PUSTAKA TERPERINC
C. Penegak Hukum Dan Gratifikasi Pasif
Anthon Freddy Susanto menyatakan bahwa undang-undang bagi seorang hakim hanyalah teks yang belum selesai dan bukan teks yang sudah final, bukan hanya berlaku bagi hakim, namun juga bagi penegak hukum lainnya dan bagi penyelenggara pemerintahan. Undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak hanya mengatur secara garis besar hal-hal yang wajib dilakukan (obligattere), yang dilarang dilakukan (prohibere) dan yang boleh dilakuan (permitere).
Rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh penyelenggara pemerintahan yang lebih mengetahui bagaimana melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam berbagai undang- undang selalu terdapat pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan peraturan pemerintahan atau peraturan presiden.
Hukum pada dasarnya merupakan sistem terbuka, tetapi dalam sistem hukum itu terdapat sistem terbuka dan sistem tertutup.23 Pengertian sistem terbuka berarti juga bahwa peraturan- peraturan dalam sistem hukum membuka kemungkinan untuk perbedaan interpretasi. Karena interpretasi itu, maka peraturan- peraturan itu selalu berubah.
Dalam pandangan Dworkin seperti dikutip Anton Freddy Susanto dikemukakan “bilamana hukum merupakan konsep interpretatif, ilmu hukum apapun yang ingin dianggap layak menyebut ilmu haruslah dibangun atas dasar suatu interpretasi”.24
Sementara itu Paul Scholten mengemukakan interpretasi sistematis sudah ada terletak didalam hukum itu sendiri.25 Alasannya
23Ibid.
24 Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum, Bandung, 2005, hal. 152. 25 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Bandung, 2003, hal. 31.
44
aturan-aturan itu secara logika berada dan saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, mewujudkan satu kesatuan. Kemudian Anthon Freddy Susanto mengemukakan “...tetapi sistem norma itu sendiri tetap terbuka untuk ditafsirkan. Ketika norma dibuat, akan berbeda dengan norma yang telah disahkan dan norma yang telah disahkan akan berbeda pula dengan norma setelah ditafsirkan”.26 Keinginan untuk kembali kepada makna formal dari norma biasanya merupakan gangguan serius terhadap bagaimana norma itu ditangkap oleh si penerima norma.
Selain penafsiran hukum oleh akademisi, penemuan hukum oleh hakim dapat terjadi jika terdapat kekosongan hukum. Bagaimana mengkualifikasikan hukumnya terhadap peristiwa konkret tertentu. Tidak selalu mudah untuk menemukan hukumnya, karena dalam praktek dapat saja dijumpai aturan hukum tertulisnya ada, tetapi tidak jelas, tidak lengkap atau bahkan tidak ada sama sekali.
Hakikatnya tidak ada perundang-undangan yang sempurna, pasti didalamnya ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada aturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh kegiatan manusia.27 Aturan perundangan bersifat statis dan kaku, sedangkan perkembangan kegiatan manusia selslu meningkat dari waktu ke waktu, baik jenis maupun jumlahnya, sehingga dapat dimengerti kalau kemudian muncul suatu ungkapan “Het recht hink achter de feiten ann”, bahwa hukum tertulis selalu ketinggalan dengan
peristiwanya.
Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas harus dijelaskan terlebih dahulu, sedangkan peraturan perundang- undangan yang tidak lengkap harus dilengkapi terlebih dahulu agar dapat diterapkan dalam peristiwanya. Peraturan perundang- undangan yang tidak jelas atau tidak lengkap tidak dapat secara langsung diterapkan terhdap peristiwanya. Oleh karena itu peristiwa konkret harus ditemukan dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya. Menjelaskan,
26 Anthon Freddy Susanto, op.cit, hal 91
27 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006,
45
menafsirkan, melengkapi dan menciptakan aturan hukunya dilakuan agar hukumnya dapat diketemukan. Untuk menemukan hukumnya dalam suatu peristiwa diperlukan metode penemuan hukum. Dalam upaya menemukan hukumnya terdapat metode penemuan hukum yang selama ini sudah dikenal, yaitu interpretasi (penafsiran), argumentasi (penalaran, rendenering, reasoning) dan eksposisi (konstruksi hukum). Apabila aturan perundang-undangan tidak jelas digunakanlah metode interpretasi, apabila peraturan perundang- undangan tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi dan apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada maka digunakan metode argumentasi dan apabila peraturan perundang-undangannya tidak ada digunakan metode konstruksi hukum (eksposisi).28 Tidak semua kata, istilah dan kalimat yang menunjukkan suatu kaidah hukum, baik yang dikemukakan dengan lisan atau dinyatakan dengan tertulis dalam bentuk perundangan itu sudah jelas dan mudah dipahami.
Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhdap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang- undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama dikenal yang disebut dengan hermeneutika yuridis.
Bagi praktek hukum, terutama di pengadilan, hermeneutika
memegang arti penting terutama bagi hakim dalam melakukan penemuan hukum. Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus dan peraturan-peraturan hukum. Yang dimaksud penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhdap peristiwa konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. Ini bukan metode penafsiran yang dapat digunakan semaunya, tetapi pelbagai kegiatan yang kesemuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan, yaitu penafsiran undang-undang. Sesuai dengan Pasal 16 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4-2004) Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Nomor 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48-2009)
46
dijelaskan bahwa hakim berkewajiban menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Jadi tugas penting hakim ialah menyesuaikan Undang-Undang dengan hal-hal nyata di masyarakat.
Apabila Undang-Undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain apabila undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya, sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum sesuai dengan Pasal 27 UU No. 14-1970. Dan atas dasar tersebut orang dapat mengatakan bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim. Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, terdapat beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang tersebut. Logeman mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat Undang-Undang.29
Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perudangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem Undang-Undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat Undang-Undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat Undang-Undang. Atas dasar itu hakim tidak diperkenankan menafsirkan Undang-Undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat, kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat Undang-Undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat.30
Dalam praktek, tidak ada prioritas dalam penggunaan metode interpretasi. Oleh karena itu metode interpretasi dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan dengan beberapa metode interpretasi sekaligus. Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan metode tertentu, tetapi yang terpenting bagi hakim adalah memilih metode yang tepat agar dapat mempergunakan undang-undang terhadap peristiwanya.
29 Bambang Sutiyoso, op.cit, hal. 78. 30Ibid, hal. 83.
47
Dalam hal menafsirkan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, dapat digunakan interpretasi historis dan interpretasi ekstensif. Interpretasi historis adalah penafsiran makna Undang-Undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah lembaga hukumnya maupun sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Setiap ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai sejarahnya sendiri. Karena itu bagi para hakim yang bermaksud mengetahui makna kata atau kalimat dalam suatu undang-undang, dia harus meneliti sejarah kelahiran pasal tertentu itu dirumuskan. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah terjadinya peraturan tertentu dan apa yang merupakan latar belakang, maksud dan tujuan peraturan itu ditetapkannya Jadi yang dilihat bukan kata-demi kata atu kalimat demi kalimat, melainkan kebulatan peraturannya atau Pasal-pasalnya. Sedangkan interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Jadi interpretasi ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal (bahasa).
Sebagai pengecualian dalam hukum pidana, ada dua pandangan mengenai interpreasi ekstensif yaitu pihak yang menganggap antara interpretasi ekstensif dengan analogi tidak ada perbedaan, maka dari itu interpretasi ekstensif juga dilarang digunakan untuk perkara pidana (karena melanggar asas legalitas).
Di pihak lain, menganggap antara dua interpretasi dimaksud berbeda, maka dari itu penggunaan interpretasi ekstensif ini dalam perkara pidana tidak apa-apa.31 Pada umumnya interpretasi historis menurut Undang-Undang dan interpretasi teleologis bersifat memperluas makna suatu ketentuan undang-undang. Sedangkan interpretasi ekstensif dan restriktif didasarkan pada hasil dan akibat dari penemuan hukum perlbagai metode interpretasi.
Penegak hukum memiliki kebebasan untuk menafsirkan gratifikasi pada Pasal 12 huruf b UU No. 14-1970, sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang diperbolehkan dalam hukum pidana apabila dibutuhkan dalam perkembangan motif tindak pidana korupsi dalam masyarakat yang dapat disebut sebagai penemuan hukum. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya seluruh
48
penyelesaian masalah hukum terutama di pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya, sehingga akan dapat terwujud putusan yang dikehendaki yaitu mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
D. Pembuktian Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Korupsi