BAB II
MUSIK DIATONIS DALAM BEBERAPA ASPEK
Penulis memasukkan perihal musik diatonis ke dalam penelitian ini
dengan tujuan menjelaskan musik diatonis dari aspek-aspek yang nantinya dapat
dijadikan rujukan untuk menentukan sejauh mana seorang komposer, dalam
penelitian ini, mengadaptasi musik diatonis (musik Barat) dalam karya musiknya.
Dari aspek keilmuan musik, dasar-dasar musik Barat dijelaskan dengan konsep
tangganada diatonis, syarat bunyi, elemen musik, dan struktur musik. Dari aspek
penyebaran musik diatonis, akan dijelaskan secara singkat bagaimana masuknya
musik diatonis di Indonesia dan secara khusus di Minangkabau serta tokoh-tokoh
yang berperan.
Beberapa misi Kristen dan sekolah-sekolah Belanda pada masa pra
kemerdekaan sangat berperan dalam penyebaran musik diatonis di Indonesia.
Selain itu, terdapat juga orang-orang Indonesia, khususnya orang Minangkabau
yang menempuh pendidikan musik Barat di Eropa yang kelak juga memberikan
andil yang cukup besar terhadap perkembangan musik Barat di Indonesia. Peran
ini dilakukan terutama melalui institusi akademis.
Suka Hardjana berpendapat bahwa musik diatonis sangat mempengaruhi
kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia. Menurut Suka Hardjana setiap anak
Indonesia telah menyesuaikan kesadaran pendengarannya dengan musik tradisi,
musik nasional, dan musik populer. Dua musik yang terakhir adalah diatonis
Pengaruh musik diatonis bukanlah persoalan sederhana. Suka Hardjana
berpendapat bahwa pengaruh tersebut bukan perkara main-main, tetapi akan
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam pembentukan budaya musik
anak Indonesia selanjutnya. Berikut kutipan dari pendapat Suka Hardjana tentang
kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia yang ia beri judul Tiga Pasang
Telinga. Penulis menyebutnya sebagai Teori Tiga Pasang Telinga.
“Tiga Pasang Telinga”
Amerika – yang sangat berpengaruh terhadap citra musik dan kesadaran pendengaran ‘telinga ketiga’ anak Indonesia”39
Pendapat Suka Hardjana tentang kesadaran pendengaran anak-anak
Indonesia yang didominasi oleh musik diatonis bisa diperkuat dengan pendapat
Bambang Sugiharto tentang musik Barat. Bambang Sugiharto (2013:282)
mengungkapkan bahwa berbagai jenis musik memiliki kecerdasan dan
kecanggihannya sendiri. Sugiharto memilih musik Barat sebagai contoh tentang
kecerdasan dan kecanggihan dengan beberapa alasan .
40
1. Musik Barat telah merupakan tradisi musik yang paling berpengaruh dan
sangat dominan di dunia kita saat ini. Posisinya serupa dengan bahasa Inggris
atau sains modern dalam sistem pendidikan kita kini. :
2. Banyak hal dalam bahasa musikal yang kita gunakan hingga saat ini memang
berkembang dari dunia Barat juga, seperti sistem notasi, sistem nada, teori
harmoni, dsb.
3. Musik Barat adalah tradisi musik yang tingkat eksplorasinya atas
kemungkinan-kemungkinan musikal sangatlah ekstensif, agresif, dan kritis,
sehinggga pewacanaannya pun telah tergarap sedemikian sistemik dan
mendalam.
Pengaruh musik diatonis sangat mendominasi musik dunia. Musik-musik
yang ingin bertahan hidup ‘terpaksa’ harus beradaptasi. Tonal mayor-minor
bahkan memarjinalkan struktur dan naluri alami dan pendengaran ‘asli’ sebagian
besar penduduk bumi. Semua terpaksa harus menyesuaikan diri atau bahkan
39
Suka Hardjana, 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Periksa halaman 272-285.
40Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal.
punah dihadapan pengaruh dominan sistem mayor minor – bukan hanya di luar
budaya musik Eropa, tetapi juga di lingkar kebudayaan musik Eropa sendiri41
2.1. Tetrachord Awal
.
Orang Yunani memiliki konsep awal tentang pertangganadaan yang
disebut sebagai tetrachord. Tetrachord merupakan empat nada dengan susunan
interval-interval yang dapat dikombinasikan. Tetrachord ini merupakan cikal
bakal tangganada diatonis yang kita kenal sekarang.
Karl Edmund (2006:24) menuliskan bahwa bangsa Yunani membuat
tangga nadanya, yang disebut tangga nada diatonis atau tangga nada asli dari
rangkaian tetrachord42
41Op. cit. Periksa halaman 130-131.
42 Karl Edmund, 2006. Sejarah Musik jilid 1. Hal. 24.
. Dasar dari semua teori tersebut ialah tetrachord yang
berarti: empat (=tetrares) dawai (=chorda), sesuai dengan kebiasaan pada musik
instrumental asli Yunani yang hanya memakai empat dawai saja. Empat dawai
berarti empat nada yang berasal dari dawai-dawai tersebut.
Sebuah tetrachord disebut diatonis bila pada empat nada tetrachord
tersebut sekurang-kurangnya terdapat dua langkah nada yang utuh (Edmund
2006:24). Nada utuh yang dimaksudkan adalah interval satu laras atau yang lebih
umum dikenal sebagai whole tone atau a tone. Atas dasar susunan nada-nada yang
berinterval utuh pada tetrachord diatonis tersebut maka posisi langkah nada
setengah (semitone; setengah laras; setengah nada) hanya dapat ditunjukkan
a. Sesudahdua langkah nada yang utuh barulah terdapat langkah setengah nada.
Deretan ini merupakan nada diatonis yang paling asli dari Yunani, oleh karena
itu dinamai doris (dari daerah Yunani: Doris). Susunananya sebagai berikut:
Gambar 1. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada Di Ujung
Perlu dicatat bahwa tangga nada Yunani selalu turun dari nada tinggi ke
nada rendah43
b. Langkah setengah nada terdapat di tengahdua langkah nada yang utuh. Deretan
ini dinamai frigis(dari daerah Asia kecil: Phrygia). Susunannya sebagai berikut: . Hal ini berbeda dari tangga nada yang kita kenal sekarang yang
selalu naik dari nada rendah ke nada tinggi
Gambar 2. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di tengah
c. Langkah setengah nada terletak sebelum dua langkah nada yang utuh. Deretan
nada ini dinamai lydis (dari daerah Asia kecil lain ialah: Lydia). Susunannya
sebagai berikut:
Gambar 3. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di pangkal
Tangga nada yang utuh dihasilkan dari rangkaian dua tetrachord yang
persis sama susunan intervalnya. Dengan demikian diperoleh tiga tangga nada
pokokdari musik Yunani klasik:
a. Tangga nada Doris:
Gambar 4. Susunan interval tangga nada doris
b. Tangga nada Frigis:
Gambar 5. Susunan interval tangga nada frigis
c. Tangga nada Lydis:
Gambar 6. Susunan interval tangga nada lydis
Edmund (2006:25) memberi catatan bahwa ternyata tangga nada doris
Yunani berbeda dengan tangga nada doris Gregorian44
Dari masing-masing tanggga nada pokok di atas masih dapat ditambahi
dengan satu tetrachord lagi. Penambahan tetrachord dari sebelah atas tangga nada
akan menghasilkan tangga nada hyper-, misalnya hyper doris (hyper dalam bahasa
Yunani = atas). Sebaliknya bila sebuah tetrachord ditambahkan dari sebelah atas .
tangga nada, maka dihasilkan tangga nada hypo-,misalnyahypo frigis (hypo dalam
bahasa Yunani = bawah).
Dengan variasi penambahan tetrachord di atas atau di bawah tangga nada
pokok Yunani kuno maka didapatkan 9 tangga nada sebagai berikut:
b’ a’ g’ f’ e’ d’ c’ b Hyperdoris = Miksolidis
e’ d’ c’ b a g f e Doris
a g f e d c B A Hypodoris = Eolis
a’ g’ f’ e’ d’ c’ b a Hyperfrigis
d’ c’ b a g f e d Frigis
g f e d c b A G Hypofrigis = Yonis
g’ f’ e’ d’ c’ b a g Hyperlydis
c’ b a g f e d c Lydis
f e d c B A G F Hypolidis
2.2. Modalitas Gregorian
Estetika musik Gregorian sangat bergantung pada modalitas. Edmund
(2006:87) mengatakan bahwa kekayaan estetik musik Gregorian hanya dapat
dimengerti bila modalitas dipahami. Modalitas Gregorian merupakan hasil mata
pelajaran “Musica” yang diajarkan dan dilatih dalam semua sekolah di Eropa
sepanjang Abad Pertengahan. Buku-buku yang menerangkan tentang tangga nada
Gregorian disusun oleh beberapa biarawan, seperti misalnya: Hucbald dari biara
St. Amand (840-930). Pengarang ini menjadi terkenal karena tulisannya De
harmonica institutione. Harmonica institutione diartikan sebagai tangga nada.
Lebih lanjut Edmund menuliskan bahwa dalam buku tersebut dipakai nama-nama
nama-nama tersebut digunakan secara berlainan. Menurut Edmund (2006:87)
perubahan agak aneh ini mungkin disebabkan oleh:
a. Karena praktek menyanyikan tangga nada-tangga nada ini berlainan dengan
metode yang biasa dalam kebudayaan Yunani klasik: dulu dimulai dari atas ke
bawah; pada Abad Pertengahan orang mulai menyanyikan tangga nada dari
bawah ke atas—suatu metode baru yang akan diteruskan sampai zaman
modern ini.
b. Karena pengaruh Boethius (480-524). Meskipun baru lahir sesudah keruntuhan
kerajaan Romawi (tahun 476) toh seringkali disebut sebagai ‘orang Romawi
sejati yang terakhir’, sebab berkat Boethius ini abad Pertengahan mewarisi
banyak kekayaan dari kebudayaan Yunani klasik. Hanya sayang sekali,
interpretasi Boethius tentang musik Yunani telah dibuktikan kurang benar.
Namun demikian pengaruh mental filsuf ini pada Abad Pertengahan mengenai
nama-nama tangga nada Yunani antara lain dapat diterangkan karena kurang
informasi ilmiah tentang kebudayaan Yunani.
2.2.1. Tetrachord Gregorian
Sebagaimana halnya musik klasik Yunani musik Gregorian juga
didasarkan pada tetrachord. Tetapi, tetrachord Gregorian terdiri dari nada
D-E-F-G (bergerak naik). Tetrachord ini dikembangkan menjadi empat tangga nada
Gregorian otentik, salah satunya adalah doris yang dimulai dari nada D.
Bandingkan dengan tetrachord doris dari Yunani kuno yang dimulai dari nada
menamai sebuah tangga nada Yunani kuno dan Gregorian. Namun, menurut
hemat penulis, konsep tentang interval diatonis dalam setiap tetrachord dari kedua
masa (Yunani kuno dan Gregorian) tersebut tetap dipertahankan yaitu kombinasi
dari dua tonos dan satu semi tonos.
Dari keempat nada yang ada dalam tetrachord Gregorian (D-E-F-G)
disusun empat tangga nada Gregorian otentik, dengan nada D atau E atau F atau G
sebagai nada dasar/finalis (=penutup).
2.3. Syarat Bunyi (Sound Property)
Sebelum menguraikan elemen musik, Kerman (1987:10) mengemukakan
tiga properti (sifat) bunyi yaitu adanya frekuensi, timbre, dan volume. Ketiga
istilah ilmiah tersebut berhubungan dengan istilah musik pitch, tone color, dan
dynamic.45
1. Frekuensi
Frekuensi berhubungan dengan kecepatan atau tingkat vibrasi dalam
sebuah benda yang memproduksi bunyi. Frekuensi yang lebih tinggi
menghasilkan bunyi yang lebih tinggi pula. Semakin pendek sebuah benda yang
bervibrasi maka bunyi semakin tinggi. Sebuah piccolo bunyinya lebih tinggi dari
pada sebuah trombon karena piccolo meliputi getaran udara dalam tabung yang
lebih pendek. Jika kita meniup permukaan mulut botol yang berisi air di
dalamnya, maka bunyi akan lebih tinggi jika ruang udara dalam botol semakin
kecil.
Fenomena ini juga belaku untuk dawai. Semakin pendek dawai maka
fekuensinya atau terdengar semakin tinggi. Nada secara berurutan akan semakin
tinggi bila panjang dawai yang bergetar meliputi setengah, seperempat,
seperdelapan dari dawai, dan seterusnya.
Fraksi atau bunyi sampingan disebut partials atau overtones. Bunyi
overtone terdengar lebih lemah (lembut) dari pada bunyi utama.
2. Timbre
Timbre merupakan kualitas bunyi yang kerap disebut tone “color” sangat
tergantung pada jumlah atau proporsi dari overtones. Dalam sebuah flut, aliran
udara menggetarkan keseluruhan panjang tabung dan semakin berkurang dalam
setengah atau seperempat panjang tabung, sehingga hanya ada sedikit overtones.
Di lain pihak, senar-senar violin bergetar serempak dalam banyak subsegment
(ruas) sehingga violin kaya dengan overtones.
3. Volume
Volume atau tingkat kelantangan bunyi bergantung pada amplitudo dari
getaran, atas sebarapa jauh atau keras sebuah senar atau getaran aliran udara.
Sebagai contoh, pada sebuah gitar, volume tergantung pada seberapa kuat kita
memetik senarnya. Frekuensi tidak akan berubah.
Pemain alat musik tiup mengontrol volume dengan mengatur tekanan
angin yang dihasilkan dari tiupan. Bukanlah kebetulan bahwa kelantangan dalam
musik diasosiasikan dengan tenaga atau kekuatan.
Synthesizer, tidak seperti kebanyakan alat musik tradisional yang dayanya
benda-benda elektronik. Sebuah synthesizer terdiri dari tiga elemen dasar: 1)
sebuah jaringan osilator elektronik, amplifier, speaker, dan mekanisme lainnya
untuk memproduksi dan memanipulasi bunyi; 2)sebuah alat untuk memilih dan
menentukan jenis dan kualitas bunyi yang akan dihasilkan—umumnya sebuah
keybooard untuk not dan mengontrol tone color; 3) sebuah komputer atau
microchip untuk menterjemahkan perintah-perintah dalam bentuk getaran bunyi.
Ronald Pen (1992:12-17) mengemukakan elemen dasar (basic element)
dari bunyi adalah: duration, pitch, dynamic, dan timbre. Menurut Pen, keempat
elemen dasar inilah yang digunakan untuk menyusun musik46
2.4. Elemen Musik (Music Element)
.
Jika kita bandingkan pendapat Kerman dan Pen, mereka hanya berbeda
satu elemen duration dalam hal properti atau elemen dasar bunyi. Penulis
berpendapat bahwa duration berhubungan erat dengan hal waktu dan sangat
penting dalam pembentukan rhythm,sebab rhythm merupakan unsur penting
dalam musik. Dengan demikian, pendapat Pen telah mencakup semua properti
bunyi yang diajukan oleh Kerman.
Kerman (1987:12)memaparkan, bahwa elemen (bagian penting) musik
terdiri dari: pitch, dynamics, tone color, scales, rhythm, tempo,dan pictch and
time.47
46 Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. Hal. 12-17.
47
2.4.1. Pitch (Tinggi-rendah)
Kita dengan jelas dapat mendengarkan bunyi-bunyi, seperti bunyi tinggi
dan bunyi rendah. Kita memberi sifat kepada bunyi tersebut dengan kata tinggi
dan rendahuntuk menggambarkan bunyi-bunyi itu dalam keraguan yang penuh
tanya, walaupun tidak dengan menggunakan alat yang layak. Kerman (1987:12)
menyebutkan, bahwa kualitas tinggi-rendahnya bunyi disebut pitch.48
Menurut Kerman (1987:12) pengalaman kita tentang pitch diperoleh
ketika kita masih kecil
Bunyi dihasilkan dari getaran yang sangat cepat dari senar yang tegang,
gong, bell, aliran udara dalam pipa,dan benda-benda lainnya. Tinggi rendahnya
sebuah bunyi ditentukan oleh cepatnya sebuah getaran. Pengukuran ilmiah dari
pitch adalah seberapa banyak jumlah getaran perdetik. Contoh, saat permulaan
latihan, sebuah orkestra melakukan tuning dengan pitch A, dan sebuah band
melakukan tuning dengan Bb (B mol). Not-not tersebut dapat dicek dengan
sebuah garpu tala atau sebuah alat tuning elektronik.
Lazimnya, jika bunyi-bunyian digunakan dalam musik, maka pitch-nya
harus difokuskan. Jadi, tidak kabur atau tidak tetap seperti sebuah bising yang
tinggi atau rendah. Suara knalpot sepeda motor dianggap sebagai noise (bising)
karena pitch-nya tidak difokuskan pada sebuah frekuensi tertentu. Namun
demikian, ada alat musik yang penalaannya tidak berdasarkan frekuensi tertentu,
seperti dram, simbal, cow bell, dan sebagainya.
49
48 Joseph Kerman. Ibid. hal. 12.
49 Joseph Kerman. Ibid. hal. 12.
. Bayi yang baru berumur beberapa jam dapat merespon
tinggi dan mana yang rendah. Bayi-bayi itu sangat responsif terhadap bunyi yang
tinggi. Biasanya bunyi yang tinggi itu mereka kenal dari suara ibunya.
Berikut ini adalah rentang suara yang normal. Rentang suara ini lazim
digunakan saat bercakap-cakap atau bernyanyi oleh pria maupun wanita. Kerman
mendeskripsikannya dalam notasi berikut:
Gambar 7. Rentang suara normal sebagaimana dalam sebuah chorus
2.4.1.1. Interval: Oktaf
Kerman (1987:13) mendefinisikan interval sebagai perbedaan, atau jarak,
antara sebarang dua pitch. Dari sekian banyak perbedaan interval yang digunakan
dalam musik, sebuah interval memiliki karakter khusus yang membuatnya secara
khusus menjadi penting yaitu interval oktaf.
Interval oktaf merupakan jarak antara dua nada di mana kedua nada
tersebut sama tetapi tidak identik. Nada yang satu menduplikasi nada yang lain
dalam jarak oktaf. Duplikasi inilah yang disebut dengan oktaf.
Jika pria dan wanita menyanyikan lagu yang sama, maka secara insting
jarak oktaf. Jika kita tanyakan pada mereka, maka mereka akan menjawab bahwa
mereka sedang menyanyikan lagu yang sama.
Interval oktaf digunakan untuk menentukan seberapa lebar rentang suara
manusia atau sebuah alat musik. Rata-rata suara manusia dan alat musik memiliki
rentang dua hingga tiga oktaf. Kecuali beberapa alat musik, misalnya piano
memiliki rentang suara hingga tujuh oktaf.
Interval nada-nada dalam satu oktaf dari sebuah tangga nada diatonis
C,D,E,F,G,A,B,c adalah sebagai berikut:
C-C = perfect first(prim murni) C-G = perfect fifth (kuint murni)
C-D = major second (sekonde besar) C-A = major sixth(sekt besar)
C-E = major third (ters mayor) C-B = major seventh(septim besar)
C-F = perfect fourth (kuart murni) C-c = perfect eighth (oktaf murni)
2.4.2. Dinamik (Dynamic)
Syarat dasar kedua dari bunyi musikal adalah loudness atau
softness(kelantangan atau kelirihan) atau disebut dynamic (dinamik).
Ilmuan mengukur dinamik secara kuantitatif dalam satuan yang disebut
decibels (db); gergaji mesin kelantangan bunyinya kira-kira 85 db, dan
operatornya terpaksa mengenakan peredam bunyi di telinga. Seorang ahli
kesehatan pernah mengukur sistem pengeras suara musik rock yang mencapai
Musisi menggunakan istilah dalam bahasa Italia untuk menggambarkan
dinamik, sebab di masa-masa awal dulu, orang Italia menguasai kancah musik
Eropa. Beberapa contoh istilah dinamik:
pianissimo (pp) sangat lembut
piano (p) lembut
mezzo piano (mp) agak lembut
mezzoforte (mf) agak keras
forte (f) keras
fortissimo (ff) sangat keras
Kadang-kadang perubahan dinamik terjadi dengan tiba-tiba (subito)
kadang secara berangsur-angsur lantang atau lirih. Berikut adalah istilah dan
notasi perubahan dinamik (kadang-kadang disebut “pasak sanggul”):
crescendo (cresc.)
(berangsur-angsur lantang)
decrescendo(decresc.) atau diminuendo (dim)
(berangsur-angsur lirih)
2.4.3. Warna bunyi(Tone color)
Kerman (1978:14) mengatakan, bahwanot-not tunggal dalam musik, baik
keras maupun lembut, secara umum berbeda kualitas
bunyinya.50
50 Joseph Kerman. Ibid. hal. 14.
memproduksinya. Kerman memberikan istilah tone color untuk menandai kualitas
bunyi tersebut.
Tone color hampir tidak mungkin untuk digambarkan. Orang
kadang-kadang menggunakan istilah yang kurang pas seperti bright, harsh, hollow, atau
brassy. Kerman menuliskan, Tone color adalah elemen musikal yang dengan
mudah dapat dikenali. Orang yang tidak dapat menyanyikan sebuah lagu pun
dapat membedakan bunyi dari berbagai alat musik melalui nama instrumen
tersebut. Setiap orang dapat mendengar perbedaan antara bunyi yang halus, bunyi
yang penuh dari violin, bunyi cemerlang dari trumpet, dan gebukan dram.
Tetunya sangat mengagumkan bagaimana alat-alat musik yang berbeda
dipertemukan dalam sebuah kelompok untuk memproduksi tone coloryang
berbeda. Saat ini teknologi komputer memungkinkan penemuan bunyi-bunyi baru.
2.4.4. Tangga nada(Scales)
Kerman (1978:15) mengatakan, musik tidak dibuat berdasarkan
keseluruhan rentang bunyi yang secara alami ada di alam, tetapi dibuat
berdasarkan sejumlah pitch yang sudah ditetapkan dalam setiap ruas oktaf.51
Pitch mana yang digunakan dalam sebuah scaledan berapa banyak dalam
setiap oktafnya adalah berbeda dari satu kultur dengan kultur yang lain. Dua belas Pitch
tersebut dapat disusun dalam sebuah kumpulan yang disebut scale (“ladder”=
tangga atau jenjang). Kerman menambahkan, sebenarnya sebuah scalemerupakan
sekumpulan pitch yang disediakan untuk membuat musik.
pitch telah ditetapkan sebagai yang paling banyak digunakan dalam berbagai
musik. Lima nada digunakan di Jepang, sebanyak 24 nada digunakan di
negeri-negeri Arab, dan Eropa Barat pada dasarnya menggunakan tujuh nada.
Menurut Ronald Pen, sebuah scale (tangga nada) adalah serangkaian
nada-nada yang berurutan yang merupakan dasar dari pengaturan susunan melodi dan
harmoni52
2.4.5. Tangga nada diatonis (The Diatonic scale)
. Tangga nada memberikan kerangka susunan yang berjenjang untuk
mengorganisasikan konsonan dan disonan dalam sebuah kerangka tonal.
Pendapat Kerman dan Pen tentang tangga nada dapat disimpulkan sebagai
sekumpulan pitch yang berurutan yang digunakan sebagai dasar untuk menyusun
melodi dan harmoni. Sekumpulan pitch sebagai penyusun tangga nada dalam
musik Barat terdiri dari tujuh nada.
Kerman (1978:15) menjelaskan, bahwa rangkaian tujuh nada yang secara
asli digunakan dalam musik Barat disebut tangga nada diatonik53
Menurut Kerman, Siapa pun yang mengetahui rangkaian “do, re, mi, fa,
sol, la, si, do” berarti ia terbiasa dengan tangga nada diatonis. Oktaf dapat dihitung
dengan memulai dari “do” pertama sebagai satu dan diakhiri dengan “do” kedua . Tujuh nada
tersebut berasal dari era Yunani kuno, dan masih digunakan hingga saat ini. Bila
nada pertama diulang dengan duplikasi nada yang lebih tinggi, keseluruhannya
berjumlah delapan nada—oleh karena itu dinamakan “octave” berarti “delapan
jengkal”.
52 Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. Hal. 77.
sebagai delapan. Serangkaian tuts putih pada piano atau keyboard merupakan
merupakan tangga nada ini (diatonis). Berikut ini sebuah gambar not-not pada
keyboard dengan rentang dua oktaf serta posisi not-not tersebut pada garis
paranada.
Pendapat Kerman di atas menyatakan bahwa orang yang mengetahui
rangkaian tangga nada diatonik dianggap sudah terbiasa dengan tangga nada
tersebut. Hal ini sangat berhubungan erat dengan dengan tetrakord diatonik yang
ada dalam musik Minangkabau.
Gambar 8. Posisi nada-nada keyboard dalam notasi balok
(Sumber : Kerman)
2.4.5.1. Tangga nada kromatik (The Chromatic scale)
Pada sebuah periode terakhir, lima buah pitch lagi ditambahkan di antara
tujuh nada anggota tangga nada diatonis, hingga berjumlah dua belas. Berikut ini
tangga nada kromatik yang disajikan dengan rangkaian dari not-not (tuts) pada
Gambar 9. Nada-nada kromatik
(Sumber : Kerman)
2.4.5.2. Instrumen dan tangga nada (Scales and instrument)
Hingga masa kini, musik Barat menggunakan 12 pitch dari tangga nada
kromatik yang diduplikasi dalam semua tingkatan oktaf dan pada dasarnya tidak
ada tangga nada yang lain54
Instrumen lain, seperti violin dan trombon gelincir (slide) memiliki
rentang pitch yang berkesinambungan (seperti sirine atau suara manusia). Dalam
menguasai instrumen ini, salah satu yang harus dikuasai adalah mempelajari . Banyak jenis instrumen yang didisain untuk
menghasilkan pitch yang khusus: gitar dengan fret, lobang-lobang yang terukur
secara cermat pada flute, dan serangkaian senar yang tersetem pada piano dan
harpa. Termasuk juga, katup-katup dan pipa-pipa pada trompet dan tuba yang
didisain sedemikian rupa agar bisa mengahasilkan pitch kromatik.
bagaimana cara mengambil sebuah pitch dengan tepat sebagai sebuah patokan.
Hal ini disebut sebagai playing in tune (bermain dalam keselarasan).
2.4.5.3. Langkah setengah dan langkah penuh (Half steps and whole steps)
Ada dua macam langkah nada yaitu langkah setengah (half step) dan
langkah penuh (whole step).
1. Interval paling kecil adalah langkah setengah (half step), atau semitone, yang
merupakan jarak antara dua not yang bergerak dari scale kromatik. Langkah
setengah merupakan interval antara not-not yang paling dekat. Jarak dari E ke
F dan dari B ke C adalah setengah langkah; demikian juga dari F ke F kres
(F#), G ke A flat (Ab), dan seterusnya.
2. Langkah penuh (whole step) atau nada penuh,ekuivalen dengan dua langkah
setengah atau dua semi tone. D ke E, E ke F#, F# ke G#, dan seterusnya.
Gambar 10. Whole step dan Semitone
2.4.6. Rhythm (Ritme)
Rhythm, dalam pengertian yang paling umum adalah, istilah yang merujuk
pada keseluruhan aspek waktu dari musik55
2.4.6.1. beat (ketukan)
. Joseph Kerman menjelaskan aspek
waktu dalam musik dengan istilah-istilah beat, accent, meter, dan rhythm and
rhythms.
Beat merupakan satuan ukuran waktu dalam musik. Seseorang dapat
dengan mudah mengetukkan waktu dalam musik dengan mengayunkan tangan
atau mengetukkan kaki seirama dengan yang dilakukan oleh konduktor dengan
button-nya(tongkat kecil pengaba). Para komposer harus memanipulasi dan
mengelola elemen waktu sebagaimana tangga nada, harmoni, instrumentasi, dsb.
Mereka (komposer) menata (mengontrol) waktu sebagai mana seorang pelukis
menata ruang dalam dimensi dua atau seorang arsitek menata ruang dalam
dimensi tiga. Hanya dengan mengukur dan mengontrol waktu, para komposer
dapat menentukan kapan sebuah efek artistik dapat diterapkan56
2.4.6.2. accent (tekanan)
.
Lazimnya waktu jam diukur dalam detik, dan waktu musik diukur dalam
beats(ketukan-ketukan). Terdapat perbedaan penting antara detik jam dengan
ketukan waktu dalam permainan dram. Secara mekanis detik jam selalu sama,
tetapi sebenarnya tidaklah mungkin untuk mengetuk (to beat) waktu tanpa
55Joseph Kerman. Ibid. Hal. 18.
membuat beberapa beat lebih tegas dari yang lainnya. Penegasan ini di sebut
sebagai pemberian accent (tekanan) pada sebuah beat57
2.4.6.3. Meter (meter)
.
Cara alami dalam mengetuk waktu adalah dengan bergantiannya ketukan
kuat dan lemah dalam sebuah pola sederhana seperti: satu dua, satu dua, satu dua
atau satu dua tiga, satu dua tiga, satu dua tiga. Jadi, dalam mengetuk waktu tidak
hanya berarti mengukurnya tetapi juga mengelompokkannya, paling tidak dalam
bentuk biner atau terner. Dengan cara inilah mengapa sebuah dram dikatakan
sebagai intrumen musikal sedangkan sebuah jam tidak.
Setiap pola ketukan kuat dan lemah yang berulang-ulang disebut meter.
Meter adalah suatu pola kuat/lemah yang berulang-ulang untuk membentuk
sebuah denyut yang teratur dan berkesinambungan58
Gambar 11. Birama dan garis bar
. Setiap unit dari pola
berulang tersebut terdiri dari sebuah beat kuat dan satu atau lebih beat yang lebih
lemah, ini disebut sebagai mausure (birama) atau bar.
Dalam notasi musik, measure ditandai dengan garis vertikal yang disebut
garis bar.
Ada dua jenis dasar penggunaan simple meter (meter sederhana), yaitu
duple meter dan triple meter. Kombinasi dari keduanya membentuk compound
meter (birama gabungan)59
2.4.6.4. rhythm dan rhythms
. Contoh pola duple meter: 1 2 1 2 1 2 1 2. Contoh pola
triple meter: 12 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3. Contoh pola compound meter: 1 2 3 4 5 6 1
2 3 4 5 6 12 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6.
Kerman telah menegaskan bahwa istilah rhythm merujuk pada keseluruhan
aspek waktu dari musik. Dalam pengertian yang lebih spesifik rhythms merujuk
pada susunan khusus dari panjang-pendek not dalam melodi atau bagian musik
lainnya.
Dalam sebagian besar musik Barat, duple, triple, atau compound meter
berperan sebagai latar belakang yang bersifat teratur melawan rhythm yang
sebenarnya selalu lebih kompleks. Sepanjang rhythm bertepatan dengan meter,
kemudian berjalan dengan caranya sendiri, bermacam-macam ragam, tension
(tegangan), dan kehebohan dapat terjadi.
2.4.7. Tempo
Istilah tempo merujuk pada kecepatan perpindahan beat. Sering juga
disebut sebagai laju beat. Dalam musik yang bersifat metris, tempo merupakan
kecepatan dasar, beat-beat yang beraturan dari sebuah meter saling mengikuti satu
sama lain.
Tempo dapat diekspresikan secara kuantitatif dengan petunjuk seperti
, berarti 60 (not seperempat) beats per menit. Petunjuk demikian adalah
tanda metronom. Metronom 100 adalah sebuah rata-rata tempo mars yang tenang;
42 adalah sangat lambat, 160 adalah sangat cepat.
2.4.7.1. tempo indications (petunjuk tempo)
Nada-nada dalam musik memiliki durasi relatif. Laju beat pun bersifat
relatif. Bila para komposer memberikan arahan untuk tempo (laju beat), mereka
biasanya lebih suka menggunakan istilah-istilah yang umum. Istilah konvensional
yang digunakan sebagai petunjuk tempo adalah dalam bahasa Italia.
Petunjuk tempo yang lazim digunakan:
adagio : lambat
andante : mendekati lambat, tapi tidak terlalu lambat
moderato : sedang
allegretto : mendekati cepat, tapi tidak terlalu cepat
allegro : cepat
presto : sangat cepat
Petunjuk tempo yang jarang digunakan:
lento, largo, grave : lambat, sangat lambat
larghetto : agak lebih cepat dari pada largo
vivace, vivo : berkesan
molto allegro : lebih cepat
2.5. Pitch dan Time: Dua dimensi musik
Pitchdan time merupakan dua dimensi penting atau merupakan koordinat dari
musik. Grafik pitch dengan pembacaan turun naik berada pada sumbu vertikal,
dan time yang bergerak dari kiri ke kanan pada sumbu horizontal dapat membantu
dalam konseptualisasi musik sebagai mana grafik harga makanan dan waktu yang
dapat membantu kita melacak perubahan harga di toko grosir dari bulan ke bulan.
Faktanya, demikian pulalah grafik pitch/time menjadi sangat terkait erat dengan
notasi musik. Dalam notasi musik, tinggi dan rendahnya nada-nada ditempatkan
pada kisi-kisi yang berderet secara horizontal yang sesekali bersilangan dengan
garis-garis vertikal. Garis-garis vertikal menandai pitch, dari rendah ke tinggi;
garis-garis horizontal menandai waktu dalam pecahan menit (seperti bulan atau
minggu, sebagaimana indeks harga):
Grafik 1. Grafik dua dimensi musik (pitch dan time)
(Sumber : Kerman)
2.6. The Structures of Music(Struktur Musik)
Musik terdiri dari struktur sederhana dan kompleks yang dibangun dari
pitch, ritme, tone color, dan dinamik. Keempat elemen ini tidak bisa dipsahkan
2.6.1. Melody (Melodi)
Kerman (1987) mendefenisikan melodi sebagai perpindahan serangkaian
nada yang dimainkan atau dinyanyikan dalam sebuah ritme tertentu60
2.6.2. Texture (Anyaman)
. Pen (1992)
mendefenisikan melodi sebagai urutan perpindahan interval yang merupakan ide
musikal yang bertalian secara logis. Penulis menyimpulkan pendapat Kerman dan
Pen tentang melodi sebagai suatu ide yang tertuang dalam bentuk perubahan
interval dalam ritme tertentu.
Kerman (1987) menjelaskan bahwa tekstur merupakan istilah yang
digunakan untuk menyatakan perpaduan berbagai macam bunyi dan melodi
(banyak melodi) yang terjadi secara serempak dalam sebuah musik.
Tekstur yang paling sederhana adalah sebuah melodi tanpa iringan yang
disebut sebagai monofoni(monophony). Bila dua atau lebih melodi dimainkan atau
dinyanyikan secara bersamaan maka perpaduan tersebut dinamakan sebagai
polofoni(polyphony). Tekstur polifoni ada yang bersifat imitatif ada yang tidak.
Polifoni imitatif (imitative poliphony) terjadi bila beberapa jalur suara berbunyi
bersama dengan menggunakan melodi yang sama atau mirip, tetapi dimulai pada
waktu yang tidak bersamaan sehingga satu melodi disusul oleh melodi lainnya
dalam jeda interval waktu tertentu. Sedangkan polifoni nonimitatif (nonimitative
poliphony) terjadi bila beberapa melodi memang berbeda secara esensi. Bila ada
sebuah melodi saja dikombinasikan dengan bunyi-bunyi yang lain maka tekstur
ini disebut homofoni (homophony). Bisa saja berupa sebuah melodi yang diringi
dengan akor-akor atau setiap pergerakan nada yang diharmonisasi dengan sebuah
akor tertentu seperti yang kita dapati pada himne koor atau lagu himne (hymn
tune).
Harmoni merupakan bagian dari tekstur. Sebuah melodi dapat
diharmonisasi dengan banyak cara menggunakan akor-akor yang berbeda.
Kerman (1987) berpendapat bahwa, keseluruhan efek dari musik bergantung pada
perluasan akor-akor natural tersebut yang secara umum di sebut harmoni.
Grafik 2. Grafik tekstur
Grafik 3. Grafik tekstur polifoni imitatif
(Sumber : Kerman)
Grafik 4. Grafik tekstur polifoni non imitatif
Grafik 5. Grafik tekstur homofoni
(Sumber : Kerman)
2.6.3. Key dan Mode
Key berkaitan dengan tonalitas yang mengacu pada kombinasi susunan
interval tertentu. Menurut Kerman (1987) key bisa diawali oleh sebarang nada
sehingga tersusun menjadi sebuah key mayor atau minor. Misalnya, berawal dari
nada C dengan skala interval 1-1-1/2-1-1-1-1/2 akan dihasilkan susunan
C-D-E-F-G-A-B-C dengan nama key C mayor. Jika skala yang sama kita gunakan dengan
nada permulaan D akan dihasilkan susunan D-E-Fis-G-A-B-Cis-D maka kita
dapatkan key D mayor. Bila nada permulaan C dengan skala interval
1-1/2-1-1-1/2-1-1 akan dihasilkan susunan C-D-Es-F-G-As-Bes-C dengan nama key C
minor. Jika skala yang sama kita gunakan dengan nada permulaan A akan
Posisi nada permulaan yang berbeda-beda dengan skala interval yang sama inilah
yang dimaksud dengan key.
Ronald Pen (1992) mengatakan, secara struktur, delapan buah not yang
menyusun mode menyerupai pola dari langkah penuh (whole step) dan langkah
setengah (hal step) yang terdapat dalam mode mayor dan minor. Setiap mode
memiliki pola half step yang unik. Berikut ini adalah susunan tujuh mode dengan
posisi half step yang berbeda-beda:
Ionian
Dorian
Phrygian
Lydian
Mixolydian
Aeolian
Gambar 12. Skala mode mayor dan minor
Musik dengan struktur yang telah dirancang sedemikian rupa diwujudkan
dengan permainan berbagai alat musik. Sebagai contoh adalah ansambel besar
berupa orkestra yang terdiri dari seksi gesek (strings): violin, viola, cello, dan
kontra bas; tiup kayu (woodwind): flut, obo, klarinet, dan bason; tiup logam
(brass): trompet, horn, trombon,dan tuba, dan perkusi (percussion): timpani,
vibrafon, marimba, bell, grand cassa, simbal, dsb.
Gambar 13. Penataan alat musik dalam orkestra
(Sumber : Kerman)
2.7. Bentuk dan Stil Musik (Musical Form dan Musical Style)
Kerman (1987) menyatakan, bahwa bentuk secara umum merupakan
dinamik, tone color, melodi, tonalitas, dan tekstur61. Sedangkan stil merupakan kebiasaan atau kecenderungan seorang komposer dalam menggunakan ritme,
melodi, harmoni, tone color, bentuk tertentu, dsb62
2.7.1. Bentuk Musik(Form in Music)
.
Bentuk musikal, sebagai pola yang baku, biasanya ditunjukkan dengan
huruf-huruf. Dua faktor yang menghasilkan bentuk musik adalah: repetisi dan
kontras. Bentunya ditulis dengan diagram A B A, A sebagai elemen repetisi dan B
sebagai kontras. Jika pada A terjadi modifikasi maka secara konvensional ditandai
dengan A' sehingga susunan dapat berupa A B A'
2.7.2. Stil Musik(Musical Style)
Menurut Bambang Sugiharto (2013:283) Styleadalah cara
khasmemperlakukan unsur-unsur musikal seperti: melodi, ritme, warna tone,
dinamika, harmoni, tekstur, dan bentuk63
61
Ibid. Hal. 56
62Ibid. Hal. 60
63 Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal.
283.
. Sugiharto menerangkan bahwa, Style
musik itu berubah-ubah dari zaman ke zaman, meskipun batas perubahan itu tidak
selalu sangat jelas, tidak mendadak dan tegas. Selanjutnya dijelaskan, bahwa
Stylememang bisa menunjuk gaya pribadi seseorang komposer, sekelompok
tertentu. Menurut periode stilistiknya musik-seni di Barat dapat dibagi ke dalam
kategori sebagai berikut64
1. Abad Pertengahan (450-1450) :
2. Renaisanse (1450-1600)
3. Barok (1600-1750)
4. Klasik (1750-1820)
5. Romantik (1820-1900)
6. Modern (1900-1950)
7. Kontemporer (1950- )
2.8. Musik Diatonis di Sekolah-Sekolah
Pelajaran musik di sekolah-sekolah umum di Indonesia wajib diisi dengan
materi pembelajaran lagu-lagu nasional yang juga kita kenal sebagai lagu-lagu
wajib nasional. Sejak Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-Kanak, hingga
Sekolah Menengah Tingkat Atas anak-anak Indonesia secara tidak langsung sudah
fasih menyanyikan lagu-lagu yang berdasarkan sistem nada diatonis. Selain dari
pelajaran musik di sekolah, anak-anak Indonesia juga terbiasa dengan
musik-musik populer Indonesia dan Barat (Amerika) yang juga didominasi oleh sistem
nada diatonis.
PaEni (2009) menuliskan, bahwa di sekolah-sekolah pelajaran menyanyi
masuk ke dalam kurikulum, dan isinya adalah menyanyi dalam sistem nada
diatonik65
Sebagai sebuah karya musik, lagu kebangsaan kita Indonesia Raya
diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman melalui aturan nada yang umum
dikenal di seluruh dunia. Aturan nada yang dikenal di seluruh dunia ini disebut
diatonis (Remy Sylado, 1983:8)
. PaEni berpendapat bahwa orientasi musik anak sekolahan adalah ‘ke
Barat’. Bersama dengan sistem nada diatonik tersebut diperkenalkan pula
instrumen-instrumen musik dari Eropa seperti biola, piano, gitar, dan sebagainya.
Sekali dalam hidup, kita tentu pernah mengalami peristiwa musik.
Setidak-tidaknya setiap upacara bendera khususnya pada hari kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus semua murid Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Perguruan Tinggi, kantor-kantor
pemerintahan, dan organisasi-organisasi sosial politik serta seluruh rakyat
Indonesia, secara langsung atau pun tidak, tentunya pernah menyanyikan lagu
Indonesia Raya.
66
. Sylado mengatakan bahwa perkataan diatonis
dipetik dari bahasa Latin, diatonicus, maksudnya nada-nada yang terdiri dari tujuh
jenis bunyi yang ditulis di atas garis titi, yaitu do re mi fa sol la si67
2.9. Tetrachord Diatonis dalam Lagu-Lagu Tradisional Minangkabau
.
Karawitan Minangkabau yang berasal dari Darek (Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam, Luhak Lima Puluh Kota) juga memiliki sistem tangga nada yang
mirip dengan konsep diatonis seperti yang dikemukakan dalam kajian sejarah
65
Mukhlis PaEni, 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni
Media. Hal. 102.
66 Remy Sylado, 1983. Apresiasi Musik. Hal. 8
musik68
a. Lagu Malereang Tabiang:
. Lagu tradisional Minangkabau berikut ini memenuhi konsep dasar
tangga nada diatonis:
Gambar 14. Notasi lagu Malereang Tabiang dari Agam (Bukittinggi)
b. Lagu Duo-duo:
Gambar 15. Notasi Lagu Duo Duo dari Muara Labuh
c. Lagu Tak Tong Tong:
Gambar 16. Notasi lagu Tak Tong Tong dari Darek
d. Lagu Simarantang:
Notasi 17. Lagu Simarantang dari Kabaupaten 50 Kota
2.10. Musik Diatonis di Indonesia (Awal Penyebaran)
Triyono Bramantyo dalam bukunya Disseminasi Musik Barat Di Timur
mengungkap bagaimana penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang. Buku
ini sebenarnya merupakan sebuah desertasi yang berjudul Studi Historis
Penyebaran Musik Barat di Indonesia dan Jepang lewat aktivitas misionaris pada
kbad ke16. Tesis ini diselesaikan oleh Triyono Bramantyo di Universitas Osaka,
Jepang pada bulan Desember 1996. Buku ini merupakan studi komparatif tentang
sejarah penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang pada abad keenam belas
khususnya dari Serikat Yesus.
Fransisco Xaverius (1506-1552) menyadari bahwa orang Indonesia dan
Jepang memiliki kegemaran dalam musik. Xaverius sudah mempersiapkan
katekismus69
69Katekismus: kitab pelajaran agam Kristen dalam bentuk daftar tanya jawab (Bramantyo,
2004:46).
dalam bahasa Melayu untuk misinya di Maluku, Indonesia dan
bahasa Jepang untuk misinya di Kyushu, Jepang. Termasuk dalam katekismus
Indonesia dan di Jepang sebagai benih dari musik Barat70
Francisco Xafier tiba di Ambon pada tanggal 4 Pebruari1546. Dia sudah
mempersiapkan katekismus dalam bahasa Melayu yang dipahami oleh masyarakat
Maluku. Katekismus itu meliputi Credo, Deklarasi, Pater noster, Ave Maria, dan
Salve Regina
. Selain lagu-lagu
Gregorian juga disebarkan lagu-lagu sekular, khususnya oleh saudagar dan pelaut
Portugis. Disebutkan bahwa musik keroncong mendapat pengaruh dari musik
sado, salah satu jenis musik rakyat Portugis.
71
Francisco Xafier tinggal di Ambon sampai Juni 1546 sambil berkarya di
antara umat Kristen di Morotai dan mengajari anak-anak bernyanyi Credo. Dia
melanjutkan tugasnya dengan harapan bahwa seluruh Ambon akan menjadi
Kristen. Dia merubah kepercayaan banyak penduduk dan mengajar agama Kristen
pada anak-anak dan mengenalkan doa-doa malam untuk orang-orang sekarat dan
pendosa
(Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46). Peristiwa ini menandai karya
Jesuit di Maluku.
72
Dari Ambon, Xavier dikirim ke Ternate dan bertugas di sana hingga
September 1546. Di ambon dia menulis katekismus bersajak dalam bahasa
Portugis dan mendirikan Misericordia
(Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46).
73
70
Triyono Bramantyo,2004. Hal. viii.
71 Bramantyo, Ibid. hal. 46. Periksa buku Disseminasi Musik Barat Di Timur.
72Bramantyo, Ibid. hal. 46.
73 Misericordia: suatu lembaga amal yang didirikanpada tahun 1498 di Portugal.
di Ternate. Dari Ternate, Xavier
mengunjungi umat Kristen di Moro. Dia menghabiskan waktunya tidak hanya
untuk kegiatan pengajaran agama tetapi juga untuk mengajar anak-anak. Setelah
bertugas di sana hingga April 1547, sebelum meninggalkan Ambon lagi guna
berlayar kembali ke Malaka dan India74
Selama tinggal di Maluku, Xavier (beserta para Jesuit lainnya) menyadari
bahwa apa yang benar-benar dia lakukan untuk menarik umat Kristen pribumi
bukan hanya lewat ajarannya saja tetapi berbagai macam seperti upacara-upacara,
cahaya lilin, musik ritual gereja (Wicki dalam Bramantyo, 2004:47). Dapat kita
pahami bahwa salah satu usaha Xavier dalam menyebarkan ajaran Kristen—selain
ajaran—adalah melalui musik khususnya musik ritual gereja. Salah satu trik jitu
yang dilakukan oleh Xavier adalah memadukan kecintaan musik pribumi dengan
ritual Katolik. Dengan cara seperti ini akan membuat orang Maluku semakin
familiar dengan musik diatonis. Andaya (dalam Bramantyo, 2004:47)
menggambarkan sebuah contoh dengan menyatakan bahwa “daerah terbuka di
Ternate dan di rumah-rumah, para wanita dan anak-anak sepanjang waktu
menyanyi Creed (Syahadat), Bapa Kami (Pater Noster), Salam Maria (Ave
Maria), Pengakuan (Confiteor), dan doa-doa lain, Firman-firman, dan karya-karya
kerahiman”
(Bramantyo, 2004:47).
75
2.11. Musik Diatonis di Minangkabau (Peran Sekolah Belanda)
.
Penyebaran musik diatonis di Minangkabau tidak melalui misi Kristen
seperti halnya di Maluku dan Flores. Belanda berusaha agar hanya mencampuri
lalu lintas perdagangan dan tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan setempat
74
Bramantyo, Ibid. hal. 47. Untuk lebih lengkapnya silakan buka
dan kehidupan sehari-hari orang Asia (Denys Lombart, 2005:95)76
Graves menuliskan, bahwa setelah menaklukkan Sumatera Barat pada
tahun 1837, Belanda membutuhkan penduduk setempat, yang memiliki
keterampilan teknis dasar – membaca, menulis, dan pengetahuan berhitung
secukupnya – untuk mengisi struktur birokrasi pemerintah kolonial yang semakin
luas
. Selanjutnya
Lombard menuliskan, selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka,
orang-orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa
mereka.
77
. Kesempatan-kesempatan tersebut diisi oleh golongan menengah. Golongan
inilah yang yang memberikan tanggapan kreatif terhadap kehadiran kekuatan
kolonial dan peluang-peluang baru yang ditawarkannya untuk memperoleh
kekayaan, prestise, kekuasaan, dan kedudukan. Graves (2007:xii) mengatakan,
bahwa golongan menegah ini sangat menyadari bahwa jalan terbaik untuk maju
adalah terdapat dalam upaya adaptasi mereka dengan pemerintah kolonial78
Dengan pernyataan Graves di atas dapat kita pahami bahwa ada
segolongan orang Minangkabau yang telah memiliki pemikiran bahwa jalan
terbaik untuk maju adalah dengan cara beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan
“Barat” dalam hal ini kekuasaan kolonial Belanda. Ini berarti bahwa mempelajari
bahasa Belanda, membaca, menulis, berhitung, berperilaku beradab, berkesehatan dan
untuk itu mereka harus belajar keterampilan dan teknik-teknik baru yang menjadi
prasyarat masuk lapangan kerja baru.
76Denys Lombard, 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 1 Batas-batas Pembaratan. Hal.
95.
77 Elisabeth E. Graves, 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX /XX. Hal. x.
yang baik, dan – poin berikut ini menjadi bagian penting bagi tulisan penulis –
mempelajari aspek-aspek lain dari gaya hidup dan budaya Eropa. Poin terakhir
yang berupa gaya hidup dan budaya Eropa tentulah di dalamnya juga termuat hal
kesenian yang di dalamnya terdapat musik Barat atau musik diatonis.
Selain untuk kepentingan Belanda dalam urusan perdagangan dan
administrasi, pendirian Nagari School merupakan akses bagi orang muda
Minangkabau untuk mengenal kebudayaan dan musik Barat (diatonis) secara
khusus, karena di Sekolah Nagari musik Barat diperkenalkan, salah satunya,
melalui nyanyian atau pelajaran musik.
Sekolah Normal School/”Sekolah Radja” Bukittinggi (dalam bahasa
Belanda disebut Kweekschool) didirikan lewat dekrit pemerintah pada tanggal 1
April 1856. Kweekschool menyajikan lebih banyak pelajaran dari pada Sekolah
Nagari yang hanya mengajarkan keterampilan dasar membaca, menulis, dan
berhitung. Kurikulum di Sekolah Radja diarahkan pada semua mata pelajaran –
bahasa Belanda, bahasa Melayu, menulis indah, berhitung, geometri, sejarah dan
geografi Hindia Belanda, sejarah Belanda, ilmu alam, survei, menggambar,
keahlian membuat draf, teknik-teknik pertanian, pedagogi (ilmu mendidik),
menyanyi, dan pendidikan jasmani (Graves, 2007:222)79
Sebuah pemikiran yang masih bersifat sangat umum muncul dari kalangan
menengah Minangkabau dalam rangka mencapai kemajuan. Seperti telah
dituliskan di atas, golongan ini sangat yakin bahwa kemajuan pada masa itu hanya
bisa dicapai dengan jalan beradaptasi dengan pemerintah kolonial. Beradaptasi di .
sisni dalam arti menyesuaikan diri di mana orang Minang dari golongan menegah
ini merasa nyaman diperlakukan secara profesional atas keterampilan dan
pengetahuan yang dimilikinya. Penulis berkesimpulan bahwa adaptasi yang
dilakukan oleh orang Minangkabau lebih kepada tuntutan atas kesetaraan hak-hak
hidup, sosial, dan ekonomi.
Jika persoalan adaptasi ini kita tarik ke ranah budaya, sesuai dengan
konsep adaptasi, bahwahal yang menghambat atau mengendala suatu teknologi
yang sederhana ternyata sering ditanggulangi atau malah diubah menjadi peluang
oleh budaya yang memilki sistem lebih maju dalam hal ini kebudayaan Barat
(Eropa).
Salah satu putra Minangkabau yang menyelesaikan studi di
Kweekschooladalah Mohammad Sjafei. Ia adalah seorang tokoh pendidikan
nasional Indonesia yang juga mencintai seni musik. Melalui asuhannya
berkembang pula bakat musik dua anak didiknya di INS Kayu Tanam. Mereka
adalah dua bersaudara Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adam.
2.12. Peran Beberapa Tokoh dalam Memperkenalkan Musik Diatonis Di Minangkabau (Sumatera Barat)
Pada bagian ini penulis memaparkan beberapa orang putra Minangkabau
yang meraih pendidikan musik Barat di Eropa. Kelak mereka berjasa dalam
mendirikan institusi kesenian di Minangkabau. Pendidikan dasar musik mereka
adalah musik Barat. Mereka mengajarkan dan mengembangkan ilmu musiknya
Mohammad Sjafei pernah bercita-cita untuk mendirikan sekolah musik di
Sumatera Tengah. Cita-cita Mohammad Sjafei untuk mendirikan sekolah musik di
Minangkabau akhirnya terwujud melalui generasi setelah dia, yaitu dua
bersaudara Boestanoel dan Irsyad Adam.
Mohammad Sjafei80 adalah salah seorang figur yang pernah mengenyam pendidikan Belanda. Ayahnya Mara Sutan, seorang pendidik, yang banyak berjasa
kepada pendidikan di Indonesia.
Mohammad Sjafei menamatkan Sekolah Guru (Kweekschool) di
Bukittinggi dalam tahun 1914. Ia juga seorang pemain violin yang baik. Setelah
itu ia menjadi guru pada “Sekolah Kartini” di Batavia (sekarang Jakarta) selama
enam tahun.
Atas biaya sendiri, Mohammad Sjafei melanjutkan pelajaran ke Eropa. Ia
mendalami mata-mata pelajaran ekspresi: menggambar, pekerjaan tangan,
dan seni suara
Mohammad Sjafei mendirikan Ruang Pendidikan model baru di Kayu
Tanam pada tahun 1926 sebagai reaksi terhadap pendidikan yang diberikan pada
sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sekolah itu ia beri nama Indische Nederland
School (INS). M Sjafei meninggal di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1969.
. Ia mengunjungi beberapa negara lainnya di Eropa untuk
memperdalam pengetahuannya tentang seluk beluk pendidikan. Ketika pergerakan
kebangsaan memuncak, Mohammad Sjafei memutuskan kembali ke Tanah Air.
Sjafei berpendapat bahwa kemajuan pendidikan adalah hal utama untuk
memperolah kemerdekaan.
80 Tulisan ini penulis kutip dari sebuah buku karangan dra. Emma Zain dan Djaka
Tujuan INS adalah: 1) memberikan pendidikan kepada rakyat yang ingin
merdeka, 2) memberikan pendidikan yang sesuai dengan keperluan masyarakat,
dan 3) memberikan pendidikan kepada pemuda supaya percaya kepada diri sendiri
dan berani bertanggung jawab.
Azas-azas pendidikan yang digunakan oleh Moh. Sjafei adalah: berpikir
logis dan rasional, keaktifan, pendidikan kemasyarakatan, bakat anak-anak harus
mendapat perindahan, dan memberantas intelektualisme.
Mohammad Sjafei telah berusaha mengubah manusia dan masyarakat. Ia
mementingkan bekerja sebagai alat pendidikan yang baik. Sebagian orang
mengatakan: INS lebih condong kepada kesenian yang tidak diperuntukkan bagi
sekalian anak.
Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adamadalah dua bersaudara kandung.
Keduanya adalah putra dari bapak Adam BB. Mereka dilahirkan di
Padangpanjang dan dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi
nialai-nilai Islam. Sebagai orang Minangkabau yang Islami Ayah mereka cukup toleran
dalam memberikan kesempatan mempelajari musik Barat.
Irsyad Adam tak seberuntung uwan-nya (abangnya) karena sejak lahir ia
sudah tidak bisa melihat seperti layaknya orang normal alias tuna netra. Tetapi
Irsyad dikaruniai indera pendengaran yang tajam. Waktu kecil, menurut penuturan
ibu adangRohani Adam (kakak perempuan Irsyad), Irsyad sangat senang
mendengarkan bunyi-bunyian. Bahkan, pada suatu hari Irsyad kecil sengaja
membanting sebuah piring kaleng berulang kali. Ia mendengarkan bunyi piring
Irsyad memang suka menyanyi, bermain harmonika, dan mendengarkan
abangnya, Bustanoel, memainkan violin.
Penulis sengaja datang ke Padangpanjang untuk berjumpa dan
mewawancarai bapak Irsyad Adam. Beliau banyak mengetahui seluk-beluk
kehidupan musik di sumatera Barat sejak pra kemerdekaan sampai sekarang. Daya
ingatnya masih cukup tajam. Beliau masih bisa mengenali suara penulis
walaupaun sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Pak Irsyad baru saja sembuh
dari sakit ketika penulis menjumpainya. Dia terlihat segar untuk ukuran orang
setua dia, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya agak sedikit kurang jelas
karena dulu beliau pernah menderita stroke ringan yang membuat bibirnya sedikit
bergeser ke kiri. Tetapi penulis masih dapat menangkap kata-kata yang ia ucapkan
dalam bahasa Minang.
Tulisan berikut didapatkan dari wawancara dengan bapak Irsyad Adam di
rumahnya, Padangpanjang pada tanggal 01 Juni 2014 sekitar pukul 09.00-10.30.
Penulis ditemani oleh seorang rekan sesama kuliah dulu yang sekaligus
mengoperasikan alat perekam audiovisual.
Irsyad Adam memulai penuturannya dengan cerita tentang belajar musik.
Irsyad, awalnya, belajar musik khususnya violin kepada abangnya, Boestanul
Arifin. Selain belajar kepada abangnya, Irsyad juga belajar kepada guru dari
abangnya itu, yaitu bapak M Yunus Keucik, seorang Aceh yang beristeri dengan
orang Payakumbuh dan tinggal di Padangpanjang. Irsyad mengatakan bahwa
bapak M Yunus Keucik dulunya adalah murid dari bapak Khatib Sulaiman,
M Nur. Menurut Irsyad dia pertama kali belajar memainkan klasik dari Lis
Wakidi, kakak dari Dirwan Wakidi.
Pada tahun 1942 Irsyad Adam menempuh pendidikan di INS Kayu Tanam
sebagai murid non formal. Setiap pagi selapas salat subuh ia barsama Boestanul
berangkat ke Kayu Tanam dengan kereta api. Tetapi sejak adanya kecelakaan
kereta api di Silaiang mereka takut naik kereta api dan beralih menggunakan
padati81
Selama menjadi murid di INS, Irsyad sering mengadakan pertunjukan
musik bersama murid-murid lainnya. Pada waktu itu INS sering di datangi tamu
dari luar negeri khususnya anggota Komisi Tiga Negara. Komisi Tiga Negara
terdiri dari Indonesia, Mesir dan India. Mesir dan India adalah dua negara yang
pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Irsyad menuturkan
bahwa musik yang disuguhkan kepada tamu-tamu asing yang berkunjung ke INS . Kebetulan kejadian itu sudah di akhir-akhir masa studinya di INS.
Berangkat subuh dan sore harinya kembali ke Padangpanjang. Irsyad belajar di
INS selama tiga setengah tahun.
Sekitar tahun 1947 beberapa orang mendirikan sebuah orkestra di
Padangpanjang. Pada waktu itu Ibu Kota Negara Republik Indonesia berada di
Bukittinggi tetapi kegiatan-kegiatan kesenian dan kebudayaan dipusatkan di
Padangpanjang. Irsyad adalah anggota orkes termuda waktu itu. Ia sering di daulat
sebagai solis di orkestra tersebut. Pada waktu itu menteri Pendidikan untuk
wilayah Sumatera di jabat oleh Mohammad Sjafei, tokoh pendiri INS Kayu
Tanam.
81 Kendaraan tradisional berbentuk gerobak yang ditarik oleh seekor lembu atau bisa juga
bukanlah musik tradisional Minangkabau tetapi musik Barat. Mengapa
menyambut tamu asing dengan musik barat? Irsyad menjawab, waktu itu dunia
internasional masih menganggap Indonesia sebagai sebuah negeri primitif dan
Belanda menyatakan di PBB bahwa Indonesia belum pantas untuk merdeka.
Maka, dengan pendidikan dan musik Barat kita menyatakan bahwa kita layak
sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Pendidikan dan kesenian
merupakan peluru yang lebih ampuh dari pada peluru senapan, ujar pak Irsyad.
Dengan melihat secara langsung aktifitas pelajar Indonesia di INS Kayu
Tanam, pahamlah para tamu-tamu asing tersebut. Pernyataan Belanda di PBB
berbeda dengan kenyataan yang mereka lihat. Ternyata anak-anak Indonesia
sudah maju bahkan bisa memainkan musik Barat. Mereka mamainkan musik
klasik dan beberapa karya WR Soepratman. Walaupun orkestra belum terlalu rapi
secarat teknis, tetapi mereka sudah memulai memainkan musik diatonis sebagai
sebuah wujud usaha dalam memperjuangkan persamaan hak sebagai masyarakat
dunia yang beradab.
Di Bukittinggi, pada tahun 1947 terdapat orkes simfoni negara.
Anggotanya terdiri dari tentara pengungsi dari Medan dan Siantar yang kemudian
bergabung dengan musisi di Bukittinggi. Konduktornya waktu itu bernama
Khalid. Orkestra inilah yang sering digunakan untuk menyambut dan menghibur
tamu-tamu negara di Bukittinggi. Orkes di Padangpanjang tetap ada, tetapi lebih
kepada orkestra gesek.
Pada tahun 1947 Presiden Soekarno berkedudukan di Yogyakarta dan
memiliki pelabuhan kapal terbang sebagai peninggalan Jepang tepatnya di Gadut.
Melalui pelabuhan kapal terbang Gadut inilah seorang menteri (menteri baja)
utusan dari Jawaharlal Nehru (perdana menteri India kala itu) masuk ke
Bukittinggi. Hatta mengajak utusan itu menyaksikan orkestra di Padangpanjang
tepatnya di gedung Ruang Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Gedung
Mohammad Sjafei). Irsyad Adam, waktu itu adalah pemain yang paling muda
dalam kelompok orkestra tersebut. Irsyad juga menyebutkan nama Dirwan Wakidi
sebagai salah seorang pemain dalam orkestra tersebut. Pada momen inilah ‘Pak
Nait’ (demikian bunyi sebuah nama yang terucap dari mulut pak Irsyad), utusan
Jawaharlal Nehru itu menyaksikan permainan violin Irsyad. Utusan itu merasa
tertarik dengan permainan violin Irsyad muda yang berbakat. ‘Pak Nait’
mengungkapkan kenginannya kepada pak Hatta untuk menyekolahkan Irsyad ke
luar negeri. Pak Hatta seketika itu juga merestui tawaran dari utusan Nehru
tersebut. Bagaimana dengan orang tuanya? Tanpa persetujuan dari ayah Irsyad
pak Hatta waktu itu langsung mengatakan, “Orang tuanya setuju, saya mau
mengurusi, bertanggung jawab”, kata pak Hatta. Pak Irsyad menceritakan ini
sembari tertawa mengenang masa lalunya. Selanjutnya pak Hatta memberikan
syarat kepada ‘Pak Nait’, bahwa anak ini tentunya tidak bisa berangkat sendirian
karena keterbatasannya. Akhirnya diputuskan untuk menyekolahkan kedua
bersaudara Irsyad dan Boestanul Arifin.
Pada 1947 itu juga terjadi Agresi Militer I Belanda. Perhubungan
komunikasi terputus. Irsyad dan Boestanoel tertunda berangkat ke luar negeri.
dinyatakan tenang. Setelah itu meletus lagi agresi Militer II Belanda pada tahun
1948. ‘Pak Nait’ kerap ke Indonesia mengantarkan bantuan dan obat-obatan dari
India untuk Indonesia. pada tahun 1950 ‘Pat Nait’ datang ke Jakarta
mengantarkan bantuan pesawat terbang untuk Indonesia, yaitu pesawat Dakota.
Pada saat itu ia teringat kepada dua orang anak muda yang pernah dijanjikannya
untuk bersekolah di luar negeri. Ia bertanya kepada wartawan tentang kedua anak
itu, apakah keduanya masih hidup? Sebab, situasi beberapa tahun terakhir sangat
buruk. Ia ingin menepati janjinya, ujar pak Irsyad. Akhirnya Irsyad mengetahui
berita ini dari surat kabar Haluan bahwa seseorang yang dulu pernah menjanjikan
untuk menyekolahkannya tidak melupakan janji itu.
Bustanoel mengirim telegram ke pak Hatta menanyakan kepastian
keberangkatan mereka. Pak Hatta langsung menanyakan ke India. Ternyata,
Indonesia pun tak ingin lepas tangan yaitu dengan cara memberi izin dan biaya
belajar untuk dua tahun kepada Irsyad dan Boestanoel. ‘Pak Nait’ menyanggupi,
yang penting dia ingin memenuhi janjinya kepada dua pemuda ini. Dengan
demikian berangkatlah Irsyad dan Boestanoel ke India. Selama dua bulan di India,
lalu keduanya berangkat ke Belgia.
Di Jakarta pada tahun 1951, sebelum berangkat ke India, keduanya
berkenalan dengan seorang Melayu Riau yang juga seorang profesor di bidang
biola (violin), namanya Tengku Syarif Abu Bakar. Ia satu-satunya tamatan Eropa
waktu itu. Ketika penulis menanyakan, siapa saja keturunan dari Tengku Syarif
Abu Bakar itu? Pak Irsyad mengatakan, bahwa Tengku Syarif Abu Bakar itu
Tengku Syarif Abu Bakar banyak memberikan masukan kepada Irsyad dan
Boestanoel tentang sekolah-sekolah musik di Eropa. Tengku menyarankan kepada
mereka berdua untuk memilih sekolah musik di Belgia. Menurut Tengku, di
Belgia-lah waktu itu sekolah musik, untuk violin, yang paling bagus.
Ada sedikit cerita menggelikan dari perjalanan Irsyad dan Boestanoel
menuju Eropa. Karena kendala bahasa, keduanya mempersiapkan serba sedikit
bahasa Inggris dan Jerman. Waktu sebelum berangkat itu, mereka belum tahu
akan bersekolah di negara mana. Waktu itulah muncul usulan dari seseorang di
pemerintahan untuk memilih Mesir sebagai negara tujuan belajar. Pada waktu itu,
keduanya mengiakan saja usulan itu. Akhirnya cerita ini sampai juga ke pak
Hatta. Keduanya berjumpa denga pak Hatta. Beliau menyakan, dalam bahasa
Minang, “Lah bara lamonyo waang di Jakarta?” (sudah berapa lama kalian
tinggal di Jakarta?). Boestanoel menjawab, bahwa mereka sudah sekitar tiga bulan
berada di Jakarta. Mengapa lama sekali kalian di Jakarta? Boestanoel menjawab,
karena berurusan dengan pemerintahan. “Kan ndakpitih urang gaeknyo nan
dipagunoan, doh”, kata Hatta membela mereka, karena sudah lama sekali
keberangkatan mereka tertunda gara-gara birokrasi pemerintahan. Hatta bertanya
dalam bahasa Minang, “Kama waang ka dikirimnyo?”. “KaMesir, pak,” jawab
Boestanoel. “Ka Mesir?,” Hatta kaget bercampur marah. “Dari pado ka Mesir,
rancak jo den sae waang baraja. Kini ang den aja bisuak pulang lai ”.
Ha..ha..ha..,Pak Irsyad tertawa terbahak-bahak mengenang cerita itu. Penulispun
jadi ikut tertawa mendengar kisah lucu mereka dengan seorang tokoh proklamasi
Hatta menanyakan kapan mereka akan berangkat. Mereka menjawab
tanggal 26. “Surat-surat kalian sudah lengkap?” “Belum, pak”, jawab mereka.
“Baa kok pandai-pandai sajo kalian?”, bentak pak Hatta. “Kami sudah tidak
tahan lagi di sini (Jakarta, penulis), pak”, jawab Boestanoel. Akhirnya, dengan
bantuan pak Hatta, surat-surat untuk keberangkatan mereka ke luar negeri (India)
keluar hari itu juga. Hatta membekali mereka dengan surat untuk pak Soedarsono
duta besar RI untuk India pada waktu itu (1951).
Di India mereka berjumpa dengán ‘Pak Nait’. Mereka berada di India
selama dua bulan. Setelah itu Boestanoel dan Irsyad berangkat ke Belgia. Sebelum
masuk sekolah musik, Irsyad terlebih dahulu masuk sekolah khusus tuna netra
untuk mempelajari huruf Braile di Belgia. Di sekoalah itu ada pelajaran praktek
musiknya dengan persentase 75% dan vak umum 25%. Irsyad dibimbing oleh
seorang guru violin bernama Normans. Dua tahun belajar di sekolah khusus ini,
Irsyad mendaftar ke konservatori di Brussel, Konservatori Kerajaan Belgia. Ia
mengikuti tes dan dinyatakan lulus. Sekitar dua tahun belajar di konservatori, ia
mengikuti concour (semacam lomba dalam ujian) dan berhasil meraih peringkat
terbaik kedua. Pada kesempatan concour yang kedua kali Irsyad berhasil
mendapat peringkat pertama. Concour ini diikuti oleh semua siswa tanpa ada
pembedaan yang berhubungan dengan keterbatasan fisik. Salah satu nomor yang
pernah dimainkan Irsyad dalam concour adalah Simphonie Espagnole karya
Edouard Lalo seorang komposer Perancis. Sedangkan, Boestanoel masuk ke
Brussel. Setelah kira-kira lima tahun di Belgia Irsyad dan Boestanoel pulang ke
Indonesia pada tahun 1956.
Tahun 1951 berdiri Sekolah Musik Indonesia (SMIND) di Yogyakarta.
Ketika mereka pulang ke Indonesia, waktu itu SMIND dipimpin oleh Amir
Pasaribu. Mereka ditempatkan di Yogyakarta tetapi belum langsung mendapat
tugas. Sebenarnya, kata pak Irsyad, Mohammad Sjafei pun berencana mendirikan
sekolah musik di Sumatera Tengah. Kata pak Irsyad lagi, belum terpikirkan
waktu itu untuk mendirikan sekolah yang berhubungan dengan karawitan
Minangkabau, tetapi yang penting adalah sekolah musik. Tetapi pada waktu itu
meletus pemberontakan PRRI sehingga rencana sekolah musik itu gagal
dilaksanakan. Piano-piano dari pemerintah pusat yang sedianya diperuntukkan
untuk sekolah musik tersebut akhirnya dibagi-bagikan ke SPG (sekolah
Pendidikan Guru).
Sekolah Musik di Yogyakarta belum sepenuhnya bisa menerima pak
Irsyad sebagai guru karena kondisi ketunanetraannya. Akhirnya pak Irsyad
ditempatkan di sekolah tuna netra Departemen Sosial Yogyakarta dengan status
masih pegawai honor. Waktu itu beliau diberi tugas mengajar notasi Braile.
Sedangkan pak Boestanoel di tempatkan di Jakarta.
Seorang wartawan mewawancarai pak Irsyad untuk sebuah surat kabar.
Berita itu sampai ke Nicolai Varvolomeyef, salah satu pelopor berdirinya SMIND
Yogyakarta. Irsyad diminta untuk menghadiri wawancara di SMIND. Atas
rekomendasi Nicolai Varvolomeyef Irsyad diberi kesempatan mengajar di
Hasan. Di SMIND Irsyad mengajar selama dua tahun. Setelah itu SK-nya keluar
untuk penempatan tugas di Jakarta. Irsyad mengajar di Yayasan Pendidikan Musik
Jakarta selama tiga tahun. Kala itu ketua yayasan YPM adalah Ny. Slamet
Soedibyo dan kepala sekolahnya adalah Wie Chong Lie, tamatan sekolah musik di
Paris. Salah seorang guru biola di YPM sebagai rekan sesama mengajar waktu itu
adalah Adi Darma (Lie Eng Liong), tamatan sekolah musik Belanda.
Ketika ditanyakan siapa muridnya yang terbaik ketika beliau mengajar di
Yoryakarta, pak Irsyad menyebutkan nama Sudomo dan Ati Bagyo. Keduanya
sudah meninggal dunia.
Tahun 1967 Bustanoel dan Irsyad kembali ke Padangpanjang.
Sebelumnya, tahun 1965, di Padangpanjang telah berdiri KOKAR A dan KOKAR
B. KOKAR A beralih menjadi SMKI (sekarang SMK) dan KOKAR B menjadi
ASKI (sekarang ISI Padangpanjang). Di samping musik karawitan Minangkabau,
pada kedua KOKAR ini dipelajari juga teori musik Barat. Di KOKAR B
dipelajari juga Ilmu Bentuk dan Analisa Musik.
ASKI berdiri pada tahun 1967 dengan satu jurusan yaitu Jurusan
Minangkabau. Ketua ASKI waktu itu adalah pak Boestanoel Arifin Adam. Dalam
rapat pimpinan ASKI di Jakarta, dicanangkan akan dibuka jurusan Karawitan dan
Pedalangan. Pak Boestanoel menyampaikan dalam rapat tersebut bahwa Jurusan
Karawitan saja belum jelas perkembangannya konon lagi jurusan Pedalangan.
Kemudian pak Boestanoel mengusulkan agar dibuka Jurusan Musik, yang
sebenarnya sudah sejak tahun 1950-an di idam-idamkan oleh orang Minangkabau.