• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712012081 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1 712012081 Full text"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas kasih

dan kebaikan-Nya karena selalu menyertai dan selalu memberi pertolongan tepat pada

waktu-Nya. Penulis bersyukur Tuhan selalu memberikan hikmat dan kemampuan selama empat

tahun lebih dalam masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga.

Tugas akhir ini adalah bukti dari penyertaan Tuhan dan merupakan akhir dari

sebagian perjuangan dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban di Fakultas Teologi. Penulis

sangat bersyukur untuk pencapaian yang diperoleh. Selain tugas akhir ini dibuat untuk

persyaratan mencapai gelar sarjana sains dalam bidang Teologi (S.si-Teol), penulis pun

berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat dan menjadi berkat bagi pembaca. Karena

nilai-nilai kebudayaan begitu penting dan sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat.

Sehingga persoalan-persoalan sosial yang terjadi pun bisa di dekati dalam budaya-budaya

setempat. Untuk itu nilai-nilai yang terkandung dalam setiap kebudayaan haruslah diterapkan

dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

(7)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES... iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... vii

UCAPAN TERIMA KASIH... ix

MOTTO... xii

ABSTRAK... xiii

1. Pendahuluan... 1

1.1Latar Belakang... 1

1.2Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat... 3

1.3Metode Penelitian... 4

1.4Sistematika Penulisan... 4

2. Landasan Teori... 5

2.1Tarian... 5

2.2Tubuh... 6

2.3Gender dalam Kehidupan Masyarakat Alor... 7

3. Hasil Penelitian... 9

(8)

viii

3.2Pandangan Tokoh Adat Mengenai Makna Tarian Lego-Lego ... 10

3.3Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan di Suku Abui ... 12

3.4Pandangan Perempuan-Perempuan di Suku Abui mengenai Kedudukan Mereka ... 14

3.5Faktor Penyebab Ketidakmunculan Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Kehidupan Bermasyarakat ... 15

4. Analisis Makna Tarian Lego-Lego dan Realita Kehidupan ... 16

5. Penutup…... 22

5.1Kesimpulan... 22

5.2Saran... 22

1. Bagi masyarakat suku Abui dan Alor…... 22

2. Fakultas Teologi... 23

(9)

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan kebaikan-Nya telah memberikan pertolongan,

penyertaan dan hikmat kepada saya dalam menjalani pendidikan dari September

2012-Juni 2017. Sehingga saya dapat menyelesaikan studi S1 di fakultas Teologi

dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol).

2. Untuk Kedua orang tua, Papa Menas dan mama Nia tercinta serta opa, oma dan

om-om, tanta-tanta,(tanta no), bapa besar, mama besar, bapa ani jack, mama ani welly,

sepupu-sepupu, keluarga besar yang ada adi di Alor, Kupang (keluarga Lifu dan

basudara semua), Jakarta (bai minggus, nenek saudara-saudara dan kaka Ali serta

kaka Tia) dan keluarga besar di Surabaya terima kasih untuk semua yang selalu hadir

dengan penuh cinta kasih sayang dan telah memberikan dukungan, semangat,

motivasi, nasehat dan juga doa dalam menjalani pendidikan dan juga dalam proses

mengerjakan tugas akhir ini. Terkhusus juga untuk kaka Jeni dan kaka Anton, Kaka

Frid dan kaka Windy, Jean, dan Alfa yang selalu hadir mendukung, memberikan

semangat dan doa.

3. Dr. David Samiyono dan Ibu Astrid Bonik Lusi (wali studi) serta Ibu Ira mangililo

(wali studi) dan juga selaku dosen pembimbing yang selalu membimbing saya dalam

mengerjakan skripsi dengan tuntas. Terima kasih untuk masukan, saran, nasehat dan

juga pengalaman dan pembelajaran ketika saya menjalani proses dalam pendidikan

dan juga dalam mengerjakan penulisan tugas akhir ini.

4. Pdt. Ebenheizer I Nuban Timo yang telah memberikan arahan untuk saya menuliskan

tugas akhir dengan judul tersebut. Terima kasih juga kepada beliau dan juga ibu

Merry Rungkat yang telah mengevaluasi tugas akhir ini untuk menjadi lebih baik.

5. Seluruh dosen, ibu Budi, selaku TU dan juga staff yang selalu membantu dan

melayani kami mahasiswa/i dengan ketulusan hati.

6. Pdt. Elfrend Sitompul bersama keluarga yang telah menjadi orang tua bagi saya di

(10)

x

GKMI Siloam Salatiga. Terima kasih untuk para satuan mejelis dan seluruh jemaat

yang selalu memberikan kesempatan yang seluasnya untuk sayan berpelayanan.

Terima kasih telah memberikan dukungan, semangat dan doa dalam proses

pendidikan sampai dengan menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Terima kasih kepada ibu pendeta Helda, Ibu pendeta Ratu Pay, Ibu pendeta Loniwati

Kartunggu dan bapak pendeta Efa Singamou bersama satuan majelis jemaat GMIT

Betlehem Kalabahi yang mendukung saya serta mendoakan atas keberhasilan yang

saya peroleh.

8. Terima kasih kepada Bapak pendeta Mikael Karbeka bersama Istri dan anak-anak.

Serta para satuan majelis dan seluruh jemaat GMIT Galed Otvai, yang merupakan

jemaat di mana saya melayani selama 4 bulan dalam masa pendidikan praktek

pelayanan PPL X. Terima kasih untuk dukungan, motivasi dan doa yang diberikan

kepada saya dalam menjalani pendidikan.

9. Sinode GMIT yang menjadi wadah untuk mendukung saya dalam melakukan

pelayanan PPL X di wilayah GMIT.

10.Orang-orang tua dan masyarakat Abui yang telah berpartisipasi dan mendukung saya

dalam melakukan penelitian sampai selesai. Terima kasih untuk

narasumber-narasumber (Bapak, Martinus Alopada, Bapak Iskandar Lakamau, Bapak Abner

Yetimau, Bapak Ayub dan narasumber-narasumber lainnya) yang telah mengambil

bagian bersedia memberikan waktu untuk di wawancarai. Terima kasih kepada ibu

Eunike Malese-Molebila, Tika, Dheby, kaka Yulia Fantang dan om jhon yang telah

membantu dan mengantarkan dalam melakukan penelitian.

11.Kaka dan saudara serta adik-adik “Kelompok Tumbuh Bersama” (KTB), Kaka Kezia, Fero, Putri, Egi dan Vina yang selalu hadir dalam susah mau pun senang untuk

memberikan motivasi, nasehat dan dukungan serta doa selama ini dalam melakukan

pendidikan terkhususnya pada waktu mengerjakan tugas akhir.

12.Teman-teman dan kaka-kaka di perkantas, terima kasih untuk waktu, kesediaan dan

telah memberikan kesempatan untuk saya melibatkan diri mengmbil bagian dalam

(11)

xi

13.Saudara-saudara dan sahabat-sahabat yang telah mendukung, memberikan semangat

dan doa serta selalu hadir melibatkan diri, mendukung saya dalam menyelesaikan

tugas akhir ini. Giovana, Inya Chaterina, Dewi, Widya, Dina, Ayu Rizki, Mita, Ayu

benu, Tri, Elen, Jean, Sasha, Majesti, Angel, Hesti, Kurnia, kaka Tia, Sri, Dian, Ira,

Kaka Nuke, Mia, Tera, Sarah, Tari, Hani, Rini, Srian. Tika, Fero Taenglote, Maya,

Mila dan Nining, kaka Kris.

14.Teman-teman teologi 2012 untuk kebersamaan, canda tawa, pengalaman hidup

bersama dalam menyelesaikan perkuliahan di fakultas Teologi ini. Terima kasih telah

menjadi keluarga, saudara yang selalu hadir untuk sama-sama saling medukung untuk

menyelesaikan tugas dan tanggung jawab dalam masa perkuliahan.

15.Terima kasih untuk orang-orang terdekat yang pernah hadir memberikan dukungan,

motivasi dan doa dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan juga telah memberikan

(12)

xii

MOTTO

“Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka

terlaksanalah segala rencanamu”

Amsal 16:3

“Jangan

setiap hari menghitung tuaian yang anda dapat,

tetapi hitunglah berapa benih yang anda tanam”

(13)

xiii Abstrak

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan dan penelitian ini adalah mendeskripsikan

makna tarian lego-lego di suku Abui dan menganalisis faktor ketidakmunculan kesetaraan

perempuan dan laki-laki dari tarian lego-lego dalam kehidupan bermasyarakat suku Abui.

Tarian lego-lego adalah dasar dari budaya. Tarian lego-lego ditarikan pada saat ritual,

membangun rumah dan penjemputan tamu. Makna dari tarian lego-lego sebagai simbol

kemitraan yang sejajar dilihat dari formasi gerakan dan koreografi dari penari. Metode

penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik

pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian kualitatif adalah wawancara. Hasil

penelitian menunjukan tarian lego-lego di suku Abui memiliki makna kesetaraan antara

laki-laki dan perempuan yang dilihat dari format dan gerakan penari. Tetapi dalam realitanya

makna dan nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang terkandung dalam tarian

tersebut belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu

masyarakat perlu untuk belajar dari tarian lego-lego yang memiliki nilai dan makna

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

(14)

1 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Alor adalah wilayah kepulauan yang merupakan salah satu Kabupaten dari 16

Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Alor memiliki 15 pulau yaitu,

9 pulau yang berpenghuni dan 6 pulau lainnya yang belum atau tidak berpenghuni sama

sekali.1 Alor memiliki beragam kebudayaan yang melekat, salah satunya ialah tarian

lego-lego.

Tarian lego-lego merupakan salah satu wujud identitas yang mengakar dalam

kehidupan masyarakat di Alor.2 Lego-lego dikatakan penting dan menjadi identitas bagi

masyarakat Alor karena, lego-lego biasa ditarikan saat upacara adat, upacara perayaan,

pernikahan, dan lain-lain. Lego-lego memiliki simbol kebersamaan artinya lego-lego

ditarikan secara bersama-sama tanpa membedakan ras, suku, maupun agama yang dianut.

Tarian lego-lego sering ditarikan secara jamak atau banyak oleh berbagai suku yang

ada di Alor. Tarian tersebut diiringi oleh alat musik yaitu gong. Tarian ini juga menggunakan

kafate (kain sarung) yang dijahit dengan benang buatan sendiri dari daun kapas ditenun dan

diberi motif sesuai keinginan. Beberapa suku yang ada di Alor memiliki format dalam

menarikan tarian lego-lego dengan cara jari kelingking digandeng dengan sesama jari

kelingking para penari. Uniknya tarian lego-lego dari suku Abui memiliki format yang

berbeda dengan lego-lego dari suku lain. Lego-lego dari suku Abui memiliki format

silang-seling antara laki-laki dan perempuan. Dalam tarian ini ada rangkulan antara anggota penari

dan kedua kaki penari digerakkan berirama sesuai dengan musik yang dimainkan.3

Rangkulan dan kebersamaan itu menggambarkan adanya rasa saling menghargai antara

laki-laki dan perempuan.

Tarian lego-lego tanpa seorang perempuan tidak berarti apa-apa. Hal ini

mencerminkan adanya peran antara laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi yaitu

bahwa laki-laki dan perempuan tidak bisa dipisahkan. Jika tarian lego-lego ditarikan secara

bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan maka ada seni yang terlihat, sehingga membawa

(15)

2

penonton pada penghayatan yang lebih mendalam. Perempuan dan laki-laki ada secara

bersama-sama dalam tarian lego-lego menunjukan adanya rasa nyaman, membutuhkan dan

menghargai satu dengan yang lain. Berdasarkan pra-penelitian di kota Kalabahi narasumber

yang merupakan tokoh masyarakat atau tokoh adat menjelaskan bahwa simbol kesetaraan

dalam tarian lego-lego ternyata tidak diperlihatkan dalam realita. Di dalam realita peran

laki-laki lebih mendominasi. Contohnya ketika dilakukannya acara adat dalam arti menentukan

hak bicara seringkali laki-laki yang lebih mendominasi dari pada perempuan.4 Ini adalah

persoalan gender karena tidak ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam realita.

Menurut Robert Stoller, gender sebagai konstruksi sosial yang dibangun dan

dikenakan oleh dan pada kebudayaan manusia.5 Akibatnya gender berkaitan dengan

pembedaan peran laki-laki dan perempuan dalam bertindak sesuai dengan tata nilai yang

terstruktur, ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berada.6 Menurut Indrayoga bahwa

masalah yang seringkali dialami oleh perempuan ialah bagaimana mengangkat peran

perempuan di dalam masyarakat. Ia melihat adanya ketimpangan antara peran perempuan dan

laki-laki yang terletak pada masalah pola pikir. Kaum laki-laki sering berpikir bahwa

perempuan berada pada satu tingkat di bawah mereka. Oleh sebab itu perempuan pun merasa

bahwa diri mereka adalah manusia yang lebih rendah.7 Ketidakadilan gender, terdapat dalam

adat istiadat masyarakat di bawah kelompok etnik, dalam budaya suku-suku dan dalam

keagamaan. Ketidakadilan terjadi ketika interaksi dan pengambilan keputusan dalam

masyarakat serta pembagian kerja dalam keluarga menggunakan asumsi bias gender.

Pemahaman ketidakadilan gender telah mengakar dan tidak dapat diubah bahkan sudah

menjadi ideologi bagi perempuan dan laki-laki.8 Situasi tersebut dapat dilihat dalam

masyarakat patriarki, yang sering beranggapan bahwa laki-laki berada pada posisi superior,

dan berkuasa dalam ruang publik. Sedangkan peran perempuan harus berada pada ranah

domestik yang memiliki pengabdian sebagai ibu rumah tangga.9 Secara langsung perempuan

4

Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat M.A. 17 Desember 2015

5 Riant Nugroho,

Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya Di Indonesia (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2011),2-3

6

Nugroho. Gender...6

7

Eka Martiningsih, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin (Salatiga:Program Pascasarjana UKSW, 2008-2009), 177

8

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012), 23

9

(16)

3

dipenjarakan untuk terus menerus melayani keluarga tanpa mendapat imbalan kecuali

makanan dan pakaian. 10

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis melihat adanya ketidaksesuaian antara

peran laki-laki dan perempuan yang terlihat dalam tarian lego-lego dalam masyarakat suku

Abui. Ketidaksesuaian peran tersebut bisa jadi berkaitan dengan persoalan gender. Sehingga

dalam tugas akhir ini, penulis ingin melihat, meneliti dan menganalisis mengenai makna

tarian lego-lego sebagai simbol kemitraan yang sejajar berdasarkan pada pendekatan studi

gender atas tarian lego-lego di suku Abui.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas maka yang menjadi pertanyaan rumusan

masalah dalam penelitian adalah :

 Apa makna tarian lego-lego di suku Abui?

 Mengapa kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam tarian lego-lego tidak muncul

dalam kehidupan bermasyarakat Suku Abui?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari penelitian ini

adalah :

 Mendeskripsikan makna tarian lego-lego di suku Abui

 Menganalisis faktor ketidakmunculan kesetaraan perempuan dan laki-laki dari tarian

lego-lego dalam kehidupan bermasyarakat suku Abui

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan guna memahami makna tarian lego-lego ditinjau dari

perspektif gender sehingga dapat melengkapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan

terutama membahas tentang permasalahan gender dalam budaya-budaya lokal. Sebagai

sumbangan pemikiran dari penulis kepada masyarakat di Alor terkhususnya masyarakat di

suku Abui. Sehingga masyarakat tersebut dapat memahami dan menerapkan kemitraan yang

sejajar antara laki-laki dan perempuan dengan belajar dari tarian lego-lego yang menjadi

10

(17)

4

identitas dari masyarakat di suku Abui. Penelitian ini juga memberi sumbangsi kepada

masyarakat di Alor terkhususnya masyarakat di suku Abui.

1.5 Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan untuk memahami

pandangan-pandangan mengenai makna dari tari-tarian yang dilakukan yang berhubungan

dengan perspektif gender. Pendekatan yang digunakan ialah kualitatif, karena penulis ingin

berusaha menggali apa makna dari tarian lego-lego yang menjadi ciri khas dari masyarakat

Alor terutama di suku Abui.

Cara penulis mengumpulkan data adalah melalui dokumentasi, observasi dan

wawancara mendalam dengan informan kunci (terutama tokoh adat dan masyarakat suku

Abui, Alor Tengah Utara).11 Pendekatan kualitatif sangat bermanfaat karena mempunyai

kekuatan dan mampu memiliki beragam sumber data. Sumber data dalam penelitian ini

diperoleh melalui wawancara mendalam dengan tokoh adat dan masyarakat suku Abui.

Pengamatan terhadap tarian lego untuk memahami makna dan pandangan tarian

lego-lego dalam perspektif gender yang implikasinya bagi masyarakat suku Abui, serta melalui

dekomentasi, berupa gambar, literatur dan video.12

1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian ini ditulis berdasarkan jurnal-jurnal ilmiah yang berlaku secara umum.

Bagian pertama menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan

Bagian kedua, menjelaskan tentang teori yang berkaitan dengan tarian dan pandangan

mengenai gender. Bagian ketiga berisi hasil penelitian dari lapangan.

Bagian keempat berisi Analisis, pembahasan terkait teori yang digunakan dan hasil

penelitian.Bagian kelima kesimpulan dan saran

11

John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013),261

12

(18)

5 2. Landasan Teori

Pada bagian ini terdiri dari pengertian tarian yang membahas tentang gerakan dan

koreografi sebagai sebuah refleksi dari kehidupan. Pandangan tentang tubuh yang berkaitan

dengan gender dan penjelasan gender dalam kehidupan masyarakat Alor.

2.1 Tarian

Tarian lebih dari bentuk seni yang paling dasar dalam sebuah kinerja, yaitu tarian

dapat melibatkan semua indra. Tarian adalah dasar dari keberadaan manusia di dunia. Tidak

ada budaya tanpa tarian. Tarian di pakai secara bersama-sama sebagai sebuah pertunjukan

irama untuk menyampaikan dasar perasaan tentang seks dan kekerasan.Tarian adalah “bahasa

alami,” karena melalui tarian setiap manusia dapat menyampaikan makna pada sebuah pertunjukan, yang diiringi dengan musik dan kostum. Tarian memiliki beragam bentuk dan

beragam fungsi.13

Tarian adalah simbol dari setiap kebudayaan. Pemaknaan terhadap tarian dalam

kebudayaan tidak bisa diakses secara langsung oleh para penonton. Namun setiap gerakan

dalam tarian menghasilkan nilai keindahan sebagai simbol dari cara hidup.14 Johnstone

Mengemukakan gerakan dari tarian adalah sumber penghayatan dan pengetahuan yang

penting dan mendalam.15

Tarian sangat penting dalam setiap kebudayaan, karena tarian memiliki fungsi dan

makna tersendiri. Maka untuk menciptakan gerakan yang indah guna menyampaikan sebuah

makna perlu adanya sebuah koreografi.

Koreografi bukan saja untuk menampilkan sebuah pertunjukan dalam sebuah tarian,

tetapi ada makna dalam setiap koreografi dari tarian. Dalam Perwujudan fenomena manusia

pada saat adanya pengurangan kultural teks. Tarian tidak hanya di sampaikan melalui teks

tetapi bisa disampaikan melalui koreografi.16 Tarian juga memiliki tiga komponen terkait

yaitu, gerakan,musik dan representasi. Tarian selalu melibatkan tubuh manusia, khususnya

pada performa tubuh. Dalam perspektif antoropologi, tujuan tarian melibatkan irama yang

13

Bryan S. Turner, The Body & Society (London: SAGE Publications,2002),214

14

Theresa Jill Buckland, Dancing From Past To Present (United States of America:Library of Congress Cataloging-in-Publication Data,2006),14-15

15

Karen Nicole Barbour,Dancing Across The Page Narrative and Embodied Ways Of Knowing (USA: Intellect, The University of Chicago Press,2011), 89

16

(19)

6

sudah diatur dan memiliki urutan yang bermotif pada gerakan tubuh non-verbal sehingga

dari gerakan tersebut menghasilkan nilai estetika.17

2.2 Tubuh

Gerakan dalam tarian selalu melibatkan tubuh. Karena tubuh mempunyai peranan

dalam menyampaikan makna dan nilai-nilai sosial sebagai cerminan dari kehidupan

masyarakat. Tubuh begitu penting, untuk itu tubuh selalu dikaitkan dalam berbagai aspek

kehidupan.

Dalam tata cara tradisional, tarian adalah pemberi aura atau anugerah sebagai dasar dari karisma. Aura dari tarian dapat disalurkan bersama tiga dimensi yaitu, agama, seksual dan politik. Tubuh manusia, adalah instrumen yang paling tersedia untuk digunakan dalam menyampaikan makna dan emosi. Tubuh memainkan peran penting sebagai ekspresi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini memiliki kapasitas langsung untuk mengekspresikan nilai-nilai sakral, seksualitas dan kekuasaan.18 Dalam hal ini tubuh telah dimanfaatkan untuk proyek modern kedaulatan karena tubuh merupakan sarana yang ampuh untuk mengekspresikan nilai-nilai sosial.19

Rosi Braidottin mengungkapkan tubuh adalah perpaduan fisik, simbolis dan

sosiologis.20 Tubuh adalah bagian yang terpenting dari manusia. Tubuh pun memiliki arti atau

makna dari setiap aspek kehidupan manusia. Ada berbagai macam pandangan tentang tubuh,

yaitu tubuh yang berkaitan dengan tarian dan tubuh yang berkaitan dengan gender. Untuk itu

tubuh pun sebagai sarana yang penting dalam mengekspresikan nilai-nilai sosial, dan makna

dalam aspek tarian dan gender.

Dalam masyarakat, tubuh dari penari juga di pandang sebagai situs yang menjelaskan

hubungan kekuasaan dan praktek dari makna bernegosiasi.21 Elizabeth Grosz

mengungkapkan tubuh selalu tidak teruraikan secara khusus pada seksual, tetapi seharusnya

tubuh saling mengikat dengan ras, budaya dan ciri khas kelas.22

Feminis sekuler menolak pandangan tentang teologi tubuh, karena mereka

beranggapan bahwa tubuh sebagai situs penindasan bagi perempuan. Hal tersebut sama

Barbour. Dancing Across The Page Narrative...8

21

Susan Leigh Foster, Dancing Knowledge Culture And Power (USA and Canada: Routledge,1996),180

22

(20)

7

halnya dengan pandangan dari Feminis Kristen, mereka pun menyadari bahwa tubuh

perempuan diharapkan untuk membawa beban berat di bawa teologi patriarki.23 Seperti abad

kedua, dari ajaran sebagian orang-orang Kristen Gnostik, tubuh tidak ada kaitannya dengan

Tuhan, melainkan tubuh berasal dari pembrontakan terhadap dirinya sendiri. Tetapi Kristus

datang untuk membebaskan manusia dari belenggu persoalaan,

termasuk diferensiasi gender.24

Teori Friedrich Nietzsche, Michel Foucault dan Judith Butler mereka

mempertahankan pandangannya bahwa identitas tubuh dapat terbentuk melalui pengulangan,

yaitu dari sebuah tindakan, melalui formasi adat dan kebiasaan. Untuk itu tubuh dilatih

mengulang perbuatan baik, dalam melakukan norma-norma budaya melalui pengulangan

pertunjukan yang naturalisasi dan mulus dari pada transparan.25

Secara rasional, Burt menyoroti sifat representasi gender dalam tarian Barat. Burt pun

berpendapat representasi gender di bentuk oleh simbol diskursif dan afektif ideologis yang

dihasilkan secara historis dan sosial serta direpresentasi ke dalam tarian, yang bergantung

pada keyakinan tentang tubuh dan gender.26

Burt berpendapat bahwa “representasi gender dalam bentuk budaya,

termasuk tari teater tidak hanya mencerminkan perubahan sosial definisi feminitas dan maskunilitas, tetapi secara aktif terlibat melalui proses gender

itu dibangun.”27

2.3 Gender dalam Kehidupan Masyarakat Alor

Ketika berbicara tentang gender, ada banyak hal yang menggambarkan tentang

gender dalam kehidupan masyarakat yaitu, ketimpangan, ketidakadilan dan ketidaksetaraan

antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan ketidakadilan ini pun seringkali dialami oleh

kaum perempuan dalam kehidupan sosial.

Pudjiwati Sajogyo, menjelaskan beberapa masalah yang dihadapi oleh wanita jawa

khususnya di pedesaan, salah satunya ialah wanita memiliki dua posisi atau status selain

sebagai istri, ibu rumah tangga, atau sebagai anak gadis wanita pedesaan juga dapat

23

Lisa Isherwood and Elizabeth Stuart,Introducing body Theology

(

England: Sheffield Academic,1998),15

24Isherwood and Stuart.

Introducing body Theology...65

25

Elisabeth Schwaiger, Ageing, Gender, Embodiment and Dance (England:Palgrave Macmillan, 2012),6

26

Elisabeth Schwaiger. Ageing, Gender... 28

27

(21)

8

melakukan pekerjaan mencari nafkah. Dalam menjalankan pekerjaan rangkap dua tersebut,

waktu yang digunakan oleh wanita terbilang lebih banyak dibandingkan oleh kaum lelaki.

Peranan wanita sebagai pencari nafkah terbukti, contohnya di Afrika, Vietnam dan India

Utara, semua pekerjaan kebun yaitu membersihkan, membakar, menanam, mengambil dan

menyimpan dilakukan oleh wanita. Tetapi khusus laki-laki dewasa hanya menebang pohon

saja.28

Menurut Pdt. Frederik Pulinggomang, dalam kepercayaan agama suku, perempuan

sama seperti seorang pembantu. Seorang perempuan juga memiliki posisi nomor dua yang

sama dengan anak yang dilahirkannya. Kepercayaan ini ada dan bertahan sampai dengan

sekarang ini. Keadaan seperti ini, membuat tokoh masyarakat yaitu Pdt Dina

Takalapeta-Meler memiliki perhatian khusus untuk menggambarkan kisah dan keadaan

perempuan-perempuan Alor. Menurutnya perempuan-perempuan Alor adalah seorang pekerja keras, bukan saja

bekerja di rumah tetapi, di pasar, kebun, menenun dan lain-lain. Dalam bekerja perempuan

Alor memiliki jam kerja yang lebih panjang dari pada laki-laki. Semua kegiatan produksi

dikerjakan oleh kaum perempuan, dan kaum pria memiliki hak untuk mengambil ahli semua

akses ke pasar. Dalam arti hasil harga pasar menjadi hak dari kaum pria bukan menjadi hak

dari kaum perempuan yang memiliki usaha yang lebih besar.29

Ketidakadilan berikut yang dialami perempuan menurut Dina Takalapeta Meler ialah

perempuan tidak memiliki hak suara ketika dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan

hanya berperan pada urusan domestik membuat dan menyediakan makanan serta minuman.

Perempuan di nilai sopan apabila melayani tamu dalam pertemuan yang diadakan. Padahal

menurutnya perempuan Alor juga memiliki potensi yang luar biasa ketika ada kesempatan

yang diberikan kepada mereka.30

Menurut Simeon Awang dan Yohana Sir yang pernah menjadi tenaga pelatihan

Gender di Alor. Kendala yang besar dalam menerapkan keadilan gender di Alor adalah

sistem sosial budaya masyarakat Alor yang memposisikan perempuan pada kalangan nomor

dua. Hal ini yang membuat perempuan seringkali mendapat perlakuan ketidakadilan gender.

Dalam pelatihan yang dilaksanakan, mereka memakai empat kajian untuk melihat

ketidakadilan gender yaitu; program kerja antara laki-laki dan perempuan, lembaga desa,

28

Pudjiwati Sajogyo, Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa (Jakarta:CV Rajawali,1983), 22-23,28

29

Josep Lagadoni Herin, Perempuan Alor di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan (Jakarta:Yayasan Nuba Raja Lagadoni,2015), 67-68

30

(22)

9

pengambilan keputusan dan pembebanan kerja. Hal ini dikarenakan ketidakadilan gender

adalah dominasi kaum laki-laki dan ketidakseimbangan jam kerja antara laki-laki dan

perempuan. Beban kerja yang tidak seimbang, tidak ada kesempatan bagi kaum perempuan

di lembaga-lembaga desa seperti (LKMD, BPD dan lain-lain), serta dalam pengambilan

keputusan perempuan tidak punya hak apa-apa.31

3. Hasil Penelitian

Pada bagian ini, akan membahas tentang letak lokasi tempat penelitian dan pandangan

tokoh-tokoh adat mengenai makna tarian lego-lego dan kedudukan laki-laki dan perempuan

di suku Abui. Pandangan perempuan-perempuan di suku Abui mengenai kedudukan mereka

dan faktor penyebab ketidakmunculan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam

kehidupan bermasyarakat.

3. 1 Gambaran Tempat Penelitian

Kampung Tradisional Takpala, desa Lembur Barat kecamatan Alor Tengah Utara.

Dengan batas-batas wilayah, yaitu;

 Sebelah Timur adalah Alor Timur Laut

 Sebelah Utara adalah Laut Flores

 Sebelah Barat adalah Kecamatan Teluk Mutiara

 Sebelah Selatan adalah Kecamatan Alor Selatan dan Kecamatan Mataru.32

Masyarakat yang tinggal di kampung Takpala berjumlah 13 KK dengan jumlah

sebanyak 33 Jiwa.33 Selain masyarakat yang tinggal di kampung Takpala, ada pun

masyarakat asli suku Abui yang tinggal tidak jauh dari kampung tradisional tersebut.

Kampung Takpala memiliki suasana yang tenang dan jauh dari kebisingan.

Kehidupan kerja sehari-hari masyarakat di suku Abui adalah petani dan nelayan.34 Kampung

Takpala di sebut kampung tradisional karena budaya Alor khususnya suku Abui masih sangat

kental dan nilai-nilai budaya masih sangat nampak. Sehingga dalam sehari selalu ada turis

lokal atau turis dari mancanegara yang berkunjung ke kampung tradisional Takpala untuk

melihat budaya-budaya lokal yang ada.

31

Herin. Perempuan Alor...74-75

32

Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat I.L. 14 Mei 2017

33

Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.A. 19 April 2016

34

(23)

10

3.2 Pandangan Tokoh-Tokoh Adat Mengenai Makna Tarian Lego-Lego

Narasumber pertama, menjelaskan terlebih dahulu arti dari tarian lego-lego yaitu,

lego-lego dalam bahasa Abui Luk dan Yai, “Luk” artinya “tunduk” “Yai” artinya “menyanyi.” Untuk itu ketika menarikan tarian lego-lego harus dalam keadaan tunduk dan bernyanyi. Gambaran dari tunduk ialah ketika memohon segala sesuatu harus “tunduk atau

menudukkan kepala” dengan penuh kerendahan hati.

Tarian lego-lego dinyanyikan pada acara ritual, membangun rumah dan penjemputan

tamu. Ada nyanyian yang mengiringi dalam tarian lego-lego. Tergantung pada acara saat

tarian lego-lego ditarikan. Dalam wawancara dengan narasumber bapak A.Y beliau hanya

menjelaskan bahwa ketika tarian lego-lego ditarikan pada saat ritual memohon berkat pada

“lahatala.” Ritual tersebut dilakukan sejak dahulu kala. Ada dua nyanyian yang mengiringi tarian lego-lego dalam ritual tersebut. Nyanyian pertama,

Se...le lo..’o..ho e he...aa o heea

Nyanyian yang kedua,

Wilnang..wilmayole.. Mbo’kae.. pekal mitiee..

Iyala ngaboarnaliang piyeti fol natiee

Bumayang kalokloopi.. Bilulang kohookalolre

Welasaku ho anghare Koraniee Mayee ayokolieei

Koisoritaadeng lamiaba an’dri lulanglaka nak’daeeri

Lasaku totileyeii.. loko dudang ngae putnateabae

Ngriilukdaee yukotohamaieree.. riwanghayiu torafaibaiko..

Solindei peaa’nahai mbul riliyang peana’ba.

Meskipun lirik tersebut sering dinyanyikan tetapi terkadang artinya pun tidak

dipahami oleh penari. Tetapi beliau mengatakan ia hanya memahami arti dari lirik dalam

nyanyian kedua. Yaitu,

(24)

11

masing-masing menuju ladang, kita masuk di hutan tidak ada malapetaka dan mohon sang

pencipta untuk memberikan hasil untuk anak-anak.”

Tarian lego-lego adalah dasar dari budaya. Tarian lego-lego ditarikan pada saat ritual,

membangun rumah dan penjemputan tamu. Suku Abui juga memiliki salah satu ritual yaitu

“tifoltol”artinya” tanam bambu di mezbah.” Setelah acara lego-lego selesai bambu di tebang atau di potong menjadi tiga bagian, yang dilambangkan dari tiga suku yaitu suku Marang,

Aweni dan Kapitang. Kepercayaan tersebut dipercayai bahwa ketika bambu tersebut di

pasang semua berkat datang melalui bambu tersebut.

Pada saat membangun rumah, semua anggota keluarga berkumpul. Dalam

pembuatan rumah suku, semua anggota keluarga ke hutan untuk mencari bahan. Kapak dan

parang yang digunakan diletakkan diatas mezbah dan semua keluarga bersama-sama

menarikan tarian lego-lego untuk memohon berkat agar tidak ada halangan dan malapetaka.

Ketika tarian lego-lego ditarikan dalam acara penjemputan tamu, tujuannya hanya sekedar

menunjukan tentang nilai budaya dari suku Abui.

Makna tarian lego-lego yaitu menunjukan pada sebuah perdamaian. Dari formasi

tarian lego-lego, laki-laki dan perempuan diibaratkan sepaket yaitu tidak bisa dipisahkan

antara satu dengan yang lain. Bumi adalah perempuan dan langit adalah laki-laki, dalam arti

laki-laki dan perempuan itu sama dan setara. Diibaratkan seperti bumi dan langit karena

adanya satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketika tarian lego-lego ditarikan,

perempuan diunggulkan yaitu perempuan memiliki posisi paling ujung atau sebagai

pembuka jalan. Namun, laki-laki tetap memiliki kedudukan dan memegang kekuasaan yang

paling tertinggi dalam menarikan tarian tersebut. Tetapi menurut narasumber laki-laki dan

perempuan selalu dianggap sama.35

Narasumber kedua mengatakan tarian lego-lego di suku Abui terlihat unik karena ada

percampuran antara laki-laki dan perempuan. Format dari tarian lego-lego adalah 1 laki-laki

dan 2 perempuan begitu seterusnya menjadi satu lingkaran. Dikarenakan menurut

orang-orang tua, ketika melakukan suatu acara adat yaitu membuat rumah dan berkebun tidak saja

dilakukan oleh laki-laki tetapi perempuan juga harus ikut serta dalam melakukan acara adat

tersebut. Kebersamaan ini dilambangkan dalam formasi tarian lego-lego. Yaitu, adanya

rangkulan antara satu penari dengan penari yang lain. Formasi rangkulan tersebut

35

(25)

12

melambangkan kesatuan, persatuan dan keeratan yang tidak bisa dilepaskan. Untuk itu

laki-laki dan perempuan tidak bisa dipisahkan dalam tarian lego-lego. Dalam formasi pun,

perempuan harus terlebih dahulu membuka jalan dalam menarikan tarian lego-lego dan

untuk menutup formasi lingkaran adalah seorang laki-laki. Narasumber mengatakan laki-laki

dan perempuan harus saling menghargai satu dengan yang lain, mereka adalah teman hidup.

Persatuan kesatuan dan kebersamaan lebih diutamakan dalam tarian lego-lego. Untuk itu

seorang ibu tidak dianggap rendah oleh seorang bapak.36

Narasumber ketiga, selaku narasumber dalam pra penelitian mengakui makna dalam

tarian lego-lego menggambarkan pada sebuah kesetaraaan. Ketika ada rangkulan antara

laki-laki dan perempuan maka memperlihatkan adanya rasa saling membutuhkan antara kedua

belapihak. Keunikan dari tarian lego-lego ialah ketika dalam menarikan tarian tersebut akan

memperlihatkan bahasa tubuh (cara berangkulan) yang menggambarkan kesetaraan untuk

saling menghargai antara, laki-laki dan perempuan, agama, suku dan lain-lain. Berbeda ketika

rangkulan itu terjadi diluar lingkaran tarian lego-lego yang dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan, karena itu akan menimbulkan persoalan sosial dan keluarga. Oleh karena itu

tarian lego-lego sangat memiliki makna yang mendalam bagi hubungan kekeluargaan, agama,

suku dan hubungan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.37

3.3 Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan di Suku Abui.

Dalam dunia kerja yang memiliki beban kerja terbanyak adalah kaum perempuan atau

seorang ibu. Contohnya pada saat bertani, pada pagi hari seorang laki-laki atau seorang bapak

harus terlebih dahulu pergi bekerja. Sedangkan perempuan atau seorang ibu, harus

menyelesaikan perkerjaan rumah tangga sebelum menyusul sang suami pada siang hari untuk

membawakan makanan.

Secara umum gambaran tentang pendidikan. Masyarakat suku Abui menyadari

bahwa, pendidikan sangat penting bagi kehidupan laki-laki dan perempuan. Untuk itu dalam

dunia pendidikan ketiga suku yang ada didalam suku Abui yaitu, suku Marang, Aweni dan

Kapitang sudah mengakui bahwa, perempuan harus mendapatkan pendidikan yang layak.

Namun, kekerasan secara verbal masih dirasakan oleh kaum perempuan. Narasumber

pun menjelaskan bahwa jika dalam sebuah keluarga secara turun-temurun kehidupannya di

36

Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.A. 19 April 2016

37

(26)

13

liputi dengan kekerasan, maka pada generasi berikutnya kekerasan itu akan tetap ada

meskipun sedikit yang nampak. Ketika kekerasan itu terjadi, cara menangani permasalahan

tersebut ialah, keluarga korban harus melaporkan terlebih dahulu kepada tua-tua adat,

kemudian laki-laki tersebut harus didenda. Tujuan dari denda tersebut ialah untuk membuat

suatu perdamaian antara kedua bela pihak.

Suku Abui juga memiliki rumah adat. Rumah tersebut layaknya seperti rumah

panggung dengan memiliki 4 tingkatan. Pada tingkat kedua di pakai untuk tidur. Pembagian

tempat tidur pun berbeda-beda. Perempuan akan tidur didalam dan laki-laki akan tidur diluar

rumah. Tempat tidur dari laki-laki di sebut “ lik habang” dan tempat tidur perempuan di sebut “lik homi.” Dalam arti, perempuan selamanya dirumah, semua urusan rumah tangga

yang melakukannya adalah perempuan. Meskipun suami istri tetapi seorang perempuan

harus tidur di sebelah bawah dekat “tungku” atau tempat untuk memasak. Tidak pernah terlintas di pikiran seorang laki-laki untuk menggantikan posisi perempuan yang tidur di

dekat “tungku.” Dalam pemahamannya laki-laki tidak diidentik dengan memasak.

Hal berikutnya adalah pengambilan keputusan. Pada saat pertemuan adat perempuan

di berikan kesempatan untuk berbicara, tetapi untuk pengambilan keputusan laki-lakilah yang

memiliki hak dalam pengambilan keputusan tersebut. Karena laki-laki di gambarkan sebagai

lidah mezbah. Contohnya, pada saat pengambilan keputusan untuk membangun rumah,

laki-laki yang memiliki hak.38

Menurut narasumber, kaum laki-laki dan perempuan di suku Abui tidak selalu

dibedakan. Namun, sepanjang sejarah yang menjadi tua-tua adat dari suku Abui adalah

seroang laki-laki, belum ada perempuan yang menjadi tua-tua adat dari suku Abui.

Hal berikutnya ialah ketika membuat gudang adat, laki-laki dan perempuan memiliki

tugas yang berbeda-beda. Laki-laki ke hutan untuk mencari bahan dan perempuan tugasnya

adalah memasak. Dalam arti perempuan memberi makan laki-laki sebelum mereka pergi

bekerja. Menurutnya, ini menggambarkan adanya rasa saling membutuhkan antara kedua

belapihak. Sedangkan pada saat pertemuan adat, perempuan juga memiliki kesempatan

untuk menyampaikan keperluan-keperluan dalam acara membuat gudang tersebut.

Contoh berikutnya, belis atau moko. Moko adalah mas kawin orang Alor. Ketika

seorang laki mencari moko, seorang ibu harus terlebih dahulu mengurusi seorang

38

(27)

14

laki dengan memberi makan terlebih dahulu. Untuk itu seorang perempuan harus bekerja,

menumbuk jagung dan padi. Menurut narasumber, ketika menyiapkan semuanya perempuan

merasa kelelahan.39

Menurut narasumber, ketika ada masalah yang dihadapi oleh perempuan dan laki-laki.

Maka mereka harus di perhadapkan pada tua-tua adat. Contohnya, jika didalam rumah ada

pertengkaran yang terjadi, maka harus seorang bapak atau seorang paman tertua yang

menangani dan mendamaikan mereka. Hal berikut, pada saat memberikan pendapat,

perempuan dan laki-laki diwajibkan memberikan pendapat dan pendapat tersebut harus di

terima. Mengenai pendidikan menurut narasumber, pada saat ini pendidikan yang terpenting.

Perempuan dan laki-laki harus disekolahkan. Sesuai kemampuan ekonomi dan kemampuan

inisiatif serta pemahaman dari orang tua.40

3.4 Pandangan Perempuan-Perempuan di Suku Abui mengenai Kedudukan Mereka.

Narasumber mengatakan, pada saat pertemuan adat berlangsung, perempuan juga di

berikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Tetapi yang lebih dominan untuk

berbicara, menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan adalah laki-laki. Karena dari

dahulu kaum perempuan tidak di berikan hak untuk mengambil sebuah keputusan. Menurut

Narasumber untuk pendidikan, baik anak laki-laki atau perempuan dua-duanya sangat

penting. Tetapi jika dalam keluarga memiliki pendapatan ekonomi yang rendah, maka yang

layak untuk mendapatkan pendidikan adalah anak-laki-laki. Karena seorang laki-laki akan

tinggal bersama-sama dengan orang tua dan perempuan akan meningalkan orang tuanya dan

tinggal bersama suaminya. Untuk itu yang lebih pantas mendapatkan pendidikan adalah

seorang laki-laki.

Menurut narasumber, ketika bekerja di kebun laki-laki dan perempuan memiliki kerja

sama yang baik dalam berkebun. Tetapi menurutnya beban kerja yang paling berat sering

dialami oleh perempuan. Contohnya, memasak, pergi ke kebun dan menjual hasil dipasar,

ketiga hal ini sering dilakukan oleh kaum perempuan. Hal berikutnya, ketika ada

permasalahan yang dialami dalam keluarga. Contohnya, pertengkaran antara suami dan istri.

39

Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.A. 20 April 2016

40

(28)

15

Meskipun seorang istri memiliki sikap yang benar ia harus mengalah dan tetap diam.

Sehingga pertengkaran tersebut tidak berlanjutan menjadi pertengkaran yang besar.41

Menurut ibu P.M waktu kerja dan beban kerja paling berat sering dialami oleh kaum

perempuan. Contohnya, pagi-pagi benar sekitar pukul 04:00 WITA bangun tidur dan

membereskan pekerjaan rumah. Ia akan pergi berkebun sekitar pukul 08:00 WITA sampai

pukul 16:00 WITA. Ia merasakan bahwa hal tersebut berat, tetapi ini sudah menjadi sebuah

kebiasaan dari dahulu sampai sekarang. Sehingga meskipun berat tetapi tetap saja ia lakukan

untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ibu T.F Mengatakan kaum perempuan memiliki pekerjaan dan beban kerja yang

lebih besar. Pekerjaan yang dilakukan dalam sehari ialah mengurus pekerjaan rumah, pergi ke

kebun dan pekerjaan “titik batu.” Batu yang dititik akan di jual dan hasil dari penjualan tersebut di pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibu tersebut mengakui bahwa suaminya

yang berprofesi sebagai tukang ojek terkadang membantunya dalam menyelesaikan pekerjaan

titik batu, kadangkala tidak membantunya sama sekali. Perasaan yang ia rasakan ialah, sedih,

dan sakit hati. Tetapi ia harus terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan kehidupan

keluarga mereka.42

3.5 Faktor Penyebab Ketidakmunculan Kesetaraan antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Dari kesimpulan wawancara, narasumber mengatakan bahwa tarian lego-lego

menggambarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tetapi pada realitanya kesetaraan

itu tidak terlihat. Karena pemahamannya laki-laki di gambarkan sebagai lidah mezbah,

perempuan di gambarkan sebagai api atau kayu api. Maksudnya ialah kayu api bisa di

pinjamkan kepada orang lain tetapi lidah api atau tungku tidak bisa di pinjamkan kepada

orang lain. Mengapa lidah api? karena lidah api atau tungku di gambarkan seperti mezbah.

Ketika seseorang masuk ke rumah yang terlihat adalah tungku. Tiga tungku merupakan lidah

mezbah di dalam rumah. Dari tungku segala barang yang mentah akan di matangkan. Dalam

arti tungku adalah hal yang terpenting. Menurut narasumber, pada realitanya perempuan tetap

pada posisi nomor dua dan laki-laki tetap pada posisi nomor satu. Tidak akan bisa adanya

41

Hasil Wawancara dengan warga J.P. 18 April 2016

42

(29)

16

perubahan kedudukan. Karena ini adalah budaya yang sudah terjadi sejak dahulu kala dan

akan tetap melekat.43

4. Analisis Makna Tarian Lego-Lego dan Realita Kehidupan Masyarakat di Suku Abui

Berdasarkan teori yang dikaitkan dengan hasil penelitian maka tarian adalah dasar

terpenting dari kebudayaan. Karena tarian adalah simbol dari kehidupan manusia. Dalam

hasil penelitiaan, tarian lego-lego juga diakui sebagai dasar dari kebudayaan. Karena tarian

lego-lego merupakan simbol dan bagian terpenting dari kehidupan masyarakat di suku Abui.

Tarian lego-lego dianggap penting karena sering ditarikan pada saat ritual, membangun

rumah dan penjemputan tamu. Sesuai arti dari kata lego-lego yaitu “Luk” dan “Yai” tunduk

dan bernyanyi kata tersebut menggambarkan adanya sebuah kerendahan hati dalam

melakukan tarian. Gambaran ini adalah salah satu dari nilai kehidupan yang terpancar dalam

tarian lego-lego.

Setiap manusia dapat menyampaikan makna melalui tarian dalam sebuah

pertunjukan. Tetapi makna dalam tarian tidak bisa diakses secara langsung melalui teks

ataupun penyampaian melalui kata-kata. Penonton dapat memahami makna dari tarian

melalui setiap gerakan atau formasi. Untuk itu Johnstone mengemukakan gerakan dari tarian

adalah sumber penghayatan dan pengetahuan yang penting dan mendalam. Karena gerakan

dari setiap koreografi dalam tarian mencerminkan nilai keindahan yang membawa pada

penghayatan akan realita kehidupan yang terjadi. Sehingga tarian dapat dikatakan sebagai

refleksi dari kehidupan manusia untuk menyampaikan makna dan nilai-nilai dalam

kehidupan.

Jika tarian dikatakan sebagai pertunjukan irama dalam menyampaikan tentang seks

dan kekerasan. Maka hal tersebut berbeda dengan tarian lego di suku Abui. Tarian

lego-lego di suku Abui melambangkan persatuan, perdamaian antara agama, suku dan ras serta

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sesuai hasil penelitian maka makna dari tarian

lego-lego bisa dilihat melalui formasi dan koreografi. Format tarian lego-lego di suku Abui

memiliki percampuran antara laki-laki dan perempuan yaitu satu laki-laki dan dua

perempuan. Perempuan harus terlebih dahulu membuka jalan dalam menarikan tarian

lego-lego dan untuk menutup formasi lingkaran adalah seorang laki-laki. Maka jelas terlihat

43

(30)

17

adanya makna kebersamaan dan unsur saling membutuhkan antara laki-laki dan perempuan.

Bahwa dalam menjalani kehidupan ini, perempuan dan laki-laki harus hidup saling

melengkapi. Laki-laki tidak bisa hidup tanpa perempuan, begitu pun sebaliknya perempuan

tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Terkhususnya dalam pekerjaan, laki-laki dan perempuan di

katakan setara apabila setiap hal yang dikerjakan harus sama. Seperti halnya tarian lego-lego

digerakkan dan ditarikan searah secara bersama-sama.

Contohnya, ketika melakukan suatu acara adat yaitu membuat rumah dan berkebun

tidak saja dilakukan oleh laki-laki tetapi perempuan juga harus ikut serta dalam melakukan

acara adat tersebut. Sesuai isi dari hasil penelitian, kebersamaan laki-laki dan perempuan pun

tercermin dalam nyanyian. Yaitu, “semua anak laki-laki dan perempuan dari jauh dekat, dari

timur dan barat kita berkumpul bersama. Kita memohon berkat. Besok atau lusa musim

usaha ladang kita masing-masing menuju ladang, kita masuk di hutan tidak ada malapetaka

dan mohon sang pencipta untuk memberikan hasil untuk anak-anak.”

Formasi dari tarian lego-lego melambangkan arti kebersamaan dan saling

membutuhkan antara laki-laki dan perempuan. Arti tersebut telihat pada rangkulan antara satu

penari dengan penari yang lain. Formasi rangkulan tersebut melambangkan kesatuan dan

keeratan, sehingga laki-laki dan perempuan diibaratkan “sepaket” yang tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu laki-laki dan perempuan adalah teman hidup untuk saling menghargai antara

satu dengan yang lain.

Formasi rangkulan dan silang seling antara laki-laki dan perempuan dalam tarian

lego-lego memiliki unsur kesetaraan yang terlihat dalam kehidupan masyarakat Abui. Contoh

berikutnya ialah, mengenai pendidikan. Laki-laki dan perempuan layak untuk mendapatkan

pendidikan yang sama dan setara.

Keunikan dari tarian lego-lego ialah ketika dalam menarikan tarian tersebut akan

memperlihatkan bahasa tubuh (cara berangkulan) yang menggambarkan kesetaraan untuk

saling menghargai antara, laki-laki dan perempuan, agama, suku dan lain-lain. Berbeda ketika

rangkulan antara laki-laki dan perempuan itu terjadi diluar lingkaran tarian lego-lego. Karena

dapat menimbulkan persoalan sosial dan keluarga. Dari penjelasan penelitian ini,

sesungguhnya koreografi dan gerakan dalam tarian memiliki nilai-nilai yang penting dan

bermakna. Nilai-nilai kehidupan dari tarian akan terlihat memiliki arti, apabila gerakan

tersebut dilakukan dalam tarian. Sehingga gerakan dan formasi pun dapat menciptakan

(31)

18

Rosi Braidottin mengungkapkan tubuh adalah perpaduan fisik, simbolis dan

sosiologis. Dalam arti tubuh bukan saja hanya dikaitkan dengan seks dan secara fisik. Tetapi

tubuh yang merupakan fisik dari simbol memiliki peran dalam kehidupan sosiologis. Dalam

arti tubuh berkaitan dengan simbolis dan kehidupan sosiologis. Melalui tubuh nilai dan

pemaknaan simbol dari kehidupan masyarakat bisa dapat tersampaikan. Tubuh tidak saja

identik dengan fisik dan seks tetapi lebih dari itu, tubuh berkaitan erat dengan ras, simbol dan

sosiologis. Hal ini menggambarkan tubuh begitu penting, tubuh dapat menyampaikan makna

yang terpenting dalam kehidupan manusia.

Sesuai teori tarian selalu melibatkan tubuh manusia. Tarian sangat berkaitan

dengan tubuh. Karena tubuh pun sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai dan makna

dalam tarian. Yaitu, menunjukan tentang perdamaian, persatuan, kesetaraan dan perasaan

emosi, kekuasaan serta gender sebagai wujud dari cara hidup bermasyarakat. Untuk itu tanpa

di pungkiri, tubuh pun berkaitan dengan budaya karena ada satu kesatuan. Burt berpendapat

bahwa gender di bentuk oleh simbol yang dihasilkan secara historis dan sosial serta

direpresentasi ke dalam tarian, yang bergantung pada keyakinan tentang tubuh dan gender.

Menurut Burt representasi gender dalam bentuk budaya pun dapat terlibat melalui proses

gender itu dibangun. Gender tidak terlepas dari tubuh dan tarian. Karena tarian dan gender

adalah bagian dari kebudayaan. Sesuai pengertian, gender menggambarkan tentang

maskulinitas dan femininitas yang ada dan telah ditanamkan dalam kultural.44 Sehingga

adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bertindak sesuai tantanan nilai

sosial yang dibuat dalam masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan makna tarian lego-lego

dalam realita kehidupan bermasyarakat.

Tarian lego-lego sebagai simbol kemitraan yang sejajar. Kata kemitraan dan sejajar di

pakai dalam menarikan tarian lego-lego, karena laki-laki dan perempuan secara

bersama-sama bekerja bersama-sama menarikan tarian tersebut untuk menyampaikan makna-makna yang

terkandung dalam tarian lego-lego. Mengapa sebagai simbol kemitraan yang sejajar? Karena,

simbol kemitraan yang sejajar terlihat dari formasi gerakan rangkulan dan silang seling dari

penari. Formasi tersebut menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan saling

membutuhkan ada bersama-sama untuk saling melengkapi. Kemitraan atau kerja sama yang

sejajar dapat dilihat dari alunan langkah kaki dan rangkulan serta format silang seling dari

penari dalam menarikan tarian lego-lego tersebut. Sehingga ketika tarian di pertontonkan

44

(32)

19

secara langsung dapat menjelaskan bahwa, laki-laki dan perempuan adalah sama

kedudukannya,”sepaket” tidak bisa dipisahkan dan sama-sama saling membutuhkan.

Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah dikemukakan maka tarian lego-lego

merupakan lambang dari sebuah refleksi kehidupan dalam menyampaikan nilai-nilai sosial

dan nilai kehidupan. Lebih khususnya formasi tarian lego-lego di suku Abui, dapat

digambarkan sebagai simbol kemitraan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan untuk

saling menghargai dan membutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Makna tarian sebagai

simbol dari cara hidup terlihat ketika adanya kebersamaan dalam membuat rumah dan

berkebun. Kegiatan tersebut tidak saja dilakukan oleh laki-laki tetapi perempuan juga turut

mengambil bagian. Dalam dunia pendidikan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan semua layak mendapatkan hak yang sama. Namun, sesuai dengan hasil penelitian

mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan dari berbagai pandangan. Makna tarian

lego-lego sebagai simbol kemitraan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan belum nampak

seutuhnya dalam realita bermasyarakat di suku Abui.

Collins menjelaskan semakin besar kekuatan dan kekuasaan politik seseorang

laki-laki dalam rumah tangga atau keluarga maka semakin besar juga kekuasaaan laki-laki-laki-laki atas

perempuan. Hal tersebut dapat terjadi dalam pekerjaan yang berat atau keras, upacara

keagamaan dan standar-standar moralitas.45

Berdasarkan teori tersebut jika dilihat dari pandangan tokoh-tokoh adat yaitu dari

pihak laki-laki atau pun pandangan dari pihak perempuan. Mereka mengatakan, kedudukan

laki-laki dan perempuan masih di bedakan dalam kehidupan bermasyarakat. Contohnya,

perempuan memiliki beban kerja dan waktu dalam bekerja paling banyak dibandingkan

laki-laki. Sebelum ke kebun, perempuan harus terlebih dahulu memasak dan menyiapkan

makanan untuk memberikan kepada suami atau laki-laki yang bekerja. Perempuan pun harus

bangun lebih pagi untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum bekerja. Realita tersebut, juga

dijelaskan oleh Pudjiwati Sajogyo. Ia menjelaskan bahwa ini adalah masalah yang sering

dihadapi oleh setiap perempuan yang ada di indonesia bahkan di dunia. Perempuan selalu

diidentikan dengan pekerjaan rangkap dua. Menurut Pdt. Dina Takalapeta-Meler dalam

bekerja perempuan Alor memang memiliki jam kerja lebih panjang dari pada laki-laki.

Perempuan juga diidentikan memiliki pekerjaan dalam rana domestik. Pekerjaan rana

domestik terlihat pada pembagian tempat tidur yang dijelaskan dalam hasil penelitian. Bahwa

45

(33)

20

perempuan hanya bekerja sepenuhnya di dalam rumah yaitu memasak dan lain-lain. Sehingga

pembagian tempat tidur antara laki-laki dan perempuan menggambarkan adanya perbedaan

kehidupan dalam realita yang terjadi.

Menurut Pdt. Frederik Pulinggomang, dalam kepercayaan agama suku, perempuan

sama seperti seorang pembantu. Seorang perempuan juga memiliki posisi nomor dua yang

sama dengan anak yang dilahirkannya. Kepercayaan ini ada dan bertahan sampai dengan

sekarang ini dalam masyarakat Alor secara keseluruhan. Sesuai hasil penelitian ternyata

permasalahan ketidakadilan ini masih sering dirasakan kaum perempuan. Ketidakadilan

berikut yang dialami perempuan di Alor menurut Pdt. Dina Takalapeta-Meler ialah

perempuan tidak memiliki hak suara ketika dalam proses pengambilan keputusan. Hal

tersebut sama halnya dengan kehidupan perempuan di suku Abui. Pada saat pertemuan adat

atau acara adat, perempuan diberikan kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan

pendapat serta keperluan mereka. Namun tetap yang memegang kendali dalam acara atau

pertemuan tersebut adalah seorang laki-laki. Laki-laki yang bisa mengambil keputusan atau

menyimpulkan setiap wacana yang disampaikan dalam pertemuan tersebut. Contoh berikut

pada saat menyelesaikan masalah menurut narasumber ia mengatakan jika terjadi sebuah

pertengkaran seorang bapak atau paman tertua yang bisa menangani dan mendamaikan

pertengkaran yang terjadi antara kedua belah pihak. Maka dapat dilihat bahwa kata “sepaket” dan setara dalam makna tarian lego-lego belum sepenuhnya terlihat dalam realita kehidupan

bermasyarakat.

Permasalahan berikutnya menurut narasumber dalam keterbukaannya,bahwa masih

ada kekerasan verbal yang dialami oleh kaum perempuan. Penyebab kekerasan gender karena

ketidaksetaraan dalam kehidupan masyarakat. Ada berbagai macam kekerasan gender salah

satunya, pelecehan seksual atau kekerasan emosional. Kategori yang masuk dalam pelecehan

seksual adalah “menyakiti atau membuat malu seseorang dengan perkataan kotor.”46 Dalam penjelasan tersebut, berdasarkan teori dan hasil penelitian maka kekerasan yang dilakukan

dengan makian dan perkataan kotor secara tidak langsung telah menghina, mempermalukan

dan menganggap rendah kedudukan kaum perempuan. Dalam arti ada perbedaan tingkatan

perempuan satu tingkat dibawah laki-laki. Sebaliknya jika hal tersebut dialami oleh laki-laki

maka laki-laki ada dibawah satu tingkat dari perempuan. Jika demikian hal itu terjadi, maka

keadaan seperti itu tidak di kategori dalam kesetaraan. Karena masih ada pembedaan yang

46

(34)

21

terjadi antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari tidak adanya sikap untuk saling

menghargai.

Ketika melihat dalam hasil penelitian. Hanya satu narasumber yang menjelaskan

tentang faktor ketidakmunculan kesetaraan perempuan dan laki-laki dari tarian lego-lego

dalam kehidupan bermasyarakat di suku Abui. Alasannya, karena beberapa narasumber sudah

paham tentang arti gender. Tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan dari setiap data

yang diperoleh. Tidak dapat dipungkiri memang sebagian besar kedudukan laki-laki dan

perempuan dalam hal kesetaraan sudah mulai nampak dalam realita. Tetapi dari hasil

penelitian masih ada beberapa hal yang melekat dalam kehidupan masyarakat suku Abui.

Yaitu, masalah pengambilan keputusan, beban dan waktu kerja, kekerasan verbal dan

pembagian tempat tidur. Untuk itu faktor dari permasalahan gender tersebut menurut

narasumber Bapak A.Y dalam hasil penelitian. Perempuan tetap pada posisi nomor dua dan

laki-laki tetap pada posisi nomor satu. Tidak akan bisa adanya perubahan kedudukan. Karena

ini adalah budaya yang sudah terjadi sejak dahulu kala dan akan tetap melekat dalam

kehidupan bermasyarakat.47 Pernyataan tersebut menggambarkan tentang masalah

ketidakadilan gender sesuai dengan tatanan nilai yang diatur dalam adat istiadat dan

kebiasaan masyarakat. Menurut Simeon Awang dan Yohana Sir kendala yang besar dalam

menerapkan keadilan gender di Alor adalah sistem sosial budaya masyarakat Alor yang

memposisikan perempuan pada kalangan nomor dua. Hal ini yang membuat perempuan

seringkali mendapat perlakuan ketidakadilan gender.

Narasumber mangatakan bahwa tidak akan bisa adanya sebuah perubahan karena

pandangan tersebut sudah ada sejak dahulu kala. Bisa jadi ini kaitannya dengan masalah pola

pikir. Menurut Indrayoga ketimpangan antara peran perempuan dan laki-laki terletak pada

masalah pola pikir.48 Jika ada pemahaman bahwa kehidupan patriarki tidak bisa dirubah.

Maka persoalan pola pikirlah yang perlu untuk dirubah dengan belajar dari tarian lego-lego.

Agar keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dapat tercipta dalam kehidupan

bermasyarakat khususnya dalam masyarakat suku Abui.

47

Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.Y 18 April 2016 pukul 11:00 WITA.

48

(35)

22 5. Penutup

Pada bagian ini berisi tentang kesimpulan dan saran. Yaitu, sumbangan pemikiran

kepada masyarakat suku Abui, Alor dan fakultas Teologi. Sumbangan pemikiran ini

diharapkan agar masyarakat dapat belajar dari nilai-nilai yang terkandung dalam tarian

lego-lego.

5. 1 Kesimpulan

Pernyataan tersebut selaras dengan gambaran tentang tarian lego-lego di suku Abui,

karena tarian lego-lego adalah simbol mengekspresikan kehidupan dari masyarakat di suku

Abui. Tarian lego-lego mengandung unsur nilai perdamaian, kesatuan, dan kesetaraan. Lebih

khusus pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dalam formasi silang

seling dan cara berangkulan dari setiap penari dalam tarian lego. Untuk itu tarian

lego-lego adalah simbol kemitraan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan.

Nilai-nilai dari tarian lego-lego belum sepenuhnya terlihat dalam realita. Meskipun

sebagian masyarakat sudah mengakui bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

sudah terjalin dengan baik dilihat dari formasi dan pemaknaan dalam tarian lego-lego.

Namun, ketika melakukan penelitian ini penulis masih mendapati adanya ketidakadilan

gender dalam realita yang terjadi. Untuk itu, melihat dari tarian lego-lego yang memiliki

nilai-nilai sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat sebagai simbol kemitraan yang

sejajar antara laki-laki dan perempuan. Maka masyarakat Alor terkhususnya masyarakat Abui

perlu untuk belajar lebih dalam dari tarian lego-lego. Sehingga kesetaraan dari kehidupan

masyarakat semakin nampak dalam realita.

5.2 Saran

1. Bagi masyarakat suku Abui dan Alor :

Nilai-nilai dari Tarian lego-lego bisa menjadi model sekaligus sumber pembelajaran.

Dalam praktiknya tarian lego-lego bukan hanya ditarikan dan diperlihatkan. Tetapi dalam

setiap acara ketika tarian lego-lego ditarikan para penari harus menjelaskan nilai-nilai yang

terkandung dari tarian tersebut kepada orang lain. Sehingga tarian tidak saja di ketahui oleh

orang-orang tertentu. Melalui pengetahuan tersebut, masyarakat suku Abui dan Alor dapat

memiliki perubahan paradigma tentang relasi antara laki-laki dan perempuan. Perubahan

(36)

23 2. Fakultas Teologi :

Menghimbau kepada fakultas teologi untuk melihat budaya yang ada dalam suatu

masyarakat. Sebagai cara untuk menghadapi persoalan sosial yang terjadi. Persoalan sosial

(37)

24

Daftar Pustaka

Barbour Nicole Karen. Dancing Across The Page Narrative and Embodied Ways Of Knowing USA: Intellect, The University of Chicago Press, 2011.

Beilharz Peter. Teori-Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka

Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005.

Buckland Jill Theresa. Dancing From Past To Present United States of America:Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, 2006.

Creswell, W. J. Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013.

Darwin Muhadjir dan Tukiran. Menggugat Budaya Patriarkhi Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2001.

Fakih Mansour. Analisis Gender dan Transformasi sosil Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012.

Foster Leigh Susan. Dancing Knowledge Culture And Power USA and Canada: Routledge,1996.

Herin Lagadoni Joseph. Perempuan-Perempuan di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan Jakarta:Yayasan Nuba Raja Lagadoni,2005.

Isherwood Lisa and Elizabeth Stuart. Introducing body Theology England: Sheffield

Academic,1998.

Martiningsih Eka. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Salatiga:Program Pascasarjana UKSW, 2008-2009.

Nugroho Riant. Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya Di Indonesia Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011.

Ollenburger C. Jane dan Helen A. Moore. Sosiologi Wanit Jakarta:Rineka Cipta, 2002.

Pedwell Carolyn. Feminism, Culture and Embodied Practice New York: Routledge, 2010.

Saadawi EL Nawal. Perempuan Dalam Budaya Patriarki Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Sajogyo Pudjiwati. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa Jakarta:CV Rajawali,1983.

(38)

25

Turner S Bryan. The Body & Society London: SAGE Publications,2002.

Website

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/2015/04/15/lego-lego-tarian-tradisional-masyarakat-alor/. Diakses 14 Oktober 2015

https://pulaualorntt.wordpress.com/2014/03/15/58/. Diakses 14 Oktober 2015

Referensi

Dokumen terkait

Erişim şebekesinde kullanılacak çubuk topraklayıcıların boyutları Ek:TK-1’de gösterilmektedir. Topraklama çubuğu ile topraklama iletkeninin irtibatı klemens

Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, pasta (3tr4 maupun gas yang dapat mengandung mikroorganisme

Adapun hubungan antar entitas yang terbentuk pada diagram ER desain logikal dalam perancangan basis data ini, disesuaikan dengan informasi yang akan dihasilkan dari sistem

Tes esai dengan menggunakan indikator keterampilan berpikir kritis pada jenjang penjapaian mulai dari C 3 sampai C 6 menggunakan taksonomi Anderson yang terintegrasi pada

5. tindak lanjut atas evaluasi.. Pemenuhan kebijakan oleh Unit Kerja dengan mengacu pada. ketentuan peraturan perundang-undangan di

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tentang Layanan Pengadaan Secara

Walaupun tidak ada perberbedaan pad hari ke-21, jika di lihat perbedaan rata rata dari ke dua kelompok tersebut yaitu nilai rata rata salep binahong dosis 50% yaitu 15,67 dan

Bersesuaian dengan ojektif kajian, iaitu untuk mengenal pasti tahap penguasaan para pelajar dalam memahami dan menguasai frasa al-idhāfah ataupun frasa aneksi ini,