DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdulsalam & DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007.
Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Jakarta, 2008.
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010.
Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil: Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur, 2005.
Danil, Elwi, Korupsi (Konsep,Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), PT Raja Grafindo, Jakarta, 2014.
Dempster, Quentin, Whistleblowers, Sidney, ABC Books for the Australian Broadcasting Corporation, 2001. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Elsam, Para Pengungkap Fakta, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2006.
Dina, Zenitha, Mengenal Perlindungan Saksi Di Jerman, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2006.
Ghufron, Nurul, Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Radja, Surabaya, 2014.
Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, PT Rajagrafindo Persada , Jakarta, 2005.
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik,
dan Masalahnya), PT Alumni, Bandung, 2007
Mulyadi, Lilik, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice
Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, PT
Alumni, Bandung, 2015.
Mulyadi, Mahmud, Kepolisisan Dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2009.
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, 2008.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik
Korupsi (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), CV Mandar Maju,
Bandung, 2009.
Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media , Depok, 2008.
Santoso, Ibnu, Memburu Tikus-Tikus Otonom (Gerakan Moral Pemberantasan
Korupsi), Gava Media, Yogyakarta, 2010.
Semendawai, Abdul Haris, et.al, Memahami Whistleblower, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korba, Jakarta, 2011.
Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta , Jakarta, 2003.
Sunarso, Siswanto, Victimologo Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Surachmin & Cahaya, Suhandi, Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui Undtuk
Mencegah), Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620)
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice
Collaborator)
Kitab Undang-Undang Hukum Pudana (KUHAP)
KAMUS HUKUM:
TESIS, SKRIPSI, JURNAL DAN ARTIKEL ILMIAH:
Aditya Wisnu Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan
Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana Denpasar, 2015.
Bahri Yamin, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dalam Tindak
Pidana Korupsi, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Mataram , 2013.
Junimart Girsang, Seminar yang diselenggarakan oleh LPSK “Sinergitas Penanganan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Pengungkapan
Tindak Pidana” di Hotel Grand Aston Medan Sumatera Utara, Rabu 16
Maret 2016.
Mustofa, “Peran Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif Ilmia, Terhadap Hak,Peran dan Kedudukan Pengungkap
Tindak Pidana Korupsi)”, Artikel Penelitian Hukum, 5 Januari 2015.
Rani A, Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower)
Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Tesis, Pasca Sarjana Program Magister
Universitas Sumatera Utara, 2012.
Suradi Widyaiswara Madya, “Pro Kontra Peniup Peluit”, Artikel dari Balai Diklat Keuangan Palembang, Sumatera Selatan.
Teguh Soedarsono, “Forum Sosialisasi LPSK (Perlindungan Korban dan Saksi
Meretaskan Kebenaran dan Keadilan dalam Proses Peradilan Pidana)”, Medan, Seminar, 10 Maret 2016
INTERNET
https://yserrey.wordpress.com/2011/02/10/kasus-skandal-akuntansi-pada-worldcom/ Diakses pada Tanggal 13 Februari 2016.
http://acch.kpk.go.id/statistik Diakses Pada Tanggal 25 Februari 2016.
http://nasional.tempo.co/read/news/2016/01/27/063739957/ini-daftar-peringkat-korupsi-dunia-indonesia-urutan-berapa Diakses pada Tanggal 1 Maret
2016.
https://hafikahadiyanti.wordpress.com/2013/09/10/sejarah-kasus-enron/. Diakses
pada tanggal 10 Maret 2016.
http://economy.okezone.com/read/2012/10/25/320/709283/saksi-dan-korban-kejahatan-kini-terlindungi dikase tanggal 20 Maret 2016.
https://m.tempo.co/read/news/2013/06/22/116490429/edward-snowden-whistle-blower-atau-pengkhianat Diakses pada Tanggal 20 Maret 2016.
http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini Diakses pada
Tanggal 28 Maret 2016.
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/168-artikel-pengembangan-sdm/10977-peran-peniup-peluit-dalam-pemberantasan-korupsi Diakses
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI
INDONESIA
A. Pengaturan mengenai Whistleblower dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Imam Thurmudi berpendapat bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai
Whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri, mendengar
sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran, sehingga
dengan itikad baik mengungkapkan kepada publik atau melaporkan kepada
pejabat yang berwenang.111 Jadi seorang Whistleblower memiliki hak yang sama
seperti yang diatur dalam KUHAP, bahwa Whistleblower adalah saksi seperti apa
yang dimaksud dalam KUHAP. Jadi Whistleblower juga merupakan salah satu
alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana di Indonesia.
Dalam bab sebelumnya sudah dipaparkan beberapa negara yang mengatur
masalah Whistleblower dan hal tersebut dimuat dalam undang-undang tersendiri.
Seperti di negara Amerika Serikat, Afrika Selatan, Jerman, Albania, Hong Kong,
Italia, Kolumbia, Belanda, Kanada, Australia, dan Inggis, semua negara ini
memiliki aturan khusus terhadap Whistleblower yang diatur dalam
undang-undang. Namun berbeda halnya dengan Indonesia, sampai saat ini belum ada
undang-undang khusus yang mengatur tentang Whistleblower secara khusus.
111
Namun ada beberapa aturan yang mengatur selintas saja mengenai Whistleblower
tersebut.
Perlindungan hukum dan segala aspeknya merupakan hak korban dan
saksi, dan itu juga merupakan hak seorang Whistleblower. Dan itu merupakan Hak
Asasi Manusia seorang Whistleblower yang harus dijunjung tinggi oleh setiap
orang. Jadi hal inilah menjadi urgensi pentingnya perlindungan tersebut, agar
setiap Whistleblower bebas menyuarakan setiap hal yang menyimpang dan
merupakan tindak pidana tanpa rasa takut atas ancaman dan serangan balik yang
akan dialaminya.
Di Indonesia, pengaturan tentang Whistleblower termuat dalam beberapa
aturan sebagai berikut:
1. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam KUHP
Dalam KUHP istilah Whistleblower (pengungkap fakta) belum dikenal,
karena istilah Whistleblower ini baru muncul sekitar tahun 1996 di dalam hukum
pidana di Amerika Serikat. Sementara KUHP adalah warisan Belanda yang
berlaku di Indonesia sudah sangat lama, tentu saja istilah tersebut belum dikenal.
Namun, dari kedudukan dan posisinya jika disepadankan dalam satu sisi dapat
dipersamakan dengan saksi. Saksi dalam KUHP dapat ditelusuri pengaturannya
dalam Pasal 165, Pasal 166, Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 522.
2. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dalam KUHAP istilah Whistleblower juga belum dikenal, namun KUHAP
hanya mengenal istilah saksi dan juga pelapor. Walaupun demikian dalam
KUHAP pun pelapor sebagai subjek hukum yang melakukan laporan dugaan
terjadinya tindak pidana tidak didefinisikan, KUHAP dalam Pasal 1 Angka 24
hanya mendefinisikan tentang laporan 112 . Dalam KUHAP menurut Lilik
Mulyadi,113 Whistleblower berdasarkan perannya dapat dibedakan menjadi dua
yaitu sebagai “pelapor” dan sebagai “saksi”.
Pertama Whistleblower hanya berperan sebagai “Pelapor”, artinya dalam
dimensi ini Whistleblower, tidak secara langsung mendengar, melihat ataupun
mengetahui pelaksanaan tindak pidana. Tegasnya, Whistleblower hanya sebatas
mengetahui informasi yang selanjutnya bermanfaat terhadap suatu pengungkapan
fakta tindak pidana oleh penegak hukum. 114 Pelapor adalah seorang yang
memberitahukan karena hak atau kewajiban yang ada padanya berdasarkan
undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau
diduga akan terjadi peristiwa pidana.115
Apabila Whistleblower diposisikan sebagai pelapor maka sebagai pelapor
Whistleblower merupakan manifestasi dari peran serta perorangan ataupun
masyarakat dalam membantu melakukan upaya optimalisasi penegakan hukum
pidana dan pemberantasan tindak pidana. Selain dalam KUHAP, beberapa
peraturan perundang-undnagan juga mengatur mengenai pelapor secara khusus
112 Menurut KUHAP “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang
karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana”.
113 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 57
114
Ibid. 115
diantaranya, Pelapor Tindak Pidana Korupsi, Pelapor Tindak Pidana Pelanggaran
HAM yang berat, Pelapor Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, Pelapor Tindak Pidana Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dan
lain sebagainya.116
Undang Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
memberikan pengertian kepada Pelapor sebagai berikut:117 “yang dimaksud
dengan pelapor adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak
hukum atau Komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi”. Dalam
Pasal 41 ayat (3), Pasal 42 Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga mengatur tentang peran serta masyarakat
untuk ssecara aktif memberikan laporan atau informasi atau pemberitahuan
kepada aparat penegak hukum akan, sedang atau telah terjadinya suatu tindak
pidana korupsi.
Masyarakat sebagai pelapor ditingkatkan perannya menjadikan pelaporan
tersebut sebagai hak dan tanggung jawab dalam uapaya pemebrantasan tindak
pidana korupsi. Sebagai apresiasi pemerintah terhadap pelapor adalah dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diberikan penghargaan.118
Whistleblower sebagai pelapor memiliki peran yang sangat penting dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, begitu juga dalam tindak pidana lain.
Laporan sebagaimana diatur dalam KUHAP dimaksud secara hukum statusnya
116 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower…., Op.cit, hal. 58 117
Ibid. 118
ada dua hal yaitu, hak dan kewajiban. Yang selanjutnya hal tersebut diatur dalam
Pasal 103 KUHAP dan Pasal 108 KUHAP.
Selain menjadi Pelapor, KUHAP juga meberikan peran kepada
Whistleblower sebagai “saksi”. Dimensi ini berarti yang bersangkutan adalah “pengungkap fakta yang melaporkan dan secara langsung mengetahui, melihat
dan mengalami sendiri telah, sedang, atau akan terjadinya suatu tindak pidana
yang secara aktif melaporkannya pada aparat penegak hukum yang berwenang”.
Saksi Pelapor dapat diartikan sebagai pelapor yang juga berperan sebagai saksi.
Saksi jenis ini pada asasnya berbeda dengan yang hanya berperan sebagai saksi
tanpa berperan sebagai pelapor.
Kualifikasi Whistleblower yang merangkap sebagai saksi dan sebagai
pelapor ini harus dipahami terlebih dahulu perbedaannya.119 Saksi sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 Angka 26 KUHAP dikatakan bahwa “saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan ia alami sendiri”.120
Dalam tindak pidana korupsi, mengenai saksi diatur dalam Pasal 35, 36
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi yang mengatur bahwa pada dasarnya setiap orang wajib memberikan
keterangan sebagai saksi tindak pidana korupsi kecuali ayah, ibu, nenek, kakek,
saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa korupsi. Dan
119
Ibid. hlm 64-65 120
dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang perlindungan hukum terhadap
saksi.
Status hukum bagi saksi untuk memberikan keterangan saksi antara hak
dan kewajiban dimaksud dalam perngertian dikatakan “Hak” dimaksud dalam hal
laporan terhadap tindak pidana bersifat aduan, sehingga pelapornya berhak untuk
melaporkan ataupun tidak. Sedangkan “Kewajiban” dimaksud dalam hal
pelaporan terhadap tindak pidana biasa, kepada setiap orang yang mengetahui
adanya suatu peristiwa tindak pidana secara hukum diwajibkan untuk melaporkan
kepada pihak yang berwajib.121
Hal yang sedemikian rupa dalam KUHAP yang mengatur tentang
“Pelapor” dan “Saksi”, namun hal tersebut bisa diartikan dan menjadi acuan
perlindungan bagi seoarang Whistleblower, dimana seorang Whistleblower bisa
diposisikan sebagai Pelapor dan juga sebagai saksi. Namun memang tidak
menutup kemungkinan, bahwa sangat diperlukannya aturan yang memang khusus
mengatur tentang Whistleblower itu sendiri. seperti yang terdapat dinegara-negara
asing.
3. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Dalam undang-undang ini setiap orang diwajibkan untuk memberikan
keterangan sebagai saksi kecuali keluarga tersangka, namun apabila dikehendaki
oleh saksi dan mendapat persetujuan terdakwa ia boleh menjadi saksi namun tidak
121
disumpah. Bahkan jabatan-jabatan khusus yang menurut peraturan
perundang-undangan dilindungi untuk menyimpan rahasia, berdasarkan undang-undang
tindak pidana korupsi ini diwajibkan. Kecuali dalam hal pemuka agama. Hal-hal
ini ditegaskan dalam Pasal 35.
Dalam Pasal 36 dijelaskan bahwa kewajiban memberikan kesaksian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang
menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, kecuali petugas agama menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Hal ini berarti setiap orang yang mengetahui, melihat, mendengar, sendiri
dugaan tindak pidana korupsi berkewajiban untuk memberikan keterangan saksi.
Namun yang menjadi masalah adalah dalam undang-undang ini tidak diatur secara
jelas apakah saksi tersebut berarti berkewajiban untuk melaporkan, ataukah
sekedar jika dipanggil untuk memberikan keteragan sebagai saksi. Karena secara
tekstual dapat dipahami bahwa yang diwajibkan adalah untuk memberikan
keterangan sebagai saksi,artinya setiap orang yang dipanggil untuk bersaksi wajib
menghadiri panggilan tersebut.122
Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
masyarakat juga diberi hak untuk berperan serta dalam membantu pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Peran serta masyarakat tersebut diatur dalam bab V Pasal
41. Peran serta tersebut yaitu berupa hak-hak yang diberikan kepada masyarakat,
seperti hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan teah
terjadi tindak pidana korupsi. Kemudian hak memperoleh pelayanan, dan
122
perlindungan dalam hal mencari, memperoleh, dan memberikan informasi. Ada
juga hak menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi, dan hak memperoleh jawaban atas
pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum.123
Selain itu, dalam Pasal 42 dikatakan bahwa pemerintah juga memberikan
penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya
pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Dan
tentang penghargaan tersebut lebih lanjut diatur dalam PP 71 Tahun 2000 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP ini juga
mengatur hak dan kewajiban penegak hukum setelah mendapat laporan atau
informasi saran dan pendapat tentang dugaan tindak pidana korupsi dari
masyarakat.124
4. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Dalam undang-undang ini dapat dilihat diatur secara nyata perlindungan
korban dan saksi, hal itu bisa dilihat pada Bab V, Pasal 34. Dalam Pasal 34 ini di
jelaskan bahwa korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat berhak
mendapatkan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,, gangguan, teror dan
kekerasan dari pihak manapun, dan perlindungan tersebut diperoleh dari aparat
penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Dan bentuk-bentuk
perlindungan perlindungan lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2002,
123Bambang Waluyo , Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta,
2014, hal. 62
124
dalam Pasal 4 PP ini dijabarkan tentang bentuk-bentuk perlindungan yaitu,
sebagai berikut:125
a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi-saksi dari ancaman fisik dan mental;
b. Perahasiaan identitas korban dan saksi;
c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Dan atas setiap perlindungan tersebut, korban dan saksi tidak dikenakan biaya
apapun.
5. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang
Dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang terdapat istilah pihak
pelapor dan pelapor, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 11 “Pihak
Pelapor adalah setiap orang yang menurut undang-undang ini wajib
menyampaikan laporan kepada PPATK”. Pihak pelapor yang dimaksud dalam
undang-undang yaitu, dalam Pasal 17 dinyatakan sebagai berikut:126
a. Penyedia jasa keuangan meliputi: bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, kustodian, wali alamat, pegadaian, koperasi sinpan pinjam, dan lain sebagainya;
b. Penyedia barang dan/atau jasa lain, meliputi: perusahaan properti/ agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/ logam mulia, pedagang barang seni dan antik, atau balai lelang;
c. Dan pihak-pihak lain sebagaimana diatur dalam PP.
Pengungkap fakta yang hendak ditelusuri perlindungannya dalam
undang-undang ini adalah mereka yang adalah karena kesadarannya mengungkapkan fakta
125
Bambang Waluyo , Op.cit, hal. 65 126
dugaan tindak pidana, dalam konteks tindak pidana pencucian tersebut hanyalah
pelapor. Keberadaan pelapor dalam tindak pidana pencucian uang tidak
didefinisikan secara tegas, namun dalam beberapa ketentuan pelapor ini
dilindungin keberadaannya. Perlindungan tersebut diantaranya:127
a. Perahasiaan identitas
Hal ini diatur dalam Pasal 83 ditegaskan bahwa Pejabat dan pegawai PPATK,
Penyidik, Penuntut Umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan
Pelapor. Kemudian Pasal 85 juga ditegaskan bahwa di sidang pengadilan,
saksi, penuntut umum, hakim dan orang lain yang terkait dengan tindak
pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang
menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang
memungkinkan mengungkapkan identitas pelapor.
b. Perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau
hartanya, termasuk keluarganya. Perlindungan ini diatur dalam pasal 84, yang
menegaskan bahwa setiap orang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana
pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya,
termasuk keluarganya. Dan Pasal 86 juga menyatakan bahwa setiap orang
yang memberikan kesaksian melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana
pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya,
termasuk keluarganya. Dan Pasal 87 dinyatakan pelapor dan/atau saksi tidak
127
dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas laporan dan/atau
kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.
Dalam undang-undang ini perlindungan bagi pelapor dan saksi diatur
dalam Pasal 39-Pasal 41. Dalam pasal-pasal ini mengatur jenis dan bentuk
perlindungan serta siapa yang wajib memberikan perlindungan. Pada intinya,
perlindungan yang dimaksud adalah sebagai berikut:128
a. PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, ataun Hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. Jika dilanggar, maka pelapor atau ahli warisnya mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian;
b. Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya;
c. Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnyaidentitas pelapor;
d. Setiap orang yang memberi kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya;
e. Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelapor dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.
6. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, perlindungan terhadap saksi
dan korban baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
perlidungan saksi dan korban. Dalam undang-undang ini saksi didefinisikan masih
128
relatif sama dengan yang diatur dalam KUHAP yaitu sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 1, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan/atau ia alami sendiri”. Definisi saksi yang demikian tidak mengalami
perubahan dan sama halnya yang diatur dalam KUHAP.
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan perlindungan adalah segala
upaya pemebuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga
lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dalam undang-undang ini kepada saksi dan korban diberikan perlindungan
secara langsung atau konkret dan secara tidak langsung atau abstrak. Perlindungan
konkret atau langsung dalam Pasal 5 ayat (1), diantaranya:129
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang sedang, akan atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi nengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapat identitas baru;
j. Mendapat tempat kediaman baru;
k. Mendapat penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasihat hukum;
m. Mendapat bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;
129
n. Mendapat bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial dalam pelanggaran HAM berat;
o. Melalui LPSK berhak mengajukan pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi/ ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7)
p. Dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa kemudian dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut serta dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik (pasal 9).
Hal yang sangat diapresiasi dan merupakan implementasi dari
undang-undang ini adalah dengan terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahu 2006 dan Pasal 1 angka
6 PP Nomor 44 Tahun 2008 dijelaskan bahwa LPSK adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada
saksi dan/atau korban. Penjelasan singkatnya sebagai berikut:130
a. LPSK merupakan lembaga mandiri, berkedudukan di ibu kota negara RI dan dapat mempunyai perwakilan-perwakilan di daerah sesuai keperluan. b. LPSK bertanggung jawab menangani pemberian perlindungan dan bantuan
kepada saksi dan korban, LPSK bertanggung jawab kepada Presiden, LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugasnya kepada DPR paling sedikit sekali dalam setahun.
c. Keanggotaan terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang hukum, HAM, Akademisi dan sebagainya, masa jabatan anggota LPSK 5 tahun, dimana anggotanya diangkat oleh persiden dengan persetujuan DPR, dan dapat diajukan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. LPSK terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua merangkap anggota) dan anggota.
d. Sekretariat, yang membantu LPSK dalam pelaksanaan tugasnya.
Dalam undang-undang ini sebenarnya sedikit banyak sudah mengatur
tentang Whistleblower, namun istilah Whistleblower atau padanan kata yang
sesuai dengan Whistleblower dalam bahasa Indonesia juga belum diatur secara
130
spesifik. Namun dengan lahirnya undang-undang ini dianggap mewakili
suara-suara mereka yang menajdi seorang pengungkap fakta, meskipun masih belum
begitu efektif.
7. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
RI Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang Hak-hak Pelapor dan Terlapor
Dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung ini yang langsung berisi
beberapa poin penting tentang hak pelapor dan terlapor yaitu, sebagai berikut:131
a. Hak Pelapor, meliputi:
1) Mendapatkan perlindungan kkerahasiaan identitas;
2) Mendapatkan kesempatan untuk memberikan keterangan secara bebas
tanpa paksaan dari pihak manapun;
3) Mendapatkan informasi mengenai tahapan laporan pengaduan yang
didaftarkan;
4) Mendapatkan perlakuan yang sama dan setara dengan terlapor dalam
pemeriksaan.
b. Hak-hak Terlapor, meliputi:
1) Membuktikan bahwa ia tidak bersalah dengan mengajukan saksi dan alat
bukti lain;
2) Meminta berita acara pemeriksaan (BAP) dirinya.
8. Pengaturan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Nota
Kesepahaman serta Peraturan Bersama
131
a. Nota Kesepahaman antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dengan Kejaksaan RI
Pengaturan Nota Kesepahaman antara Lembaga Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban dengan Kejaksaan RI Nomor
NK-003/1.6/LPSK/IV/2011, Nomor Kep-069/A/JA/04/2011 tanggal 20 April
2011 tentang perlindungan saksi dan korban. Adapun tujuan nota
kesepahaman ini adalah untuk mewujudkan terlaksananya aktivitas
perlindungan, yaitu segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam
peradilan pidana serta penyelesaian bersama permasalahan hukum
dibidang perdata dan tata usaha negara.132
b. Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi RI dengan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Pengaturan Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi RI
(KPK) dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Nomor: SPJ-12/01/08/2010, Nomor: Kep-066/1.6/LPSK/08/2010 tanggal
09 Agustus 2010 tentang Kerjasama dalam Pelaksanaan Perlindunga
Saksi atau Pelapor. Adapun tujuan nota kesepahaman ini adalah agar para
pihak (KPK dan LPSK) dapat bekerjasama dan berkoordinasi dalam
memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor sebagai
kewenangan yang ditentukan kewenangan undang-undang.133
132
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 86 133
c. Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Pengaturan Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) Nomor: NK-46/1.02/PPATK/04/2011, Nomor: NK
002/1.6/LPSK/IV/2011 tanggal 18 April 2011 tentang Kerjasama
Pemberian Perlindungan kepada Pelapor, Saksi dan/atau Korban Tindak
Pidana Pencucian Uang. Adapun maksud dan tujuan nota kesepahaman
ini sebagai kerangka kerja sama dalam ragka pemberian perlindungan
serta untuk menyiapkan, mensinkronisasikan, dan memberdayakan
kemampuan guna melakukan pemberian perlindungan bagi pelapor, saksi
dan/atau Korban tindak pidana pencucian uang.
d. Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
Pengaturan Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional (BNN)
dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor:
NK-18/VIII/2010/BNN, Nomor: Kep-067/1.6/LPSK/08/2010 tanggal 09
Agustus 2010 tentang Perlindungan Saksi, Korban dan/atau Pelapor
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika. Adapun maksud nota kesepahaman ini adalah sebagai
landasan kerjasama yang lebih intensif antara BNN dan LPSK dalam
memberikan perlindungan terhadap saksi, korban dan/atau pelapor.
antara BNN dan LPSK dalam mewujudkan perlindungan kepada saksi,
korban dan/atau pelapor secara konsisten guna memberikan rasa aman
kepada saksi, korban dan/atau pelapor pada setiap tahap pada proses
peradilan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
e. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI,
Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, dan Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor:
M.HH-11.HM.03.02.th. 2011 Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun
2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011 Nomro: 4 Tahun 2011 Tentang
Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia
Hukum dibangun dan diciptakan oleh manusia atau negara dalam
masyarakat, pasti mempunyai tujuan tertentu sebagai dasar filosofis
pembentukannya. Begitu juga dengan hukum untuk melindungi Whistleblower,
sebenarnya begitu banyak dasar filosofis dan juga mengingat begitu banyak hal
yang menuntut pembentukan undang-undang untuk memberikan perlindungan
bagi Whistleblower.
Urgensi Whistleblower untuk menuntut keberhasilah dalam suatu proses
peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkapkan
saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat akibat tidak adanya saksi yang
mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi dan korban merupakan
unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Kasus-kasus yang
tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi an korban
yang takut memnerikan kesaksisan kepada penegak hukum karena mendapat
ancaman dari pihak tertentu.134
Dalam banyak kasus, pelapor tidak dapat diketagorikan sebagai saksi
(mendengar dan mengalami sendiri) namun laporannya sangat bermanfaat untuk
mengungkap kejahatan. Dalam konteks mafia dalam sistem peradilan (Mafia in
the judiciary system) atau mafia hukum pengungkapan suatu kejahatan yang terorganisir atau kejahatan yang dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta
dalam kejahatan tersebut.135
Dan terkhusus untuk Whistleblower yang melaporkan tindak pidana
korupsi, dimana dapat diketahui bersama bahwa yang terlibat dalam kasus-kasus
korupsi adalah mereka orang-orang besar. Dan apabila ada yang melaporkan
perbuatan pidana mereka, maka bagi sang pelapor akan sangat besar resikonya.
Sehingga memang benar-benar diperlukan kekebalan dan dukungan hukum bagi
para pengungkap fakta ini terkhususnya kasus-kasus karupsi. Dan seperti kasus
yang sudah pernah terjadi pada Susno Duaji, niat baiknya untuk melaporkan
kecurangan dan tindak pidana suap di Kepolisian RI, malah dibalas dengan
134 Dikutip Siswanto Sunarso dari pendapat Ahcmad Santoso, “Perlindungan Pemukul
Kentongan (Whistleblower), Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006” pada FGD dan Kolsultasi Daerah, Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Makasar, 28 September 2010.
135
menjadikan dia sebagai tersangka pada kasus lain. Dan akhirnya, bukan
menyelesaikan laporannya, malah ia yang terlebih dahuli yang diproses.Contoh
diatas menunjukkan adanya hal yang besar yang harus dihadapi oleh pengungkap
fakta yaitu menghadapi ketidakpastian dan resiko dari pengungkapan informasi
tentang dugaan kejahatan.
Hal dasar yang harus dipahami bersama adalah mengapa para pengungkap
fakta ini perlu diberi perlindungan136, tentunya karena ada ancaman137. Dan
perlindungan seperti apa yang diberikan oleh hukum dan siapa yang memberikan
perlindungan tersebut. Perlindungan terhadap saksi dan/atau korban menurut
Undang-Undang LPSK diberikan kepada saksi dan/atau korban dalam semua
tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan, untuk melindungi atas
segala ancaman baik fisik maupun psikis.138 Berdasarkan aturan ini, maka
perlindungan tersebut dilaksanakan pada tahap penyelidikan dan penyidikan oleh
kepolisian RI, tahap penuntutan oleh Kejaksaan, dan tahap pemeriksaan sidang
pengadilan oleh hakim. Peranan LPSK dalam memberikan perlindungan kepada
saksi dan korban dilakukan dalam semua tahap proses peradilan pidana.139
Dan untuk para pengungkap fakta terkhususnya mereka yang mengungkap
kasus korupsi harus mendapat perhatian khusus. Karena melihat kasus-kasus di
136 Dalam Pasal 1 angka 8 dijelaskan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan
hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.
137 Pengertian Ancaman diatur dalam Pasal 1 angka 6 yang menjelaskan bahwa Ancaman
adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung sehingga Saksi dan/atau korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.
138 Dan dalam Pasal 8 Undang-Undang LPSK dikatakan bahwa perlindungan terhadap saksi
dan/atau korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir. Dan dalam keadaan tertentu perlindungan dapat diberikan sesaat setelah permohonan diajukan kepada LPSK.
139
Indonesia bisa sama-sama disaksikan bagaimana serangan balik dan ancaman
yang diterima para pengungkap fakta tersebut.
Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai setiap bentuk perlindungan
yang diatur dan didasarkan oleh peraturan perundang-undangan berdasarkan
kepastian hukum.secara umum makna atau pengertian perlindungan hukum dalam
beberapa peraturan perundang-undangan diatur secara berbeda, diantaranya:
menurut Pasal 1 PP Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa,140“perlindungan
adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik secara fisik
maupun mental, yang diberikan pada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan,
teror dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan”. Sedangkan
dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa,141
“perlindungan adalah jaminan rasa aman yang diberikan oleh negara kepada
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dari kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme”.
Perlindungan hukum terhadap Whistleblower secara komprehensif
seharusnya berlaku baik pada semua tahap peradilan (mulai dari tahap pelaporan,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan) maupun
setelah proses peradilan selesai. Hal ini disebabkan terkadang dalam kondisi
tertentu pada suatu tindak pidana tertentu, ancaman dan teror bagi Whistleblower
akan tetap mengikuti setelah proses peradilan pidana selesai. Munculnya dendam
140
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 99 141
kesumat terdakwa atau terpidana yang telah dilaporkan tindak pidananya, relatif
dimungkinkan memunculkan ketidaknyamanan dan membuat bahaya bagi
kehidupan Whistleblower yang terkait. Selain itu perlindungan hukum juga perlu
diberikan tidak hanya kepada Whistleblower akan tetapi juga diberikan kepada
keluarganya, karena keamanan dan kenyamanan keluarga mereka juga akan
berpengaruh langsung bagi ketenangan dalam menjalankan fungsinya sebagai
pengungkap fakta.
Dalam Pasal 8 Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
ditegaskan bahwa: “perlindungan terhadap saksi dan/atau korban diberikan sejak
tahap penyelidikan dimulai sampai berakhir.” Dimana dalam pasal ini diberikan
ketegasan bahwa setiap aparat penegak hukum berkewajiban untuk memberikan
perlindungan kepada saksi dan/atau korban.
Dalam implementasi di lapangan khususnya dalam kegiatan penyidikan
dan penyelidikan, menunjukkan kendala tertentu, yakni penegak hukum dalam
mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat
menghadirkan saksi dan/atau korban, disebabkan adanya ancaman, baik fisik
maupun psikis dari pihak tertentu.142 Berdasarkan hal ini juga penting adanya
undang-undang yang memberikan perlindungan bagi saksi dan korban di dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia.
142
Jaminan perlindungan kepada saksi (baik sebagai saksi sebagai korban
maupun saksi bukan sebagai korban) sebagai bagian dari warga negara waji
b diberikan oleh negara dalam proses penegakan hukum. Pasal 9 Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966 mengajukan hak atas
kebebasan dan keamanan seseorang. Hak ini diperkuat oleh pasal 3
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (bersama dengan hak atas hidup) pasal 5
Konvensi Eropa dan pasal 7 Konvensi Amerika.
Istilah “hak atas kebebasan” yang dalam kata-kata lain seperti “kebebasan
untuk kebebasan”, terdengar seperti slogan abstrak. Tetapi istilah ini
mengimplikasikan kebebasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar
konkret dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang,
hak yang sama kritisnya dengan sesuatu yang biasa dipermalukan di zaman
sekarang. Setiap masyarakat menggunakan hukum dan lembaga-lembaga pidana
untuk
mempertahankan ketertiban dan keadilan maupun untuk melindungi hak dari
gangguan orang lain.
Prosedur dan sanksi proses pidana, meski demikian,
memperkokoh kebebasan individu yang dituduh dan dihukum karena melaku
kan kejahatan. Invasi terhadap kebebasan semacam itu dibenarkan bila diperlukan
untuk melindungi masyarakat tetapi hanya bila dan pada taraf yang
sunguh-sungguh diperlukan. Bagaimanapun, proses pidana merupakan ancaman paling
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu tonggak
dari hak asasi manusia dan memiliki posisi penting bagi berbagai jenis hak dan
kebebasan lainnya. Untuk hal itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
mengesahkan sebuah
Kovenan khusus mengenai ini dalam Konfrensi Kebebasan Informasi di Jen
ewa 1948. Pembuatan formulasi dari pasal yang memuat kebebasan berpendapat
dan berekspresi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia itu melibatkan
proses pengumpulan semua formulasi yang ada dalam konstitusi-konstitusi
nasional seperti layaknya rancangan-rancangan yang dipersiapkan oleh
asosiasi-asosiasi dan organisasi-organisasi umum, privat dan ilmiah; abstraksi dari semua
elemen-elemen itu tidak hanya terlihat penting dalam sebuah instrument dunia
tetapi kelihatannya juga dapat diterima secara menyeluruh.143
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pelapor dalam tindak pidana
korupsi berbeda dengan pelapor dalam tindak pidana umum.144 Untuk tindak
pidana korupsi diberikan kewenangan satu badan yang menerima informasi secara
khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 dalam Pasal 41 ayat (3) diatur mengenai peran serta masyarakat
untuk secara aktif memberkan laporan atau informasi atau pemberitahuan kepada
143
Rani A, “Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Tesis, Pasca Sarjana Program Magister Universitas Sumatera Utara, 2012.
144 Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 71 Tahun 2000 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
aparat penegak hukum akan, sedang atau telah terjadinya suatu tindak pidana
korupsi. Secara fungsional masyarakat ditingkatkan perannya guna didistribusikan
hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Sebagai apresiasi pemerintah terhadap pelibatan masyarakat yang
berperan sebagai pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupi diberi penghargaan. Pelibatan masyarakat sebagai pelapor ini,secara
normatif diatur secara terperinci dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyebutkan
bahwa:145
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi;
(2) Peran serta dapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, mempeoleh dan memberikan informasi adanya dugaann telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang mengani perkara tindak pidana korupsi; d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, dan c;
2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai
tanggung jaab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi;
4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (2) dan (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas
145
atau ketentuan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma lainnya;
5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarkat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Selain dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, Pelapor tindak pidana korupsi juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak pidana
Korupsi, sebagaimana dalam Pasal 15 huruf (a) yang berbunyi: “memberikan
perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi”.146
1. Syarat Whistleblower Tindak Pidana Korupsi untuk Mendapat Perlindungan
Hukum
Membahas mengenai syarat seorang Whistleblower (saksi pelapor/saksi
pengungkap fakta) mendapat Perlindungan maka perlu dibahas kembali apa yang
dimaksud Whistleblower. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi Dan Korban jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014, mendefinisikan Whistleblower yaitu, orang yang memberikan informasi
kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana (lihat penjelasan
pasal 10 ayat 1). Sedangkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Whistleblower adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi
tindak pidana korupsi yang terjadi didalam organisasi tempat ia bekerja bekerja,
146 Dalam penjelasan Pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan memberikan
dan ia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak
pidana korupsi tersebut.
Dari pengertian maka dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh
orang yang berperan sebagai Whistleblower bukanlah merupakan suatu tindakan
yang membocorkan rahasia jabatan tapi murni untuk menyelamatkan
perekonomian Negara dari perilaku-perilaku koruptif. Lihat ketentuan pasal 322
KUHP yang berbunyi, barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang terdahulu diancam dengan pidana penjaran paling lama 9 bulan. Bila
dikaitkan dengan tugas Polri maka tujuan dilarangnya membocorkan rahasia
jabatan agar operasi yang mereka lakukan dapat berjalan sesuai target
sebagaimana ketentuan pasal 6 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota POLRI menyebutkan dalam pelaksanaan
tugas dilarang membocorkan operasi kepolisian.147
Sepadan dengan itu mengenai profesi dokter dimana dokter dilarang
membocorkan rahasia jabatan tujuan yaitu berkaitan dengan hak-hak pasien
sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 Nomor 23 tahun 1992 tentang
kesehatan dimana dijelaskan bahwa dokter dan perawat dalam melaksanakan
tugasnya harus menghormati hak pasien yaitu hak informasi, hak untuk
memberikan persetujuan, hak atas rahasia dokter.
147
Maka letak perbedaannya adalah kalau orang yang berperan sebagai
Whistleblower murni untuk membongkar mafia, perilaku koruptif dan pelanggaran
hukum, oleh karenanya apa yang dilakukan Whistleblower bukanlah merupakan
tindakan membocorkan rahasia jabatan, karena rahasia jabatan merupakan
perlindungan hak-hak yang dilindungi oleh Negara bukan melindungi kejahatan.
Jadi intinya apa yang dilakukan oleh sang Whistleblower selama itu dalam
rangkan membongkar mafia, melakukan pelanggaran hukum maka itu bukan
merupakan tindakan membocorkan rahasia jabatan. Agar apa yang dilaporkan
oleh sang Whistleblower tidak menjadi boomerang buatnya maka apabila ada
ancaman terhadap dirinya yang maha dahsyat maka segera memohon
perlindungan kepada lembaga perlindungan saksi dan korban.
Bila Whistleblower dalam ancaman yang sangat besar baik terhadap diri,
keluarga maupun harta bendanya maka yang bersangkutan segara mungkin
melaporkan kepada LPSK sebagai lembaga yang betugas dan memiliki
kewenangan untuk memberikan perlindungan kepada saksi maupun korban
dengan tata cara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang
PSK yang berbunyi:148
1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
2) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
3) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan
148
Setelah permohonan sampai ke LPSK, maka LPSK akan segera melakukan
beberapa hal antara lain:
1) Menelaah dokumen;
2) Hasil penelaahan akan diputuskan dalam rapat paripurna lpsk yang
dihadiri oleh seluruh anggota lpsk;
3) Apabila dinyatakan diterima, maka permohonan perlindungan akan
ditindaklanjuti oleh bidang perlindungan atau bidang bantuan, kompensasi
dan restitusi LPSK;
4) Sebelum mendapatkan pelayanan perlindungan, pemohon diminta untuk
menandatangani surat penyataan kesediaan dan perjanjian perlindungan.
Sementara untuk mendapatkan layanan tersebut, pemohon harus mengikuti
syarat-syarat yang sudah ditentunkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang perlindungan saksi dan korban, syarat-syarat itu antara lain:149
1) Menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan saksi dan Korban;
2) Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam
proses peradilan;
3) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan
dengan keselamatannya;
149
4) Kesediaan saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada
dalam perlindungan LPSK;
5) Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK;
6) dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Whistleblower patut diacungkan jempol
dan pantas mendapat penghargaan (reward) dan mendapat perlindungan secara
hokum, hal ini dilakukan untuk membangkitkan semangat masyarkat agar mau
dan tidak takut untuk membongkar kejahatan-kejahatn.Upaya yang dilakukan
Whistleblower bisa dijadikan alasan untuk meringankan hukuman sebagaimana
ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 yang berbunyi,
seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan
dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah meyakinkan bersalah,
tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
pidana yang akan dijatuhkan.
Pasal inilah yang meringankan hukuman bagi mantan Komjen Susno
Duajdi. Kemudian dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuaan Bagi
Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang bekerjasama didalam perkara
tindak pidana tertentu point 8 menyebutkan apabila pelapor tindak pidana
disampaikan oleh pelapor didahulukan disbanding laporan dari terlapor. Itulah
bentuk perlindungan hukum bagi Whistleblower.
2. Perlindungan Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam Pasal 2 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa, undang-undang ini memberikan
perlindungan kepada saksi dan korban pada setiap tahap proses peradilan pidana.
Hal ini berarti bahwa setiap korban wajib dilindungi oleh setiap Aparat Penegak
Hukum mulai dari tahap penyidikan oleh Kepolisian maupun Penyidik lainnya,
kemudian pada tahap Penuntutan oleh Kejasaan ataupun Penuntut Umum dan
pada tahap peradilan oleh Pengadilan. Dan selain itu, saksi dan korban juga
berhak dilindungi setelah putusan pengadilan.
Dan dalam pasal 4 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan bahwa yang menjadi tujuan pemberian
Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada
saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan.
Dan kembali lagi ditegaskan bahwa perlindungan itu wajib pada setiap proses
peradilan pidana.150 Menurut Prof. Teguh wakil ketua LPSK mengatakan bahwa
konsep Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah sebagai berikut:151
a) Tujuan hukum pidana adalah untuk memberikan pengayoman dan
kesejahteraan bagi masyarakatnya, sehingga pertanggungjawaban pidana
150 Siswanto Sunarso, Op.cit, hal. 255
151Teguh Soedarsono, “Forum Sosialisasi LPSK (Perlindungan Korban dan Saksi
selain melakukan penjatuhan sanksi hukuman yang relavan kepada pelaku
kejahatan, juga memberikan perlindungan dan mengembalikan kondisi
korban akibat tindak pidana yang terjadi;
b) Politik pemidanaan pada dasarnya selalu bertolak pada upaya perlindungan
terhadap masyarakat dan individu, dalam hal ini perlindungan tertuju kepada
korban kejahatan yang bersifat actual maupun potensial beserta
keluarganya; dan
c) Oleh karena itu, proses peradilan pidana hendaknya selalu ditujukan pada
upaya mencegah faktor kriminogen dan aspek viktimogen yang terjadi, serta
upaya dan aktivitas untuk memberikan perlindungan serta reparasi dan/atau
rehabilitasi kepada korban maupun lingkungannya.
Dari konsep yang disampaikan oleh Prof. Teguh tersebut menunjukkan
bahwa peran Sistem Peradilan Pidana dalam mencapai suatu keadilan sangat
penting. Dan terkhusus dalam memberikan perlindungan kepada Whistleblower
perlu adanya keterpaduan kinerja dalam setiap proses.
Dan menurut Junimart Girsang ia juga memberikan tanggapan bagaimana
seharusnya keterpaduan antara penegak hukum dalam membrikan perlindungan
kepada Whistleblower dan Justice Collaborator, menurut beliau:152
152 Junimart Girsang, Seminar yang diselenggarakan oleh LPSK “Sinergitas Penanganan
Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Pengungkapan Tindak Pidana” di Hotel Grand
a) Terlepas istilah yang dipakai, keterpaduan antaraparat penegak hukum itu
kunci penting dalam penegakan hukum, termasuk dalam penanganan
whistleblower dan justice collaborator.
b) Keterpaduan aparat penegak hukum roh criminal justice system atau Sistem
Peradilan Pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan/pemasyarakatan dan KPK untuk perkara korupsi.
c) Kepolisian memiliki tugas dan kewenangan dalam penyidikan, Kejaksaan
melakukan penuntutan, KPK melakukan penyidikan-penuntutan, berlanjut
di pengadilan, berakhir di lembaga pemasyarakatan.
Dan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini
dinyatakan bahwa perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap
penyidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana dalam
undang-undang ini.
3. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower
Berikut adalah Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Whistleblower
tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana:
a. Perlindungan Terhadap Fisik dan Psikis
Merupakan sebuah keniscayaan bahwa setiap orang yang memberikan
dirinya sebagai seorang Whistleblower akan menghadapi berbagai ancaman,
bahkan kekerarasan terhadap diri, jiwa, psikis dan harta serta keluarga. Keputusan
mereka, karena segala kenyamanan dan keamanan diri dan keluarganya akan
menjadi taruhannya. Apalagi jika tindak pidana yang diungkapkannya adalah
tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana berat dan merupakan
kejahatan terorganisir, yang notabenenya para aktornya utama dan intelektualnya
adalah orang-orang berpengaruh dan memiliki massa atau pengikut yang besar
serta memiliki kedudukan atau jabatan yang strategis di pemerintahan, sehingga
sudah tentu intimidasi tidak hanya berasal dari pelaku maupun orang-orang yang
tidak terima akan tindakan pengungkapan fakta oleh para Whistleblower.153
Oleh karena itu, merupakan sebuah koneksi logis bahwa pengorbanan para
Whistleblower harus diapresiasi oleh hukum melalui kebijakan formulasi
perlindungan terhadap rasa aman bagi mereka. Selain itu, mengingat
pembongkaran fakta tentang tindak pidanan yang dilaporkan mereka akan menjadi
sarana efektif bagi penegak hukum untuk menangani tindak pidana tersebut,
terkhususnya kasus korupsi yang mengungkapkannnya begitu sulit. Dengan
demikian komitmen penegak hukum untuk menangani dalam hal memberikan
perlindungan terhadap rasa aman bagi para Whistleblower akan berdampak bagi
efektifitas dan efesiensinya proses penyelesaian perkara pidana.
Perlidungan terhadap rasa aman yang dapat diberikan kepada
Whistleblower dapat berupa perindungan terhadap fisik, dan psikis mereka.
Perlindungan fisik dan psikis tersebut tidak hanya diberlakukan untuk keamanan
pribadi berupa perlindungan dari segala macam teror, ancaman, kekerasan,
tekanan, gangguan terhadap diri, jiwa, dan harta mereka dari pihak manapun,
153
tetapi juga harus meliputi jaminan perlindunan fisik dan psikis bagi keluarga
mereka. Tegasnya, Whistleblower dapat lebih aman, tenang, nyaman serta tanpa
beban/tekanan selama proses penyampaian laporan, informasi, kesaksian pada
semua tahapan pemeriksaan peradilan. Dalam konteks perlindungan terhadap rasa
aman, secara teknis diperlukan perlindungan fisik dan psikis Whistleblower serta
keluarganya sedapat mungkin dapat disesuaikan dengan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang
menegaskan bahwa seorang saksi dan korban berhak:
1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang sedang, akan atau telah diberikannya;
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan; 4) Mendapat penerjemah;
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 7) Mendapatkan informasi nengenai putusan pengadilan; 8) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9) Dirahasiakan identitasnya; 10) Mendapat identitas baru;
11) Mendapat tempat kediaman baru;
12) Mendapat penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 13) Mendapat nasihat hukum;
14) Mendapat bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;
15) Mendapat bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial dalam pelanggaran HAM berat;
16) Melalui LPSK berhak mengajukan pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi/ ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana154;
154 Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana” disini yaitu antara lain Tindak pidana Pelanggaran
17) Dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa kemudian dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut serta dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik.
b. Penangan Khusus
Selain diberikan fasilitas perlindungan terhadap fisik dan psikis
sebagaimana telah dijelaskan diatas, untuk mendukung upaya pemberian rasa
aman terhadap Whistleblower yang memberikan kesaksian dipersidangan
dimungkinkan diberikan penanganan khusus sebagaimana ketentuan Pasal 10 dan
Pasal 10A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.155
Ketentuan Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa:
1) Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia tertanyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam rangka meringankan pidana yang akan dijatuhkan;
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap sakksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik;156
155
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 102-103 156Dalam penjelasan Pasal 10, yang dimaksud dengan “itikad baik” adalah keterangan yang
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam
Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi
dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, dalam Pasal 15 menentukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi
berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya
tindak pidana korupsi.
Dalam beberapa ketentuan yang disebutkan diatas, belum memadai
mengatur bagaimana mekanisme pemberian perlindungan kepada pelapor tindak
pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama karena Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban sendiri tidak dapat menjangkau penegak hukum yang lain seperti
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan.
Untuk itu, kaitannya dengan perlindungan hak pelapor tindak pidana dan
saksi pelaku yang bekerja sama, seperti yang disebutkan diatas telah dikeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi
pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi Pelaku (justice collaborator)
pada point 7 bebunyi bahwa jika menemukan tentang adanya orang-orang yang
sama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan
keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungannya lainnya.157
Whistleblower dapat berperan besar besar dalam mengungkap
praktik-praktik koruptif lembaga publik, pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu,
implikasinya tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan Whistleblower,
partisipasi publik untuk membongkar dugaan tindak pidana menjadi rendah
sehingga praktik penyimpangan, pelanggaran, atau kejahatan pun semakin
meningkat. Akan tetapi, sebenarnya dimensi Whistleblower tidak hanya
berorientasi sesuai konteks di atas.
Aspek ini lebih luas dapat dikatakan Whistleblower dari perspektif
formulasi serta praktik menimbulkan dilema yaitu dalam posisi bagaiman