Kebudayaan setiap komunitas menunjukkan jati diri masyarakat yang menganut

kebudayaan tersebut. Sekalipun kebudayaan dianut secara terus menerus oleh masyarakat namun

budaya juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Demikian juga

yang terjadi pada masyarakat yang ada di Sumba, masih ada yang melestarikan dan juga yang

telah meninggalkan kebudayaan yang ada. Sebagai contoh, yaitu kepercayaan Marapu yang

merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Sumba. Sebagian masyarakat Sumba yang telah

menganut agama Kristen Prostestan atau agama resmi lainnya telah meninggalkan kepercayaan

ini, bagi masyarakat yang menganut agama Kristen yang menjadi alasan mereka meninggalkan

kepercayaan ini dikarenakan bertentangan dengan Iman Kristen. Salah satu ajaran yang

1

F.D. Wellem,Injil dan Marapu,(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004), 42. 2

(13)

2

bertentangan yaitu tentang kepercayaan bahwa nasib manusia ditentukan oleh roh–roh atau ilah–

ilah lain. Dalam ajaran agama Kristen, Tuhan Allah yang menentukan nasib manusia dan bukan

oleh roh–roh leluhur3 seperti yang dipercayai oleh kepercayaan Marapu. Kebudayaan yang juga

mulai ditinggalkan oleh masyarakat Sumba yaitu upacara penarikan batu kubur. Upacara

penarikan batu kubur yang dahulu nya ditarik oleh sekumpulan orang kini telah disesuaikan

dengan kemajuan teknologi yaitu tidak ditarik melainkan diangkut menggunakan alat–alat

berukuran besar. Bahkan sekarang kuburan–kuburan orang Sumba tidak lagi memakai batu-batu

yang ditarik tetapi sudah dari bahan semen dan keramik.4

Beberapa kebudayaan telah ditinggalkan masyarakat Sumba namun nilai yang

terkandung dalam kebudayaan itu sendiri masih terus dipegang oleh masyarakatnya dan masih

ada kebudayaan yang terus dilestarikan. Salah satu bentuk kebudayaan yang masih dilestarikan

oleh masyarakat Sumba Timur adalah Pahamang. Pahamang merupakan bagian dari adat Sumba,

yaitu suatu keadaan dimana berkumpulnya keluarga besar (dalam hal ini laki–laki atau bapak)

dalam rumah adat (tikar adat) untuk melakukan musyawarah bersama dalam rangka mengambil

beberapa keputusan terkait dengan adat istiadat dan berbagai macam hal yang berhubungan

dengan acara perkawinan atau acara penguburan. Pahamang sendiri dilakukan pada acara

perkawinan dan juga acara kematian. Secara khusus penulis ingin memfokuskan penelitian ini

pada Pahamang untuk kematian. Alasan penulis mengambil kematian karena terdapat beberapa

fase kehidupan yang dipercayai oleh masyarakat Sumba diantaranya, yaitu kelahiran, masa

kanak-kanak, pemuda, pernikahan, kematian dan penguburan.5 Dilihat dari fase ini maka bisa

disimpulkan bahwa salah satu fase kehidupan terpenting bagi masyarakat Sumba yaitu

kematian, masyarakat Sumba percaya bahwa kehidupan manusia sepenuhnya bergantung pada

ilah tertinggi yang juga memegang nafas manusia. Oleh karena itu kematian dipahami sebagai

panggilan dan kehendak ilah tertinggi sementara orang yang meninggal kembali kepada

penciptanya.6 Melihat bagaimana pandangan orang Sumba tentang kematian, maka dapat

disimpulkan bahwa adat kematian merupakan bagian penting bagi masyarakat Sumba, karena

itulah penulis tertarik untuk meneliti Pahamang yang merupakan bagian dari kebudayaan

masyarakat Sumba sendiri.

3 Wellem, 2004,295.

4

Umbu Pura Woha,Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur, Kupang, Cipta Sarana Jaya, 2008) 5

(14)

3

Dalam suatu acara kematian Pahamang seringkali dilakukan karena merupakan bagian

dari adat Sumba sendiri, adapun hal-hal yang dibicarakan pada Pahamang untuk kematian adalah

tentang proses penguburan orang yang telah meninggal, berapa hewan yang akan disembelih

(merupakan bagian dari adat) dan menentukan orang–orang yang terlibat dalam adat kematian

dalam hal ini undangan bagi keluarga maupun kerabat terdekat dari orang yang telah meninggal

dan masih banyak lagi hingga pada urusan teknis dalam menjalankan upacara adat kematian,

penguburan dan setelah upacara adat penguburan.

Satu hal yang cukup menarik dalam proses ini yaitu dimana kurangnya keterlibatan

perempuan didalamnya. Ketika proses Pahamang ini berjalan sebagian besar yang terlibat yaitu

laki–laki dan setiap keputusan adat yang didapat dalam diskusi ini bersifat mutlak yang berarti

harus diterima oleh semua keluarga. Dalam proses diskusi ini perempuan tidak berada ditikar

adat bersama dengan laki–laki dan perempuan hanya boleh menunggu di luar rumah adat

bersama anak–anak atau berada didapur untuk memasak makanan bagi semua orang.

Penulis tertarik untuk mencari tahu mengapa hanya laki–laki yang terlibat dalam proses

Pahamang, mengapa dalam proses pembagian kerja hanya laki–laki saja yang terlibat dalam

ritual atau pada tikar adat (publik). Mengapa perempuan tidak dapat mengambil bagian dalam

proses diskusi atau perundingan ini dan mengapa peran perempuan hanya dibatasi pada hal-hal

yang bersifat privat seperti mengurus hal–hal yang bersifat domestik contohnya memasak,

mengurus anak dan mengurus perlengkapan ritual.

Masyarakat Sumba sendiri menganut budaya patriaki yang merupakan dominasi atau

kontrol laki-laki atas perempuan; atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya dan

statusnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Pengertian ini kemudian dibakukan

dalam budaya-budaya yang menganut sistem patriarki. Selain itu sistem ini seakan-akan menjadi

ideologi masyarakat dan sebagai tolak ukur dalam membagi fungsi dan peran antara laki-laki dan

perempuan.7 Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Sumba laki-laki selalu memainkan

peran penting dalam kehidupan masyarakat kalaupun perempuan memiliki peran, hal itu tidak

akan melebihi atau mendominasi laki-laki. Adanya sistem tradisi yang dihidupi terkadang

membuat perempuan Sumba larut dalam penguasaan kaum pria, bahkan mereka merasa cukup

puas dengan keadaan, kebiasaan, atau tradisi yang dihidupi, sebagian mereka tidak menyadari

7Ro he Modheh, Me e aska Pere pua dari Jerat Adat:

Sebuah Tinjauan Dari Ajaran Sosial Gereja ( Mei 2012), Diakses Februari 17, 2016,

(15)

4

bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak untuk tampil bersama pria dalam setiap bidang

kehidupan.8

Jika kita berbicara tentang pembagian peran antara laki–laki dan perempuan di Sumba

dalam sebuah keluarga tugas seorang perempuan adalah mengurus hal–hal yang berkaitan

dengan kelangsungan hidup sehari-hari dari anggota keluarga (tugas domestik), dan tugas laki–

laki adalah mengurus hal–hal yang berkaitan dengan cara menaklukkan atau menyiasati

ancaman–ancaman yang datang dari luar rumah demi mempertahankan kehidupan keluarga

tersebut (tugas publik) 9 laki-laki juga diidentikan dengan pencari nafkah, pengambil keputusan

dalam keluarga sehingga secara tidak langsung membuat laki-laki merasa lebih berkuasa dalam

keluarga. Laki-laki atau bapak sebagai tuan dalam keluarga. Jika kita berbicara tentang peran

antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat Sumba dapat dilihat bagaimana seorang

imam atau tua adat dalam masyarakat Sumba yaitu orang yang sudah tua dan laki–laki serta

berasal dari golongan bangsawan dan orang merdeka, perempuan tidak akan menjadi imam

sekalipun ia menguasai ritus–ritus keagamaan.10 Dari apa yang dijelaskan di atas secara tidak

langsung perempuan telah diidentikkan dengan urusan domestik yang berarti perempuan hanya

ada di belakang dan tidak diizinkan atau tidak mempunyai kesempatan untuk berada dalam ruang

publik.

Perempuan terkonstruksi secara sosial sebagai makhluk yang tunduk, loyal, lembut

pasrah dan mengabdi, serta tempat yang dianggap sesuai untuk perempuan adalah rumah, peran

yang harus diemban dan tidak boleh ditinggalkan adalah mengurus urusan rumah tangga.11

Perempuan biasanya diidealisasikan, diharapkan untuk melayani orang lain dan

mengesampingkan kebutuhan mereka sendiri. Karena berbagai faktor penyebab perempuan sulit

untuk tidak melayani orang lain, sehingga sulit pula untuk mengatakan apakah wanita secara

pribadi melayani karena pilihan atau karena tidak bisa menggelaknya.12

8

Modheh, 2012. 9

Ir.John R.Lahade,Msc.Perempuan, Kuda dan Tenun,Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Wewewa,Sumba,(Salatiga:Widya Sari Press,2011), .96

10

Wellem, 2004,50.

11Ag es Djarkasi, Peran Perempuan dalam Kesetaraan Jender:Suatu Ti jaua Historis di Sulawesi Utara”Wo e

i Pu li Se tor ”,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), 115. 12Anne Borrowdale

,Tugas Rangkap Wanita Mengubah Sikap Orang Kristen(Jakarta : Penerbit BPK Gunung Mulia.

(16)

5

Dari penjabaran di atas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang peran

perempuan dalam Budaya Pahamang (untuk Kematian) di Sumba Timur ditinjau dari kajian

Sosio-Feminis.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor perempuan tidak

berperan dalam budaya Pahamang dalam kebudayaan Sumba Timur. Diharapkan melalui

penelitian yang dilakukan penulis dapat menemukan apa penyebab perempuan tidak turut

berperan dalam kebudayaan Pahamang.

Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk penelitian ini yaitu metode

penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu

individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekwensi atau

penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat13

Jenis penelitian pada penulisan ini yaitu jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian

ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah

dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan

fenomena yang diteliti.14

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan

teknik wawancara dan studi dokumentasi. Menurut Stewart & Cash, wawancara diartikan

sebagai sebuah interaksi yang di dalamnya terdapat pertukaran atau berbagi aturan, tanggung

jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi.15 Melalui wawancara penulis mencoba

mendapatkan informasi melalui komunikasi yang dilakukan oleh penulis dan narasumber.

Penulis memberikan pertanyaan dan narasumber akan diberikan kebebasan untuk menjawab

pertanyaan sesuai dengan apa yang diketahui dan pengalaman narasumber. Narasumber yang

digunakan penulis yaitu Tua–tua adat, beberapa masyarakat Sumba yang mengerti tentang

budaya Sumba dan juga beberapa perempuan Sumba. Penulis juga akan menggunakan studi

dokumentasi yaitu suatu metode pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku

maupun dokumen–dokumen yang berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.16 Hal ini

juga berguna untuk menyusun landasan teori yang menjadi tolak ukur dalam menganalisa data

penelitian untuk menjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis.

13

Koentjaraninggrat,Metode – metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Penerbit PT Gramedia,1981),42.

14Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu – ilmu Sosial,(Jakarta:Salemba Humanika,2010),9 15

Herdiansyah, 2010,118. 16

(17)

6

Sistematika penulisan yang coba dibuat oleh penulis, yaitu: Bagian pertama penulis

memaparkan latar Pendahuluan berupa latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian dua penulis menjelaskan tentang

landasan teori. Bagian tiga penulis memaparkan hasil penelitian lapangan yang berupa

masyarakat Sumba, gambaran umum budaya Pahamang dalam adat Sumba Timur dalam hal ini

peran perempuan dalam budaya tersebut. Bagian keempat penulis menganalisa data yang

diperoleh d lapangan dengan menggunakan teori yang terdapat pada bagian kedua. Bagian lima

penulis akan menyimpulkan pembahasan dalam bagian sebelumnya dan memberikan saran.

II. Teori Peran dan Teori-teori Feminis

Pada bagian selanjutnya penulis mencoba memaparkan teori yang akan digunakan dalam

proses analisa terhadap data lapangan. Adapun teori yang dibahas oleh penulis pada bagia ini,

yaitu: Kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat, teori peran dan teori-teori feminis gelombang

pertama.

Kebudayaan sebagai bagian dari Masyarakat

Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan kenyataan bahwa manusia sebagai

makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk keberlangsungan kehidupannya, dari kenyataan

ini kemudian manusia membentuk hubungan yang beraneka ragam. Keragaman itu kemudian

membentuk kelompok dan pada tiap-tiap kelompok tersebut terdiri dari

kelompok-kelompok yang lebih kecil. Apabila kelompok-kelompok-kelompok-kelompok kecil itu mengadakan persekutuan

dalam bentuk yang lebih besar, maka terbentuklah apa yang kita kenal dengan “masyarakat”.17 Ketika menjadi sebuah masyarakat maka ada kebiasaan-kebiasaan dan kesepakatan-kesepakatan

yang terbentuk dalam masyarakat tersebut yang dibakukan menjadi kebudayaan dan dianut oleh

masyarakat tersebut.

Kebudayaan itu sendiri terbentuk dari proses kehidupan yang dialami manusia dalam

menghadapi dan mengatasi berbagai macam masalah hidupnya, baik yang timbul dalam

hubungannya dengan sesama (sosial), dengan lingkungan (natural/fisik), maupun dengan

berbagai hal yang sifatnya misteri dan gaib (supranatural/metafisik).18 Sementara kebudayaan itu

17

H. Hartomo dan Dra. Arnicun Aziz. Ilmu Sosial Dasar. (Jakarta:Bumi Aksara, 1990), 94

(18)

7

sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang

digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta

menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian

aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas

serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara

selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan

tindakan-tindakannya.19 Oleh karena itu masyarakat akan selalu menjadikan kebudayaan yang

dianut sebagai tolak ukur dalam setiap tindakannya baik untuk memenuhi kebutuhan hidup,

untuk menghadapi dan mengatasi masalah dalam hidupnya.

Kata “kebudayaan” sendiri menurut Koentjaraninggrat berasal dari kata Sansekerta

buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi, yang berarti “budi” atau “ilmu”. Dengan demikian

kebudayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere”

yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu yang dimaksud kepada keahlian

mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi

culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah

alam”.20

Seorang Antropologi bernama E.B Taylor memberikan definisi mengenai kebudayaan

yaitu merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia

sebagai anggota masyarakat yang mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat.21

Kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari dalam kehidupan manusia (enkulturasi),

juga diwariskan secara sosial (bukan genetik) dari satu generasi ke generasi berikutnya.22 Oleh

karena itu seiring dengan perkembangan zaman kebudayaan itu sendiri mengalami perubahan.

Namun sekalipun berubah kebudayaan sendiri tidak menghilang karena terus dilestarikan melalui

tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masyarakat. Salah satu bentuk pelestarian kebudayaan adalah

dengan mewariskannya dalam keluarga sebagai contoh para orang tua akan menanamkan

pedoman-pedoman kebudayaan yang dipegangnya dengan mendidik, mengajari, menanamkan

19

Richard G. Mayopu, Jur alis e A tar Budaya “e agai Jala Me uju Tolera si Ber a gsa da Ber egara , PAX Humana Vol.II,No. 3(September 2015), 223.

20

Koentjaraninggrat, Pengantar Antropologi Jilid I, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003), 195. 21

(19)

8

nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak-anaknya, selain secara teori diturunkan dalam keluarga,

kebudayaan itu sendiri turun lewat pengalaman yang dialami dalam masyarakat tempat ia berada.

Ketika kita berbicara tentang kebudayaan tentu hal ini tidak terlepas dari apa yang di

sebut dengan adat istiadat. Dilihat dari peran dan fungsinya adat merupakan “sesuatu” yang

digunakan oleh masyarakat dalam rangka memelihara keutuhan dan keharmonisan hubungan

diantara sesama anggotanya.23 Adat dan kebudayaan merupakan kebiasaan dan berlaku dalam

konteks lingkungan sosial setiap masyarakat yang memilikinya, oleh karena itu setiap adat dan

kebudayaan yang berlaku pada suatu tempat tidak akan sama dengan tempat yang lain. Namun

kebudayaan itu sendiri juga turut berubah seiring dengan perkembangan zaman dan

perubahan-peruban yang dialami oleh masyarakat tempat kebudayaan itu dibentuk.

Berkaitan dengan judul yang akan dibahas oleh penulis tentang peran perempuan dalam

kebudayaan, maka penulis mencoba membahas tentang teori peran guna mendukung tulisan ini

dalam pembahasan selanjutnya.

Teori Peran

Manusia adalah makhluk sosial, yang biasanya manusia akan menjadi apa dan siapa,

tergantung pada lingkungan sekitarnya atau pada siapa ia bergaul. Manusia tidak bisa hidup

sendirian, sebab terdapat adanya rasa saling ketergantungan satu sama lain. Dalam pergaulan

hidup, manusia menduduki fungsi yang bermacam-macam dan manusia itu sendiri berperan

sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat

tempat ia berada. Oleh karena itu maka setiap individu mempunyai kumpulan peranan tertentu

ketika ia berhadapan dengan dengan orang-orang disekitarnya.

Istilah peranan sendiri dipinjam dari sandiwara, dimana seorang pemain memainkan

suatu peranan sebagai pahlawan atau sebagai penjahat. Untuk menjelaskan lebih jauh lagi

peranan apa yang dimainkan, sipemain ini memakai topeng. Topeng ini masih dipakai oleh

penari Jawa atau Bali dan juga dulu dipakai oleh pemain Yunani. Pada zaman itu topeng tersebut

dinamakan “persona”. Persona berarti pernyataan lahir, pernyataan keluar seseorang atau dalam bahasa Inggris “social self” ini diwujudkan dalam kumpulan peranan atau “set of roles”

seseorang, dimana ia sebagai obyek menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku.24

23

Silaen,2015, 17.

(20)

9

Menurut Soejono Soekamto, Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan

individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang

dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat,

peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing

seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.25 Ini berarti bahwa peran yang dilakukan oleh

individu tidak hanya berasal dari dirinya sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat

ia bertumbuh.

Namun peran sendiri tidaklah bersifat dinamis melainkan ia bersifat statis atau

berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangan hidup seseorang, contohnya peran seseorang dari ketika

ia kecil, akan berubah ketika ia menjadi seorang remaja, dewasa kemudian dalam keluarga dan

juga perannya dalam ligkungan dari rumah, sekolah kemudian kantor tentu perannya akan

berbeda-beda. Perubahan peran seseorang tidak hanya berdasarkan pada individu itu sendiri

tetapi juga berdasarkan pada perkembangan kebudayaan tempat ia berada, seperti dari yang

primitif sampai yang canggih, dari yang tradisional sampai pada yang modern.26 Karena itu

kumpulan peranan berubah tergantung tempat dan serta umur individu tersebut.

Perilaku individu dalam kesehariannya, hidup bermasyarakat berhubungan erat dengan peran

, karena peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani seorang individu dalam

bermasyarakat. Sebuah peran harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku juga di

masyarakat.

Adapun Tiga macam fungsi norma menurut Hommes, yaitu :

1. Mengatur cara pergaulan. Karena seringkali peranan berbentuk pasangan yang saling

mempengaruhi, misalnya suami-istri; orang tua-anak; guru-murid dan sebagainya. Jika

salah ,satunya tidak berperan, maka yang lain tidak bisa berperan.

2. Mengendalikan anggota masyarakat dalam proses menyesuaikan diri dengan

norma-norma yang pantas. Misalnya, kemauan seorang individu dikendalikan demi

kewajibannya terhadap keadaan yang baik di masyarakat.

25

http://fahir-blues.blogspot.co.id/2013/06/teori-peran-dan-definisi-peran-menurut.html

(21)

10

3. Meramalkan perbuatan dari orang lain dan peranan diri sendiri pada masa depan.

Misalnya, seorang suami sudah mengharapkan isterinya akan menyiapkan makanan

karena peranannya adalah memasak.27

Sistem peranan, menurut Hommes dapat menjamin kehidupan masyarakat yang teratur

dan harmonis. Namun tidak dapat kita pungkiri juga bahwa seiring dengan perubahan sosial

yang terjadi turut mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam arti bahwa peran yang

dijalankan seseorang dapat berubah-rubah seperti yang layak dulu bisa jadi tidak diterima

lagi pada masa kini.

Peranan Perempuan dalam masyarakat

Pada setiap kebudayaan perempuan dan laki-laki diberi peran dan pola tingkahlaku yang

berbeda untuk saling melengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini. Pembagian peran

ini berfungsi melengkapi kekurangan-kekurangan kedua jenis manusia ini, supaya persoalan

yang dihadapi oleh masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang lebih baik (Manwell).28

Masyarakat memahami secara mendasar, perempuan adalah ibu rumah tangga. Pria adalah

pencari nafkah, perempuann adalah penjaga dan pembagi makanan. Dia adalah seseorang yang

mengambil alih setiap persoalan. Seni mengasuh tunas bangsa merupakan tugas utama

perempuan dan satu-satunya hak istimewa.29 Pemahaman tentang peran perempuan seperti ini

yang kemudian menyebabkan perempuan terus menganggap tempat mereka mereka adalah

dalam bidang domestik dan mereka tidak berperan dalam rana publik.

Berhubungan dengan peran laki-laki dan perempuan, secara hirarki status laki-laki lebih

tinggi dari pada si perempuan. Misalnya, kedudukan seorang ibu rumah tangga tetap berada

dibawah kedudukan seorang bapak, sebagai kepala keluarga. Walaupun si ibu seorang

perempuan berkarir dia tetap dibebani dengan banyak kewajiban, seperti membesarkan anak,

mengurus rumah tangga, serta mendampingi suaminya.

Adapun salah satu lingkungan terkecil dalam masyarakat yang juga mempengaruhi

kehidupan seorang individu yaitu keluarga, keluarga merupakan lingkungan pertama tempat

peran seseorang dimulai dan keluarga berfungsi memenuhi pelbagai kebutuhan manusiawi mulai

dari kebutuhan primer (sandang, pangan serta papan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk

27

Hommes, 1992, 21. 28

Arief Budiman, Pembagian Kerja secara Seksual, (Jakarta: Gramedia, 1985), 24.

(22)

11

mencintai serta dicintai, kebutuhan akan harga diri, sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri.

Banyak orang percaya bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup dilingkungan rumah tangga.

Tugas alami yang kemudian dimiliki oleh perempuan adalah melahirkan dan membesarkan

anak-anak di dalam lingkungan rumah tangga, serta memasak dan memberi perhatian kepada

suaminya, supaya sebuah rumah tangga yang tenteram dan sejahtera dapat diciptakan.30 Hal ini

tidak dapat kita pungkiri jika melihat dari peran perempuan yang terbentuk dalam masyarakat

yang menganut budaya patriaki.

Perempuan selalu diberikan tanggung jawab untuk perawatan sehari-hari kaum pria dan

anak-anak di tengah-tengah keluarganya sendiri maupun dalam masyarakat. Mereka terus

menerus dituntut untuk mengutamakan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri.

Naluri keibuan yang mengharuskan kesiapsediaan untuk menyampingkan kebutuhannya sendiri

demi melayani orang lain.31 Perempuan adalah makhluk yang ditugaskan untuk menyediakan

semua kebutuhan rumah tangga, mendidik anak-anak dengan mengesampingkan kepentingannya

sendiri. Hal ini juga yang kemudian menyebabkan patriaki menjadi semakin kuat dalam sebuah

keluarga.

Gerakan-gerakan Feminisme

Feminisme bukanlah istilah baru, sebaliknya istilah-istilah feminis telah ditemukan

berabad-abad yang silam. Kata feminis berasal dari kata latin feminia(perempuan) yang

mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan”, dan mulai dipakai istilah tersebut pada tahun

1890an disebuah publikasi The Athenaeum, 27 April 1895. Walaupun pada saat itu istilah feminisme baru merupakan sebuah kesadaran dan belum merupakan sebuah kesadaran politik

apalagi teoritis.32

Secara umum, Feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat

dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidak adilan

karena jenis kelaminnya. Dibawah payung lebar berbagai feminisme menawarkan berbagai

analisis mengenai penyebab, pelaku, dari penindasan perempuan.33 Pemikiran-pemikiran

sosiologis, ekonomi, dan politik dapat dilihat secara mengental di dalam teori-teori feminis

30Budiman, 1985, 7.

31

Borrowdale, 1. 32

Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta:Buku Kompas,2006),412 33Maggie Humm,

(23)

12

Liberal, Radikal dan Marxisme, teori-teori ini kemudian digolongkan sebagai teori-teori feminis

gelombang pertama, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan bersifat sosiologis serta peranan

perempuan di dalamnya, dan juga telah mempermasalahkan kedudukan dan posisi perempuan

dimasyarakat, terutama persoalan hak-hak sipilnya. Pada gelombang kedua,

pemikiran-pemikiran feminisme bukan lagi memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan melakukan

pergerakan politis seperti pada pertanyaan-pertanyaan melakukan pergerakan politis seperti pada

gelombang pertama. Perspektif pada gelombang kedua kemudian melahirkan “perempuan dan

laki-laki sama” atau setara. Perspektif ini ingin mendorong masyarakat untuk menerima

perempuan dalam posisi yang sama dengan laki-laki.

Adapun gerakan-gerakan feminis gelombang pertama yang dijadikan penulis sebagai

landasan teori diantaranya yaitu, :

Feminis Liberal

Aliran ini mendasari prinsip-prinsip falsafah liberalisme yaitu rasionalitas, bahwa semua

orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, setiap orang harus punya kesempatan yang sama

untuk memajukan dirinya, dan berpendapat bahwa perempuan juga sama rasionalnya dengan

laki-laki. Feminis liberal beranggapan bahwa prinsip-prinsip ini belum diberikan kepada wanita,

karena itu mereka menuntut supaya prinsip-prinsip ini segera dilaksanakan sekarang

juga.34Wanita harus sadar akan hak-haknya, wanita harus menuntut apa yang menjadi haknya.

Tuntutan ini akan menyadarkan kaum laki-laki, dan kalau kesadaran ini sudah merata maka

dengan kesadaran baru ini, manusia akan membentuk suatu masyarakat baru dimana laki-laki

dan wanita bekerjasama atas dasar persamarataan.35

Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya di dalam masyarakat seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan

tertindas. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah

makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga harus diberi hak yang sama

juga dengan laki-laki.

34

(24)

13

John Stuart Mill dan Harriet Taylor (Mill) dalam tulisannya mengikuti Wolstonecraft

dalam hal merayakan nalar, akan tetapi mereka memandang nalar tidak saja secara moral,

sebagai kapasitas untuk mengambil keputusan secara otonom, tetapi juga melalui pemikiran yang

hati-hati, sebagai pemenuhan diri atau penggunaan akal untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Mill dan Taylor mengklaim cara yang biasa untuk memaksimalkan kegunaan yang total

(kebahagiaan/kenikmatan), adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang

mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses

pencapaian tersebut. Jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual, atau keadilan gender

maka masyarakat harus memberikan perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan

yang sama yang dinikmati oleh laki-laki.36

National organization for Women (NOW, Organisasi Nasional untuk Perempuan) mereka

menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat

kebiasaan dam hambatan hukum, yang membatasi masuknya serta keberhasilan perempuan pada

apa yang disebut dunia publik. Feminis liberal menekankan, pertama-tama, bahwa keadilan

gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, sedangkan kedua, untuk

memastikan tidak satupun dari pelomba untuk kebaikan dan pelayanan bagi masyarakat

dirugikan secara sistematis; keadilan gender tidak menuntut kita untuk memberikan hadiah bagi

pemenang dan yang kalah.37

Feminis liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang

opresif-yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk

memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi

perempuan dalam lingkup publik. Mereka menekankan bahwa masyarakat patriakal mencampur

adukkan seks dan gender, dan menganggab hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan

dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan.38

Feminis Radikal

Berdasarkan pada karya-karya Kate Millet dan Shulamith Firestone

Gerakan ini beranggapan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab pembagian kerja

secara seksual adalah sistem Patriakal. Feminis radikal mengklaim bahwa sistem patriarkal

36

Rosemarie Putnam Tong. Feminis Thought, ed. Aquarini Priyatna Prabasmoro(Yogyakarta: Jalasutra, 1998), 23. 37

(25)

14

ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi.39 Sistem patriakal tidak dapat dibentuk

ulang, tetapi harus dicabut sampai akar dan cabang-cabangnya. Bukan hanya struktur hukum dan

politis patriarki saja yang harus dicabut untuk memberikan jalan bagi pembebasan perempuan.

Lembaga sosial kultural (terutama keluarga, gereja dan akademi) harus juga dicabut dari

akar-akarnya.40

Basis teori ini adalah bahwa sistem patriakal tersebut datang dari perbedaan biologis

antar jenis kelamin, khususnya peran perempuan dalam reproduksi. Intinya adalah penindasan

secara kelamin (seks), dimana perempuan ditindas oleh laki-laki.

Gerakan feminis radikal dapat didefinisikan sebagai gerakan wanita yang berjuang didalam

realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas lainnya. Karena itu gerakan ini terutama

mempersoalkan bagaimana caranya untuk menghancurkan patriarki sebagai sebuah sistem nilai

yang melembaga di dalam masyarakat.41

Feminis radikal meyakini bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental dari

penindasan terhadap perempuan. Menurut Alisom Jaggar dan Paula Rothenberg, memberikan penjelasan ketertindasan yang mendasar yang dialami kaum perempuan, yaitu:

1. Bahwa perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas;

2. Bahwa ketertidasan perempuan sangat meluas dihampir seluruh masyarakat manapun;

3. Bahwa ketertindasan perempuan merupakan yang paling dalam dan bentuk ketertindasan

yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan-perubahan

sosial seperti penghapusan kelas tertentu;

4. Bahwa ketertindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang amat sangat

terhadap korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitaif, walaupun kesengsaraan

tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan, baik yang dilakukan oleh pihak

penindas maupun yang tertindas;

5. Bahwa penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan model konseptual

untuk mengerti bentuk-bentuk lain penindasan.42

39 Tong, 1998, 3.

40

Tong, 1998, 3. 41

Budiman, 1985, 42.

(26)

15

Dapat disimpulkan bahwa aliran ini menekankan penindasan terhadap perempuan terjadi

melalui kekuasaan seksualitas laki-laki yang diikuti upaya laki-laki mengontrol tubuh

perempuan.

Dalam buku nya “Sexsual Politics”, Millet menyatakan bahwa hubungan laki-laki dan wanita di dalam masyarakat merupakan hubungan politik. Dia mendefinisikan politik sebagai

hubungan didasarkan pada struktur kekuasaan suatu sistem masyarakat di mana satu kelompok

manusia dikendalikan oleh kelompok manusia yang lainnya. Nama struktur kekuasaan dimana

laki-laki mengendalikan wanita adalah Patriarki. Lembaga utama dari sitem Patriarki ialah

keluarga. Millet melihat Patriarki sebagai sistem kebudayaan, tapi dia terutama menekankan

aspek psikologisnya. Patriarki merupakan simpang pertemuan antara psikologi (kebiasaan

rohani) dan kebudayaan (cara kehidupan).43

Menurut Millet: Harus dipahami bahwa arena revolusi seksual terutama ada didalam kesadaran manusia, bukan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang diciptakan manusia, meskipun lembaga-lembaga ini memainkan peran yang penting, sistem Patriakal di tanamkan di dalam diri manusia, dan sebuah struktur kepribadian tertentu diciptakan didalam diri baik laki-laki maupun wanita, yang membuat sistem patriakal ini menjadi sebuah kebiasaan rohaniah dan sebuah cara kehidupan manusia. Karena itu, patriarki kurang atau tidak tampak sebagai suatu sistem politik yang eksplisit, patriaki lebih tampak sebagai hakekat manusia itu sendiri.44

Akan tetapi gerakan ini terlalu memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa laki-laki

mendapat banyak keuntungan dari sistem patriakal. Kaum feminis radikal terlalu melihat

laki-laki sebagai musuh mereka yang utama. Karena itu, kaum feminis radikal seakan tidak bisa atau

tidak mau melihat bahwa sistem patriakal juga menindas laki-laki.45 Laki-laki diberi peran

didalam keluarga sebagai orang yang harus bekerja untuk memperoleh penghasilan untuk

menjaga kestabilan ekonomi dari keluarganya, sehingga membuat ia tidak bisa melakukan

pekerjaan-pekerjaan yang tidak menghasilkan uang.

Feminis Sosialis

Mendasarkan perjuangannya pada teori Engels atau lebih tepatnya pada teori Marxis.

(27)

16

Feminis Marxis dan sosialisasi mencoba menteorikan kapitalisme dan patriarki secara

bersama-sama untuk mengeksplorasi hubungan antara ketidaksetaraan kelas dan gender.46

Kaum feminis sosialis memberi perhatian yang besar pada kondisi sosial ekonomi. Mereka

percaya, berdasarkan teori substruktur (dasar-dasar materil dari masyarakat yakni sistem sosial

ekonomi dan masyarakat tersebut, dan siapa yang diuntungkan oleh sistem ini) dan super struktur

(organisasi masyarakat yang mendukung sistem pembagian hasil-hasil produksi yang pincang

ini, misalnya sistem nilai-nilai masyarakat tersebut, sistem hukum yang ada dan sebagainya)

bahwa pembagian pekerjaan berdasarkan seksual hanyalah merupakan bagian dari super struktur

yang akan hancur dengan sendirinya bila substrukturnya berubah.47

Meskipun kaum feminis sosialis mengutamakan perjuangannya pada perubahan sistem

sosial ekonomi, ini tidak berarti bahwa perjuangan melawan patriarki tidak ada dalam daftar

perjuangan kaum-kaum feminis sosialis. Tapi pada dasarnya kaum feminis sosialis menganggab

bahwa sistem patriakal bukanlah sesuatu yang mendapat prioritas pertama dalam daftar

perjuangannya.48Teori sosial Feminis memberi perhatian pada upaya memahami ketidaksetaraan

yang mendasar antara laki-laki dan perempuan, juga analisis terhadap kekuasaan laki-laki atas

perempuan. Dasar pemikirannya adalah dominasi laki-laki berasal dari tatanan sosial, ekonomi,

dan politik yang khas dalam masyarakat tertentu.49

Marxisme menawarkan analisis mengenai penindasan sebagai sesuatu yang sistimatis dan

menyatu dalam struktur masyarakat, karena ketertindasan perempuan dilihat memiliki asal usul

sosial, dimana hal ini tidak terjadi secara alamiah dan bukan pula dibentuk secara kebetulan

antara laki-laki dan perempuan.

Feminis Marxis dan sosialis mengklaim bahwa adalah tidak mungkin bagi setiap orang

terutama perempuan, untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam masyarakat yang berdasarkan

kelas, masyarakat yang kekayaannya dihasilkan oleh yang tidak berkekuasaan (yang jumlahnya

banyak) berakhir ditangan berkekuasaan ( yang jumlahnya sedikit). Refleksi dari keadaan ini

mengisyaratkan bahwa kapitalisme sendiri bukan hanya sekedar aturan sosial yang lebih besar

yang lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan adalah penyebab dari opresi

(penindasan) terhadap perempuan. Sistem kapitalis harus digantikan oleh sistem sosialis yang

46Joanne Hollows.

Feminisme, Feminitas dan Budaya Populer, (Jalasutra, 2010), 11. 47

Budiman, 1985, 43. 48

Budiman, 1985, 44.

49Stevi Jackson dan Jackie Jones.

(28)

17

akan mengatur alat produksi sebagai milik satu semua. Karena tidak lagi bergantung secara

ekonomi pada laki-laki, maka perempuan akan menjadi sebebas laki-laki. Feminis sosialis setuju

dengan feminis Marxis bahwa kapitalisme adalah sumber opresi terhadap perempuan, dan

dengan radikal feminis bahwa Patriarki adalah sumber dari opresi terhadap perempuan.50

Dengan diterapkannya sistem kapitalisme menyebabkan kaum perempuan tidak

mempunyai nilai ekonomi dalam keluarga dan masyarakat, sehingga ia merasa tertindas dan

memiliki ketergantungan dengan laki-laki karena mereka adalah kelas yang bekerja. Sehingga

menurut Marx, yang membawa perubahan bagi perempuan dan kaum tertindas adalah aspek

material bukan ide, pikiran dan nilai-nilai manusia.51Perempuan tidak dapat membentuk dirinya

sendiri apabila secara secara sosial dan ekonomi masih bergantung pada laki-laki.

III. Budaya Pahamang dalam adat kematian dan Peran Perempuan dalam Budaya Sumba Timur

Gambaran Umum Lokasi Penelitan

Sumba Timur adalah salah satu kabupaten diantara empat kabupaten yang ada di Pulau

Sumba yang diantaranya, yaitu Kabupaten Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.

Sumba sendiri termasuk dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Kabupaten Sumba Timur sendiri berada diantara 45 - 52 BT dan 16 - 20

LS. Luas Kabupaten Sumba Timur hingga kini yaitu 7.000,5 atau 700.050 Hektare (luas

daratan). Berdasarkan geografisnya, Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas wilayah

sebagai berikut :

1. Sebelah utara berbatasan dengan selat Sumba

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Hindia

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupatan Sumba Tengah

4. Sebelah Timur berbatasan dengan laut Sabu.

Seperti halnya daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumba Timur memiliki 2 musim,

yaitu musim kemarau dan musim Hujan. Pada umumnya Sumba Timur diguyur hujan pada bulan

Januari-April, sementara 8 bulan lainnya mengalami kemarau, oleh karena itu wilayah Sumba

50

(29)

18

Timur tergolong wilayah kering serta keadaan tanah yang berbatu dan keadaan wilayah yang

terjal.

Mayoritas penduduk Sumba Timur beragama Kristen Protestan dan Katolik, namun ada juga

agama resmi lain yang ada di Sumba Timur diantaranya agama Islam, Hindu danBudha.

Sementara masyarakat desa masih banyak yang menganut kepercayaan asli orang Sumba, yaitu

kepercayaan Marapu.

Kabupaten Sumba Timur sendiri terdiri dari 22 Kecamatan. Adapun tempat penelitian yang

dipilih oleh penulis yaitu Kecamatan Kota Waingapu dengan ibu kota kecamatan yaitu Kota

Waingapu. Kecamatan ini berdiri sejak tahun 1970. Luas Wilayah Kecamatan Kota Waingapu,

yaitu 73,8 . Batas wilayah Kecamatan Kota Waingapu, yaitu sebelah Utara berbatasan

dengan Selat Sumba, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Kambera, Sebelah Timur

berbatasan dengan Kec. Nggoa, dan sebelah Barat berbatasan dengan Nggoa dan Kanatang.

Hingga kini Kecamatan Kota Waingapu terdiri dari 4 kelurahan dan terdiri dari 3 desa,

diantaranya, yaitu: Kel. Hambala, Kel. Kamalaputi, Kel. Kambajawa, Kel. Matawai, Desa

Lukukamaru, Desa Mbata Kapidu, dan yang terakhir yaitu Desa Pambola Njara.

Jumlah penduduk untuk Kecamatan Kota Waingapu sendiri menurut data statistik tahun

2014 adalah 38.084 orang yang terdiri dari laki-laki 19.650 orang dan jumlah Perempuan 18.434

orang.52 Dari data ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah

penduduk perempuan.

Penulis mengambil Kecamatan Kota sebagai tempat penelitian dikarenakan masih banyak

masyarakat yang berada di Kecamatan Kota yang terus berusaha mempertahankan budaya

Pahamang yang menjadi warisan kebudayaan Sumba dan berpendapat bahwa budaya Pahamang

sebagai salah satu tradisi yang harus dijalankan oleh orang Sumba ketika akan melakukan adat

perkawinan dan melakukan adat kematian.

Masyarakat Sumba

Ketika kita berbicara tentang masyarakat Sumba tentu masyarakat ini tidak akan ada

begitu saja di Sumba, orang Sumba percaya bahwa para leluhur semua orang Sumba diturunkan

di Malaka Tana bara (Semenanjung Malaka) sebelumnya mereka telah secara bergelombang

(30)

19

menyusuri pulau-pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores yang kemudian tiba di

Tanjung Sasar pulau Sumba dan tinggal di pulau Sumba.

Masyarakat Sumba percaya bahwa daerah Haharu merupakan wilayah yang pertama kali

orang Sumba mendarat dan mendiami pulau ini, serta bersepakat tentang berbagai hal tentang

tata kehidupan (adat istiadat) sebelum mereka membentuk kelompok-kelompok yang dikenal

sebagai kabihu-kabihu53 dan menyebar ke berbagai tempat di pulau Sumba yang kemudian kabih-kabihu serumpun membangun Paraingu (kampung besar) pada tempat yang akan didiami dan berkembang biak hingga saat ini. Pada Paraingu inilah setiap aktifitas masyarakat dimulai, dan menjadi pusat kegiatan bagi masyarakat baik dalam melakukan berbagi macam kegiatan

rumah tangga, kegiatan sosial, ekonomi, politik (pemerintahan) hingga tempat adat istiadat dan

ritual-ritual keagamaan diselenggarakan

Hingga kini yang mendiami pulau Sumba tidak lagi hanya orang-orang Sumba, namun

telah banyak juga ditempati oleh masyarakat dari berbagai etnis yang ada di Indonesia

diantaranya, yaitu Sabu, Jawa, Flores, Timor, Alor, Cina, Bali dan masih banyak lagi etnis

lainnya. Etnis Sumba adalah etnis yang mendominasi, sedangkan etnis Sabu berada pada urutan

kedua.

Budaya Masyarakat Sumba

Kebudayaan yang dimiliki oleh orang Sumba sangat terkait dengan kepercayaan asli

yang dianut oleh masyarakatnya, yaitu Kepercayaan Marapu. Seluruh tatanan kehidupan orang

Sumba sangat berkaitan dengan pemahaman tentang Marapu. Kepercayaan Marapu itu sendiri

adalah kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah nenek moyang,

makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti.54 Nooteboom berpendapat bahwa Marapu

adalah kekuatan kekuatan supranatural, baik yang bersifat oknum maupun yang tidak, yang

tampil dalam berbagai macam bentuk.55 Marapu sendiri dapat diartikan suci, mulia, dan sakti

sehingga harus dihormati, oleh karena itu setiap adat istidat dan kebudayaan yang dijalankan

oleh masyarakat Sumba tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan Marapu. Sekalipun sebagian

besar masyarakat Sumba tidak lagi menganut kepercayaan Marapu, namun adat istidat dan

53 Kabihu:suatu kelompok yang didasarkan pada persekutuan geneologi, yang anggota-anggotanya terdiri dari

orang-orang yang menjadi turunan dari satu leluhur. Jadi bisa dibilang kelompok berdasarkan suku/marga. 54

(31)

20

kebudaayaan yang ada di Sumba masih terus dipertahankan dan dijalankan oleh orang Sumba.

Hal ini terlihat dari bagaimana pada acara perkawinan, kematian, saat hendak menanam dan

melakukan panen hasil pertanian masih ada masyarakat di Sumba yang melakukan

upacara-upacara adat guna meminta petunjuk, meminta izin maupun meminta perlindungan dari Marapu

melalui ritual-ritual yang dilakukan.

Kematian bagi orang Sumba

Orang Sumba sendiri memahami kematian sebagai suatu peralihan dari kehidupan yang

fana didunia ini ke suatu kehidupan yang lebih baik, makmur dan damai sejahtera. Alam

kehidupan ini disebut negeri leluhur (Paraingu Marapu). Orang Sumba percaya bahwa ditempat

ini orang mati akan hidup seperti ketika mereka berada didunia dimana mereka melakukan

pekerjaan seperti bertani, beternak, makan dan juga minum. Hal ini yang kemudian

menyebabkan pada upacara kematian dan penguburan dipotong banyak hewan dan jenasah

dibungkus dengan banyak selimut atau sarung (kain Sumba) sebagai bekal hidup di Paraingu

Marapu.56

Peristiwa kematian merupakan suatu peristiwa penting dalam anggapan masyarakat

Sumba Timur, karena kematian merupakan saat penyerahan kembali jiwa si mati kepada

Alkhalik dan upacara kematian dilakukan agar orang yang meninggal mendapat tempat layak

diseberang kubur.

Kematian ditandai dengan berhentinya napas dan denyut jantung seseorang. Adapun

tahap-tahap upacara adat kematian di Sumba Timur,yaitu :

1. Saat meninggal

Saat seseorang meninggal dunia hal ini tidak segera diberitahukan kepada

keluarga. Terlebih dahulu Imam dipanggil untuk memastikan mengenai mati tidaknya

seseorang. Imam memanggil nama orang yang meninggal empat kali dan apabila tidak

ada sahutan maka resmilah kematian tersebut.

2. Pa hadangu ( Membangunkan)

Kepercayaan Marapu berkeyakinan bahwa yang meninggal sudah kembali ke

negeri leluhur. Karena itu jenasah disimpan dengan cara duduk, menyerupai keadaan

56 F.D. Wellem,

(32)

21

semula ketika semasih didalam kandungan, setelah itu dililit dengan berlapis kain Sumba

jika laki-laki dan sarung Sumba jika yang meninggal adalah perempuan, dan kemudian

jenasah didudukkan diatas kursi dari kulit kerbau (keka manulangu). Namun kini kebiasaan mendudukkan jenasah tidak lagi dilakukan oleh sebagian besar masyarakat

Sumba, kini jenasah sudah ditidurkan dalam peti.

“Membangunkan” berarti membuat rohnya berada kembali dalam tubuh atau

jenasahnya sehingga mulai dapat diberi sirih pinang dan makanan. Sejak saat itupula

diadakana penjagaan mayat (“Pa Wala”, = Mete) dan gong mulai dibunyikan siang dan

malam sebagai tanda berduka.

3. Membuat Kuburan

Bukan seperti sekarang dimana semua makam sudah dibangun dari bahan semen,

pada masa lalu sebelum upacara pemakaman, keluarga dari orang yang meninggal harus

terlebih dahulu mempersiapkan kuburan.

4. Dudangu (mengundang)

Mengundang kerabat atau keluarga untuk turut serta dalam upacara kematian

selanjutnya, dan juga sebagai cara untuk memberitahukan keluarga yang jauh tentang

berita kematian dari orang yang telah meninggal. Biasanya keluarga mengutus dua orang

Wunang dan sebelum mereka berangkat biasanya mereka dilengkapi dengan tata cara penyampaian undangan secara adat dan kelengkapan undangan secara adat.

5. Lodu Taningu

Upacara pemakaman yang dimulai dari penyambutan tamu yang menghadiri acara

pemakaman, penguburan dan kemudian keluarga menjamu tamu sebelum para tamu

kembali kekampungnya masing-masing.

6. Warungu Handuka (Berhenti berkabung)

Beberapa hari setelah penguburan semua keluarga dekat dan tetangga dari orang

yang meninggal diundang lagi untuk bersama-sama mengikuti penutupan “masa

berkabung”, dalam acara ini pihak keluarga menyampaikan ucapan terima kasih atas

kebersamaan dan kegotong royongan dalam urusan pemakaman dan didalam menerima

(33)

22 7. Palundungu(Penyelesaian)

Upacara ini merupakan yang terakhir dimana “arwah orang yang meninggal

dihantar ke alam bersyah” kenegeri dewa atau kayangan. Dalam acara ini arwah simati berangkat bersama-sama dengan arwah leluhur lainnya ke negeri Marapu. 57

Pahamang untuk Kematian dalam Budaya Sumba Timur

Masyarakat Sumba terkenal dengan sistem kekerabatan yang sangat kuat, sehingga dalam

seluruh kehidupan dan pekerjaannya, masyarakat Sumba selalu menekankan pada nilai dan juga

ikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Salah satu contoh kebudayaan yang menekankan pada

nilai kekerabatan dan kekeluargaan yang masih dipertahankan oleh masyarakat Sumba hingga

kini yaitu Pahamang.

Pahamang sendiri memiliki arti berunding, berdiskusi atau musyawarah bersama untuk

mencapai suatu keputusan bersama. Pahamang menjadi bagian yang penting dalam adat Sumba

Timur karena masyarakat Sumba Timur menjunjung tinggi kebiasaan untuk bermusyawarah

bersama dalam menanggapi dan membahas masalah-masalah yang dihadapi dengan tujuan untuk

mendapat kesimpulan yang disetujui bersama dan menjadi keputusan bersama. Masyarakat

Sumba pada umumnya sangat menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan

perundingan atau diskusi yang dilakukan bersama.58

Kebiasaan untuk melakukan musyawarah adat sendiri bukanlah hal baru bagi orang

Sumba, sejak dahulu masyarakat Sumba telah terbiasa untuk melakukan musyawarah adat.

Dilihat dari sejarah masyarakat Sumba setelah leluhur mendarat di Haharu, para leluhur

membangun Paraingu dan melakukan musyawarah untuk menetapkan tata kehidupan mereka dan

menentukan berbagai adat istidat serta peraturan yang akan diberlakukan dalam tatanan

kehidupan masyarakat pada saat itu. Hal ini dilakukan sebelum mereka menyebar ke berbagai

tempat di pulau Sumba.

Dari rumusan-rumusan hasil musyawarah masyarakat Sumba dahulu kemudian masyarakat

mengembangkannya menjadi berbagai macam aturan-aturan yang kemudian menjadi tradisi yang

mengatur tatanan kehidupan orang Sumba, dan kemudian menjadi kebudayaan yang terus

dilestarikan oleh masyarakat Sumba.

57

(34)

23

Pahamang sebagai bagian dari kebudayaan orang Sumba sering dilakukan dalam

pelaksanaan adat baik dalam adat perkawinan maupun dalam adat kematian. Secara khusus pada

tulisan ini penulis mencoba mengkaji Pahamang pada adat Kematian karena masyarakat Sumba

sendiri percaya bahwa fase terpenting dalam kehidupan manusia adalah kematian. Pahamang

menjadi bagian yang penting dalam adat orang Sumba Timur karena salah satu cara masyarakat

Sumba menjaga kekerabatan dalam keluarga, melalui Budaya Pahamang ini keluarga besar yang

berada pada tikar adat memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka dan agar

mereka dapat sepemahaman dalam membuat keputusan-keputusan. Melalui diskusi ini apapun

yang menjadi pokok pikiran dan apa yang menjadi pendapat masing-masing orang dapat

disampaikan. Hal ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dalam keluarga karena

perundingan atau diskusi ini dilakukan untuk mencapai keputusan bersama dan setiap keputusan

yang diambil dalam proses ini akan menentukan jalannya adat selanjutnya. Pahamang sendiri

sebagai warisan dari kepercayaan Marapu tidak hanya dijalankan oleh masyarakat yang masih

menganut kepercayaan Marapu, melainkan oleh masyarakat Sumba telah menganut agama resmi

yang terus mempertahankan kebiasaan untuk melakukan Pahamang.59

Pahamang sendiri biasanya dilakukan dirumah adat atau rumah besar60 dari kabihu orang

yang meninggal. Dalam hal pelaksanaan adat Pahamang, jika Pahamang dilakukan dirumah adat

keluarga yang menganut kepercayaan Marapu masih ada ritual-ritual khusus yang dilakukan oleh

tua-tua adat keluarga bersangkutan yang dipimpin oleh Ratu yang berfungsi mengatur seluruh

jalannya ritual adat, sebelum memulai diskusi adat ini. Ketika mengambil keputusan maupun

ketika mengakhiri musyawarah adat dalam keluarga Marapu, apa yang menjadi keputusan

bersama harus dijalankan sesuai dengan kesepakatan dan pamali jika dilanggar. Biasanya

keluarga tidak akan melanggar apa yang telah diputuskan dalam adat karena hal itu sudah

bersifat mutlak dan harus dilaksanakan.

Namun jika Pahamang dilakukan oleh keluarga yang telah beragama Kristen, Pahamang

biasanya juga dilakukan di rumah adat (Rumah besar, Rumah Marga) jika yang menganut

kepercayaan Marapu masih terlebih dahulu melakukan ritual maka bagi yang menganut agama

Kristen biasanya sebelum memulai diskusi adat ini keluarga telah mengundang penatua dari

gereja untuk membuka musyawarah dengan doa bersama dan menutupnya dengan doa. Setiap

59

(35)

24

keputusan yang telah diambil dalam proses Pahamang ini tetap dijalankan untuk menghargai

proses adat yang telah berlangsung maupun agar adat selanjutnya dapat berlangsung dengan baik

dan lebih teratur.

Pahamang untuk kematian biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama diikuti oleh

keluarga inti dari orang yang meninggal yaitu keluarga-keluarga dekat dari orang yang

meninggal dan yang menjadi topik pembahasan pada tahap pertama ini yaitu menentukan

marga-marga atau kabihu-kabihu mana saja yang diundang untuk mengikuti Pahamang. Tahap kedua,

biasanya yang diundang yaitu orang-orang yang memiliki hubungan keluarga atau kerabat dekat

dari keluarga orang yang telah meninggal dan keluarga yang hadir bisa dipastikan adalah

keluarga yang dapat membantu dalam berjalannya adat. Setelah ditentukan kabihu mana saja

yang diundang untuk terlibat pada pahamang tahap ke dua dan keluarga inti telah mencapai kata

sepakat maka tahap kedua dari Pahamang dapat dilakukan. Tahap kedua dari pahamang ini

diikuti oleh keluarga besar yang terkait dengan keluarga dan orang yang telah meninggal,

jumlahnya jauh lebih banyak dari tahap pertama dan pada tahap kedua ini yang dibahas jauh

lebih banyak di antaranya yaitu :

a. Mengetahui kekuatan keluarga pengundang dengan melihat kehadiran dalam

musyawarah yang dilakukan.

b. Penentuan jumlah marga dan siapa-siapa atau keluarga yang jauh-jauh, sebagai keluarga

orang meninggal yang perlu mendapat undangan dan siapa yang ditugaskan untuk

mengundang (ini adalah tugas laki-laki dalam hal ini yaitu Wunang atau juru bicara

keluarga).

c. Menentukan tanggal penguburan.

d. Menentukan jumlah hewan yang harus dipotong dalam upacara adat kematian hingga

pada penguburan.

e. Cara menerima tamu, seperti apa, makan minumnya seperti apa, sirih dan pinang yang

harus disediakan.

f. Cara membalas jika ada keluarga yang datang dalam kematian menggunakan adat seperti

apa.61

Hingga hal-hal teknis yang akan dilaksanakan dalam proses adat kematian hingga penguburan

biasanya dibahas dalam Pahamang tahap kedua ini, dengan tujuan agar adat kematian dapat

Referensi

Dokumen terkait

Cempaka Putih Baratb Rt 08/06 Cempaka Putih Jakarta Pusat.

(5) Instagram TV sebagimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b digunakan untuk memaparkan visi dan misi dari masing-masing Capresma dan Peserta Pemilwa

8) Pemerintah Konawe mengadakan program peningkatan usaha kecil dan menengah dalam rangka peningkatan pendapatan golongan ekonomi lemah. Untuk mengetahui apakah proyek ini

Hanya pengetahuan yang diperoleh dengan disiplin berpikir dan bekerja yang sesuai dengan standar akademik dapat digolongkan sebagai teori yang menjadi bagian suatu bidang

Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan profil tokoh-tokoh dalam novel Kuhapus Namamu dengan Nama-Nya karya Taufiqurrahman

Pn.Hjh.Ni Shafiah Bt Abdul Moin(Pengetua ) Pn.Norizan Binti Hamdan ( PK HEM ) Tn.Hj.Wan Ahmad Ridzuan Azwa Bin Wan Abdul Jalil ( PK Pentadbiran) Tn.Hj.Mohd Ariffin Bin Zainal (

Saran yang dapat diberikan terkait dengan sistem sanksi dalam hukum Islam adalah: Negara Indonesia seharusnya tidak membatasi keberlakuan hukum Islam di Indonesia

Strategi yang dilakukan oleh orangtua menjelang ujian nasional yang akan dihadapi oleh anak mereka tidak terlepas dari tujuan yang akan dicapai yaitu membantu