• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Beberapa Tokoh dalam Memperkenalkan Musik Diatonis Di Minangkabau (Sumatera Barat)

Pada bagian ini penulis memaparkan beberapa orang putra Minangkabau yang meraih pendidikan musik Barat di Eropa. Kelak mereka berjasa dalam mendirikan institusi kesenian di Minangkabau. Pendidikan dasar musik mereka adalah musik Barat. Mereka mengajarkan dan mengembangkan ilmu musiknya tidak hanya di jurusan musik Barat tetap juga di jurusan karawitan Minangkabau.

Mohammad Sjafei pernah bercita-cita untuk mendirikan sekolah musik di Sumatera Tengah. Cita-cita Mohammad Sjafei untuk mendirikan sekolah musik di Minangkabau akhirnya terwujud melalui generasi setelah dia, yaitu dua bersaudara Boestanoel dan Irsyad Adam.

Mohammad Sjafei80 adalah salah seorang figur yang pernah mengenyam pendidikan Belanda. Ayahnya Mara Sutan, seorang pendidik, yang banyak berjasa kepada pendidikan di Indonesia.

Mohammad Sjafei menamatkan Sekolah Guru (Kweekschool) di Bukittinggi dalam tahun 1914. Ia juga seorang pemain violin yang baik. Setelah itu ia menjadi guru pada “Sekolah Kartini” di Batavia (sekarang Jakarta) selama enam tahun.

Atas biaya sendiri, Mohammad Sjafei melanjutkan pelajaran ke Eropa. Ia mendalami mata-mata pelajaran ekspresi: menggambar, pekerjaan tangan, dan seni suara

Mohammad Sjafei mendirikan Ruang Pendidikan model baru di Kayu Tanam pada tahun 1926 sebagai reaksi terhadap pendidikan yang diberikan pada sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sekolah itu ia beri nama Indische Nederland School (INS). M Sjafei meninggal di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1969.

. Ia mengunjungi beberapa negara lainnya di Eropa untuk memperdalam pengetahuannya tentang seluk beluk pendidikan. Ketika pergerakan kebangsaan memuncak, Mohammad Sjafei memutuskan kembali ke Tanah Air. Sjafei berpendapat bahwa kemajuan pendidikan adalah hal utama untuk memperolah kemerdekaan.

80 Tulisan ini penulis kutip dari sebuah buku karangan dra. Emma Zain dan Djaka Dt. Sati, (tt) berjudul Ilmu Mendidik.

Tujuan INS adalah: 1) memberikan pendidikan kepada rakyat yang ingin merdeka, 2) memberikan pendidikan yang sesuai dengan keperluan masyarakat, dan 3) memberikan pendidikan kepada pemuda supaya percaya kepada diri sendiri dan berani bertanggung jawab.

Azas-azas pendidikan yang digunakan oleh Moh. Sjafei adalah: berpikir logis dan rasional, keaktifan, pendidikan kemasyarakatan, bakat anak-anak harus mendapat perindahan, dan memberantas intelektualisme.

Mohammad Sjafei telah berusaha mengubah manusia dan masyarakat. Ia mementingkan bekerja sebagai alat pendidikan yang baik. Sebagian orang mengatakan: INS lebih condong kepada kesenian yang tidak diperuntukkan bagi sekalian anak.

Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adamadalah dua bersaudara kandung. Keduanya adalah putra dari bapak Adam BB. Mereka dilahirkan di Padangpanjang dan dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nialai-nilai Islam. Sebagai orang Minangkabau yang Islami Ayah mereka cukup toleran dalam memberikan kesempatan mempelajari musik Barat.

Irsyad Adam tak seberuntung uwan-nya (abangnya) karena sejak lahir ia sudah tidak bisa melihat seperti layaknya orang normal alias tuna netra. Tetapi Irsyad dikaruniai indera pendengaran yang tajam. Waktu kecil, menurut penuturan ibu adangRohani Adam (kakak perempuan Irsyad), Irsyad sangat senang mendengarkan bunyi-bunyian. Bahkan, pada suatu hari Irsyad kecil sengaja membanting sebuah piring kaleng berulang kali. Ia mendengarkan bunyi piring dengan seksama seolah-olah ada sesuatu yang ingin diketahuinya dari bunyi itu.

Irsyad memang suka menyanyi, bermain harmonika, dan mendengarkan abangnya, Bustanoel, memainkan violin.

Penulis sengaja datang ke Padangpanjang untuk berjumpa dan mewawancarai bapak Irsyad Adam. Beliau banyak mengetahui seluk-beluk kehidupan musik di sumatera Barat sejak pra kemerdekaan sampai sekarang. Daya ingatnya masih cukup tajam. Beliau masih bisa mengenali suara penulis walaupaun sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Pak Irsyad baru saja sembuh dari sakit ketika penulis menjumpainya. Dia terlihat segar untuk ukuran orang setua dia, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya agak sedikit kurang jelas karena dulu beliau pernah menderita stroke ringan yang membuat bibirnya sedikit bergeser ke kiri. Tetapi penulis masih dapat menangkap kata-kata yang ia ucapkan dalam bahasa Minang.

Tulisan berikut didapatkan dari wawancara dengan bapak Irsyad Adam di rumahnya, Padangpanjang pada tanggal 01 Juni 2014 sekitar pukul 09.00-10.30. Penulis ditemani oleh seorang rekan sesama kuliah dulu yang sekaligus mengoperasikan alat perekam audiovisual.

Irsyad Adam memulai penuturannya dengan cerita tentang belajar musik. Irsyad, awalnya, belajar musik khususnya violin kepada abangnya, Boestanul Arifin. Selain belajar kepada abangnya, Irsyad juga belajar kepada guru dari abangnya itu, yaitu bapak M Yunus Keucik, seorang Aceh yang beristeri dengan orang Payakumbuh dan tinggal di Padangpanjang. Irsyad mengatakan bahwa bapak M Yunus Keucik dulunya adalah murid dari bapak Khatib Sulaiman, seorang tokoh Sumatera Barat. Bapak Khatib Sulaiman adalah murid dari bapak

M Nur. Menurut Irsyad dia pertama kali belajar memainkan klasik dari Lis Wakidi, kakak dari Dirwan Wakidi.

Pada tahun 1942 Irsyad Adam menempuh pendidikan di INS Kayu Tanam sebagai murid non formal. Setiap pagi selapas salat subuh ia barsama Boestanul berangkat ke Kayu Tanam dengan kereta api. Tetapi sejak adanya kecelakaan kereta api di Silaiang mereka takut naik kereta api dan beralih menggunakan

padati81

Selama menjadi murid di INS, Irsyad sering mengadakan pertunjukan musik bersama murid-murid lainnya. Pada waktu itu INS sering di datangi tamu dari luar negeri khususnya anggota Komisi Tiga Negara. Komisi Tiga Negara terdiri dari Indonesia, Mesir dan India. Mesir dan India adalah dua negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Irsyad menuturkan bahwa musik yang disuguhkan kepada tamu-tamu asing yang berkunjung ke INS

. Kebetulan kejadian itu sudah di akhir-akhir masa studinya di INS. Berangkat subuh dan sore harinya kembali ke Padangpanjang. Irsyad belajar di INS selama tiga setengah tahun.

Sekitar tahun 1947 beberapa orang mendirikan sebuah orkestra di Padangpanjang. Pada waktu itu Ibu Kota Negara Republik Indonesia berada di Bukittinggi tetapi kegiatan-kegiatan kesenian dan kebudayaan dipusatkan di Padangpanjang. Irsyad adalah anggota orkes termuda waktu itu. Ia sering di daulat sebagai solis di orkestra tersebut. Pada waktu itu menteri Pendidikan untuk wilayah Sumatera di jabat oleh Mohammad Sjafei, tokoh pendiri INS Kayu Tanam.

81 Kendaraan tradisional berbentuk gerobak yang ditarik oleh seekor lembu atau bisa juga kerbau.

bukanlah musik tradisional Minangkabau tetapi musik Barat. Mengapa menyambut tamu asing dengan musik barat? Irsyad menjawab, waktu itu dunia internasional masih menganggap Indonesia sebagai sebuah negeri primitif dan Belanda menyatakan di PBB bahwa Indonesia belum pantas untuk merdeka. Maka, dengan pendidikan dan musik Barat kita menyatakan bahwa kita layak sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Pendidikan dan kesenian merupakan peluru yang lebih ampuh dari pada peluru senapan, ujar pak Irsyad.

Dengan melihat secara langsung aktifitas pelajar Indonesia di INS Kayu Tanam, pahamlah para tamu-tamu asing tersebut. Pernyataan Belanda di PBB berbeda dengan kenyataan yang mereka lihat. Ternyata anak-anak Indonesia sudah maju bahkan bisa memainkan musik Barat. Mereka mamainkan musik klasik dan beberapa karya WR Soepratman. Walaupun orkestra belum terlalu rapi secarat teknis, tetapi mereka sudah memulai memainkan musik diatonis sebagai sebuah wujud usaha dalam memperjuangkan persamaan hak sebagai masyarakat dunia yang beradab.

Di Bukittinggi, pada tahun 1947 terdapat orkes simfoni negara. Anggotanya terdiri dari tentara pengungsi dari Medan dan Siantar yang kemudian bergabung dengan musisi di Bukittinggi. Konduktornya waktu itu bernama Khalid. Orkestra inilah yang sering digunakan untuk menyambut dan menghibur tamu-tamu negara di Bukittinggi. Orkes di Padangpanjang tetap ada, tetapi lebih kepada orkestra gesek.

Pada tahun 1947 Presiden Soekarno berkedudukan di Yogyakarta dan wakil presiden Mohammad Hatta di Bukittinggi. Ketika itu Bukittinggi sudah

memiliki pelabuhan kapal terbang sebagai peninggalan Jepang tepatnya di Gadut. Melalui pelabuhan kapal terbang Gadut inilah seorang menteri (menteri baja) utusan dari Jawaharlal Nehru (perdana menteri India kala itu) masuk ke Bukittinggi. Hatta mengajak utusan itu menyaksikan orkestra di Padangpanjang tepatnya di gedung Ruang Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Gedung Mohammad Sjafei). Irsyad Adam, waktu itu adalah pemain yang paling muda dalam kelompok orkestra tersebut. Irsyad juga menyebutkan nama Dirwan Wakidi sebagai salah seorang pemain dalam orkestra tersebut. Pada momen inilah ‘Pak Nait’ (demikian bunyi sebuah nama yang terucap dari mulut pak Irsyad), utusan Jawaharlal Nehru itu menyaksikan permainan violin Irsyad. Utusan itu merasa tertarik dengan permainan violin Irsyad muda yang berbakat. ‘Pak Nait’ mengungkapkan kenginannya kepada pak Hatta untuk menyekolahkan Irsyad ke luar negeri. Pak Hatta seketika itu juga merestui tawaran dari utusan Nehru tersebut. Bagaimana dengan orang tuanya? Tanpa persetujuan dari ayah Irsyad pak Hatta waktu itu langsung mengatakan, “Orang tuanya setuju, saya mau mengurusi, bertanggung jawab”, kata pak Hatta. Pak Irsyad menceritakan ini sembari tertawa mengenang masa lalunya. Selanjutnya pak Hatta memberikan syarat kepada ‘Pak Nait’, bahwa anak ini tentunya tidak bisa berangkat sendirian karena keterbatasannya. Akhirnya diputuskan untuk menyekolahkan kedua bersaudara Irsyad dan Boestanul Arifin.

Pada 1947 itu juga terjadi Agresi Militer I Belanda. Perhubungan komunikasi terputus. Irsyad dan Boestanoel tertunda berangkat ke luar negeri. Atas saran dari pemerintah pusat keberangkatan ditunda hingga situasi negara

dinyatakan tenang. Setelah itu meletus lagi agresi Militer II Belanda pada tahun 1948. ‘Pak Nait’ kerap ke Indonesia mengantarkan bantuan dan obat-obatan dari India untuk Indonesia. pada tahun 1950 ‘Pat Nait’ datang ke Jakarta mengantarkan bantuan pesawat terbang untuk Indonesia, yaitu pesawat Dakota. Pada saat itu ia teringat kepada dua orang anak muda yang pernah dijanjikannya untuk bersekolah di luar negeri. Ia bertanya kepada wartawan tentang kedua anak itu, apakah keduanya masih hidup? Sebab, situasi beberapa tahun terakhir sangat buruk. Ia ingin menepati janjinya, ujar pak Irsyad. Akhirnya Irsyad mengetahui berita ini dari surat kabar Haluan bahwa seseorang yang dulu pernah menjanjikan untuk menyekolahkannya tidak melupakan janji itu.

Bustanoel mengirim telegram ke pak Hatta menanyakan kepastian keberangkatan mereka. Pak Hatta langsung menanyakan ke India. Ternyata, Indonesia pun tak ingin lepas tangan yaitu dengan cara memberi izin dan biaya belajar untuk dua tahun kepada Irsyad dan Boestanoel. ‘Pak Nait’ menyanggupi, yang penting dia ingin memenuhi janjinya kepada dua pemuda ini. Dengan demikian berangkatlah Irsyad dan Boestanoel ke India. Selama dua bulan di India, lalu keduanya berangkat ke Belgia.

Di Jakarta pada tahun 1951, sebelum berangkat ke India, keduanya berkenalan dengan seorang Melayu Riau yang juga seorang profesor di bidang biola (violin), namanya Tengku Syarif Abu Bakar. Ia satu-satunya tamatan Eropa waktu itu. Ketika penulis menanyakan, siapa saja keturunan dari Tengku Syarif Abu Bakar itu? Pak Irsyad mengatakan, bahwa Tengku Syarif Abu Bakar itu adalah salah satu keturunan Sultan Siak.

Tengku Syarif Abu Bakar banyak memberikan masukan kepada Irsyad dan Boestanoel tentang sekolah-sekolah musik di Eropa. Tengku menyarankan kepada mereka berdua untuk memilih sekolah musik di Belgia. Menurut Tengku, di Belgia-lah waktu itu sekolah musik, untuk violin, yang paling bagus.

Ada sedikit cerita menggelikan dari perjalanan Irsyad dan Boestanoel menuju Eropa. Karena kendala bahasa, keduanya mempersiapkan serba sedikit bahasa Inggris dan Jerman. Waktu sebelum berangkat itu, mereka belum tahu akan bersekolah di negara mana. Waktu itulah muncul usulan dari seseorang di pemerintahan untuk memilih Mesir sebagai negara tujuan belajar. Pada waktu itu, keduanya mengiakan saja usulan itu. Akhirnya cerita ini sampai juga ke pak Hatta. Keduanya berjumpa denga pak Hatta. Beliau menyakan, dalam bahasa Minang, “Lah bara lamonyo waang di Jakarta?” (sudah berapa lama kalian tinggal di Jakarta?). Boestanoel menjawab, bahwa mereka sudah sekitar tiga bulan berada di Jakarta. Mengapa lama sekali kalian di Jakarta? Boestanoel menjawab, karena berurusan dengan pemerintahan. “Kan ndakpitih urang gaeknyo nan dipagunoan, doh”, kata Hatta membela mereka, karena sudah lama sekali keberangkatan mereka tertunda gara-gara birokrasi pemerintahan. Hatta bertanya dalam bahasa Minang, “Kama waang ka dikirimnyo?”. “KaMesir, pak,” jawab Boestanoel. “Ka Mesir?,” Hatta kaget bercampur marah. “Dari pado ka Mesir, rancak jo den sae waang baraja. Kini ang den aja bisuak pulang lai ”. Ha..ha..ha..,Pak Irsyad tertawa terbahak-bahak mengenang cerita itu. Penulispun jadi ikut tertawa mendengar kisah lucu mereka dengan seorang tokoh proklamasi RI. Ternyata pak Hatta seorang humoris juga.

Hatta menanyakan kapan mereka akan berangkat. Mereka menjawab tanggal 26. “Surat-surat kalian sudah lengkap?” “Belum, pak”, jawab mereka. “Baa kok pandai-pandai sajo kalian?”, bentak pak Hatta. “Kami sudah tidak tahan lagi di sini (Jakarta, penulis), pak”, jawab Boestanoel. Akhirnya, dengan bantuan pak Hatta, surat-surat untuk keberangkatan mereka ke luar negeri (India) keluar hari itu juga. Hatta membekali mereka dengan surat untuk pak Soedarsono duta besar RI untuk India pada waktu itu (1951).

Di India mereka berjumpa dengán ‘Pak Nait’. Mereka berada di India selama dua bulan. Setelah itu Boestanoel dan Irsyad berangkat ke Belgia. Sebelum masuk sekolah musik, Irsyad terlebih dahulu masuk sekolah khusus tuna netra untuk mempelajari huruf Braile di Belgia. Di sekoalah itu ada pelajaran praktek musiknya dengan persentase 75% dan vak umum 25%. Irsyad dibimbing oleh seorang guru violin bernama Normans. Dua tahun belajar di sekolah khusus ini, Irsyad mendaftar ke konservatori di Brussel, Konservatori Kerajaan Belgia. Ia mengikuti tes dan dinyatakan lulus. Sekitar dua tahun belajar di konservatori, ia mengikuti concour (semacam lomba dalam ujian) dan berhasil meraih peringkat terbaik kedua. Pada kesempatan concour yang kedua kali Irsyad berhasil mendapat peringkat pertama. Concour ini diikuti oleh semua siswa tanpa ada pembedaan yang berhubungan dengan keterbatasan fisik. Salah satu nomor yang pernah dimainkan Irsyad dalam concour adalah Simphonie Espagnole karya Edouard Lalo seorang komposer Perancis. Sedangkan, Boestanoel masuk ke akademi musik kemudian masuk konservatori di ‘Xenn’ sekitar 60 km dari

Brussel. Setelah kira-kira lima tahun di Belgia Irsyad dan Boestanoel pulang ke Indonesia pada tahun 1956.

Tahun 1951 berdiri Sekolah Musik Indonesia (SMIND) di Yogyakarta. Ketika mereka pulang ke Indonesia, waktu itu SMIND dipimpin oleh Amir Pasaribu. Mereka ditempatkan di Yogyakarta tetapi belum langsung mendapat tugas. Sebenarnya, kata pak Irsyad, Mohammad Sjafei pun berencana mendirikan sekolah musik di Sumatera Tengah. Kata pak Irsyad lagi, belum terpikirkan waktu itu untuk mendirikan sekolah yang berhubungan dengan karawitan Minangkabau, tetapi yang penting adalah sekolah musik. Tetapi pada waktu itu meletus pemberontakan PRRI sehingga rencana sekolah musik itu gagal dilaksanakan. Piano-piano dari pemerintah pusat yang sedianya diperuntukkan untuk sekolah musik tersebut akhirnya dibagi-bagikan ke SPG (sekolah Pendidikan Guru).

Sekolah Musik di Yogyakarta belum sepenuhnya bisa menerima pak Irsyad sebagai guru karena kondisi ketunanetraannya. Akhirnya pak Irsyad ditempatkan di sekolah tuna netra Departemen Sosial Yogyakarta dengan status masih pegawai honor. Waktu itu beliau diberi tugas mengajar notasi Braile. Sedangkan pak Boestanoel di tempatkan di Jakarta.

Seorang wartawan mewawancarai pak Irsyad untuk sebuah surat kabar. Berita itu sampai ke Nicolai Varvolomeyef, salah satu pelopor berdirinya SMIND Yogyakarta. Irsyad diminta untuk menghadiri wawancara di SMIND. Atas rekomendasi Nicolai Varvolomeyef Irsyad diberi kesempatan mengajar di SMIND Yogyakarta. Kepala sekolah SMIND waktu itu adalah bapak Dailamy

Hasan. Di SMIND Irsyad mengajar selama dua tahun. Setelah itu SK-nya keluar untuk penempatan tugas di Jakarta. Irsyad mengajar di Yayasan Pendidikan Musik Jakarta selama tiga tahun. Kala itu ketua yayasan YPM adalah Ny. Slamet Soedibyo dan kepala sekolahnya adalah Wie Chong Lie, tamatan sekolah musik di Paris. Salah seorang guru biola di YPM sebagai rekan sesama mengajar waktu itu adalah Adi Darma (Lie Eng Liong), tamatan sekolah musik Belanda.

Ketika ditanyakan siapa muridnya yang terbaik ketika beliau mengajar di Yoryakarta, pak Irsyad menyebutkan nama Sudomo dan Ati Bagyo. Keduanya sudah meninggal dunia.

Tahun 1967 Bustanoel dan Irsyad kembali ke Padangpanjang. Sebelumnya, tahun 1965, di Padangpanjang telah berdiri KOKAR A dan KOKAR B. KOKAR A beralih menjadi SMKI (sekarang SMK) dan KOKAR B menjadi ASKI (sekarang ISI Padangpanjang). Di samping musik karawitan Minangkabau, pada kedua KOKAR ini dipelajari juga teori musik Barat. Di KOKAR B dipelajari juga Ilmu Bentuk dan Analisa Musik.

ASKI berdiri pada tahun 1967 dengan satu jurusan yaitu Jurusan Minangkabau. Ketua ASKI waktu itu adalah pak Boestanoel Arifin Adam. Dalam rapat pimpinan ASKI di Jakarta, dicanangkan akan dibuka jurusan Karawitan dan Pedalangan. Pak Boestanoel menyampaikan dalam rapat tersebut bahwa Jurusan Karawitan saja belum jelas perkembangannya konon lagi jurusan Pedalangan. Kemudian pak Boestanoel mengusulkan agar dibuka Jurusan Musik, yang sebenarnya sudah sejak tahun 1950-an di idam-idamkan oleh orang Minangkabau. Maka pada tahun 1979 ASKI sudah terdiri dari jurusan Karawitan, Tari, dan

Musik. Ketua ASKI waktu itu dijabat oleh Pak Boestanoel Arifin Adam (menjabat 1979-1981). Singkatnya, sejak 1967-1981 kepemimpinan ASKI dipegang oleh pak Boestanoel Arifin Adam.

Angkatan pertama Jurusan Musik pada waktu itu antara lain, yang teringat oleh pak Irsyad, adalah Gitrif Yunus dan Admawati. Keduanya menjadi dosen ISI Padangpanjang sampai saat ini.

Pada tahun 1982 pernah terjadi bahwa jurusan musik akan diintegrasikan ke Jurusan Tari atau Karawitan. Ketua ASKI waktu itu adalah bapak Drs. Anas Amir. Saat itu timbul gejolak hingga unjuk rasa ke DPRD Padangpanjang. Ketua ASKI diganti dengan bapak Drs. Mardjani Martamin. Akhirnya rencana integrasi itu gagal dengan diadakannya sebuah studi kelayakan di masa kepemimpinan Drs. Mardjani Martamin. Dalam studi kelayakan tersebut terdapat 22 makalah, 20 di antaranya menyetujui agar Jurusan Musik tetap dipertahankan. Suasana perkuliahan kembali kondusif. Tahun 1983 masuklah ke ASKI nama-nama antara lain Yon Henri, Sastra Munafri, dkk. yang sekarang juga menjadi dosen di ISI Padangpanjang.

Pak Irsyad dipercayai mengajar mata kuliah violin, solfegio, ansambel, dan lain-lain. Generasi penerus dari Boestanoel dan Irsyad Adam adalah Yaseril Adha, seorang dosen di jurusan Musik ISI Padangpanjang. Yaseril mengajar mata kuliah instrumen mayor violin. Saat ini sedang menempuh kuliah S3 di Universitas Indonesia.

Penulis menyimpulkan bahwa musik Barat menyebar ke Indonesia melalui dua jenis musik yaitu musik rohani (nyanyian Gregorian) dan musik sekuler.

Menurut hemat penulis pembagian dari dua jenis musik tersebut sangat penting keberadaanya mengingat tidak semua daerah di Indonesia dapat di-Kristen-kan melalui Misi Jesuit tetapi di daerah-daerah non Kristen tersebutdapat tumbuh musik Barat, khususnya di daerah Minangkabau Sumatera Barat. Musik diatonis (Barat) masuk ke Minangkabau melalui jalur pendidikan formal yang diprakarsai oleh Belanda.

Dokumen terkait