• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UNDANG UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UNDANG UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UNDANG UNDANG

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI

Oleh Anna Verta Idayane

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang didalam penanganannya diperlukan undang-undang yang luar biasa pula. Salah satu upaya yang dianggap mampu untuk menyelesaikan perkara korupsi tersebut adalah dengan dirumuskannya sistem pembuktian terbalik secara murni di dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebagai revisi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Formulasi pembuktian terbalik merupakan pemyimpangan pembuktian yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, agar tidak terjadi tumpang tindih maka pembuktian terbalik harus memiliki arah kebijakan hukum pidana yang jelas dalam perumusannya dengan tetap memperhatikan efektifitas dan eksistensi dari kegunaan rumusan pembutian terbalik tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah kebijakan formulasi perumusan pengaturan beban pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, apakah yang melatarbelakangi perubahan pembuktian terbalik secara terbatas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menjadi pembuktian terbalik secara murni dalam Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi serta bagaimanakah perbedaan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Metode pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan mengumpulkan studi kepustakaan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan metode yuridis empiris yaitu meneliti dan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh secara langsung terhadap objek penelitian melalui observasi dan wawancara terhadap responden atau nara sumber yang berhubungan dengan permasalahan.

(2)

sekedar wacana saja, dalam penerapannya di persidangan hakim tidak pernah meminta terdakwa menerangkan asal usul harta kekayaannya, hakim tetap berpatokan pada pembuktian yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum.3.Perbedaan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur penerapan pembuktian terbalik secara terbatas dan berimbang, yaitu pembebanan pembuktian dibebankan kepada terdakwa, penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya sedangkan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana mengatur penerapan pembuktian terbalik secara murni, yaitu beban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada terdakwa, penuntut umum tidak lagi dibebankan beban pembuktian.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif diantaranya berupa kejahatan (tindak pidana) yang dapat meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang cukup fenomenal adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Selain itu korupsi adalah masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas. Akan lebih berbahaya lagi kalau perbuatan ini menjadi budaya masyarakat. Oleh karena itu, korupsi menjadi musuh utama dalam proses pembangunan bangsa.

(4)

yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah masalah antar-negara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerja sama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi.

Korupsi terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berbagai kasus korupsi dengan kerugian negara yang besar tetapi dibebaskan oleh pengadilan karena tidak terbukti apa yang didakwakan atau hanya dijatuhkan pidana bersyarat dan tidak jarang dijatuhkan pidana yang jauh lebih ringan dari tuntutan penuntut umum, seperti kasus Texmaco, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Bank Bali, dan Pertamina Balongan. (Martiman Prodjohamidjo, 2002 : 104)

(5)

atau kejahatan kerah putih. White collar crime atau kejahatan kerah putih yaitu kejahatan yang dilakukan orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi dan terhormat berkaitan dengan jabatannya.

Melihat kesulitan dalam melakukan pembuktian, perlu diadakan suatu kebijakan hukum pidana mengenai formulasi urusan pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi. Perkara korupsi memerlukan pembuktian khusus yang menyimpang dari hukum acara pidana biasa, seperti halnya pembuktian terbalik yang di anut oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dengan memberikan hak kepada terdakwa tindak pidana korupsi untuk melakukan pembuktian terhadap kebenaran material dari dakwaan. Ini berarti bahwa terdakwa harus membuktikan bahwa ia melakukan atau tidak melakukan korupsi sebagaimana dakwaan terhadapnya. Pembuktian tersebut melibatkan penguasaan terdakwa atas alat bukti dan saksi yang mendukung dakwaan terhadapnya.

Mengenai pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di atur dalam Pasal 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta penjelasannya yang memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi seperti dakwaan penuntut umum, di samping itu penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan bahwa terdakwalah yang melakukan korupsi, perihal tersebut di atas sering dikenal dengan azas pembuktian terbalik.

(6)

menggunakan penerapan pembuktian terbalik dalam persidangan di Indonesia ialah kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dengan dasar hukum diberlakukannya pembuktian terbalik adalah Pasal 38B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (http://www.mediaindonesia.com, diakses pada tanggal 4 Oktober 2011)

Saat ini pemerintah telah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 47 dinyatakan bahwa :

1. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, wajib membuktikan sebaliknya terhadap kekayaan miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, kekayaan tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian kekayaan tersebut dirampas untuk negara.

3. Tuntutan perampasan kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.

4. Pembuktian bahwa kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. 5. Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang

diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

6. Dalam hal terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok maka tuntutan perampasan kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.

(7)

berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindakan pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya, sedangkan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menggunakan pembuktian terbalik murni, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, jika ia tidak berhasil membuktikan maka ia berarti terbukti melakukan korupsi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul, Analisis Kebijakan Formulasi Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang yang telah di ungkapkan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah:

a) Bagaimanakah kebijakan formulasi perumusan pengaturan beban pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi?

(8)

c) Bagaimanakah perbedaan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka yang menjadi ruang lingkup dari permasalahan meliputi ilmu Hukum Pidana Khusus yaitu tentang Tindak Pidana Korupsi, substansi tentang pembuktian terbalik, dengan wilayah penelitian di Jakarta dan Bandar Lampung.

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas maka, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:

a. Untuk menganalisis kebijakan formulasi perumusan pengaturan beban pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

b. Untuk mengetahui yang melatarbelakangi perubahan pembuktian terbalik secara terbatas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menjadi pembuktian terbalik secara murni dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

(9)

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis penulisan skripsi ini berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami kebijakan formulasi perumusan pengaturan beban pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan yang melatarbelakangi perubahan pembuktian terbalik secara terbatas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menjadi pembuktian terbalik secara murni dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi serta perbedaan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

b. Secara praktis penulisan ini berguna memberikan gambaran kepada masyarakat tentang tindak pidana korupsi serta sebagai bahan para akademisi dan aparat penegak hukum yang berkaitan dengan pembuktian terbalik terhadap terdakwa dalam tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

(10)

sehingga dalam upaya pemberantasannya melalui penegakan hukum diperlukan suatu pendekatan khusus pula. Pendekatan tersebut haruslah bersifat komprehensif, integral, simultan, serta selaras dengan fungsi dan tujuan hukum. Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, seperti juga upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya dapat meliputi upaya penal dan upaya non-penal. Upaya penal atau melalui sarana Hukum Pidana operasionalnya melalui beberapa tahap, yaitu :

1. Formulasi, atau perumusan hukum pidana yang merupakan kebijakan legislatif, 2. Aplikasi, atau penerapan hukum pidana yang merupakan kebijakan yudikatif,

3. Eksekusi, atau pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kebijakan eksekutif atau administratif. (Barda Nawawi Arief, 2000 : 3).

Tindak pidana korupsi sangat membahayakan eksistensi suatu negara serta merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, oleh karena itu dalam upaya pemberantasannya diperlukan penanganan yang lebih serius. Sejak awal bergulirnya reformasi di Indonesia telah lahir beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan instrumen dalam pemberantasan tindak pidana korupsi diantaranya adalah :

1. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

(11)

Beberapa perundangan-perundangan tersebut merupakan satu kesatuan peraturan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilihat pada aspek substansi, struktur, maupun kultur yang ada. Kaitannya dengan bagaimana beban pembuktian terbalik terhadap terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi yang diadopsi oleh Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maka dalam melakukan pembuktian tindak pidana korupsi digunakanlah sistem tersebut yang keluar dari sistem pembuktian menurut KUHAP sebagaimana kehendak dari asas, “lex specialis deroged lex generalis”, Teori yang mendasari pembuktian tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yaitu teori pembuktian terbalik. Penjelasan atas Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, dikatakan “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa tidak melakukan tindakan pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta istrinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Martiman Prodjohamijho (2002 : 108) berpendapat bahwa dalam pembuktian delik korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni :

1. Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa dan

2. Teori negatif menurut undang undang, yang diturut oleh penuntut umum.

(12)

hakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.

Pada penulisan ini penulis menggunakan teori Friedman tentang sistem hukum yang oleh beliau dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu :

1. Peraturan perundang-undangan atau substansi hukum, yaitu hasil yang sebenarnya yang dikeluarkan oleh sistem hukum berupa keputusan yang merupakan produk substantif dari sistem hukum yaitu perundang-undangan yang berlaku.

2. Faktor penegak hukum atau struktur hukum, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme yang berupa lembaga peradilan, hakim yang bersidang, badan pembuat undang undang dan juga konstitusi tertulis.

3. Faktor kesadaran hukum masyarakat atau budaya hukum yaitu berupa sikap dan nilai-nilai yang menjadi pegangan masyarakat yang menentukan apakah lembaga pengadilan akan dimanfaatkan atau tidak apabila menghadapi suatu masalah hukum. (M. Hamdan, 1997 : 74).

(13)

2. Konseptual

Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin digunakan dalam penulisan atau penelitian atau apa yang akan diteliti (Soerjono Soekamto, 1986 : 132). Dalam penulisan ini akan dijelaskan mengenai pengertian-pengertian pokok dari istilah yang akan digunakan sehubungan dengan objek dan ruang lingkup penulisan sehingga mempunyai batasan yang jelas dan tepat penggunaannya. Adapun istilah serta pengertian yang digunakan dalam penulisan ini antara lain :

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahaan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memproleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 32)

b. Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu. (M. Hamdan, 1997 : 5)

c. Kebijakan legislasi/formulasi adalah merupakan kebijakan (policy) dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kebijakan legislatif sering juga disebut kebijakan formulatif. (Barda Nawawi Arief, 2002 : 223)

d. Pembuktian terbalik adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (M. Yahya Harahap, 2001 : 252)

(14)

hukumnya akan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. (Lilik Mulyadi, 2007 : 103)

f. Pembuktian terbalik murni adalah terdakwa mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang selurah harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tidak lagi berkewajiban membuktikan dakwaannya. (Lilik Mulyadi, 2007 : 103)

g. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana (Moeljatno, 1987 : 54)

h. Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

i. Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi penulisan secara keseluruhan dan mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut :

(15)

Bab ini memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pemahaman terhadap pengertian pokok-pokok bahasan korupsi, tindak pidana korupsi, pengertian pembuktian dan pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan ini yang menjelaskan mengenai langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penulisan yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, pengumpulan, pengolahan, serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(16)

kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

V. PENUTUP

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Hamdan, M. 1997.Politik Hukum Pidana.Raja Grafindo Persada. Jakarta. Moeljatno. 2000.Asas-asas Hukum Pidana.Ghalia Indonesia. Jakarta.

Nawawi Arief, Barda. 2000.Perbandingan Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007.Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Alumni. Bandung Nawawi Arief, Barda. 2002.Bunga Rampai Hukum Pidana.Citra Aditya Bakti. Bandung.

Projdohamidjo, Martiman. 2011.Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 199). Bandar Maju. Bandung

Soekamto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI-PRESS. Jakarta

Sudarto, 2000, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Hukum dan Hukum Pidana, Bandung.

Yahya Harahap, M. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Bandung

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan

(18)

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kebijakan Formulasi

Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh sekelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan yang mengikat seluruh lapisan masyarakat. (M. Hamdan, 1997 : 3)

(20)

Kebijakan legislatif merupakan kebijakan (policy) dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-perundangan. Oleh karena itu, kebijakan legislatif sering juga disebut dengan istilah kebijakan formulatif. (Barda Nawawi Arief, 2002 : 223)

Kebijakan formulatif merupakan tahap paling strategis dari keseluruhan proses operasional/fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana. Kebijakan formulasi yang diberikan dalam suatu rancangan undang-undang merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana. Melaksakan politik hukum pidana berarti mengusahakan mewujudkan peraturan perundangan-perundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang sekaligus melakukan pembaharuan terhadap hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan itu hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan.

Makna dan hakikat pembaharuan hukum dilihat dari sudut pendekatan kebijakan menurut Barda Nawawi Arief (2002 : 28) adalah :

1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk menguasai masalah-masalah sosial dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional.

2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat.

(21)

B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptions atau corruptus (Webster Student Dictionary : 1960), yang berarti kerusakan dan kebobrokan. Korupsi dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang dibidang keuangan. Istilah korupsi di beberapa negara, yaitu gin moung (Muangthai) yang berarti makan bangsa, tanwu (China) yang berarti keserakahan bernoda,oshoku(Jepang) yang berarti kerja kotor, (Sudarto : 122). Kemudian muncul dalam berbagai bahasa Eropa seperti Inggris dan Perancis yaitucorruption dan muncul pula dalam pembendaharaan bahasa Indonesia dengan istilah korupsi.

Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina, memfitnah dan lain sebagainya, (Martiman Prodjohamijo, 2002:7). Kemudian arti kata korupsi telah diterima dalam pembendaharaan bahasa Indonesia dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya, (Andi Hamzah, 1991:7).

Secara sosiologis, korupsi merupakan tindakan desosialisasi, yaitu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial, mengabaikan kepedulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan hak individunya dapat dipenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. (Andi Hamzah, 1991:7).

(22)

bukan saja oleh Pegawai Negeri Sipil akan tetapi juga meliputi orang yang menangani proses pemberian pelayanan yang menerima gaji atau upah dari suatu badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum yang mempergunakan bantuan negara secara illegal.

Tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 meliputi perbuatan-perbuatan yang cukup luas cakupannya. Sumber perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 dapat digolongkan ke dalam dua golongan :

1. Perumusan yang dibuat sendiri oleh pembuat Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. 2. Pasal KUHP yang ditarik ke dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.

Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 16. Pasal-pasal KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi tercantum dalam Pasal 5 sampai Pasal 12. Meliputi 13 Pasal yaitu Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 419, 420, 423, 425, dan Pasal 345, dengan ditariknya Pasal-pasal KUHP tersebut menjadi tindak pidana korupsi, maka ancaman hukumannya berlaku dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. Pengertian tindak pidana korupsi, menurut Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yaitu :

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1)).

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahkangunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

(23)

4. Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri Sipil dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).

5. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15).

6. Setiap orang di luar Wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 19).

Pasal 2 ayat (1) di atas, ditemukan unsur-unsur berikut : a. Melawan hukum

b. Memperkaya diri sendri atau orang lain atau suatu korporasi c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

(24)

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 disebutkan bahwa, perbuatan untuk memperkaya diri tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi si pelaku saja, tetapi juga diperuntukkan bagi oranglain atau suatu korporasi. Kata “Dapat” sebelum frasa-frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara, dalam Pasal 2 ayat (1) menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat, sedangkan yang dimaksud keuangan negara dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.

c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

(25)

210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423 dan 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, terdapat unsur-unsur sebagai berikut : a. Memberi hadiah atau janji.

b. Kepada Pegawai Negeri Sipil (seperti yang dimaksud Pasal 1 ayat (2)).

c. Dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau suatu kewenangan yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 menyebutkan : a. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang. b. Pelanggaran tersebut sebagai tindak pidana korupsi.

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 apabila dilihat lebih lanjut maka akan ditentukan tindak pidana korupsi yaitu :

a. Percobaaan untuk melakukan tindak pidana korupsi seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3, 5 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini.

b. Pembantuan untuk melakukan tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini.

c. Pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3, 5 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini.

(26)

terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 5 sampai dengan Pasal 14”. Penjelasan Pasal 16, Pembantuan untuk melakukan tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3, 5 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini dikemukakan bahwa ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Yang dimaksud dengan “bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan”, dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Kartini Kartono (1981:157), korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna menegak keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana (perbuatan melanggar hukum) yang bersifat khusus dimana tindak pidana ini semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana umum.

(27)

Dari uraian di atas dapat dianalisa bahwa tindak pidana korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang di mana tindakan ini merugikan keuangan dan perekonomian negara, tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang dapat menghilangkan hak orang lain dan mengorbankan kepentingan orang lain yang termasuk juga kepentingan negara. Kejahatan korupsi adalah kejahatan yang bersifat terorganisir dan terstruktur yang melibatkan lembaga negara dan instansi pemerintahan.

C. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Pembuktian dalam perkara korupsi berbeda dengan pembuktian dalam perkara biasa, terutama berkaitan dengan peranan terdakwa dalam pembuktian. Prinsip pembuktian dalam perkara pidana biasa didasarkan pada asas presumption of innocence, di mana setiap orang tidak boleh di anggap bersalah sebelum ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan asas tersebut maka dalam pemeriksaan sidang pengadilan yang harus membuktikan setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana adalah penuntut umum, sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 66 KUHAP. Hal ini sedikit berbeda dalam perkara korupsi di mana terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut :

“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”

(28)

tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Dengan kata lain meskipun terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, tidak berarti ia tidak melakukan korupsi dan terbebas dari segala tuduhan tetapi itu semua masih tergantung pada pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum. Pembuktian seperti ini disebut pembuktian terbalik yang terbatas. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan :

“Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menetukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya”

Pembuktian yang dilakukan terdakwa hanya bersifat sebagai sesuatu yang menguntungkan atau merugikannya. Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaannya tidak terbukti (Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001), Sedangkan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan yang diberikan digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001).

(29)

1. Ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.

2. Ketentuan Pasal 28 jo Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 yang menyatakan bahwa untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang di duga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.

3. Ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang penorobosan rahasia bank. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntututan atau pemeriksaan disidang pengadilan, peyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.

4. Ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang menyatakan bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terpenuhi, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka dapat dilakukan gugatan perdata. Apabila terdakwa diputus bebas, maka hal itu tidak menghapuskan hak atau menuntut kerugian negara. 5. Meninggalnya tersangka atau terdakwa tidak menyebabkan berhentinya penuntutan dan

(30)

6. Dalam perkara korupsi, dimungkinkan dilanjutkannya persidangan tanpa dihadiri oleh terdakwa, apabila terdakwa telah dipanggil secara sah oleh pengadilan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

7. Adanya pidana tambahan dalam perkara korupsi selain pidana tambahan yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pidana dalam perkara korupsi diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999, yaitu berupa :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau

sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

8. Penyebutan orang-orang yang dapat dikecualikan sebagai saksi dalam perkara korupsi memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding ketentuan yang diatur untuk perkara pidana biasa. Orang-orang yang dikecualikan sebagai saksi dalam perkara korupsi meliputi ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa (Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999).

(31)

Dalam perkara korupsi, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi di samping kewajiban penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya. Hal ini berbeda dengan pembuktian dalam perkara pidana biasa di mana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP).

D. Macam-macam Alat Bukti

1. Keterangan saksi

Hal ini diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP dan Pasal 1 butir 27 KUHAP sebagai berikut : a. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penununtutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. (Pasal 1 butir 26 KUHAP)

b. Keterangan adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. (Pasal 1 butir 21 KUHAP )

2. Keterangan Ahli

(32)

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli adalah :

a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “bebas” atau “vrij bewijskracht”. Di dalamnya tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menetukan. Terserah pada hakim, hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya.

b. Keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lainnya. (M. Yahya Harahap, 2001:284).

3. Surat

Berkaitan dengan alat bukti, Soedikno Mertokusumo (1998:75) menyatakan bahwa alat bukti tertulis atau surat adalah :

“Segala seseuatu yang memuat tanda-tanda baca yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda baca, atau meskipun memuat tanda-tanda baca akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat”.

Menurut pasal 187 KUHAP, suatu surat padat dinilai sebagai alat bukti yang sah ialah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yaitu :

(33)

atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan.

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Ketentuan mengenai alat bukti petunjuk terdapat dalam pasal 188 KUHAP yang menyebutkan sebagai berikut :

1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi

b. Surat

c. Keterangan terdakwa

3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

5. Keterangan Terdakwa

Pengertian tentang keterangan terdakwa terdapat dalam KUHAP Pasal 189 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

(34)

Dari ketentuan tersebut di atas, bahwa keterangan terdakwa yang menjadi alat bukti adalah keterangan terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri dan diberikan di dalam persidangan atau diluar sidang pengadilan.

E. Pembuktian Terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Delik korupsi adalah sebagaimana juga delik pidana pada umumnya dilakukan dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara yang semakin canggih dan rumit. Sehingga banyak perkara-perkara/delik korupsi lolos dari “jaringan” sistem pembuktian KUHAP. Karena itu pembuktian undang-undang mencoba menerapkan upaya hukum pembuktian terbalik, sebagaimana diterapkan dalam sistem beracara pidana di Malaysia. Upaya hukum pembuktian terbalik ini telah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

(35)

mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sistem pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 47 yaitu :

1. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, wajib membuktikan sebaliknya terhadap Kekayaan miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa Kekayaan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, Kekayaan tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian Kekayaan tersebut dirampas untuk negara.

3. Tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.

4. Pembuktian bahwa Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.

5. Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

6. Dalam hal terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok maka tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.

Pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, jika ia tidak berhasil membuktikan maka ia berarti terbukti melakukan korupsi. Sistem ini digunakan terhadap setiap pemberian kepada pegawai negeri yang nilainya di atas Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sedangkan yang nilainya di bawah Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) masih menggunakan sistem pembuktian biasa.

(36)
(37)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Cansil, CST. 1989 .Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Hamdan, M. 1997.Poltik Hukum Pidana.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia dan Pemecahannya. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Harahap Yahya, M. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta.

Kartono, Kartini. 1981.Patologi Sosial (jilid 1).Rajawali. Jakarta.

Mertokusumo, Soedikno. 1998.Hukum Acara Perdata.Liberty. Yokyakarta. Poernomo, Bambang. 1999.Kebijakan Non Panel Dua Menanggulangi Kejahatan Korupsi, Seminar nasional Menyambut Lahirnya UU

Tindak Pidana Korupsi, 11 September 1990

Projdohamidjo, Martiman. 2011.Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 199). Bandar Maju. Bandung

Sudarto. 2000, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Hukum dan Hukum Pidana,Bandung.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian, (Abdulkadir Muhammad, 2004 : 112). Pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Pendekatan yuridis empiris yaitu meneliti dan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh secara langsung terhadap objek penelitian melalui observasi dan wawancara terhadap responden atau nara sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini.

B. Sumber dan Jenis Data

(39)

dari hasil wawancara terhadap narasumber. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara melakukan studi dokumentasi dan studi literatur dalam mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaidah hukum yang menyangkut konsep yang berkaitan dengan pembuktian.

Jenis data sekunder ini terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh melalui studi dokumen hukum, bahan hukum sekunder yang diperoleh melalui studi hukum dan bahan tersier yang diperoleh dari studi literatur. Ada pun bahan hukum tersebut adalah :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, teridiri dari : a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yaitu :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

(40)

pendapat-pendapat para sarjana, berita serta berbagai keterangan dari media massa dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah sebuah objek atau seluruh individu atau seluruh gejala kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990 : 40). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah pihak-pihak yang berkompeten dalam perumusan/pembuat undang-undang (legislatif), penerapan undang-undang-undang-undang (yudikatif) dan pelaksanaan undang-undang-undang-undang (eksekutif), dengan berpegang pada pada populasi yang telah ditentukan maka penulis akan menentukan sampel yang representatif (mewakili populasi), metode yang yang digunakan adalah Purposive Sampling yaitu berdasarkan penunjukan responden sesuai dengan kewenangan dan kedudukan sampel. Adapun responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu :

1. Anggota Komisi III DPR RI : 2 orang 2. Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Lampung : 2 orang 3. Hakim di Pengadilan Tinggi Lampung : 2 orang 4. Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 2 orang

Jumlah : 8 orang

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data

(41)

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan cara membaca, mencatat, mengutip hal-hal yang perlu dan penting terhadap beberapa buku literatur, misalnya peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan pembahasan.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya data tersebut diolah dengan menggunakan langkah sebagai berikut :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan, serta apakah data tersebut sudah sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan pokok bahasan.

c. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendiskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan. d. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok

bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

(42)

yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum guna menjawab permasalahan berdasarkan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum.Citra Aditya Bakti. Bandung.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

(43)
(44)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

(45)

secara multiplier terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat menuntut penindakan yang ektra ordinary juga. Oleh karenanya kehadiran pembuktian terbalik secara mutlak (penuh) dalam sistem pembebanan pembuktian menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam upaya pemberantasan korupsi.

3. Perbedaan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dengan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur penerapan pembuktian terbalik secara terbatas dan berimbang, yaitu pembebanan pembuktian dibebankan kepada terdakwa, penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya sedangkan kebijakan formulasi pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana mengatur penerapan pembuktian terbalik secara murni, yaitu beban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada terdakwa, sedangkan penuntut umum tidak lagi dibebankan beban pembuktian.

B. Saran

1. Pembenanan pembuktian terbalik harus diterapkan hanya dalam proses persidangan, hal ini dilakukan guna menghindari pemerasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada tingkat penyidikan dan penyelidikan, sebab tingkat pemeriksaan dipengadilan terbuka untuk umum, sedangkan tingkat penyelidikan tidak terbuka untuk umum. 2. Sifat melawan hukum materriil dalam tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat

(46)

apabila hanya menerapkan sifat melawan hukum formil berdasarkan undang-undang saja maka pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat dijerat hukum, pelaku bisa “mensiasati’’ asal-usul harta kekayaan. Pelaku bisa saja berdalih harta kekayaaan warisan dan hibah dan menyimpannya menggunakan nama anak dalam keluarga. Pembuktian Terbalik bisa diberlakukan efektif manakala sifat pembuktian sifat secara materill dihidupkan kembali.

(47)

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UNDANG UNDANG

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI

(Skripsi)

Oleh

ANNA VERTA IDAYANE

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(48)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Formulasi ... 17

B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 19

C. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ... 26

D. Macam-macam Alat Bukti ... 30

E. Pembuktian Tebalik dalam RUU Tindak Pidana Korupsi.. ... 34

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 38

B. Sumber dan Jenis Data ... 39

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 40

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 41

E. Analisis Data ... 42

(49)

B. Kebijakan Formulasi Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi………45 C. Latar Belakang Perubahan Pembuktian Terbalik Secara Terbatas

Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pembuktian Terbalik Secara Murni Dalam Rancangan

Undang Undang Tindak Pidana Korupsi………..63 D. Perbedaan Kebijakan Formulasi Pembuktian Terbalik Dalam

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan

Undang-Undang TindakPidana Korupsi………..68 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

(50)

MOTTO

Rendah hati akan memacu seseorang lebih cepat maju sebab dengan itu dia mau mengakui kelemahan diri dan terbuka terhadap aneka koreksi

(Abdullah Gymnastiar)

Barang siapa menginginkan kebahagian dunia, wajib baginya menuntut ilmu, barang siapa mengingankan kebahagiaan akhirat wajib baginya menuntut ilmu, barang siapa menginginkan kebahagiaan keduanya, wajib

(51)

PERSEMBAHAN

BISMILLAHIRRAHMANNIRAHIIM

Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, ku persembahkan karya sederhana ini kepada :

Kedua orang tuaku tercinta yang sangat aku sayangi, Papa Sofyan dan mama Farida yang senantiasa

dengan tulus ikhlas memberikan limpahan kasih sayang serta doanya dalam menantikan keberhasilanku.

Adik-adik ku tercinta, Idwi Idayane dan Bagus Jaya Abdi Nusa, yang telah mencurahkan kasih

sayang dan perhatian serta motivasi untuk keberhasilan ku kelak.

Sahabat-sahabatku yang telah mengisi hari-hariku melewati suka dan duka bersama.

(52)

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UNDANG UNDANG

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI

oleh

ANNA VERTA IDAYANE

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(53)

Judul Skripsi :ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UUNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RANCANGAN

UNDANG-UNDANG TINDAPIDANA KORUPSI Nama Mahasiswa :

Anna Verta Idayane

No. Pokok Mahasiswa : 0852011027 Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1.Komisi pembimbing

Hj. Firganeffi, S.H., M.H. Maya Shafira,S.H., M.H NIP. 196312171988032003 NIP. 197706012005012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(54)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Hj. Firganeffi, S.H.,M.H ...

Sekretaris/Anggota :Maya Shafira S.H.,M.H ...

Penguji Utama :Diah Gusti Maulani, S.H.,M.H ...

2. Dekan Fakultas Hukum

(55)
(56)

RIWAYAT HIDUP

Penulis mengawali pendidikannya di SD Negeri 1 Waluyojati Pringsewu dan tamat pada tahun 2001, melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pringsewu dan tamat pada tahun 2004, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Pringsewu dan tamat pada tahun 2007.

Pada Tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan mengambil minat bagian Hukum Pidana. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2011 di Desa Bujung Dewa, Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang Barat.

(57)

SANWACANA

Puji Syukur kehadirat Allah,SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan penghargaan dan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H. M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H. M.H selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana sekaligus Dosen Pembahas I yang telah berkenan. atas waktu, saran, masukan, dan kritik yang membangun kepada penulis.

3. Ibu Siti Azizah, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan bantuannya selama penulis menempuh masa studi.

4. Ibu Firganeffi, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing I yang telah berkenan menuangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan mendukung penulis selama penulisan skripsi dengan penuh perhatian dan kesabaran.

5. Ibu Maya Shafira, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah berkenan menuangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan mendukung Penulis selama penulisan skripsi dengan penuh perhatian dan kesabaran.

(58)

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan ilmu, khusunya ilmu hukum kepada penulis.

8. Papa dan Mama tersayang, kupersembahkan karya kecil ini sebagai tanda baktiku, terimakasih yang tiada terkira atas doa, limpahan kasih sayang yang telah diberikan sampai saat ini.

9. Adik-adikku, Idwi Idayane dan Bagus Jaya Abdi Nusa, yang dengan kesetiaannya memberikan semangat serta doa yang tak pernah pudar.

10. Keluarga besar Datukku Marhasan dan Nyaikku Rosnawati, mami Yus dan papi Pendi, om Oni dan Bunda Yanti, ayah suntan Jup dan ibu suntan, Makyai. Keluarga besar Datuk Asnawi (alm) dan nyaik Hayani, mami Kholida dan papi Selamat, Om Jun dan bunda Lena. Keluarga di Depok, uncu, ayeng Pendi, kakak One, Awang dan mpus, terimakasih atas doa dan kasih sayang yang selalu diberikan.

11. Altop, S.H. dan Ibu Siti Aisyah, orang-orang terbaik yang hadir dan membuat hidupku berwarna, terimakasih atas segalanya yang tidak akan terlupakan, dukungan dan bantuannya selama ini.

12. Sahabat terbaikku; Sari, Izda, Fani, Iman, Budi, Cici, Inna, Citra, Tria, Eki, Yoan, Donna, Beb Silca, Wirda, Selvi, Madam Zu, teman-teman selama menjalankan KKN (Ike, Aldaova, Reza, Hari, Ayu) dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas persahabatan yang tidak akan terlupakan, doa dan bantuan dari kalian. 13. Teman-teman seperjuangan; Derry, Yusni, Hesti, Habi, Riani, Cenul, Ria Tomy, Ricky dan

(59)

14. Keluarga besar HIMAPIDANA (Himpunan Mahasiswa Pidana) terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya.

15. Koresponden dari Komisi III DPR RI Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi Bandar Lampung, Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu dalam penyelesaian skripai ini

Hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan doa, semoga semua amal kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin..

Bandar Lampung, Februari 2012

Penulis

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Pasal 35 Undang-undang 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengatur mengenai Pembuktian Terbalik, bahwa dalam sidang pengadilan terdakwa wajib

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang Undang Nomor 48 Tahun

Uraian sanksi pidana bagi tindak pidana korupsi dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Menarik untuk dilihat ialah, bahwa asas beban pembuktian terbalik yang ada dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tenang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah : “Setiap orang dikategorikan melawan hukum, melakukan