• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN WHISTLEBLOWER DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

1. Sejarah Korupsi di Indonesia

Tidak bisa dipastikan bermulanya korupsi di Indonesia sejak kapan, akan tetapi munculnya korupsi di Indonesia memberi pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat dan menjadi suatu gejala masyarakat yang menular dengan begitu lancar dan cepat kepada masyarakat lain. Perkembangan ini kemudian membuat suatu penyakit di masyarakat, sebagaimana penyakit di tubuh manusia begitu juga korupsi kemudian menjadi penyakit yang mudah menular kemana-mana.

Pada umumnya permasalahan korupsi terdapat hampir di semua negara di dunia, yang pada dasarnya mempunyai maksud yang sama yaitu mengandung arti yang kurang baik dan merugikan keuangan negara serta masyarakat.46 Indonesia juga mengalami masalah yang sama dan menjadi sangat meluas akibat kurangnya kontrol sosial dan hukum dalam mencegahnya.

Hal ini sebenarnya sudah dimulai sejak masa sebelum kedatangan penjajah Belanda di Indonesia, yaitu zaman kerajaan-kerajaan yang memerintah di Indonesia. Dimana pada masa ini raja-raja dahulu sudah terjadi kasus korupsi hanya saja bentuknya tidak sama dengan korupsi dinegara modern. Kemudian pada masa penjajahan Belanda masuk ke Indonesia, pengaruh kekuasaan Belanda

46

di Indonesia begitu rentan dan memberi pengaruh yang sangat sulit dikontrol karena tidak ada kontrol politik dari legislatif. Korupsi pada masa ini semakin berkembang dan semakin sulit diatasi. Kemudian semakin berkembang pada masa orde lama, orde baru dan sampai sekarang.

Ditinjau dari sejarah perundang-undangan pidana korupsi, bagaimanapun juga perlu dilihat jauh kebelakang yaitu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi hukum pidana yang berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi yang berlaku sejak 1 januari 1918.47 Di masa ini, bentuk-bentuk korupsi yang terjadi masih sangat sederhana, seperti terlihat dalam pasal-pasal KUHP.48

Istilah korupsi kemudian hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Tapi kehadiran korupsi di Indonesia itu sudah ada sejak masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dimana kemudian undang-undang ini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya sejak tanggal 16 Agustus 1999 undang-undang ini digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31

47 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Rajagrafindo Persada , Jakarta, 2005, hal. 33

48

Dalam Pasal 415, Pasal 416, Pasal 418, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 dapat kita lihat bentuk korupsi yang dirumuskan yaitu suap atau memaksa seseorang memberikan sesuatu oleh pejabat/pegawai negeri.

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan akan berlaku efektif 2 tahun kemudian yaitu pada tanggal 16 Agustus 2001 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001. Peraturan-peraturan ini lahir sesuai dengan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia juga dikenal pada beberapa masa, seperti pada masa era orde lama,49 orde baru dan era reformasi sampai sekarang.50

Perkembangan korupsi yang semakin pesat menuntut juga adanya permbaharuan hukum yang jauh lebih maju dan lebih bisa mengendalikan setiap perbuatan-perbuatan korupsi tersebut. Sejak tahun 1997 Negara Republik Indonesia mengalami krisis ekonomi yang disusul dengan krisis moneter. Kemudian disadari bahwa Negara republik Indonesia mengalami krisis multidemnsi sebagaimana dimuat dalam pertimbangan Ketetapan MPR (TAP)

49

Pada era orde lama, dibawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi. Yang pertaman adalah Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh Prof. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu tugas PARAN saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan, istilah sekarang mungkin daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN akan tetapi langsung kepada presiden. Usaha PARAN akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas PARAN akhirnya diserahkan kembali pemerintah (Kabinet Juanda).PARAN ini kemudian diganti menjadi Operasi Budhi melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, dimana tugasnya menjadi lebih berat, yaitu membawa dan meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Kemudian PARAN dibubarkan dan diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR), namun tidak berkembang pesat. Lihat pada http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini Diakses pada Tanggal 28 Maret 2016.

50

Pada era orde baru, Soeharto selaku Presiden dalam pidato kenegaraannya menyatakan ingin membasmi korupsi sampai keakar-akarnya, dimana niat ini diwujudkannya dengan

membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Namun keberadaan komite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannyatentang dugaan korupsi tidak berhasil. Pada era reformasi

dibahwah kepemimpinan BJ Habibie, ia membentuk badan atau lembaga baru seperti KPKPN, KPPU atu Ombudsman. Kemudian peda masa kepemiminan Abdurraahman Wahid terbentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dan yang terakhir adalah lembaga KPK. Lihat pada http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini Diakses pada Tanggal 28 Maret 2016.

MPR Nomor IV/MPR.1999. Krisis mencakup antara lain krisis krisis hukum, krisis integritas bangsa, krisis mental termasuk krisis kejujuran. Gerakan reformasi yang menumbangkan pemerintah Soeharto (orde baru) menuntut, antara lain ditegakkan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.51

Saat ini yang terjadi adalah korupsi menjadi satu hal yang berkembang semakin canggih. Perbuatan korupsi bukan makin surut dan berkurang, akan tetapi semakin marak dan canggih serta menyebar kesegala lapisan penyelenggara negara mulai dari kalangan elit sampai kepada pegawai terendah. Sesuatu yang baru yang dahulu cukup langka yaitu korupsi selain dulakukan oleh eksekutif dan yudikatif, sekarang sudah merambat ke pihak legislatif dengan parpolnya dan auditif, sehingga menjadi konprehensif dan sempurna kejahatan korupsi di Indonesia.52

Sampai sekarang, perbuatan korupsi sudah begitu meratanya di negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dan akibat yang bisa dilihat bersama saat ini adalah begitu sulitnya bernegara dalam rangka menyejahterakan masyarakat rakyat banyak betul-betul menjadi semakin keropos dan hanya tinggal tulang belulang yang sudah sangat rapuh. Kehidupan masyarakat kebanyakan semakin sulit dan kualitasnya menurun. Orang miskin betul menjadi berkurang, tetapi dilain pihak orang sengsara semakin bertambah. Komisaris dan Dewan Direksi Badan Usaha Milik Negara berlomba-lomba menaikkan gaji dan fasilitasnya dengan dalih peningkatan kinerja. Hampir semua elit birokrat di pemerintah memikirkan kesejahteraan dirinya sendiri dengan beberapa teknik canggih baik

51

Laden Marpaung, Op.cit, hal. 11 52

secara legal yang illegal maupun illegal untuk menaikkan penghasilannya. Tidak ketinggalan wakil-wakil yang terhormat diparlemen berlomba-lomba untuk memperjuangkan menaikkan penghasilannya, yang pendapatannya 40 jutaan rupiah tidak puas dan tidak risih untuk menuntut menjadi 80 jutaan.53

Melihat kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia yang masih sangat timpang, maka perlunya menyelesaikan masalah korupsi ini dengan segera. Hukum dan masyarakat harus bekerja sama dengan baik, dimana hukum harus mampu memberikan kepastian dan memahami setiap bentuk kejahatan korupsi serta mengikuti perkembangannya sehingga secanggih dan sehebat apapun usaha korupsi bisa ditindak dan diberantas. Sedangkan masyarakat juga harus mengambil peran penting dalam mengkawal undang-undang serta para penegak hukum dalam mengerjakan bagiannya. Selain itu, pendidikan moral juga perlu ditinggkatkan, melihat kemajuan dan perkembangan korupsi dari zaman sebelum Indonesia merdeka dan sampai sekarang yang semakin canggih.

2. Perkembangan Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Upaya demi upaya dilakukan pemerintah untuk memberantas tindak pidana Korupsi di Indonesia. Salah satunya dengan melahirkan hukum positif dan ternyata upaya itu telah dilakukan sejak berlakunya Wetboek van Strafrecht (KUHP) khususnya Pada Bab XXVIII delik-delik yang dilakukan oleh pejabat. Namun sepertinya, pasal-pasal dalam KUHP tersebut tidak berdaya untuk memberantas Korupsi pada masa itu. Upaya demi uapaya terus berkembang dan

53

sampai sekarang upaya terus dikembangkan bagaimana agar masalah ini bisa diatasi dan diberantas dinegara Indonesia. Tapi hasil dari upaya yang dilakukan sampai sekarang bukannya menjawab tetapi korupsi semakin merajalela saja di Indonesia.

Perkembangan pengaturan perundang-undangan pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan proses pembaharuan hukum pidana pada umumnya. Sementara perkembangan dan proses pembaharuan hukum pidana itu sendiri, erat pula kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia, terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi saat ini. Dalam hubungan itu dikehendaki, agar hukum pidana peka dan responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.54 Lahirnya produk-produk hukum dan dilakukannya pembaharuan hukum yang dilakukan menunjukkan bahwa ternya korupsi itu berkembang sangat pesat. Bentuk-bentuknya juga semakin banyak dan canggih, kalau dahulu bentuk korupsi itu masih sangat sederhana, sekarang perkembangan itu hampir diseluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia terjadi korupsi.

Beberapa pengaturan dan dasar hukum masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah begitu banyak, berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pemberantasan korupsi:55

a. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

54

Elwi Danil, Op.cit, hal. 17 55

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) khusus berlaku untuk kasus-kasus lama sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;

f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain landasan hukum tersebut, sebenarnya sudah banyak peraturan-peraturan yang muncul sebelumnya, berikut juga dibahas satu persatu.

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Sebenarnya dalam KUHP tidak ditemui adanya penggunaan terminologi korupsi secara tegas dalam rumusan delik, namun terdapat beberapa ketentuan yang dapat ditangkap dan dipahami esensinyha sebagai rumusan tindak pidana korupsi. Artinya, didalam KUHP terdapat pasal-pasal tertentu, yang secara substansial didalamnya terkandung pengertian korupsi. Ketentuan-ketentuan KUHP tersebut, dalam pengertian sempit sebenarnya sudah cukup mampu menampung dan mewadahi berbagai bentuk perilaku menyimpang yang didalam

kepustakaan dipahami sebagai korupsi. Misalnya kejahatan dalam jabatan, kejahatan penyuapan, penggelapan dan sebagainya, yang dalam perspektif perundang-undangan pidana kemudian diambil alih pengaturannya, dan dikualifikasikan sebagai jenis tindak pidana korupsi.56

Delik korupsi yang merupakan delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti Pasal 209 dan 210 (orang yang menyup pegawai negeri atau lazim disebut

actieve omkopling), berada dalam bab yang lain, tetapi juga dalam Buku II KUHP

(tentang Kejahatan).57 Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.

Ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana korupsi dalam KUHP ditemui pengaturannya secara terpisah dibeberapa pasal pada tiga bab, yaitu:58

1) Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni pasal 209, 210 KUHP;

2) Bab XXI tentang perbuatan curang, yakni pada pasal 387 dan 388 KUHP; 3) Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan, yakni pada Pasal 415, 416, 417,

418, 419, 420, 423, 425, dan pasal 435.

Rumusan tentang tindak pidanan korupsi dalam KUHP ini dapat dikelompokkan kedalam menjadi empat kelompok delik, yaitu:

56 Elwi Danil, Op. cit, hal. 26 57

Ibid, hal. 38 58

1) Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP;

2) Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri Pasal 415, 416, dan Pasal 417 KUHP;

3) Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion); yang terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP;

4) Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan; yangterdiri dari Pasal 387, 388 dan 435 KUHP.

Adakalanya perbuatan korupsi itu bersifat pasif dan adakalanya bersifat aktif.59 Rumusan korupsi yang bersifat pasif dapat dilihat dalam Pasal 419 KUHP yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pejabat; (1) Yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui, bahwa itu diberikan untuk menggerakkan dia supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; (2) Yang menerima hadiah, padahal diketahui bahwa itu diberikan sebagai akubat atau oleh karena dia telah melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Sedangkan rumusan dalam KUHP untuk korupsi yang bersifat aktif dilihat dalam Pasal 418 KUHP yang berbunyi: “Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan sepatutnya harus diduga, bahwa itu diberikan, karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadia atau janji-janji itu ada hubungannya dengan jabatannya,…”

59

KUHP telah merumuskan bagaimana upaya dalam menangani beberapa masalah korupsi. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, bentuk korupsi yang awalnya dirumuskan dengan masih sangat sederhana tersebut kemudian semakin berkembang bentuk-bentuknya dan perlu diatur kembali. Kemudian hal yang pelu dilakukan adalah bagaimana menanganinya, dan hal itu terlihat dengan munculnya peraturan-peraturan baru untuk memberantas kasus-kasus korupsi yang semakin berkembang tersebut.

b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut)

Pada Tahun 1958 dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Peperpu/C 13/1958. Peraturan ini merupakan peraturan khusus yang dicanangkan oleh Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yaitu Jenderal A.H. Nasution untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia dimana gejalanya sudah tampak pada tahun 1958. Peraturan ini berlaku mulai tanggal 16 April 1958 dan kemudian diikuti lahirnya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Z.1./1/7 tanggal 17 April 1958.60

Menurut S.M. Amin dalam bukunya “Hukum dan Keadilan”, menyatakan bahwa perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan

60

Salah satu pertimbangan ditetapkannya peraturan tersebut adalah bahwa: “Berhubung

tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan korupsi perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas

yang merugikan kekayaan perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan. Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang dinamakan masyarakat korupsi. Dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan kurang efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUHP.61

Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi . kemudian atas dasar itulah, pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staff Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan Nomor Prt/PM-06/1957. Pada bagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan.62 Hal yang terpenting yang perlu disoroti bahwa istilah korupsi pertama kali dipergunakan dalam peraturan ini sebagai istilah hukum. Dan kemudian memberikan pengertian seperti termuat dalam konsideran peraturan ini

61 Elwi danil, Op.cit, hal. 28 62

Konsideran Peraturan Penguasa militer itu pada bagian menimbang, menegaskan bahwa dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untukdapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.

bahwa “korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan nagara dan perekonomian negara”.

Peraturan penguasa militer ini kemudian dirasa belum cukup efektif dalam menangani masalah korupsi, sehingga kemudian perlu dilengkapi dengan peraturan lain tentang penilikan harta benda. Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara pada usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini, penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau benda dalam daerahnya, yang kekayaannnya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.63 Jika dalam proses penilikan tersebut ditemukan adanya harta benda yang mencurigakan asal-usulnya, dimana apabila asal mulanya diperoleh dengan cara melakukan tindak pidana, maka penguasa memandang perlu melakukan penyitaan. Tapi yang menjadi masalah berikutnya adalah dalam melakukan penyitaan belum ada dasar hukum yang mendasari perbuatan penyitaan tersebut, sehingga kemudian dibentuklah Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM 011/1957.

Kemudian, disamping berlakunya ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut, memunculkan lahirnya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958. Hal itu mengakibatkan ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang

63

Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penubtutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda.64

Kemudian yang menjadi fokus dari peraturan ini ialah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan/atau kelonggaran-kelonggaran lain dari masyarakat. Hal ini terjadi karna masa pembentukan peraturan ini (1957-1958) adalah masa ramai pengambilalihan dan pengurusan perusahaan-perusahaan milik Belanda menjadi Perusahaan Negara. Selain diberlakukan di Angkatan Darat, kemudianperaturan tersebut pun diberlakukan di wilayah hukum Angkatan Laut dengan surat keputusan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Z/1/1/7, tanggal 17 April 1958.65

Dalam peraturan ini dibedakan antara perbuatan korupsi pidana dengan pebuatan korupsi lainnya. Adapun yang dimaksud perbuatan korupsi pidana adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Tahun 1958, yaitu:66

a) Perbuatan seseorang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan ynag secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang

64

Dalam konsideran peraturan ini, khusunya pada butir a, dikatakan sebagai beriku: “bahwa

untuk perkara-perkara pidana yang menggunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya, bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan sipembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusustan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang

disebut korupsi.” Dengan dasar pertimbangan ini dapat kita lihat bahwa masih adanya bentuk dan

usaha serta upaya hukum untuk menambah peraturan dan mencoba memperbaiki agar lebih efektif

lagi dalam memberantas korupsi. 65

Andi Hamzah, Op.cit, hal. 43 66

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat; b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan

atau pelanggaran, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;

c) Kejahatan-kejahatan tercantm dalam Pasal 41 sampai Pasal 50 Peraturan Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya dirumuskan dalam Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Tahun 1958, yaitu:67

a) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau atau orang lain atau suatu badan ynag secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat; b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan

melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan. Selain pengertian korupsi, dalam peraturan ini juga dibahas tentang

Dokumen terkait