• Tidak ada hasil yang ditemukan

GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM PERSONA KORUPS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM PERSONA KORUPS"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

GRATIFIKASI SEKSUAL

DALAM PERSONA KORUPSI

Diterbitkan Oleh R.A.De.Rozarie

(2)

GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM PERSONA KORUPSI © Oktober 2015

Cetakan II

Eklektikus: Dr. H Ansori, S.H., M.H. Editor: Ester Mathilda

Master Desain Tata Letak: Eko Puji Sulistyo

Angka Buku Standar Internasional: 9786021728369

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan

Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari CV. R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal penukilan untuk

keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi.

Terima kasih

(3)

i

PRAKATA

Sejak menjadi Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding pada Pengadilan Tinggi Maluku Utara, saya merasakan bahwa lingkup gratifikasi menunjukkan perluasan negatif – namun menghasilkan perluasan pemikiran yang positif. Dalam hal ini, seks berlaku sebagai umpan dan daya tarik bagi para penjahat kerah putih. Mereka sudah mulai terbiasa dan mengalami tindakan yang dulu dianggap tabu menjadi suatu syarat dalam meloloskan keinginannya.

Mudah-mudahan buku ini yang berjudul “Gratifikasi Seksual

Dalam Persona Korupsi“ dapat memberi perubahan paradigma dalam

masyarakat bahwa seks tidaklah selamanya seks melainkan ada kekuatan kasat mata di dalamnya.

Bondowoso, 3 September 2013

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Sejak lama seks telah menjadi suatu hal yang tidak dapat diukur nilainya. Seks hanya sebatas “alat ” untuk memuaskan antar

pihak. Di sisi lainnya, seks tidak hanya sebatas pria dan wanita – namun seks telah melebarkan sayapnya menjadi semburit dan lesbi. Berjalan ke belakang, Kota Sodom dan Gomora adalah bukti kepercayaan iman seseorang bahwa seks benar-benar menjadikan sesuatu perubahan yang signifikan.

Nah... suatu kebanggaan atas terbitnya buku Bapak Ansori yang berjudul “Gratifikasi Seksual Dalam Persona Korupsi”. Tema yang diangkat benar-benar baru dalam dunia ilmu hukum. Hingga saat ini pikiran masyarakat masih terpaku bahwa korupsi selalu identik dengan uang padahal tren saat ini menunjukkan bahwa seks mulai turut berperan.

Setidaknya Bapak Ansori telah berani menunjukkan jati dirinya sebagai ahli hukum pidana dengan menghasilkan pemikiran ilmiahnya terkait gratifikasi seksual. Mudah-mudahan buku ini tetap membakar libido para akademikus untuk tetap menghasilkan karya ilmiah hukum di luar pakem.

Jember, 15 September 2013

(5)

iii

S E NA R A I I SI

PRAKATA i

KATA PENGANTAR ii

SENARAI ISI iii

BAB I AWAL PEMIKIRAN

A.Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana

Di Indonesia 1

B. Norma-Norma Materil Dan Hukum Pidana 13

C.Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana 14

D.Kenisbian Undang-Undang 14

E. Sifat Melawan Hukum Sebagai Unsur 16

F. Yurisprudensi 17

G.Penafsiran Terhadap Arti Sifat Melawan Hukum 19

BAB II PENGURAIAN PUSTAKA TERPERINCI

A.Tindak Pidana Korupsi Dan Gratifikasi 21

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi 21

2. Pengertian Gratifikasi Seksual 31

3. Pengertian Sistem Pembuktian 33

B. Layanan Seks Sebagai Korupsi Pasif 37

C.Penegak Hukum Dan Gratifikasi Pasif 43

D.Pembuktian Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Ko-

rupsi 48

1. Landasan Formil Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 48

2. Hukum Positif yang Pernah Berlaku 49

3. Intisari Undang-undang Korupsi 55

E. Sistem Pembuktian Gratifikasi Seksual Sebagai Korupsi Pasif 56

F. Gratifikasi Seksual Dalam Perspektif Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi 74

BAB III ALUR KONSEPTUAL

A.Dasar Normatif Perumusan Tindak Pidana Gratifikasi Sek-

sual 76

1. Formulasi Norma Perbuatan Tindak Pidana Gratifikasi

Seksual 76

2. Perumusan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifi- kasi Seksual dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana di

Indonesia 116

3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi

Seksual 118

B. Kebijakan Perumusan Sanksi Tindak Pidana Pelaku Gratifi- kasi Seksual Dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana Ko-

rupsi Di Indonesia 123

(6)

iv BAB IV AKHIR PEMIKIRAN

A.Konstatir 133

B. Saran 134

SENARAI PEMIKIRAN 135

LAMPIRAN 1 140

(7)

1

BAB I

AWAL PEMIKIRAN

A. Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia

Tindak pidana korupsi merupakan penyakit masyarakat yang penanganannya diperlukan secara luar biasa. Tindak pidana korupsi juga sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga menghambat pembangunan nasional. Hal ini harus diberantas secara tuntas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Masalah utama yang dihadapi yaitu meningkatnya modus dan bentuk korupsi tersebut seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin meningkat juga kebutuhan mendorong orang untuk melakukan korupsi.

Istilah korupsi berasal dari suatu kata dalam Bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin ke dalam Bahasa Inggris menjadi corruption atau

corrupt, dalam Bahasa Prancis menjadi corruption dan dalam Bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie. Sepertinya dari Bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam Bahasa Indonesia.1

Tindak pidana korupsi telah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan, baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif (dikenal dengan korupsi birokratis secara luas yakni korupsi dilakukan orang yang memegang kekuasaan kelembagaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif).2 Bahkan tidak mustahil pada tahun berikutnya jumlah tersebut semakin meningkat. Disinyalir tidak sedikit yang tergolong catur wangsa hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara tersangkut tindak pidana korupsi di semua tingkat peradilan. Hal demikian memperlihatkan integritas rendah

1 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu

Media, 2011, hal. 1.

2 Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan

(8)

2

dan kemampuan terbatas menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan pengalaman empiris selama ini terlihat bahwa di dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana korupsi memerlukan dukungan dan wewenang yang bersifat luar biasa, profesional dan biaya besar, serta tersedianya waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang cukup.

Upaya keras pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia diwujudkan dengan cara dibuatnya regulasi mengenai pemberantasan korupsi. Pada Pemerintahan Orde Lama berlaku Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

(Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960), kemudian pada

Pemerintahan Orde Baru berlaku Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3-1971). Kini di era Reformasi berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31-1999) yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20-2001), namun dengan berlakunya undang-undang tersebut ternyata masih belum mampu mengatasi permasalahan korupsi yang begitu menggurita dan yang modusnya terus berkembang.

Bentuk subjek hukum dalam tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah manusia alamiah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan yang dilakukan, baik kesengajaan atau kealpaan. Sedangkan unsur objektif yang diatur adalah:

a. Menjanjikan untuk memberikan hadiah

1. Kepada pegawai negeri (atau pegawai negeri itu telah) melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya;

2. Atau kepada hakim, advokat, saksi ahli agar mempengaruhi putusan atau nasihat dan pertimbangan dan khusus dalam peradilan pidana diperberat sanksinya;

(9)

3

1. Menggelapkan uang, surat berharga, memberikan dan menolong terjadinya perbuatan itu;

2. Memalsukan (menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tidak dapat dipakai barang-barang, akta-akta, surat-surat, buku-buku atau daftar-daftar yang khusus yang dikuasainya karena jabatannya, membuka, menolong terjadinya perbuatan tersebut;

3. Menerima hadiah atau janji agar menyalahgunakan atau sebagai upah setelah melakukan perbuatan tersebut;

c. Melarang hakim atau advokat, saksi ahli untuk menerima hadiah atau janji yang diajukan untuk mempengaruhi putusannya dan mempengaruhi nasihat serta pertimbangan advokat, saksi ahli. Dalam perkara pidana diperberat sanksinya.

d. Melarang perbuatan untuk menyalahgunakan jabatan untuk 1. Memaksa orang untuk memberikan, membayar atau menerima

pembayaran, mengerjakan sesuatu untuk kepentingan pejabat; 2. Ikut melakukan suatu pekerjaan yang seharusnya diawasinya

agar menguntungkan pejabat itu sendiri atau orang lain; e. Melakukan kejahatan dan pelanggaran atau melawan hukum

1. Melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran;

2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan; 3. Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara atau Daerah;

4. Merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat;

f. Melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran dengan 1. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan

2. Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara atau Daerah;

3. Merugikan suatu badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran dari negara atau masyarakat;

(10)

4

Pada Pemerintahan Orde Baru hanya terdapat satu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, yaitu UU No. 3-1971. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya adalah manusia alamiah dan bagian tertentu adalah pejabat sebagai salah satu jenis manusia alamiah. Unsur objektif yang dilarang adalah :

1. dengan melawan hukum (menyalahgunakan jabatan) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri (menguntungkan) atau orang lain, atau suatu badan;

2. yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

3. atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 4. memberi hadiah kepada pejabat agar menyalahgunakan

kewenangannya;

5. melakukan kejahatan yang diatur di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

6. pejabat yang tidak melporkan pemberian; 7. melakukan percobaan, permufakatan;

8. kewajiban orang yang mempunyai hubungannya dengan pejabat untuk memberikan keterangan seluruh harta kekayaannya.

UU No. 31-1999 Jo UU No. 20-2001 telah mengatur berbagai ketentuan khusus diantaranya adalah sanksi pidana dan ketentuan hukum acara pidana. Sanksi yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, dalam proses penerapan hukum diharapkan dapat memberikan peranan positif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Sanksi pidana memiliki peranan penting dalam menciptakan kepatuhan hukum.

Tirtaamidjaja menyatakan bahwa untuk menciptakan agar anggota masyarakat mematuhi hukum, maka diperlukan sanksi hukum. Sanksi hukum itu pula menurut Charles, dimaksudkan agar peraturan tersebut ditaati anggota masyarakat. Sanksi ini kemudian dipertahankan pemerintah untuk menjadikan anggota masyarakat mematuhi sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan.

(11)

5

pembuat Undang-Undang dalam mengatur sanksi dalam pembuatan perundang-undangan.

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No. 20-2001 telah mengalami perubahan, baik dari aspek pelaku tindak pidana dan bentuk sanksi pidananya.

Karakteristik sanksi pidana tidak hanya pada UU No. 20-2001, namun juga pada perundang-undangan lainnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah mengatur tiga sanksi hukum sekaligus, yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Sanksi pidana pada prinsipnya dijatuhkan sebagai ultimum remedium dengan pengecualian pada keadaan tertentu.

Di dalam UU No. 20-2001, pengaturan sanksi mengalami perkembangan yang sangat dinamis, jika dibandingkan dengan ketentuan sanksi pidana yang tertera dalam KUHP. Sanksi pidana yang tercantum dalam KUHP hanya dikenal dengan sanksi pidana tunggal atau utama atau sanksi pidana alternatif terhadap penjatuhan pidana pokok.

Hal ini ditandai dengan kata atau dan batas minimum sanksi pidana penjara dalam KUHP secara umum adalah satu hari dan paling lama seumur hidup. Sanksi hukum dalam UU No. 20-2001 memiliki ciri khusus yang berbeda dengan sanksi dalam KUHP KUHP.

Keizer dan Sitorus mengemukakan bahwa

1. Seseorang tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut ketentuan Undang-Undang;

2. Tidak ada penerapan Undang-Undang pidana berdasarkan analogi;

3. Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan; 4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas;

5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;

6. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan oleh Undang-Undang;

7. Penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan Undang-Undang.

(12)

6

menjadi korporasi. Perkembangan yang sama juga dapat ditemukan pada bentuk pertanggungjawaban yang didasarkan pada kesalahan, maka diperkenalkan bentuk pertanggungjawaban baru berkenaan dengan korporasi. Selain dari unsur objektif yang dilarang dalam dua ketentuan pada masa Reformasi ini mengalami perkembangan, yaitu dijadikannya gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi, selain itu unsur objektif yang dilarang adalah

1. Melakukan perbuatan melawan hukum (menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya);

2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Yang dapat merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian

Negara;

4. Mengambil alih rumusan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 425, atau Pasal 435 KUHP;

5. Merintangi proses peradilan tindak pidana korupsi;

6. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu Pasal-Pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP yang diacu; 7. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;

8. Tidak melaporkan gratifikasi.

Selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbentuk di tahun 2003, juga terdapat 6 (Enam) lembaga pemberantasan korupsi yang pernah dan telah dibentuk di negara ini yakni:

1. Operasi Militer (1957),

2. Tim Pemberantasan Korupsi (1967), 3. Operasi Tertib (1977),

4. Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak (1987), 5. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK)

pada tahun 1999, dan

(13)

7

Sebenarnya usaha-usaha untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sejak lama, beberapa kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Selain beberapa regulasi tersebut diatas, juga telah dibentuk berbagai Tim dan Komisi, seperti Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967 diketuai oleh Jaksa Agung Sugiarto, Komisi 4 Tahun 1970 diketuai Wilopo, Komite Anti Korupsi diketuai Akbar Tanjung, Operasi Penertiban (Inpres Nomor 9 b Tahun 1977) beranggotakan Menpan, Pangkopkamtib, dan Jaksa Agung dibantu Pejabat Daerah dan Kapolri, Tim Pemberantasan Korupsi (tahun 1982) dipimpin MA Mudjono, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000) diketuai Adi Handojo dan terakhir Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang diketuai oleh Yusuf Syakir, yang semuanya dimaksudkan untuk mendukung institusi penegak hukum dalam pemberantasan korupsi.

Upaya pemerintah Republik Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni dibentuknya KPK yang memiliki wewenang penyelidikan, penyidikan, penuntutan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 16-2004) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30-2002).

(14)

8

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakaat; dan/atau c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00

(Satu Miliar Rupiah).

Kebijakan-kebijakan dan lembaga pemberantasan korupsi yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.

Peraturan Hukum Pidana Khusus biasanya bersifat sementara, karena untuk membantu mengatasi kesulitan yang terjadi pada suatu waktu tertentu, dan bila telah tercapai equilibrium dalam masyarakat, peraturan tersebut dihapuskan lagi. Salah satu tindak pidana di luar KUHP atau tindak pidana khusus ini, yaitu tindak pidana korupsi (diatur dengan UU No. 3-1971 Jo UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan dibuatnya UU No. 20-2001).

Selain itu rumusan tindak pidana korupsi yang diatur oleh UU No. 31-1999 cukup banyak memberikan kategori perbuatan korupsi, dan paling tidak terdapat 30 jenis perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, antara lain:

1. Kerugian Negara (Pasal 2 dan Pasal 3);

2. Suap-menyuap (Pasal 5 Ayat (1) huruf a, huruf b dan Ayat (2); 3. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a,

huruf b, dan huruf c);

4. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, huruf g, dan huruf h);

5. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan Ayat (2);

6. Pasal 12 huruf h;

7. Benturan kepentingan pengadaan (Pasal 12 huruf l); 8. Gratifikasi (Pasal 12 huruf b Jo Pasal 12 huruf c);

(15)

9

korupsi antara lain Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36).

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi amanat Bangsa Indonesia yang telah dituangkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme – yang diwujudkan dalam UU No. 31-1999. Kendala utama yang dihadapi selama penerapan UU No. 31-1999 dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu kurangnya dukungan anggaran, sumber daya manusia yang masih belum memadai dan hambatan-hambatan penyidikan terhadap pejabat-pejabat negara, sulitnya menembus rahasia bank, hukum acara pidana yang tidak efektif dan efisien, serta rendahnya dukungan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Menurut pendapat M. Jasin, tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan:

1. Dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat,

2. Program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi,

3. Sebagian lembaga yang dibentuk tidak memiliki mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama,

4. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan atau partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi,

5. Tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga sumber daya manusia pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi cukup melaksanakan tugas pemberantasan korupsi,

(16)

10

mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah,

7. Lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.

Dibentuknya KPK pada tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring berdasarkan UU No. 30-2002, berusaha untuk tidak mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UU No. 31-1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20-2001 perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 UU No. 31-1999 menentukan:

1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang Ini mulai berlaku, dibentuk Komisi pemberantasan Tindak Pidana korupsi;

2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat;

4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.

(17)

11

korupsi yang bersifat luar biasa sehingga perlu diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan diwujudkan dalam UU No. 20-2001. Perubahan atas UU No. 31-1999 yaitu

Pertama:

“Pada rumusan penjelasan Pasal 2 UU No. 31-1999, Pasal 5, Pasal 6, Pasal

7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal

KUHP”;

Kedua:

“Pada UU No. 20-2001, mencantumkan ketentuan mengenai gratifikasi

dalam Sistem Pembuktian Terbalik (Omkering Vanhet Bewijslast) yang

terdapat dalam Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf c”;

Ketiga:

“UU No. 20-2001 juga memberikan kewenangan untuk melakukan

perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 huruf b Ayat (2) UU No. 20-2001 bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bawa harta benda sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau

sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara”.

Pelaporan gratifikasi meliputi pelaporan terhadap pemberian (dalam arti luas) yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Bahkan baru-baru ini layanan seksual yang disediakan pihak-pihak tertentu terhadap pejabat publik terkait dengan jabatannya dapat diartikan sebagai gratifikasi.

(18)

12

terhadap tindak pidana korupsi akan lebih optimal dan efektif, setidak-tidaknya dapat mengurangi praktek korupsi yang selama ini telah terjadi.

Dalam perkembangannya, gratifikasi tidak hanya meliputi suap berupa materi namun merambah pada layanan seksual yang disediakan oleh pihak penyuap dan menyebabkan penyalahgunaan wewenang pejabat publik atau pegawai negeri sehingga menimbulkan kerugian negara. Menurut Bahtiar Ali, saat ini ada model baru gratifikasi, bukan hanya berupa materi tapi pelayanan plus-plus atau pemberian Pekerja Seks Komersial (PSK).

Pemberian gratifikasi itu sudah jelas diatur, tapi soal seks itu tidak disebutkan secara jelas, sehingga menyulitkan penegak hukum dalam melakukan pembuktian. Oleh karena itu suap seks ini merupakan gratifikasi gaya baru yang sulit dalam pembuktiannya. Namun demikian ketentuan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, menyiratkan “fasilitas lainnya” sebagai bentuk gratifikasi. Namun diperlukan interpretasi ilmiah terhadap pasal tersebut sehingga dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menjerat para koruptor yang merugikan keuangan negara dan/atau keuangan negara.

Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, yaitu

1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (Sepuluh Juta Rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa grafitasi tersebut bukan merupakan uang suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (Sepuluh Juta Rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh Penuntut Umum.

(19)

13

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU No. 28-1999) meliputi

1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri;

4. Gubernur; 5. Hakim;

6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembuktian dalam tindak pidana korupsi bisa menggunakan asas pembuktian terbalik dan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun pada hal-hal tertentu diperlukan hukum acara khusus yang telah diatur dalam UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Namun demikian diperlukan kajian mendalam mengingat seks atau layanan seks dalam praktek sangat sulit dalam pembuktiannya.

B. Norma-Norma Materil Dan Hukum Pidana

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa selain oleh hukum – kehidupan manusia dalam masyarakat dipedominya moral manusia itu sendiri, diatur oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainnya.3 Kaidah-kaidah dapat menjadi tuntutan orang untuk berperilaku, atau menjadi norma-norma berperilaku. Sebagai norma biasanya tidak dengan sengaja dibuat oleh pembuat norma, akan tetapi berkembang sendiri dalam hidup manusia dari generasi ke generasi. Kaidah-kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan dan sosial yang selanjutnya menjadi norma perilaku tersebut, ada yang dikukuhkan menjadi bagian dari hukum perdata, hukum administrasi atau hukum pidana.4

3 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam

Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, tidak bertahun, hal. 3.

4 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam

(20)

14

Negaralah yang menetapkan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaedah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama dari intervensi pihak lain dan tidak semua kepentingan dapat dilayani oleh hukum, karena kepentingan setiap orang berbeda dan bahkan dapat juga saling bertentangan, lagi pula tidak setiap kepentingan patut dihormati. Banyak aturan yang diundangkan kurang berhasil. Aturan-aturan itu tidak akan didukung apabila bertentangan dengan aturan-aturan yang masih dianut dalam masyarakat, sekalipun tidak diundangkan.

Hukum pidana sebagai codex, dan karenanya sifatnya sebagai

codex jauh dari sempurna. Oleh karena itu hakim sering mencari keadilan dalam nilai-nilai masyarakat dan yang sangat mencolok dalam hukum pidana adalah penegakan norma-normanya, karena penegakan hukum pidana sesungguhnya banyak ditentukan oleh asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHP.

C. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana

Asas “Nullum Delictum Noella Poena Praevia Sine Lege Poenali

yang pada intinya tidak dapat dipidananya seseorang tanpa pelaku tindak pidana. Asas ini mengandung asas perlindungan yang secara historis terhadap kesewenang-wenangan.

Dalam perkembangannya dewasa ini justru asas legalitas ini cenderung dipergunakan sebagai legitimasi intervensi Negara secara sah berdasarkan undang-undang. Dalam kerangka pelayanan hukum dari hukum pidana, legitimasi diperlukan karena merupakan garansi bagi pelaksanaan kekuasaan negara. Akan tetapi pelaksanaan kekuasaan Negara dengan adanya asas legalitas ini harus diartikan sebagai memberikan kepastian hukum, bukan sebagai kepastian undang-undang. Karena itu juga tugas kepolisian dan peradilan bukanlah untuk menegakkan Undang-Undang namun penegakan hukum.

D. Kenisbian Undang-Undang

(21)

15

formal, yaitu suatu tindak pidana telah terjadi apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang termuat dalam lukisan delik dan/atau disertai akibat-akibatnya. Dengan perkataan lain, pengertian melawan hukum adalah sama dengan bertentangan undang-undang. Tidak ada alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum ini, kecuali ditentukan pula oleh undang-undang. Kepastian hukum yang hendak dijamin oleh Undang-Undang pidana, seperti Pasal 1 Ayat (1) KUHP tidaklah memberikan juga keadilan sepenuhnya.

Menurut Hans Kelsen dengan teori murni tentang hukum (reine rechtslehre) dengan dengan teori hukumnya bahwa:

a. Ilmu hukum adalah suatu pemahaman normologis tentang makna hukum positif, walaupun hukum semata-mata hanya mempelajari norma-norma. Ilmu hukum adalah ilmu kognitif yang murni tentang hukum, yang hanya mempelajari hukum positif. Oleh karena itu, ilmu hukum tidak mempermasalahkan delege ferenda,

teori tentang alasan-alasan bagi hukum dan baik buruknya isi hukum positif;

b. Teori hukum adalah teori umum tentang hukum positif yang mempergunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara murni. Metode yuristik adalah suatu cara untuk memandang hukum sebagai penentuan normatif dari pertanggungjawaban yang digambarkan dengan skema umum perkaitan normatif antara kondisi-kondisi dan konsekuensi-konsekuensi dari perilaku yang benar dan yang salah. Metode yuristik yang demikian dapat menjamin suatu pandangan yang utuh tentang objek studinya. Metode yuristik ini harus bebas dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis, dan etis (konsekuensi dari penolakan terhadap sinkretisme metodologis).5. Dalam hukum pidana, adagium “Nullum Delictum Noella Poena Sine Paraevia Legi Poenali“ menjadi asas hukum yang menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa dan dikukuhkan dalam Buku I KUHP.

Perumusan delik kesalahan dan melawan hukum adalah syarat umum dapat dipidananya seseorang, dan bahkan dalam definisi klasik mengenai tindak pidana, diakui sebagai syarat umum bagi

5 Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksinya, Remaja Karya,

(22)

16

terjadinya tindak pidana. Padahal dalam penerapannya, tegasnya dalam kasus konkret, pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana yang dilakukan seseorang, yang harus dibuktikan oleh seorang penuntut umum adalah unsur-unsur dalam perumusan tindak pidana yang dituduhkan.

E. Sifat Melawan Hukum Sebagai Unsur

Para legislator karena alasan teknik perundang-undangan, sering kehabisan kata-kata untuk dapat melukiskan gambaran secara umum, singkat tetapi jelas, tingkah laku atau keadaan-keadaan yang dimaksudkan dengan tindak pidana. Penetapan bahwa dalam isi rumusan tindak pidana mengharuskan adanya sifat melawan hukum atau dapat dicelanya perbuatan itu, tidak selalu dipenuhi dan karenanya juga tidak selalu dicantumkan, tetapi sebagai tetap ada. Keberadaan terlihat dari kelakuan-kelakuan tertentu, keadaan-keadaan tertentu, atau akibat-akibat tertentu yang dilarang atau yang diharuskan.

Ajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana, maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana atau perbuatan yang dapat dikenakan pidana. Suatu perbuatan dapat dikenakan pidana apabila telah memenuhi empat anasir pidana, yaitu:

1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dapat dikenakan pidana;

2. Perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku tindak pidana;

3. Perbuatan itu berupa kejahatan atau kealpaan; 4. Tiada alasan pemaaf atau pembenar.

(23)

17

perkataan lain bahwa alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Konsekuensi pencantuman unsur-unsur dalam rumusan delik menyebabkan juga beban pembuktian bagi Jaksa Penuntut Umum, sebab dengan menuduhkan pasal tertentu tersebut mewajibkan Jaksa Penuntut Umum untuk memuat unsur-unsur tindak pidana dalam surat dakwaan dan membuktikan dakwaannya.

Pengertian sifat melawan hukum materil yang dianut oleh Yurisprudensi di Indonesia, setidak-tidaknya dalam perkara korupsi bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi.6 Apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu telah merupakan perbuataan melawan hukum, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan tercela.

F. Yurisprudensi

Undang-Undang dirasa tidak cukup memuaskan bagi para penegak hukum dan pencari keadilan. Terutama bagi hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, tidak menemukan keadilan hanya dalam Undang-Undang, akan tetapi ia juga tidak dapat untuk tidak menerapkan Undang-Undang. Oleh karenanya, dalam putusan-putusan hakim sering ditemukan kaidah-kaidah baru sebagai hasil penyampingkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Putusan-putusan demikian yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Inkracht van Gewijsde), apalagi telah diikuti oleh putusan-putusan berikutnya.

Praktek di lapangan tersedia seperangkat metode penafsiran yang dapat digunakan hakim, akan tetapi bagi hakim pidana, lapangan penafsiran yang boleh digunakan jauh lebih sempit daripada hakim pidana.

Pertimbangan hakim yang menjadi dasar putusan pengadilan, apalagi yang telah dikukuhkan sebagai yurisprudensi tetap, jawaban terhadap ketidakberhasilan pembuat undang-undang memberikan kejelasan maksudnya dalam suatu naskah undang-undang, apalagi

(24)

18

apabila dikaitkan dengan tuntutan keadilan yang seharusnya tercermin dari naskah undang-undang.

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan walaupun perundang-undangan adalah teknik utama melaksanakan pembaruan hukum, pembaruan kaidah-kaidah dan asas serta penemuan arah atau bahan bagi pembaruan kaidah demikian juga menggunakan sumber hukum lain, yaitu keputusan badan peradilan (yurisprudensi), sedangkan tulisan sarjana hukum yang terkemuka disebut sebagai sumber tambahan.7

Soepomo menyatakan bahwa di Indonesia, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim yang telah ada, akan tetapi dalam praktek pengadilan, demikian juga dalam praktek pengadilan di Negara-negara Eropa, hakim bawahan sangat memperhatikan putusan-putusan hakim atasan berhubung pula dengan adanya kemungkinan permohonan banding dan kasasi. Berhubungan dengan itu, yurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber penting menemukan hukum objektif yang harus diselenggarakan oleh para hakim.8

Roeslan Saleh menyatakan bahwa menurut pikiran Bangsa Indonesia hukum dan undang-undang tidak sama. Bahkan sebagian besar dari hukum kita terdiri dari aturan-aturan tidak tertulis. Benar bahwa hakim terikat kepada sistem hukum yang berlaku. Akan tetapi hakim Indonesia bebas meninjau secara mendalam, apakah penetapan-penetapan yang diambil pada waktu yang lampau, masih dapat dan harus dipertahankan terkait munculnya pertumbuhan perasaan-perasakan dan keadilan baru, dan apabila sama diketahui, bahwa pembentukan Undang-Undang selalu terbelakang dari pertumbuhan dan perkembangan hukum, bagaimanakah dapat mempertahankan pendapat pula bahwa pengecualian atas sifat-sifat melawan hukumnya perbuatan harus dapat dicantumkan dulu dalam Undang-Undang, baru dapat digunakan oleh hakim. 9

7 Mochtar Kusumatmadja, Hukum, MasyarakatdanPembinaan Hukum Nasional,

Suatu Uraian tentang landsan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976, hal. 12.

8 R.Soepomo, Hukum, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta,

1982, hal. 113.

9 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Pembuat Pidana, Aksara Baru,

(25)

19

Yurisprudensi sebagai hukum yang diciptakan hakim, karena suatu perkara yang diajukan kepadanya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14-1970) memang telah memberikan dasar hukumnya yaitu Pasal 27 Ayat (1) yang menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam masyarakat.

G. Penafsiran Terhadap Arti Sifat Melawan Hukum

UU No. 3-1971 lebih merupakan kehendak politik pemerintah untuk memberantas korupsi daripada hasil suatu kerja perundang-undangan. Dalam perdebatan mengenai raancangan undang-undang tersebut tidak pernah terdapat pembicaraan bagaimana sebaiknya suatu tindak pidana dirumuskan. Pembicaraan mengenai hal ini lebih berlandaskan politis daripada yuridis. Konsekuensi yuridis hampir selalu terlupakan. Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan bahkan menyiratkan rasa ketidakadilan. Akan adil apabila yang sama diperlakukan secara sama pula.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dari pengaruh apapun, maka perbedaan pendapat antara hakim yang satu dengan lainnya tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian sesungguhnya perbedaan tersebut dapat dihindarkan apabila hakim terhindar dari ketunaan ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, dalam arti ilmu pengetahuan yang bebas dari tekanan (politik).

Roscoe Pound, mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum daklam kategori pokok:

1. Kepentingan umum (public interest);

2. Kepentingan masyartakat (social interest);

3. Kepentingan pribadi (private interest).10

Perbedaan pandangan tentang kepentingan hukum terjadi karena pandangan hakim terhadap kepentingan hukum yang tidak dilindungi di Indonesia ditujukan kepada kepentingan masyarakat. Ada anggapan bahwa hakim pidana dalam rangka menerapkan Pasal

10 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Remaja Karya, Bandung,

(26)

20

14 Ayat (1) dan Pasal 27 Ayat (1) UU No. 14-1970 harus dan selalu menemukan hukum. Hakim di Indonesia seolah-olah memberikan arti yang sangat besar terhadap penemuan hukum ini, akan tetapi apakah dalam rangka penemuan hukum, lalu undang-undang dan kepastian hukum boleh ditinggalkan. Bagi hakim pidana penemuan hukum dalam rangka penerapan sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif, yaitu ia boleh lepaskan tuntutan seseorang dari tuntutan hukum, daripada ia menjatuhkan pidana bagi seseorang yang tidak melakukan tindak pidana.

Penemuan hukum yang dapat diartikan membuat fungsi sifat melawan hukum materil menjadi positif, hal ini dapat dikatakan sebagai gejala yang tidak sehat, satu sama lainnya mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang pada gilirannya berpengaruh pula terhadap kepercayaan masyarakat tentang kepastian hukum.

(27)

21

BAB II

PENGURAIAN

PUSTAKA TERPERINCI

A. Tindak Pidana Korupsi Dan Gratifikasi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana (strafbaar feit) atau delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat di pidana. Dalam praktek, para ahli di dalam memberikan definisi tindak pidana berbeda-beda sehingga perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.11 Tindak pidana korupsi menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 30-2002 adalah warga suatu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 31-1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20-2001. Para pakar hukum umumnya mengartikan korupsi sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi. Korupsi terjadi bila ada monopoli kekuasaan di tengah ketidakjelasan aturan dan kewenangan serta tidak terdapat mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik.12

Istilah korupsi berasal dari perkataan Latin “coruptio”, atau corruptus, yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Arti secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.13

Istilah corruption sebagaimana dalam Black‟s Law Dictionary:

“….an act done with an intent to give some advantage inconsistent with

official duty and the rights of other. The act an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or another person, contrary to duty and the rights of

other.14(….melakukan suatu perbuatan dengan maksud untuk memperoleh

11 Roni Wijayanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, 2012, hal.

160.

12 Robert Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah,

YOI, Jakarta, 2002, hal. 29.

13 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik

Korupsi, Mandar Maju, 2002, hal. 8.

14 Henry Campbell, Black‟s Law Dictionary, St. Paul, Minn West Publishing,

(28)

22

suatu keuntungan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain. Seorang pejabat yang melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya atau orang lain, bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain). Beberapa referensi tentang korupsi memuat beberapa difinisi yang bermanfaat tentang penentuan definisi korupsi. Korupsi di definisikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara, karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.

Secara historis konsep tersebut merujuk sekaligus pada tingkah laku politik dan seksual, dan kata corrupt menimbulkan serangkaian gambaran jahat. Setiap zaman, suatu masyarakat cenderung menemukan empat definisi suap yang berbeda, definisi dari kaum moralis yang lebih maju; definisi hukum sebagaimana tertulis; definisi hukum selama ditegakkan dan definisi praktek yang lazim.

Keberagaman pengertian korupsi tersebut dapat dilihat sebagai suatu dinamika pemahaman korupsi di kalangan masyarakat. Pengertian korupsi secara umum dapat dijabarkan melalui berbagai pendekatan, misalnya:

1. Menurut ilmu kejahatan/kriminologi; 2. Menurut Undang-Undang.

Pendekatan kriminologi tidak bisa dilepaskan dari wacana pemahaman korupsi sebagai suatu kejahatan. Korupsi telah menjadi sub sistem kejahatan secara global. Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan yang diformulasikan secara sosiologis oleh masyarakat, karena korupsi mempunyai nilai negatif yang cenderung destruktif dan berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat.

Secara umum bahwa kriminologi dan hukum pidana adalah suatu hal yang berbeda objek dan tujuannya, namun demikian antara kriminologi dan hukum pidana telah terjalin keterkaitan erat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

(29)

23

yang diberi label oleh negara sebagai suatu kejahatan. Namun masyarakat telah diberi label sebagai suatu kejahatan, apabila perbuatan dianggap menyimpang dari norma-norma atau kebiasaan masyarakat.

Perspektif kriminologi memandang korupsi dalam beberapa tipe yaitu

1. Political Bribery

Kekuasaan di bidang legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan, karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.

2. Political Kicbacks

Kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak yang bersangkutan.

3. Election Fraud

Kegiatan yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan pada saat pemilihan umum.

4. Corrupt Campaign Practice

Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Nnegara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.

5. Discretion Corruption

Korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan.

6. Illegal Curruption

Korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu dilakukan oleh polisi, jaksa, pengadilan maupun hakim.

7. Ideological Curruption

Bentuk korupsi dari perpaduan antara discredionery corruption dan

(30)

24

8. Political Coruuption

Penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang dipercayakan kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan.

9. Mercenary Corruption

Menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

Syed Hussein Alatas, secara sosiologis bahwa korupsi membagi menjadi tujuh bentuk korupsi, sebagaimana dikutip oleh Mulyana W Kusumah.

1. Korupsi Transaktif

Jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima dari keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan dunian usaha dan bisnis dengan pemerintah.

2. Korupsi Perkerabatan (Nipotistic Corruption)

Menyangkut penyalahgunaan dan wewenang untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara dan kroninya.

3. Korupsi yang Memeras (Extortive Corruption)

Korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak disertai ancaman, teror, penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilinya ;

4. Korupsi Investif (Investive Curruption)

Korupsi dengan memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan.

5. Korupsi Defensif (Defensive Corruption)

Pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi.

6. Korupsi Otogenik (Autogenic Corruption)

Korupsi yang dilakukan seorang diri dan tidak ada orang atau pihak lain yang terlibat.

7. Korupsi Suportif (Supportive Corruption)

(31)

25

Suyatno berpandangan bahwa definisi korupsi terdiri dari: 1. Discretionary Curruption

Korupsi dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.

2. Illegal Corruption

Jenis tindakan yang mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3. Mercenery Curruption

Jenis tindak pidana korupsi untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui sarana penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

4. Ideological Corruption

Jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Menurut Pier Bierne dan James Messerchmidt sebagaimana di dalam buku karangan Eddy OS Hiariej bahwa korupsi:

1. Political Bribery

Kecurangan yang dilakukan eksekutif, maupun yudikatif. Political bribery di ranah eksekutif biasanya dalam bentuk suatu kebijakan atau pembuat suatu peraturan. Demikian pula halnya dibidang legislatif sebagai pembentuk undang-undang, sedangkan di ranah yudikatif biasanya berkaitan dengan penanganan suatu perkara. 2. Political Kickbacks

Kegiatan yang berkaitan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan uang bagi pihak bersangkutan.

3. Election Fraud

Korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu).

4. Corrupt Campaign Practice

Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara. 15

15 Eddy OS Hiariej, Menyelamatkan Uang Negara Kajian Akademik Peraturan

(32)

26

Guy Benveniste berpandangan korupsi dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk antara lain

1. Discretionery Corruption

Korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya terlihat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.

2. Illegal Corruption

Tindakan yang membongkar atau mengacaukan bahasa ataupun maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3. Mercenary Curruption

Korupsi yang dilakukan lebih karena kepentingan kelompok, karena komitmen ideologis seseorang yang mulai tertanam di atas kelompok tertentu.

Korupsi sebagaimana diistilahkan dalam beberapa bentuk bahasa merupakan gejala atau perilaku para pejabat badan negara yang menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya. Bentuk-bentuk korupsi yang disebutkan tersebut merupakan konstruksi hukum secara sosiologis.

Tindak pidana korupsi selalu mendapat perhatian apabila dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Korupsi dan kolusi serta nepotisme adalah suatu perbuatan dalam satu nafas, karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum. Hal ini dapat menjadikan korupsi sebagai kejahatan serius yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, pembangunan nasional, sosial, politik, ekonomi serta dapat merusak nilai demokrasi dan moralitas, karena lambat laun perbuatan tersebut seakan menjadi budaya.

Indonesia mempunyai UU No. 31-1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20-2001. Dengan adanya Undang-Undang ini menjadikan suatu tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus.

(33)

27

oleh seseorang di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang lain yang menyuap dikualifikasikan sebagai delik korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidana dan acaranya.16 Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi juga mengandung arti buruk, busuk, rusak, suka memakai barang yang dipercayakan padanya, penyelewengan atau penggelapan untuk kepentingan pribadi atau orang lain.17 Di dalam UU No. 20-2001 terdapat istilah hukum yang perlu diperjelas yaitu tindak pidana korupsi, keuangan Negara atau perekonomian Negara. Jika mengacu rumusan undang-undang tersebut maka pengertian tindak pidana yaitu:

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Sementara itu, pengertian keuangan Negara dalam Undang-Undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan

16Ibid.

(34)

28

Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan pada seluruh kehidupan rakyat.

Kebijakan kriminal sebagai salah satu upaya penanggulangan kejahatan memiliki berbagai dimensi. Salah satu dimensinya adalah dimensi pencegahan yaitu segala upaya untuk menyelesaikan faktor penyebab terjadinya kejahatan. Penyebab utama kejahatan korupsi adalah birokrasi yang lemah dalam pengawasan, oleh karenanya good govermance menjadi salah satu solusi mencegah terjadinya korupsi. Dimensi pencegahan juga dapat dilakukan dengan merumuskan tindak pidana dan sanksi pidana (dapat mencegah orang melakukan kejahatan korupsi dan menerima hasil korupsi). Dalam dimensi pencegahan hukum, usaha yang sesuai dalam menegakkan hukum juga mencegah terjadinya kejahatan.

Penanggulangan kejahatan korupsi dilakukan dengan penerapan hukum pidana (application of criminal law), yang meliputi pelaksanaan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap kejahatan itu sendiri dan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

Salah satu sarana yang digunakan dalam merancang dan melaksanakan kebijakan sosial yaitu dengan menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan di suatu negara. Kebijakan penanggulangan kejahatan dimulai tahap perumusan peraturan perundang-undangan hingga penerapan. Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya.18

Keberlakuan hukum ditentukan oleh daya laku (validitas) atau karena ia mempunyai keabsahan. Daya laku ini ada apabila norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau lembaga yang berwenang membentuknya.19 Selain daya laku perlu juga diperhatikan daya laku suatu norma, karena berkaitan dengan ditaatinya aturan tersebut. Suatu norma memiliki daya guna apabila ditaati.

18 Widodo Eka Tjahyana, Pembentukan Peraturan-Peraturan

Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Tehnik Penyusunan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 19.

(35)

29

Pentingnya perumusan norma yang melarang melakukan tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi di dalam rumusan Undang-Undang, didasarkan pada kenyataan di Indonesia, yang mengungkapkan bahwa sebagian besar penegak hukum termasuk di dalamnya hakim terbiasa menjadi alat untuk melaksanakan dan menegakkan undang-undang. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian terhadap putusan pengadilan berkenaan dengan tindak pidana korupsi.

Perbuatan gratifikasi seksual merupakan kejahatan tingkat kedua dan dapat merugikan sekelompok masyarakat tertentu, karena kemanfaatan yang dinikmatinya berasal dari keuangan Negara. Atau dengan kata lain, perekonomian Negara menjadi hilang akibat dana tersebut dinikmati oleh pelaku korupsi atau mereka yang menerima manfaat dari hasil korupsi tersebut.

Motif perbuatan dan keserakahan yaitu membandingkan kesenangan yang diperoleh dengan melanggar hak orang lain. Kesemuanya itu tidak akan terbukti sepadan. Ketamakan dan keserakahan untuk penguasaan sumber ekonomi dan finansial, merupakan salah satu motif yang kuat bagi pelaku gratifikasi seksual di dalam melakukan tindak pidana korupsi, demikian juga dengan mereka yang menerima atau menikmati hasil tindak pidana korupsi tersebut. Melakukan perbuatan gratifikasi seksual sebagai kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan, menjadi argumen pembentuk undang-undang sebagai perbuatan melanggar hukum atau pelanggaran. Agar larangan tersebut dihormati, perlu ditetapkan sanksi pidana.

(36)

30

Berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka manusia Indonesia mengakui kedudukannya sebagai makhluk Tuhan. Pancasila harus dipandang sebagai komitmen Bangsa Indonesia, dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai satu komitmen, maka keberlanjutannya sangat tergantung pada penerimaan dan kesukarelaan dalam menjaga komitmen tersebut. Pancasila sebagai sebagai sumber hukum Indonesia menganut paham keseimbangan pengakuan kedudukan Indonesia (makhluk pribadi dan makhluk sosial – menurut Noto Nagoro adalah asas

Monodualistis). Hal-hal mutlak dari manusia adalah sifat kodratnya merupakan diri pribadi yang harus hidup bersama, manusia mempunyai sifat kodrat sebagai perseorangan dan sebagai warga negara yang hidup bersama. Konsep monodualisme yang dianut oleh Pancasila sebenarnya merupakan perpaduan dari prinsip yang berkembang di Barat dan Timur:

1. Negara terdiri atas dasar teori perorangan, teori individualistis, sebagaimana diajarkan Thomas Hobbes, dan John Locke dan lainnya. Menurut aliaran ini, negara adalah masyarakat hukum yang didasarkan atas kontrak seluruh perorangan dalam masyarakat;

2. Aliran lainnya ialah teori golongan dari Negara sebagai diajarkan oleh Mark Enggels, Lenin. Negara adalah alatnya golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain yang mempunyai kedudukan lembek;

3. Teori integralistik oleh Spinoza, Adam Muler, Hegel abad ke-18 dan abad ke-19. Negara menurut tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan rakyat seluruhnya sebagai suatu persatuan.

Pancasila pada dasarnya mengakui dan mengadopsi pemikiran serta aliran-aliran yang secara alamiah berseberangan satu dengan lainnya, baik berkenaan dengan kedudukan manusia, maupun aliran di dalam bidang budaya, sosial, politik dan ekonomi – karena Pancasila mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing aliran secara alamiah tidak ada satu aliran yang sempurna.

(37)

31

dalam bidang budaya, sosial, politik dan ekonomi, dan khususnya di bidang hukum.

Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab adalah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar nilai dan budayanya, menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan pangkal ide keselarasan antara individu dan masyarakat, pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan sila kedua ini, maka perbuatan pelaku gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang menciderai nilai kemanusiaan, karena perbuatan korupsi dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian kepada masyarakat secara luas. Sila kedua ini merupakan dasar filosofi pelarangan perbuatan gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi, karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Salah satu asas yang menjabarkan nilai kemanusian adalah persamaan di hadapan hukum yang merupakan salah satu unsur dalam konsep negara hukum. Belum ditetapkannya perbuatan menerima hasil korupsi (termasuk gratifikasi seksual) dan tidak dipidananya penerima hasil korupsi menimbulkan ketidaksetaraan antara pelaku korupsi dan pelaku gratifikasi seksual yang keduanya sama-sama merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 2. Pengertian Gratifikasi Seksual

Gratifikasi adalah pemberian (arti luas). Meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi seksual tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

(38)

32

Banyak kalangan mengusulkan penyediaan layanan seksual menjadi bagian gratifikasi. Seksual atau seks adalah kegiatan yang berkaitan dengan manipulasi organ kelamin, khususnya hubungan seksual. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual, identitas peran atau jenis. Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks.

Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat, sehingga layanan seks dalam tulisan ini dapat diartikan sebagai suatu pemberian kepada seseorang (pegawai negeri atau penyelenggara negara) yang dapat dijadikan sebagai sarana atau tempat melampiaskan hasrat seksual sebagai imbal balik dari perbuatan orang tersebut untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatau sesuai keinginan pemberi layanan seks.

Di Indonesia tujuan pidana selain mengadopsi pemikiran yang berkembang secara universal juga mengadopsi pemikiran yang berakar dari hukum adat, yaitu:

1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang baik dan berguna;

3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan kesimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

4. membebaskan rasa pada terpidana.

(39)

33

tertentu. Pidana perampasan tertentu dan/atau tagihan juga dapat dijatuhkan, apabila hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.

Alternatif sanksi pidana tambahan lainnya yaitu pengumuman putusan hakim. Pidana ini bertujuan mengekspresikan pernyataan penguasa bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum. Alternatif pidana tambahan kedepan sebagai penerima hasil korupsi adalah restitusi.

Tujuan restitusi untuk mendorong kompensasi terhadap korban oleh orang yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Penentuan jumlah disesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi.

Tindakan perampasan keuntungan yang diperoleh pelaku gratifikasi seksual bertujuan memberi efek jera pada pelaku tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi seksual karena keuntungan yang didapat akan dirampas oleh Negara. Selain itu tindakan tersebut bertujuan untuk mengembalikan keuntungan kepada negara yang seharusnya menikmatinya. Tindakan perbaikan akibat kejahatan gratifikasi seksual ditujukan melindungi kepentingan masyarakat yang seharusnya menerima manfaat, menikmati hasil dari keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dirampas oleh pelaku tindak pidana korupsi maupun pelaku gratifikasi seksual.

3. Pengertian Sistem Pembuktian

Apabila hukum acara pidana yang dipergunakan dalam pemeriksaan delik korupsi sebagai suatu sistem, maka hukum pembuktian merupakan bagian dari sistem. Sistem berasal dari kata

systema (Bahasa Yunani) yang berarti sesuatu yang terorganisasi. Sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan bagian dari keseluruhan.20 Apabila penulis mengacu pada pengertian tersebut, maka sistem hukum pembuktian dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh mempengaruhi dalam suatu keseluruhan.

Referensi

Dokumen terkait

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang

Dengan data rating yang rendah dari program musik BREAKOUT yang bersinggungan dengan target audiens utama BREAKOUT dan kota Surabaya yang memiliki profil penonton yang rendah

Pertama, skripsi Angga Aris Twidyatama (06410002) Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 2010, yang berjudul:

Deskripsi Mata Kuliah Mata Kuliah ini menjelaskan tentang teori dan praktek komputer dalam bidang keperawatan yang bertujuan untuk menunjang kemampuan mahasiswa

Perlakuan dua buah per tanaman menyebabkan berat buah per tanaman melon paling tinggi rata-rata 2114,81 g, sedangkan pada perlakuan satu dan tiga buah per tanaman

Puncak sumbangan dunia Arab-islam dalam perkembangan farmasi dapat dikatakan ketika adanya suatu panduan praktek kefarmasian pada tahun 1260 yang disusun oleh seorang ahli

Sejumlah faktor menurut Ali & Asrori (2006) yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi remaja adalah sebagai berikut:.. Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan

terlihat adanya daerah konduktif yang dicurigai sebagai sungai bawah tanah, dengan nilai kontras anomali yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya, yaitu 320% pada