• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN FRASA FASILITAS LAINNYA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT GRATIFIKASI SEKSUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PENAFSIRAN FRASA FASILITAS LAINNYA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT GRATIFIKASI SEKSUAL"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian yang telah dijelaskan demikian, maka dapat diambil beberapa titik fokus penelitian, antara lain: Apa pertanggungjawaban pidana perempuan yang menjadi sasaran gratifikasi seksual menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi media pembelajaran bagi mahasiswa UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember dalam mengkaji permasalahan hukum, dan juga menambah referensi literatur mengenai UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kasus-kasus gratifikasi seksual dan memberikan bahan referensi bagi masyarakat untuk menghindari kasus-kasus gratifikasi seksual yang sedang terjadi, serta memberikan sarana untuk mendokumentasikan kasus-kasus gratifikasi seksual. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi aparat penegak hukum dalam memberikan kontribusi pemikiran hukum mengenai gratifikasi seksual, serta memudahkan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan atau menangani kasus gratifikasi seksual dan memberikan sanksi bagi pelakunya. .

Definisi Istilah

Penjelasan pasal 12B ayat (1) UU Tipikor menjelaskan bahwa yang pada hakikatnya gratifikasi dapat diartikan secara luas meliputi pemberian uang tunai, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, pengaturan perjalanan, akomodasi, perjalanan, cuma-cuma. pelayanan kesehatan, dan pelayanan lainnya. Penghargaan ini diberikan baik secara lokal maupun internasional, dan dapat dilakukan secara elektronik atau manual. Dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) UU Tipikor, pengertian kepuasan pada hakekatnya dapat diartikan secara luas, antara lain:

Pemberian tip ini diberikan baik secara lokal maupun internasional dan dapat dilakukan secara elektronik atau manual.15 Gratifikasi seksual sendiri adalah pemberian hadiah berupa layanan seksual sebagai imbalan seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Korupsi secara harafiah berarti kejahatan, kejahatan, ketidakjujuran, penyimpangan, ketidakadilan dan kemungkinan penyuapan.16 Perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, pihak lain atau mempengaruhi negara atau perekonomiannya dan dilakukan dengan cara menyalahgunakan jabatan disebut tindak pidana korupsi. .

Sistematika Pembahasan

Dalam bab ini akan dikemukakan pendapat-pendapat para ahli yang akan dijadikan landasan berpikir dan sebagai penguat guna membentuk kerangka berpikir yang sistematis agar menjadi pegangan pada bab berikutnya. Bab ini dimaksudkan sebagai landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh sebelumnya. Metode penelitian ini terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, validasi data dan tahapan penelitian.

Peneliti menarik kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan pada bab ini peneliti juga melengkapinya dengan saran. Hasil penelitian yang disajikan pada Bab V diharapkan dapat memberikan pemahaman yang jelas dan saran bagi penelitian selanjutnya.

KAJIAN PUSTAKA

Kajian Teori

Undang-undang mewajibkan pemegang polis untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi setiap gratifikasi yang berkaitan dengan jabatannya dan pelanggaran terhadap kewajiban atau tugas penerimanya. Interpretasi, atau penafsiran suatu peraturan hukum, adalah pemeriksaan dan penetapan a. Apabila menggunakan pengertian yang sempit atau yang bisa disebut restriktif, berarti gagasan tentang undang-undang yang ditafsirkan diberi makna yang terbatas atau ada pembatasan dalam penafsirannya.

Dalam arti luas atau disebut ekstensif, yaitu apabila dalil-dalil undang-undang yang ditafsirkan diberi arti seluas-luasnya atau tidak dibatasi dalam penafsiran undang-undang itu. Ada berbagai jenis metode untuk menafsirkan peraturan hukum ini, termasuk interpretasi gramatikal, interpretasi sejarah, interpretasi sistematis, interpretasi sosiologis, interpretasi otentik dan interpretasi komparatif; Tafsir gramatikal atau dalam bahasa Belanda disebut linguistik, yaitu penafsiran menurut perkataan atau bunyi ketentuan hukum.

Kata-kata dan bahasa merupakan alat yang dibutuhkan pembentuk undang-undang untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Penafsiran sejarah atau penafsiran sejarah mencari sejarah hukum yang akan dipelajari.38 Penafsiran sejarah ini terdiri dari dua jenis, yaitu 1) menurut Fockema Andre, penafsiran terbagi menjadi dua bentuk, yaitu penafsiran asal usul, yaitu bagaimana terjadinya menjadi. Yang lazim dalam penafsiran sejarah dibedakan menjadi dua, yaitu: .. a) penafsiran berdasarkan sejarah terbentuknya hukum (wetshistorische interpretatie).

Mengenai bagaimana menafsirkan peraturan pidana yang ada di negara kita, menurut Simons, “permasalahannya adalah peraturan itu harus ditafsirkan berdasarkan undang-undang itu sendiri.”45 Jadi. Jika susunan kata suatu undang-undang tidak dapat dipahami atau tidak jelas, maka diperbolehkan untuk menyelidiki maksud pembuat undang-undang, karena dalam pandangan Simons bahwa makna sebenarnya dari ketentuan pidana dapat dipastikan dalam undang-undang tersebut dengan melihat maksud sebenarnya. pembuat undang-undang. Pompe menilai pada dasarnya tidak ada aturan privat dalam penafsiran KUHP.

Pompe mengatakan, jika kata-kata dalam undang-undang itu jelas, maka tidak boleh ditafsirkan berbeda dari yang sebenarnya. Dalam menggunakan suatu hukum pidana, hakim mempunyai kebebasan yang besar, oleh karena itu hakimlah yang wajib menilai apakah perkataan dalam undang-undang tersebut dapat dipahami atau tidak. Apabila menurut hakim kata-kata dalam undang-undang tersebut kurang jelas, maka hakim mempunyai kebebasan untuk mencari makna sebenarnya.50.

Meski tidak disebutkan secara tegas, namun macam-macam penafsiran yang dapat digunakan terhadap peraturan pidana menurut Pompe adalah cara penafsiran autentik atau penafsiran autentik, sebatas pada bunyi rumusan undang-undang atau penafsiran tegas, sesuai dengan maksudnya. Namun ada beberapa pengecualian bagi mereka yang pernah melakukan tindak pidana namun tidak dihukum, seperti jika dalam keadaan terpaksa, membela diri, menjalankan perintah resmi, atau menjalankan perintah undang-undang.

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan hukum yang diteliti.78 Dalam pendekatan ini, peneliti juga harus memahami struktur dan asas ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendekatan historis dilakukan dengan melihat konteks yang akan diteliti dan perkembangan peraturan mengenai permasalahan yang dihadapi.79 Dengan menggunakan pendekatan peneliti untuk memudahkan memahami sejarah peraturan tersebut dari masa ke masa kedua, peneliti juga akan memahami bagaimana sejarah perubahan dan perkembangan mengenai keberadaan ketentuan hukum tersebut.

Sumber Bahan Hukum

Undang-Undang Pencegahan Korupsi telah beberapa kali diundangkan sebelum mulai berlaku, susunan kata-katanya telah beberapa kali diubah, dicabut atau bahkan diganti. 89 Ikhwan, “Perbandingan Gratifikasi Seksual pada Tindak Pidana Korupsi Dilihat dari Perspektif Hukum di Indonesia dan Singapura”. Legislator harus segera memperbarui UU Tipikor agar ada aturan yang mengatur pelaku dan pelaku tindak pidana gratifikasi seksual agar bisa melakukan hal tersebut.

Tinjauan Pelayanan Seksual Sebagai Bentuk Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Perbandingan Gratifikasi Seksual dalam Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Perspektif Regulasi Perundang-undangan di Indonesia Indonesia dan Singapura." Jurnal Analisis Hukum (JAH) 3, no. Gratifikasi Seksual dalam Perspektif UU Pemberantasan Korupsi." Semarang Law Review (SLR) 2, no.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874); Alat bukti sah berupa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi, juga dapat diperoleh. Sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diterbitkan, berbagai penafsiran atau penafsiran berkembang di masyarakat. , khususnya mengenai penerapan undang-undang ini terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang nomor 31 tahun 1999 diundangkan.

Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara khusus, termasuk penerapan sistem pembuktian terbalik, yaitu pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan variasi penafsiran dan memberikan perlakuan yang adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembuktian terbalik ini berlaku terhadap tindak pidana baru yang berkaitan dengan kepuasan dan tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga timbul dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 13, pasal 14, pasal 15 dan Pasal 16 UU – UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sd 12 UU ini.

Harta kekayaan yang disembunyikan atau disembunyikan itu patut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Lebih lanjut, Undang-Undang ini juga mengatur ketentuan baru mengenai pidana penjara dan denda maksimal bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. Ketentuan dalam pasal ini merupakan bukti sebaliknya khusus untuk perampasan barang bukti yang diduga kuat akibat tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 13, pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai Pasal 12 Undang-undang ini merupakan tindak pidana pokok.

Dasar pemikiran ketentuan pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta kekayaan yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, Negara berhak mengajukan gugatan perdata terhadap terpidana dan/atau ahli warisnya atas harta benda yang diperolehnya sebelum putusan pengadilan itu menjadi tetap, tanpa memperhatikan apakah putusan itu berdasarkan undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Karena Undang-undang.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa efektifitas penerapan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi (gratifikasi)

22 Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjelaskan bahwa “Yang berarti bahwa tindak pidana korupsi itu sangat

Ancaman sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk ). Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium

“Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

Sehingga, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu : Pasal 2 Ayat 1 :

Esensi pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001