• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Pidana Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual

Dalam dokumen GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM PERSONA KORUPS (Halaman 130-139)

ALUR KONSEPTUAL

C. Sanksi Pidana Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual

Menurut H.L.Packer, maka sanksi pidana merupakan suatu kebutuhan dan penjamin utama bagi kelangsungan dan keberadaan suatu masyarakat untuk menghadapi bahaya besar yang dapat menghancurkan masyarakat.

Selain itu dapat ditambahkan pandangan Immanuel Kant bahwa dasar pemberian sanksi pidana tidak pernah dilaksanakan semata- mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi si pelaku gratifikasi seksual itu sendiri maupun bagi masyarakat, akan tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu tindak pidana.

Terkait dengan hal tersebut, maka pengancaman sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual dibutuhkan negara untuk mencegah terjadinya tindak pidana pelaku gratifikasi seksual, dan dalam hal tindak pidana tersebut telah terjadi, maka sanksi pidana dapat dijadikan alat untuk menindak pelakunya. Hal yang demikian sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI 1945.

Menurut aliran retributif, maka sanksi pidana dibenarkan semata-mata didasarkan keinginan masyarakat untuk memberikan sanksi pidana sebagai imbalan yang layak bagi pelaku gratifikasi seksual dan yang dilarang. Pendekatan yang dipakai oleh golongan retributiftersebut lebih banyak bersandar pada prinsip moral.

Menurut Immanuel Kant, bahwa pidana merupakan bukti bahwa prinsip moral jelas tidak memerlukan pembenaran dari luar

125

dirinya, bahwa kejahatan itu sendiri pantas dikenakan pidana, dan pidana setimpal atau setara dengan kejahatan yang dilakukan.

Demikian juga pandangan Hegel menyatakan perbuatan salah merupakan penyangkalan dari hak dan penolakan harus dilakukan oleh reaksi masyarakat berupa sanksi pidana bagi pelanggar. Berkenaan dengan teori retributif, maka pemberian sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual merupakan imbalan yang setimpal sebagai konsekuensi bagi pelaku gratifikasi seksual, karena telah melakukan perbuatan yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan ditujukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sanksi pidana merupakan pengekspresian penolakan masyarakat terhadap perbuatan pelaku gratifikasi seks dari hasil tindak pidana korupsi. Pentingnya merumuskan sanksi pidana dan menegakkannya disebabkan setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya melakukan gratifikasi seksual, karena kalau tidak demikian, maka mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam perbuatan tersebut, yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum. Selain itu sanksi pidana juga merupakan reaksi masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia atas penyangkalan yang dilakukan oleh pelaku gratifikasi seksual terhadap tertib masyarakat berhubungan dengan penguasaan sumber-sumber keuangan bagi warga masyarakat atau warga negara. Pidana seumur hidup atau pidana penjara dan/atau denda bagi pelaku gratifikasi seksual semata-mata diancamkan sebagai pernyataan balas dendam masyakarat sebagai korban tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi seksual atas perbuatannya yang telah merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Jenis pidana lainnya yang diancamkan bagi pelaku gratifikasi seksual adalah pidana denda berupa pembayaran sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Pidana denda kecuali sebagai jenis pidana yang berdiri sendiri, dapat dikomplementasikan dengan jenis pidana pencabutan kemerdekaan.

Pemberian pidana dilakukan atas dasar adanya nilai kegunaan. Pandangan ini dikemudikan oleh kelompok utilitarian. Menurut kelompok ini, pidana dibenarkan untuk diancamkan dan dijatuhkan semata-mata jika mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang.

126

Manfaat yang hendak ditarik dengan adanya pidana adalah adanya daya pencegah bagi terjadinya perbuatan yang dilarang.

Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan jika mempunyai manfaat bagi pelaku gratifikasi seksual maupun pelaku tindak pidana korupsi, khususnya untuk merubah masa depan pelaku kriminal dan orang lain yang mungkin akan tergoda untuk melakukan kejahatan. Pencegahan itu merupakan hal yang logis, karena setiap orang menghendaki kesenangan dan kebahagiaan di dalam hidupnya, dengan demikian seseorang akan selalu menghindarkan diri dari kemungkinan dikenkan pidana, sehingga hal tersebut menutup kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Berdasarkan pandangan teori utilitarian, pemberian sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual ditujukan untuk mencegah orang agar tidak melakukan perbuatan tersebut, karena konsekuensi dari perbuatan gratifikasi seksual adalah dikenakannya sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan tersebut. Penderitaan yang diberikan oleh sanksi pidana diharapkan akan menjadi alasan seseorang untuk menghindari diri melakukan tindak pidana gratifikasi seksual. Pemberian sanksi pidana juga diharapkan menjadi sarana efektif untuk mencegah seseorang mengulangi tindak pidana gratifikasi seksual.

Selain teori retributif dan utilitarian terdapat kelompok teori lain yang juga berusaha mencari dasar pembenar diadakannya sanksi pidana adalah teori behavioral.

Beranggapan bahwa pidana dibenarkan karena bermanfaat bagi pelaku gratifikasi seksual. Rehabilitasi adalah tujuan, sifat pelanggaran yang relevan hanya memperbaiki pelaku gratifikasi seksual. Berdasarkan teori ini, maka sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku gratifikasi seksual semata-mata untuk kepentingan perbaikan pelaku gratifikasi seksual agar menjadi warga masyarakat atau warga negara yang patuh terhadap hukum.

Ketiga teori tersebut secara keseluruhan bersesuaian juga dengan tujuan penjatuhan sanksi denda dan uang pengganti. Pemberian sanksi pidana selain memiliki dasar-dasar juga memiliki tujuan tertentu. Pada dasarnya teori-teori ini terpengaruh pada dua pandangan dan aliran utama yang telah dibicarakan, yaitu teori

127

retributif dan utilitarian. Teori-teori yang dapat digolongkan pada teori retributif antara lain:

× Revenge Theory; dan

× Expiation Theory.

Sedangkan yang dapat digolongkan sebagai pendukung aliran retributif dan utilitarianantara lain:

ם Deterence Theory;

ם Special Deterence Theory.

Sebagai pelengkap perlu juga dikemukakan kelompok teori behavioral, yaitu incapation theory dan rehabilitation theory.

Senada dengan teori-teori tersbut, maka terdapat aliran pemikiran lain yang berusaha merumuskan tujuan pidana, yaitu aliran klasik dan sesudahnya adalah aliarn modern. Aliran klasik timbul untuk memperbaharui sistem hukum yang saat itu dianggap tidak beradab dan melindungi terdakwa dari kesewenang-wenangan penguasa. Oleh karena itu, aliran klasik beragumentasi bahwa pidana harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Di pihak lain aliran positifis, berusaha menerapkan prinsip dan metode ilmiah pada studi tentang penjahat. Berkenaan dengan hal ini, maka diperlukan kesesuaian antara pidana dengan masing-masing pelaku guna melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan.

Di Indonesia tujuan pidana selain mengadopsi pemikiran yang berkembang secara universal juga mengadopsi pemikiran yang berakar dari hukum adat, yaitu:

∞ Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

∞ Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang baik dan berguna;

∞ Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

∞ Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

UU No. 20-2001 merupakan perkembangan politik hukum pidana nasional yang telah menganut sistem individualisasi pidana, berorientasi pada pelaku dan perbuatan, sehingga jenis sanksi yang diterapkan dalam undang-undang ini meliputi sanksi pidana yang bersifat penderitaan dan sanksi tindakan yang beorientasi pada

128

penyelamatan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, masih tumpang tindih pengaturannya dengan sanksi tindakan.

Ketentuan pidana bersyarat tercantum dalam Pasal 14 KUHP yang berlaku sebagai ketentuan umum, kecuali ditentukan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan sanksi merupakan perwujudan politik hukum nasional yang didasarkan pada dua teori pemidanaan, yaitu pencegahan damn retributif.

Alternatif pertama pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku gratifikasi seksual adalah pidana perampasan barang atau tagihan tertentu. Perampasan barang pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat dapat dijatuhkan jika pihak terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Tujuan penjatuhan pidana ini adalah untuk mencegah agar pelaku gratifikasi seksual tidak lagi mengulangi perbuatannya pada masa yang akan datang. Selain itu pidana tambahan ini ditujukan untuk member jaminan akan dilaksanakannya pidana denda yang ditetapkan kepada pelaku gratifikasi seksual.

Alternatif sanksi pidana tambahan lainnya yang dapat diancamkan bagi pelaku gratifikasi seksual adalah pengumuman hakim. Pidana tambahan ini bertujuan untuk mengekpresikan pernyataan penguasa bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum.

Alternatif pidana tambahan yang diusulkan sebagai pidana tambahan pelaku gratifikasi seksual adalah membayar restitusi, yang dimaksudkan sebagai ganti kerugian yang harus diberikan oleh pelaku gratifikasi seks. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kompensasi terhadap korban (dalam hal ini negara ) oleh orang yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan korban kejahatan. Penentuan jumlah disesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku gratifikasi seksual, sedangkan metodenya adalah dengan mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagaimana dimaksud

129

dalam UU No. 13-2006, sebelum adanya putusan hakim pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Perumusan sanksi pidana pelaku gratifikasi seksual berupam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu dan denda sebagai pidana pokok, serta pidana untuk membayar restitusi, perampasan barang-barang yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi yang dinikmati oleh pelaku gratifikasi.

Secara teoritik, maka perumusan sanksi pidana yang tepat secara integral akan memberi jaminan bagi keberhasilan penanggulangan tindak pidana, khususnya di Indonesia. Perumusan sanksi pidana haruslah berlandaskan nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan dan nilai Keadilan secara seimbang, sebagaimana tercermin dalam ide kesimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat kepentingan individu; ide yang keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku dan korban; ide pemaafan hakim; ide mengutamakan keadilan dari kepastian hukum.

Perumusan tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya pidana dan pedoman pemidanaan harus disesuaikan dengan nilai-nilai tersebut.

Tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya pidana dan pedoman pemidanaan seharusnya memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Pemberian sanksi pidana seharusnya disesuaikan dengan harkat dan martabat manusia Indonesia. Manusia Indonesia harus diperlakukan sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial secara bersamaan pula. Kedudukan manusia Indonesia yang multi dimensional tersebut sesuai dengan prinsip monodualisme atau prinsip kebersamaan.

Penentuan sanksi yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual secara filosofi didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Salah satu nilai tersebut adalah nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan mengarahkan penentuan sanksi pidana bagi pelaku gratifikasi seksual disesuaikan dengan kedudukan sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka pelaksanaan pemberian maaf atas suatu kesalahan dapat dibebaskan. Oleh karena itu tidak setiap pelaku gratifikasi seksual yang terbukti melakukan perbuatan gratifikasi seksual harus dijatuhi sanksi pidana yang diancamkan.

130

Berkenaan dengan ide pemberian maaf pada terpidana dikenal dengan asas pemberian maaf dengan tidak menjatuhkan sanksi pidana atau tindakan apapun kepada pelaku, diimbangi pula dengan adanya asas “culpa in causa.”

Berdasarkan asas ini diberi kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dicela atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan atau tidak menjatuhkan pidana diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun adanya alasan penghapus atau peniadaan pidana. Asas ini sejalan dengan asas pemberian maaf yang juga dikenal dengan istilah lain, yaitu asas pemaafan hakim yang memberikan kewenangan kepada hakim berdasarkan hikmat kebijaksanaannyan untuk tidak menjatuhkan pidana berdasarkan pertimbangan telah tercapainya tujuan pemidanaan.

Selain nilai ketuhanan sebagai penjabaran nilai-nilai Pancasila, maka nilai Kemanusian juga dapat dijadikan dasar bagi perumusan sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Berdasarkan nilai kemanusiaan, maka penjatuhan pidana tidak dibenarkan merendahkan harkat dan martabat manusia. Selain itu sanksi pidana tidaklah dibenarkan untuk membuat manusia menderita, dengan kata lain kecuali beberapa kebaikan dapat dilihat dengan melakukannya.

Asas lain yang merupakan penjabaran dari nilai kemanusiaan adalah asas elastisitas pemidanaan yang diformulasikan dalam pedoman dan aturan pemidanaan (bertujuan mempertahankan sisi kemanusiaan terpidana dengan jalan memberikan pedoman kepada hakim agar di dalam menjatuhkan sanksi pidana diupayakan sanksi tersebut merupakan pilihan terbaik untuk terpidana).

Nilai kemanusiaan lebih berorientasi kepada perbaikan pelaku gratifikasi seksual, sehingga sanksi pidana yang dijatuhkan diarahkan untuk kepentingan masa depan pelaku gratifikasi seksual agar dapat menjadi manusia seutuhnya yang taat pada hukum. Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan jika mempunyai manfaat bagi pelaku maupun calon pelaku kejahatan.

131

Sanksi pidana bagi pelaku gratifikasi seksual juga ditujukan untuk memperbaiki persepsi pelaku gratifikasi seksual. Anggapan bahwa pelaku gratifikasi seksual sebagai perbuatan yang benar, harus diubah menjadi suatu anggapan bahwa melakukan perbuatan gratifikasi seksual merupakan perbuatan tercela.

Selain nilai Kemanusiaan dan nilai kemanusiaan, maka nilai keadilan juga dapat dijadikan dasar dalam merumuskan sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing- masing bagiannya. Khusus berkenaan dengan sanksi pidana, mak hal tersebut sejalan dengan model keadilan, yaitu keadilan vindikatif. Keadilan vindikatif adalah keadilan didasarkan kepada kesepadanan antara penjatuhan sanksi pidana dengan perbuatan pidana yang dilakukan.

Konsep keadilan demikian dapat dijadikan dasar perumusan sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Berdasarkan konsep ini, maka sanksi pidana ditujukan memenuhi kepentingan pelaku dan korban sekaligus. Rumusan sanksi pidana dapat menjadi solusi yang terbaik dan dapat diterima serta bermanfaat bagi pelaku, korban dan masyarakat, bangsa dan Negara. Selain itu perumusan sanksi pidana perbuatan gratifikasi seksual sebanding dengan perbuatan yang telah dilakukannya.

Tujuan ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh satu jenis sanksi, oleh karenanya perlu beberapa jenis sanksi yang secara sekaligus diancamkan pada perbuatan gratifikasi seksual, yaitu pidana pokok berupa pidana penjara seumur hidup, pidana penjara dalam waktu tertentu, pidana denda.

Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa harus dijatuhkan terlebih dahulu pidana pokok. Pidana tambahan yang sesuai dengan perbuatan gratifikasi seksual adalah perampasan barang-barang yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.

Sanksi pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu semata-mata untuk melindungi kepentingan Negara dalam rangka mengembalikan kerugian yang dideritanya dengan mendapat

132

jaminan dengan menahan atau merampas harta yang dikuasai oleh terpidana cukup untuk mengembalikan kerugian Negara.

Perumusan sanksi pidana tambahan pengumuman putusan hakim, ditujukan untuk menegaskan bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum dan menyatakan bahwa terpidana bersalah telah melakukan perbuatan gratifikasi seksual dan telah pula dikenakan sanksi pidana yang sepadan.

Tindakan perbaikan akibat tindak pidana ditujukan untuk melindungi kepentingan korban dan masyarakat yang seharusnya menerima manfaat dari keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dirampas oleh pelaku kejahatan gratifikasi seksual.

133

BAB IV

Dalam dokumen GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM PERSONA KORUPS (Halaman 130-139)