• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Tokoh dalam Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utam

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

2. Peran Tokoh dalam Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utam

Novel Saman menceritakan tentang berbagai masalah yang terjadi ketika

162

merupakan tahun dimana jaman Orde Baru kekuasaan dengan sewenang- wenang. Saman mampu menangkap peristiwa zamannya dan mengisahkannya dengan baik. Novel ini juga berisi banyak hal, bukan sekedar seks, melainkan juga cerita politik, terutama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militerisme dan kekuasaan patriarki.

Peran tokoh Saman dalam novel ini adalah menggugat terhadap kesewenang-wenangan pengusaha perkebunan karet, penyiksaan aktivis, fenomena gaib, seksualitas, dan cinta. Laila, Shakuntala, Yasmin, Cok, Upi membantu tokoh utama dalam mewujudkan cita-citanya. Problema-problema seks perempuan, yang selama ini terjadi dalam masyarakat Indonesia yang patriarki ditentang dalam tingkah laku tokoh-tokoh novel ini. Tokoh Yasmin yang sempurna, cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan, bermoral pancasila, setia pada suami kembali menemukan kebebasan seksualnya bersama Saman, sang bekas pater.

Kegelisahan seksual itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil. Laila adalah seorang fotografer yang jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri. Bahkan ketika Sihar berangkat ke Amerika Serikat (New York), Laila berusaha melakukan hubungan seksual itu. Berbeda perasaannya ketika berada di Indonesia, ketika berada di New York, Laila merasakan bahwa di kota itu orang-orang tidak memedulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak, apakah seorang perempuan menikah atau

163

tidak. Namun, upaya Laila untuk merebut hati Sihar menemui kegagalan, karena Sihar berangkat ke New York bersama istrinya.

Shakuntala juga menawarkan suatu penolakan terhadap sistem patriarki. Sebagai seorang perempuan muda, Shakuntala pernah punya affair dengan seorang raksasa, dengan raksasa itulah dia kehilangan keperawanannya. Ia tidak pernah menjelaskan siapa raksasa itu. Raksasa tersebut merupakan simbol dari penjajah Belanda, atau bahkan orang Barat secara umum. Tetapi hal ini menjadi tahu siapa raksasa tersebut setelah adanya pertemuan Shakuntala dengan seorang lelaki Belanda saat ia sedang mandi, yang dia gambarkan sebagai seorang raksasa.

Pertemuan Shakuntala dengan seorang raksasa itu dilaporkan tukang kebunnya kepada ayahnya, dia menanggapi dengan mengikat Shakuntala ke ranjangnya pada malam hari setelah terlebih dahulu menggemblengnya tentang aturan-aturan hubungan lelaki-perempuan.

Tidak hanya ayah Shakuntala memberi nasehat, tetapi ibunya pun memberi nasehat tentang merawat keperawanan ketika Shakuntala masih sembunyi-sembunyi menemui raksasa tersebut. Ibunya menasehati agar berhati-hati dalam menjaga kegadisan, perawan dijaga sampai menikah, disimbulkan oleh Ayu guci yang tidak boleh retak/pecah.

Tindakan-tindakan ayahnya ketika mendapati hubungannya dengan si raksasa, bagi Shakuntala, menandai momen pengenalan; ayahnya bertindak taat dengan sistem patriarki, dan Shakuntala pun segera memutuskan untuk memegang kendali atas tubuhnya sendiri.

164

Keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh Laila meskipun sosok ini mampu melawan gender keperempuanannya. Semasa sekolah dia paling banyak berlatih fisik. Naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, dan lain- lain jenis olahraga kelompok yang kebanyakan anggotanya lelaki. Juga, tidur bersisian dengan kawan lelaki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada masa itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia lelaki yang dinamis.

Ternyata perlakuan itu tidak dapat dibawa tokoh Laila sampai dewasa. Ia tidak bisa masuk ke dalam dunia pria dewasa. Tapi keperawanan Laila yang terjaga seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia justru menjadi problema, seks Laila terhambat. Lelaki takut padanya. Keperawanan dinilai sebagai tanggung jawab. Sehingga Sihar pun takut untuk memperawaninya.

Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu melihat faktor lelaki pada diri Shakuntala. Gabungan sosok Saman dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila muncul pada diri Shakuntala. Hingga akhirnya Laila melupakan Shakuntala sebagai perempuan. Ketertarikan Laila ditanggapi Shakuntala sehingga dalam Larung ini muncul sebuah relasi seksual di mana lelaki benar- benar diabaikan. Dalam hal ini Ayu masih mencoba membela kaumnya. Ia hanya ingin menyelamatkan Laila. Penggambaran tentang dunia lesbian, yang benar-benar belum bisa diterima kultur Indonesia dilakukan Ayu dengan gambaran yang sangat indah lewat tokoh Laila dan Shakuntala.

165

Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam ilmunya di New York. Ia bisa memerankan Sita dan Rahwana sekaligus dengan bertelanjang dada. Ketika ia menari seperti baling-baling, hingga menjadi seperti gasing, ia merasa ada kelaki-lakian dalam dirinya. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki. Ia seorang biseks. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya.

Shakuntala saat melihat Laila sedih karena gagal kencan dengan Sihar, Shakuntala menghiburnya dengan mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah kelelakian Shakuntala tumbuh dan ia mengajak Laila tidur.

Sedangkan Yasmin, yang sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan Romo Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Mereka melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika.

Sementara Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMU di Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer, Brigjen Rusdyan Wardhana. Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Ia

166

pula yang menjebak Yasmin dan Saman menginap dua hari di bungalownya, sehingga mereka berdua tak mampu mempertahankan keinginan seksual. Saman yang memilih hidup selibat justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.

Dengan menggunakan keempat tokoh perempuan itulah Ayu Utami ingin menggempur lembaga perkawinan yang selama ini disakralkan oleh sebagian besar masyarakat kita. Laila dan Cok dengan sadar merusak rumah tangga orang lain. Dalam hal ini, tentu yang disalahkan tidak hanya pihak perempuan, tapi juga pihak laki-laki, baik Sihar maupun Brigjen Rusdyan Wardhana. Sementara Yasmin dengan sadar pula merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai Romo Wis, dan mengabadikan perselingkuhan itu. Sedangkan Shakuntala yang biseks memposisikan dirinya di luar lembaga perkawinan yang lazimnya buat kalangan heteroseks.

Sedangkan peran tokoh dalam novel Larung diawali dengan tokoh Larung yang akan membunuh neneknya. Nenek Larung yang menikah dengan seorang Belanda dan kemudian menikah lagi dengan seorang gerilyawan, pada akhirnya harus dibunuh oleh cucunya sendiri (Larung Lanang), karena nenek yang berusia 120 tahun itu tidak mati-mati meskipun napas dan tubuhnya bau. Nenek itu akhirnya dibunuh Larung setelah Larung mendapatkan enam cupu.

Pertemuan Larung dengan Saman terjadi ketika mereka berencana melarikan tiga aktivis Solidarlit, yaitu Wayan Togog, Bilung, dan Koba. Pelarian yang dimulai dari peristiwa 27 Juli 1996 dari Jakarta yang dibawa ke Pulau Kijang oleh Larung. Mereka sepakat akan bertemu di pelabuhan Pelni.

167

Namun pelarian ini gagal, mereka tertangkap oleh petugas. Saman dan Larung pun akhirnya ditembak oleh petugas.

3. Perspektif Gender dalam Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami