• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Positif yang Pernah Berlaku

Dalam dokumen GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM PERSONA KORUPS (Halaman 55-61)

PUSTAKA TERPERINC

D. Pembuktian Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Korupsi 1 Landasan Formil Pemberantasan Tindak Pidana Korups

2. Hukum Positif yang Pernah Berlaku

Martiman Prodjohamidjojo membandingkan peraturan tentang korupsi yang pernah belaku di Indonesia sebagai berikut:34

1. Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957

50

Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut.

Rumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957dikelompokkan menjadi dua, yakni:

a. tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik kepentinangan sendiri, kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. b. tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang

menerima gaji atau upah daru suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenagnan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya. 2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.

Prt/013/Peperpu/013/1958

Rumusan korupsi dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tersebut diatas, dikelompokkan menjadi dua kelompok besar dan tidap kelompok dibagi lagi menjadi sub kelompok, sehingga menjadi lima sub kelompok jenis korupsi, yakni: a. Korupsi pidana

1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau

tidak langsung merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara atau dareah atau merugikan suatu badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

51

2. perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

3. kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP.

a. Pasal 209 KUHP menentukan

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. barangsiapa memberi ataau menjanjikan sesuatu pada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 2. barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat

karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam Pasal 35 KUHP dapat dijatuhkan, yaitu:

1. Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:

1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

2. hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata; 3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang

diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus

atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan

perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri; 6. hak menjalani mata pencarian tertentu;

52

2. Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.

b. Pasal 210 KUHP menentukan :

1. Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun

1. barangsiapa member atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

2. barangsiapa memberi atau menjanjikan kepada seorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau adviser untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

2. Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun;

3. Pencabutan berdasarkan Pasal 35 No. 1 s/d 4 dapat dijatuhkan.

c. Pasal 418 KUHP menentukan:

1. bahwa seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan itu karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

d. Pasal 419 KUHP menentukan:

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pejabat:

a. yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan

53

untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. 2. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:

a. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya;

b. barangsiapa menurut ketentuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu;

3. Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. b. Korupsi perdata:

1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbutan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

2. perbuatan seseorang yang dengan atau karena kaya diri sendiri atau orang lain atau seuatu badan dan yang dilakukan dengan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

3. Undang-Undang No. 24/Prp/Tahun 1960

Disebut juga sebagai Undang-Undang Anti Korupsi merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat dari perpu ini

54

masih bersifat kedaruratan, menurut Pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949 yang kemudian dicabut melalui Dekrit Presiden Repulik Indonesia 5 Juli 1959. Undang-Undang Anti Korupsi Nomor 24/Prp/Tahun 1960 mengandung hal-hal baru yang belum ada dalam undang-undang korupsi sebelumnya yakni:

a. delik percobaan dan delik permufakatan;

b. kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara; c. ada delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri; d. kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau

janji;

e. rumusan mengenai pegawai negeri diperluas;

Dengan masuknya pemberian hadiah atau janji dan kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji merupakan awal dari terbentuknya gratifikasi, walaupun belum secara eksplisit dituliskan sebagai suap gratifikasi.

4. UU No. 3-1971

Rumusan delik korupsi pada UU No. 3-1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dari Undang-Undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960, baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistematikanya. Sehingga karena itu ada dua kelompok delik korupsi, yaitu delik korupsi yang selesai (voltooid) dan delik percobaan

(poging) serta delik permufakatan (convenant). Yang terpenting dalam rumusan Pasal 1 sub 1 huruf d :

“Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi

hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu”.

Rumusan pasal 1 sub 1 huruf e:

“Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak

melaporkan pemberian itu atau janji tersebut kepada yang berwajib”.35 Rumusan Pasal 1 sub 1 huruf d tersebut mulai memasukkan gratifikasi ke dalam Undang-Undang, namun secara eksplisit belum dinakaman gratifikasi.

5. UU No. 31-1999

Rumusan delik korupsi dengan mengoper sebagian besar dari delik korupsi UU No. 3-1971, dengan perubahan sebagai hal yang

55

menarik untuk diperhatikan, sebagai berikut memperluas subjek delik kerupsi, memperluas pengertian pegawai negeri, memperluas pengertian delik korupsi, memperluas berbagai modus operandi keuangan negara, delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil, subjek korporasi dikenakan sanksi. Sanksi pidana bebeda dengan sanksi pidana Undang-Undang sebelumnya. Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik keorupsi tersangka/terdakwa memperoleh perlindungan hak-hak asasi. Dan diterapkan pembuktian terbalik terbatas dan partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi.

6. UU No. 20-2001

Merupakan perubahan dari UU No. 31-1999. Ditambahkan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 yang menyematkan gratifikasi didalamnya dan merupakan hal baru yang bukan dari Undang- Undang sebelumnya.

Dari sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menurut pandangan penulis bahwa upaya pembuat Undang-Undang untuk selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan adanya upaya membentuk jaring hukum seluas-luasnya untuk menjerat pelaku delik korupsi dengan modus yang selalu berkembang.

Mengenai masuknya gratifikasi yang merupakan hal baru dalam Undang-Udang tindak pidana korupsi tidak lepas dari niat pembuat Undang-Undang untuk mencegah dan memberantas korupsi demiki menyelamatkan perekonomian Negara, sehingga tidak berlebihan jika kata “fasilitas lainnya” dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, secara ekstensif ditafsirkan termasuk layanan seksual yang disediakan untuk pegawai negeri atau penyelenggara Negara untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Dalam dokumen GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM PERSONA KORUPS (Halaman 55-61)