• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Menyetkan Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Menyetkan Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Sekalipun langit akan runtuh, hukum harus ditegakkan”, merupakan salah satu adagium hukum yang cukup dikenal terutama dalam kalangan ahli hukum. Adagium tersebut seolah memberi harapan yang sangat kuat bagi setiap manusia bahwa tidak ada yang bisa menghalangi tegaknya hukum didunia ini. Pertanyaan paling mendasar adalah, mengapa harus ada hukum? Atau mengapa harus hukum yang mengatur manusia dalam kehidupannya? Bukankah hukum diciptakan oleh manusia itu sendiri? Berarti, manusia menciptakan sesuatu yang mana sesuatu itu justru mengatur dirinya sendiri.

(2)

adalah pengadilan rakyat, pada mana semua orang sebangsa harus ikut serta. Sebagaimana bangsa itu mempunyai bahasa sendiri, demikian juga mereka melakukan peradilannya, bangsa itu membentuk hukumnya sendiri yang kemudian menjadi darah dagingnya.4

Lebih lanjut, Van Apeldoorn dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”, menyampaikan bahwa perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, jiwa, harta benda, dan sebagainya, terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari perorangan dan kepentingan dari manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara semua orang melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai upaya mempertahankan perdamaian. Hukum memandang perdamaian dengan melihat kepentingan-kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan yang mana terdapat suatu keseimbangan

Pada saat itu, hukum lahir karena kehendak rakyat yang membutuhkannya, dan hukum dirancang memang untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Seperti sebuah budaya, hukum bukan sekedar kata-kata yang terukir indah dalam kitab-kitab, tetapi menjadi tolak ukur perilaku manusia (berakar pada nilai) agar dapat diterima di masyarakat untuk mencapai perdamaian sebagai cita-cita masyarakat.

(3)

antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.5

Jadi, tidak dapat dipungkiri penegakan hukum6

Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan”, sulit untuk mencari pedoman pelaksanaan tugas penegakan ketertiban dan kepastian hukum, terutama disebabkan faktor transisi nilai kesadaran yang sedang kita alami. Faktor kedua, disamping perubahan nilai-nilai, simpang siurnya perundang-undangan, dan masih banyaknya peraturan peraturan positif yang masih berasal dari kodifikasi jaman kolonial. Diantara semua faktor-faktor tersebut, yang salah satunya adalah penegakan hukum yang tegas. Tegas dalam arti hukum itu tidak dipermainkan atau diperjual-belikan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi pejabat penegak hukum, seperti yang selalu didengar ungkapan bersayap KUHP: Kalau ada Uang sebagai salah satu kunci untuk mencapai perdamaian dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Masalah selanjutnya adalah, bagaimana seharusnya penegakan hukum itu karena pada faktanya dengan melihat, mengetahui dan menyadari sangat sulitlah menegakan hukum itu, bak mendirikan tiang di tengah laut yang sedang mengamuk.

5

Ibid, hal. 23.

6 Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2014), hal 265-266, mengemukakan bahwa, “penegakan hukum dalam pengertian law enforcement seperti yang secara praktis selama ini dikenal hanyalah merupakan bagian dalam penegakan hukum dalam arti yang luas dan umum. Oleh karena itu, konsep law

enforcement dapat dikatakan dan diterjemahkan sebagai penegakan hukum dalam arti sempit.

(4)

Habis Perkara, atau hukum itu diperlakukan berbeda-beda kepada masyarakat. Hal tersebut seperti ungkapan dari Oliver Goldsmith : Law grind the poor, and rich men rule the law (hukum hanya menggilas orang miskin, sebaliknya orang kaya menguasai hukum).7

Perpres Nomor 7 Tahun 2005 diatas mengadopsi pemikiran Friedman mengenai sistem hukum yang dituangkan didalam Bab 9 Tentang Pembenahan Sistem dan Politik Hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga hal ini dapat pula digunakan sebagai kajian untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Chaeruddin juga mengutip pendapat Friedman, bahwa substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang ada dalam sistem. Substansi juga berarti produk yang Chaerudin dalam bukunya “Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi”, bahwa masalah penegakan hukum menjadi salah satu agenda dari sejumlah masalah dalam Pembangunan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Bab I Sub A Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, menyatakan sebagai berikut :

“...masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, masih besarnya tumpang tindih peraturan perundangan di tingkat pusat dan daerah dan menghambat iklim usaha dan pada gilirannya menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat, belum ditegakkannya hukum secara tegas, adil dan tidak diskriminatif, serta memihak kepada rakyat kecil serta belum dirasakan putusan hukum oleh masyarakat sebagai putusan yang adil dan tidak memihak melalui proses yang transparan.”

7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan

(5)

berupa atau aturan (peraturan perundang-undangan) dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem tersebut.8

Meskipun telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat, akan tetapi masyarakat menilai undang-undang yang ada tidak berpihak atau melindungi kepentingan mereka, sehingga undang-undang yang dibuat belum mencerminkan efektivitasnya sama sekali, karena substansinya terlalu simbolik tanpa tujuan instrumental. Efektivitas keberlakuan melalui peraturan perundang-undangan sangat tergantung pada pemahaman masyarakat tentang hukum itu sendiri.9

Faktor struktur hukum (legal structure), meliputi : struktur institusi penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) termasuk aparat-aparatnya (polisi, jaksa, dan hakim), dan hierarki lembaga peradilan10 yang bermuara pada Mahkamah Agung. Apabila dikaitkan dengan program pembangunan hukum dewasa ini, kedua unsur di atas merupakan bagian dari reformasi dibidang hukum, yaitu enforcement apparatus reform (reformasi penegakan dan aparat penegak hukum) dan judicial reform (reformasi badan peradilan).11

Faktor kebudayaan (legal culture), pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsep abstrak

8 Chaerudin, dan kawan-kawan , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak

Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008), hal.59

9 Ibid, hal. 60

10 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada pasal 24

ayat (1) kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggara-kan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; ayat (2) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lembaga peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(6)

mengenai apa yang baik dan buruk. Faktor ini sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat terhadap upaya penegakan hukum. Apabila hukum dirasakan telah diresponsif dan aspiratif, para pemimpin negara telah pula memberikan teladan menaati dan menghargai hukum, memberikan saluran keadilan yang dapat memuaskan masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat akan lebih menghargai hukum. Faktor-faktor inilah yang akan memberi sumbangan besar dalam membentuk budaya hukum masyarakat.12

12 Ibid, hal. 73

(7)

Berangkat dari masalah di atas, jika melihat pada dewasa ini tindak pidana yang dari dulu hingga saat ini sangat hangat serta gencar diberitakan tidak hanya dalam lingkup nasional, tetapi merambah kancah internasional salah satunya adalah tindak pidana korupsi, yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat. Terkait dengan tindak pidana tersebut, defenisi korupsi itu sendiri beraneka ragam karena sudah sangat banyak ahli yang menerjemahkannya sesuai dengan keadaan dan situasi yang berbeda.

Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Chaerudin, bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-hak lain.13

Suyatno dalam bukunya “Korupsi Kolusi dan Nepotisme”, memberi pandangan bahwa korupsi merupakan salah satu dari penyakit birokrasi yang mengganggu sistem pembangunan. Keberadaannya tidak bisa dipungkiri, namun sulit untuk dibuktikan atau untuk diberantas. Korupsi bisa berkaitan dengan norma hukum, sosial, ekonomi, psikologis, bahkan spiritual. Lebih lanjut lagi, Suyatno berpendapat korupsi hampir identik dengan gejala masyarakat serba ‘instan’. Mereka menghendaki semua cita-cita dan impiannya tercapai dalam waktu singkat, tanpa banyak biaya, tenaga dan keahlian. Korupsi bisa dimaknai pula sebagai penggunaan kekuasaan dan/atau kewenangan yang melebihi batas

(8)

yang diijinkan. Disamping itu, korupsi berkaitan pula dengan pelanggaran hak atas orang lain secara melawan hukum.14

Secara konseptual, Suyatno memandang hukum diyakini sebagai alat pengontrol dan sekaligus penegak keadilan. Kemampuan hukum bukan hanya terletak pada pasal-pasal yang tertulis dalam kitab undang-undang, namun juga terletak pada kemampuan penegak hukum untuk memanfaatkannya. Seberapa jauhkah komitmen aparat penegak hukum, merupakan pertanyaan yang perlu dijawab dalam rangka sumbangannya terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

Untuk lebih jelasnya bagaimana korupsi itu dalam hukum positif di Indonesia akan di bahas pada bagian tinjauan pustaka dalam skripsi ini.

15

Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, Suyatno berpandangan bahwa pengawal peraturan perundang-undangan seperti polisi, hakim, inspektur, jaksa, dan pembela ikut menentukan sukses atau tidaknya pemberantasan korupsi. Apabila didalam penegakan hukum itu masih terjadi mercenary corruption16

14 Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal.

15-16.

15 Ibid, hal. 127.

16

Ibid, hal. 18. Suyatno mengutip defenisi korupsi yang dikemukakan oleh Benveniste

(1991) dalam bukunya “Birokrasi”. Salah satu defenisi korupsi adalah mercenary corruption, yaitu jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

(9)

peranan penting dan menentukan. Untuk itu, didalam lembaga peradilan, orang-orangnya harus dipilih dari mereka yang memiliki integritas yang tidak diragukan. Seleksi untuk menguji integritas ini tidak bisa dilakukan oleh orang lain, selain oleh pribadi masing-masing. 17

Korupsi sebagai kejahatan luar biasa menurut Chairuman Harahap dalam bukunya “Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum” telah

merugikan suatu bangsa, menurunkan derajat pemerintahnya sendiri, dan menghambat perkembangan perekonomian rakyat. Bisa dikatakan kejahatan dalam bentuk korupsi ini korbannya adalah negara, tidak lagi individu atau pun badan hukum saja. Bahkan tidak lagi pada tingkat nasional, tetapi sampai lintas batas negara. Kompleksitas masalah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), khususnya korupsi di Indonesia telah merasuk ke dalam budaya dan telah berlangsung demikian lama. Oleh karena itu upaya pemberantasan –terlebih yang menyangkut pada instansi pemerintah – adalah sesuatu yang amat sulit, kalau bukan mustahil. Pesimisme ini bukannya tidak berdasar, karena instansi pemerintah sebagai leading sector dalam total kehidupan bernegara dan berbangsa terutama dinegara berkembang. Kaum birokrasi yang mengendalikan pemerintah ini mendapat legitimasi dan kewenangan yang besar dalam melakukan apa saja, termasuk untuk menentukan retorika politik mengenai masalah KKN.18

Chairuman Harahap mengutip dalam Tap. MPR Nomor VIII/MPR/2001,MPR, yang menjadi rekomendasi arah kebijakan pemberantasan

17 Ibid, hal. 21.

18 H. Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum,

(10)

dan pencegahan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Dalam konsideran ketetapan ini dikonstantir bahwa KKN adalah permasalahan yang sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bertolak dari kenyataan dan pemikiran itu maka dalam ketetapan ini juga ditegaskan bahwa pembaruan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah KKN memerlukan langkah-langkah percepatan dengan arah kebijakan yang antara lain sebagai berikut :19

a. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah, terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek KKN, serta terhadapnya dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum;

b. Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus KKN yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya;

c. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang, berbagai dugaan praktek KKN yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat;

d. Mencabut, mengubah dan mengganti semua peraturan perundang-undangan, serta keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN;

(11)

e. Merevisi semua peraturan perundangan yang berkenaan dengan korupsi, sehingga sinkron dan konsisten antara satu dengan yang lainnya;

f. Membentuk undang-undang serta peraturan pelaksananya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi, yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perlindungan Saksi dan Korban, Kejahatan Terorganisasi, Kebebasan Mendapatkan Informasi, Etika Pemerintahan, Kejahatan Pencucian Uang, dan Ombudsman;

g. Perlu segera membentuk undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung menjadi daya dorong dan/atau pembukaan untuk tindak pidana korupsi.

Untuk mengantisipasi berkembang biaknya kejahatan yang merugikan halayak banyak ini, segala usaha dilakukan pemerintah baik dalam membentuk peraturan dan badan/institusi/lembaga yang secara khusus menangani kejahatan ini. Di Indonesia kita mengenal suatu badan atau lembaga anti korupsi yang independen, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan payung hukum lembaganya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau selanjutnya disebut dengan UU KPK. Dalam salah satu poin menimbang UU KPK adalah :

(12)

Marwan Effendy, dalam bukunya “Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya”, apabila melihat kebelakang, sejarah panjang mencatat bahwa berbagai upaya telah ditempuh pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, seperti pembentukan badan/tim/komisi untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, antara lain:20

a. Pada permulaan tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tahun 1967 sampai dengan 1982 dikendalikan oleh Jaksa Agung, ketika itu diketuai oleh Jaksa Agung Sugiharto;

b. Komisi Empat (K4) Januari-Mei 1970 diketuai Wilopo;

c. Komisi Anti-Korupsi (KAK) Juni-Agustus 1970 beranggotakan Angkatan 66 seperti Akbar Tanjung, dan kawan-kawan;

d. Operasi Penertiban (berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1977 Tentang Operasi Tertib) beranggotakan Menpan (Menteri Penertiban Aparatur Negara), Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban) dan Jaksa Agung dibantu pejabat di daerah dan Kapolri;

e. Tim Pemberantasan Korupsi (tahun 1982) diketuai M.A Mudjono;

f. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang diketuai Andi Handoyo;

20 Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya

(13)

g. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai Yusuf Syakir, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme;

h. Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di ketuai Hendarman Supanji berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tanggal 25 Mei 2005;

i. Selain badan tersebut, ada juga lembaga atau institusi pengawasan keuangan dan pemerintah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 atau undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)21

j. Disamping itu, lembaga sosial masyarakat yang peduli terhadap korupsi seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), KONSTAN, PUKAT dan lain sebagainya, turut juga mendorong kiprah institusi penegak hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di negara ini.

, Menko EkuinWasbang, BPKP, Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Non Departemen, Bawasda Propinsi dan Bawasda Kabupaten/Kota;

21

(14)

Upaya tersebut sepertinya tidak membuahkan hasil, walaupun di era orde reformasi upaya pemberantasan korupsi begitu gencar dimana jumlah perkara korupsi yang ditangani jauh berlipat kali dibandingkan di era orde sebelumnya, justru sebaliknya malah tetap saja hujatan demi hujatan dilayangkan kepada Pemerintah khususnya penegak hukum karena dipandang tidak mampu merespon kebutuhan masyarakat.22

Pada tanggal 27 Desember 2002, untuk pertama kalinya UU KPK disahkan dan diundangkan, juga telah dilakukan pemilihan pimpinannya oleh DPR diakhir tahun 2003 yang terdiri dari Taufiqurrahman Ruki sebagai ketua dan Erry Riyana Harjapamekas, Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul dan Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai wakil ketua. 23

Denny Indrayana, dalam bukunya “Indonesia Optimis”24, bahwa pada level undang-undang, tentu undang-undang antikorupsi adalah induk dari semua aturan korupsi. Setelah mencabut undang-undang antikorupsi yang lama25

22

Marwan Effendy (1), op.cit.

23 Ibid, hal. 7.

24 Denny Indrayana, Indonesia Optimis (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2011), hal. 152

25 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (1) (Bandung: Mandar

Maju, 2010), hal. 32-34, menyatakan bahwa : “Keberadaan tindak pidana korupsi sebenarnya telah lama ada dalam hukum positif di Indonesia, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) pada 1 Januari 1918 dengan Staatsblad 1915 Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915. Pasca kemerdekaan, dimana masih dalam keadaan perang berdasarkan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 juncto Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957, yang mana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu Peraturan Penguasa Militer tanggal 09 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Berdasarkan pasal 96 ayat (1) Undang-undang Dasar Sementara 1950, diterbitkanlah Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaannya Undang-Undang Nomor Prp 24 Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, sehingga 11 tahun kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(15)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Selanjutnya, Indonesia telah pula meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption)26 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corupption 2003. Undang-undang antikorupsi dilengkapi dengan UU KPK, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), undang-undang Pengadilan Tipikor27

26 Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum (2) (Jakarta: Timpani Publishing,

2010), hal. 54, menyatakan bahwa : “ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam beberapa waktu tahun terakhir, telah menyetujui dan menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kejahatan, yaitu United Nations Convention Against Illicit Trafiic in Narcotic Drugs

and Phychotropic Substance pada tahun 1988 dan United Nations Convention On Transnational Organized Crime (UNTOC) pada tahun 2000 serta United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) pada tahun 2003. Salah satu bagian penting dalam konvensi-konvensi PBB tersebut adalah adanya pengaturan yang berkaitan dengan penelusuran penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana termasuk kerja sama internasional dan rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana antar negara.

27 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia (Malang:

Bayumedia Publishing, 2005), hal. 426, menyatakan bahwa disamping sebagai landasan untuk dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juga sebagai landasan dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 53). Pengadilan tindak pidana korupsi ini berada dilingkungan peradilan umum yang untuk pertama kali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yng wilayahnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia (pasal 54).

(16)

dan lain-lain. Keberadaan beberapa regulasi itu menghadirkan sistem bernegara yang lebih transparan dan akuntabel. Misalnya, UU KPK menegaskan perlunya pelaporan harta kekayaan pejabat negara. Mekanisme yang sebelumnya dikerjakan oleh KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara) akhirnya dilakukan oleh KPK, setelah KPKPN “dilikuidasi” melalui perubahan undang-undang. Mekanisme pelaporan ini, meski masih menyimpan beberapa persoalan misalnya, terkait ketiadaan sanksi tegas jika tidak melaporkan, tetapi diharapkan menggunakan sistem antikorupsi yang lebih baik.

Marwan Effendy mengemukakan bahwa KPK makin menunjukkan gregetnya didalam penanganan tindak pidana korupsi tersebut pada saat pimpinan KPK jilid II yang komisionernya terdiri dari Antasari Azhar, Haryono Umar, Mochammad Jasin, Chandra M. Hamzah, Bibid Samad Rianto, cukup banyak tokoh-tokoh nasional yang menjadi penyelenggara negara dan juga penegak hukum serta pejabat yang duduk dipusat kekuasaan diseret ke pengadilan, meskipun Antasari Azhar berhenti ditengah jalan karena harus berurusan dengan kasus pidana. KPK terus memberantas korupsi dengan bergabungnya kembali Tumpak Hatorangan Panggabean yang kemudian digantikan oleh Busyro M. Muqoddas untuk menggantikan Antasari Azhar paruh waktu sebagai Komisioner KPK periode tahun 2007 sampai dengan 2011. Setelah itu Komisioner KPK jilid III terdiri dari Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Zulkarnain, M. Busyro Muqoddas, dan Adnan Pandu Praja periode tahun 2011 sampai dengan 2015.28

28

(17)

Langkah-langkah yang dilakukan KPK tersebut nampaknya akan didukung sepenuhnya oleh segenap komponen bangsa asal tetap berada dikoridor hukum dan seyogianya diikuti oleh pihak Kepolisian RI dan Kejaksaan, apalagi selama ini perkara tindak pidana korupsi yang ditangani kedua institusi penegak hukum ini jauh lebih banyak secara kuantitatif dibandingkan KPK, meskipun pemberitaannya tidak sehiruk pikuk perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK yang sebagian besar diperoleh melalui operasi tertangkap tangan yang begitu fantastis.29

Menurut Denny Indrayana, KPK telah terbukti merupakan garda depan dalam upaya menjerat koruptor. Kewenangan khusus30 yang mereka miliki berdasarkan UU KPK membuat upaya pemberantasan korupsi berjalan tidak dengan cara normal, tetapi dengan cara yang lebih luar biasa.31 Hal menggembirakan juga terlihat dari penyelamatan keuangan negara (asset recovery), dari tahun 2005-2010, nilainya terus meningkat baik dari hasil gratifikasi maupun dari hal korupsi.32

Tabel 1 : Data Keuangan Negara Yang Berhasil Dikembalikan Seperti dalam tabel berikut:

33

Tahun Jumlah Pengembalian Uang Negara (Dalam Rp) Dari Kasus Korupsi Dari Gratifikasi

29 Ibid, hal. 11.

30

Arry Anggadha, Purborini, Mahkamah Agung: Pencekalan, kewenangan Spesial KPK, 11 September 2009, ( berisi mengenai kewenangan KPK dalam menyelidiki, menyidik, dan penuntutan. Diantara kewenangan spesial itu adalah menyadap dan mencekal. Adapun kewenangan Komisi diatur dalam Pasl 6 huruf c, antara lain KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dan memerintahkan kepada seseorang bepergian ke luar negeri. KPK juga dapat melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

31 Denny Indrayana, op.cit, hal. 156.

(18)

2005 6.943.820.000,00 15.346.167,00 2006 12.771.271.205,00 219.250.985,00 2007 42.367.181.017,00 2.891.593.968,00 2008 407.890.880.495,00 3.909.252.922,00 2009 132.698.259.00,00 1.288.339.128,00 2010 151.296.672.531,00 1.798.049.921,00

Denny Indrayana mengungkapkan bahwa perbaikan regulasi antikorupsi bukan berarti aturan antikoruptor kita sudah sempurna. Tidak ada sistem ataupun hukum yang sempurna. Selalu saja ada kekurangan dan karenanya upaya perbaikan harus terus menerus dilakukan. Termasuk dalam regulasi antikorupsi, disamping soal pengaturan tentang perampasan aset yang masih belum ada, dan karenanya diperlukan.34

Berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang senyatanya telah merugikan keuangan negara, menghambat pembangunan, menurunkan kualitas bangsa Indonesia dimata dunia tidaklah lagi dapat dianggap sepele dan ditindaklanjuti sebagaimana adanya saja tanpa ada perkembangan. Dunia pada dewasa ini telah memiliki sejumlah teknis dan prosedur yang semakin berkembang mengikuti dinamisnya tindak pidana dalam hal ini korupsi agar dapat memberantas dan menanggulanginya. Pemerintah tidak bisa hanya menghukum para pelaku korupsi, tetapi harus dapat mengembalikan sejumlah kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi melalui mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan. Sebab, jika hanya dengan menghukum badani kepada para pelaku korupsi, tidak akan bisa mengembalikan keadaan perekonimian bangsa yang sudah diserap oleh oknum-oknum tersebut. Pengembalian keuangan negara

(19)

memang bukanlah hal mudah. Bahkan mungkin akan adanya pengenyampingan-pengenyampingan dari aturan yang berlaku agar dapat ditelusuri aliran dan dirampas serta dikembalikan kepada negara sebagai pemegang yang berhak.

Marwan Effendy, dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi dan Good Governance”, mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah juga telah merancang kebijakan-kebijakan yang dapat membantu lembaga independen ini untuk memberantas korupsi baik segi nasional maupun internasional. Tidak hanya dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan saja lembaga ini dibutuhkan. Tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya tidak semata-mata hanya menghukum para pelakunya saja, tetapi juga bagaimana mengembalikan keuangan negara tersebut. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengamankan aset guna pengembalian keuangan negara yang telah diselewengkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi adalah dengan melakukan penyitaan atas berbagai aset atau harta kekayaan milik para pelaku tersebut. Baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang diduga berasal dari hasil korupsi maupun yang bukan dari hasil korupsi yang dipandang perlu untuk dilakukan penyitaan guna pengembalian keuangan.35

35 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance (3), (Jakarta: PT.

Timpani Publishing, 2010), hal.86-87.

(20)

Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, maka penulis memilih untuk mengambil dan mendalami isi dari judul skripsi ini, yaitu Peran Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dirangkum diatas, maka skripsi ini berusaha menyederhanakan permasalahan dalam pembahasannya. Permasalahan yang menjadi topik utama diantaranya :

1. Bagaimana konsep kerugian keuangan negara kaitannya dengan tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengembalian keuangan negara dari tindak pidana korupsi ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disajikan diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini diantaranya :

a. Untuk mengetahui konsep kerugian keuangan negara kaitannya dengan tindak pidana korupsi;

b. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengembalikan kerugian keuangan negara, dimana selaku lembaga independen yang langsung bertanggung jawab kepada masyarakat, tetapi bukan berarti kewenangan KPK adalah absolut dan tanpa batas.

(21)

Secara teoritis, dengan mengkaji berbagai batasan permasalahan diatas dapat memberikan sedikit masukan dan sumbangan pemikiran dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi yang terfokus pada pengembalian kerugian keuangan negara yang saat ini sedang gencar dibicarakan para ahli hukum, agar secara nyata penegakan hukum tindak pidana korupsi itu dapat mengembalikan stabilitas perekonomian bangsa yang sempat merosot akibat tindak pidana tersebut. Selain itu, apa yang dituangkan dalam skripsi ini yang juga diambil dari sumber-sumber lain, yang dapat membantu dalam pemahaman lebih dalam mengenai pengembalian kerugian keuangan negara.

Secara praktis, manfaat dari skripsi ini kiranya dapat memberikan informasi mengenai upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh lembaga KPK kepada semua kalangan, melalui uraian konsep kerugian keuangan negara kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Selain dari itu, juga memberikan sedikit uraian mengenai kewenangan-kewenangan KPK dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara, termasuk pada hubungan kerja sama KPK dengan lembaga dalam dan luar negeri. Skripsi ini memang tidaklah mungkin dapat dengan sempurna diselesaikan dan dirampungkan dengan baik. Oleh karena itu, kiranya apa yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini baik secara teoritis maupun praktis dapat tersampaikan walaupun dengan berbagai kelemahan dan kekurangan dalam kelengkapannya.

E. Keaslian Penulisan

(22)

yang mana setelah melalui beberapa tahapan pemeriksaan dinyatakan melalui surat tertanggal 08 Januari 2016 bahwa tidak ada judul skripsi yang sama dengan judul skripsi ini yaitu Peran Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Pengembalikan Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, dengan memeriksa dan menelusuri melalui media elektronik dalam hal ini internet untuk memastikan lebih lanjut keaslian penulisan skripsi ini, apakah ada yang sama secara substansi dan segala pembahasannya. Setelah melihat bahwa tidak ada yang sama, maka dengan mengambil judul dan membahasnya melalui permasalahan yang dirangkum sendiri melalui pemikiran dan diskusi yang dilakukan. Pembahasan yang dituangkan dalam skripsi ini juga tidak terlepas dari teori-teori dan sumber-sumber yang telah ada sebelumnya yang secara valid menjelaskan lebih dalam lagi mengenai permasalahannya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana Korupsi

Badan Eksekutif Bank Dunia menyetujui strategi antikorupsi pada bulan September 199736, yang mendefinisikan korupsi sebagai “pemanfaatan fasilitas publik untuk keuntungan pribadi.”37

36

Asian Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas, (diakses dari

Dunia mendambakan suatu strategi yang seimbang untuk memerangi korupsi yang bertumpu pada empat tonggak: (i) mencegah penipuan dan korupsi dalam proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia; (ii) membantu negara-negara yang meminta bantuan Bank Dunia dalam upaya mereka untuk mengurangi korupsi; (iii) mempertimbangkan korupsi secara lebih eksplisit dalam strategi bantuan negara, dialog tentang kebijakan, analisa, serta pemilihan dan perancangan proyek; serta (iv) lebih menyuarakan dan mendukung untuk upaya-upaya internasional untuk mengurangi korupsi.

37 Jonathan R. Pincus, Jeffrey A. Winters, Membongkar Bank Dunia (Reinventing the

(23)

Fockema Andreae yang dikutip oleh Jur Andi Hamzah dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption, dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Arti harafiah dari kata ini ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary tahun 1978:38

“corruption (L, corruptio (n-)), The act corrupting or the state of being corrupt; putrefactive decomposition; putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from a world (korupsi, dalam bahasa Latin, korupsi –kata benda-, perbuatan merusak atau negara yang menjadi korup; keadaan yang semakin membusuk; masalah yang buruk; perbuatan moral yang tak wajar; bejad moral; berlawanan dengan integritas; buruk atau cara kerja yang tidak jujur; penyuapan; perbuatan yang tak wajar dari apa yang menjadi dasar negara; kehinaan, dalam suatu istilah; perbuatan yang dipandang rendah oleh dunia).” Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip oleh Jur

38 Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

(24)

Andi Hamzah, bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Pengertian KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dimuat dalam Pasal 1 butir 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Dalam pasal 1 butir 3 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut :

“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi.”

Ermansjah Djaja, mengutip beberapa defenisi korupsi dari para ahli seperti:39

a. Menurut Wijowasito sebagai penyusun Kamus Umum Belanda Indonesia, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam Bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.

b. Menurut Gurnar Mydral yaitu :

“To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers (korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan)”.

c. Menurut Helbert Edelherz dalam bukunya yang berjudul “The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies”, yang dikutip juga oleh Ermansjah Djaja, bahwa perbuatan korupsi disebutkan sebagai berikut :

(25)

“White collar crime : an illegal act or service of illegal acts commited by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property, to avoid business or personal advantage (kejahatan kerah putih: suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang tidak dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis keuntungan pribadi)”.

d. Dalam hukum positif khususnya dalam Pasal 1 butir 1 Bab I Ketentuan Umum UU KPK disebutkan pengertian tindak pidana korupsi :

“Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Dengan demikian dapat dijabarkan mengenai pengertian dari “Tindak Pidana Korupsi” adalah semua ketentuan umum materiil yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang diatur dalam pasal-pasal 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B,13,14,15,16,21,22,23 dan 24.

(26)

memasukkan gratifikasi sebagai salah satu bentuknya juga. Selain itu, penyalahgunaan jabatan dan penyelewengan kekuasaan juga bisa dikatakan sebagai perbuatan korupsi apabila terbukti telah merugikan keuangan negara. Variasi defenisi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan kejahatan yang dinamis, berkembang pesat dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah:40 a. Merugikan keuangan negara (Pasal 2, Pasal 3);

b. Penyuapan (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d,Pasal 13;

c. Penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c); d. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, g, f);

e. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h;

f. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i); g. Gratifikasi (Pasal 12B j.o Pasal 12C).

Disamping itu istilah korupsi, oleh Sudarto dalam buku “Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, yang dikutip oleh Martiman Prodjohamnido dalam bukunya “Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi”, bahwa dibeberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang

(27)

keuangan. Banyak istilah dibeberapa negara, ‘gin moung’ (Muangthai), yang berarti ‘makan bangsa’; ‘tanwu’ (Cina), yang berarti ‘keserakahan’, ‘bernoda’; ‘oshoku’ (Jepang), yang berarti ‘kerja kotor’. Selain itu, Martiman Prodjohamnido juga mengutip pendapat para ahli dan membagikannya dalam beberapa sudut pandang, yakni :41

a. Rumusan dari sudut pandang teori pasar

Jacob van Klaveren yang mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin;

b. Rumusan yang menitikberatkan jabatan pemerintah :

1) L. Bayley, perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.

2) M. Mc Mullan, menyebutkan seorang pejabat pemerintahan dikatakan ‘korup’ apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya pada hal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum yang menyalahgunakan kesewenangan dan kekuasaan.

41 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi

(28)

3) J.S Nye, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu mencakup tindakan seperti penyuapan (memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorang dalam keadaan pada jabatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk kepentingan/keperluan pribadi).

c. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum

Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.

d. Rumusan korupsi dari sisi pandang politik

(29)

Prodjohamnido yang menyatakan bahwa, secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten. Rumusan-rumusan pengertian korupsi pada dasarnya dapat memberi warna pada korupsi dalam hukum positif. Karena itu, maka rumusan pengertian korupsi tidak ada yang sama pada setiap negara, tergantung pada tekanan atau titik beratnya yang diambil oleh pembentuk undang-undang. Dari rumusan pengertian korupsi sebagai tercermin di atas bahwa korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga, klik golongan ke dalam dinas di bawah kekuasaan jabatannya.

e. Rumusan korupsi dari sisi sosiologi

(30)

hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik. Sesungguhnya istilah itu sering pula dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri. Selanjutnya pendapat Hussein yang lagi dikutip oleh Martiman, Hussein menambahkan bahwa yang termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok politik pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada kesejahteraan masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui adanya empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan, pemerasan, nepotisme dan penggelapan. Dapatlah digarisbawahi bahwa setiap pelaksanaan tugas jabatan dalam aparatur pemerintahan yang bersifat koruptif ditandai oleh adanya penyuapan, pemerasan, nepotisme dan penggelapan.

Piers Bleirne dan James Messerschmidt dalam buku Elwi Danil, “Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya”, memandang korupsi sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Untuk itu mereka menjelaskan adanya empat tipe korupsi, yakni political bribery, political kickbacks, election fraud, dan corrupt compaign practices:42

a. Political bribery berkaitan kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang. Badan legislatif tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah diberi dukungan dana pada

(31)

saat pemiihan umum dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka;

b. Political kickbacks adalah kegiatan korupsi berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak;

c. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa atau calon anggota parlemen, ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum; d. Corrupt campaign practice adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan bahkan juga penggunaan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan.

Benveniste yang dikutip juga oleh Elwi Danil, juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dengan memberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis yaitu :

a. Discretionery corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi;43

b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu;44

(32)

c. Mercenary corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;45

d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksud untuk mengejar tujuan kelompok.46

Elwi Danil juga mengemukakan bahwa upaya untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik (good governance) dalam kerangka pengimplementasian kehendak rakyat seperti dimaksudkan dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN, secara normatif ditempuh kebijakan untuk membentuk berbagai peraturan perundang-undangan, yang diawali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Selanjutnya diundangkan pula Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.47

Menyadari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku korupsi, maka segala daya dan upaya perlu dikerahkan untuk menanggulanginya, baik dalam bentuk sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, termasuk di dalamnya peningkatan kapasitas kelembagaan penegak hukum. Salah satu aspek kelembagaan yang perlu didayagunakan menurut Elwi Danil untuk menanggulangi korupsi adalah dengan membentuk pengadilan khusus tindak

Untuk melaksanakan amanat ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka pada 27 Desember 2002 diundangkanlah UU KPK.

45 Ibid, hal. 12.

46 Ibid.

(33)

pidana korupsi. Keinginan untuk membentuk pengadilan khusus itu kemudian terwujud dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan perundang-undangan tersebut di atas secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam kerangka upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Dalam konteks itu pula, undang-undang korupsi memiliki kedudukan sebagai peraturan yang akan memayungi (umbrella regulation) terhadap undang-undang yang lain dalam upaya menciptakan ‘good governance’.48

Tindak pidana korupsi bukan lagi kejahatan konvensional yang bisa di anggap remeh. Berkali-kali pemerintah berusaha mengubah dan mengganti peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi agar sesuai dengan perkembangan jaman yang cukup cepat dan dinamis. Sampai hari ini saja tercatat paling sedikit ada tujuh undang-undang khusus yang secara normatif masih berlaku, dan dapat didayagunakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang tersebut meliputi :49

a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;

b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

48 Ibid, hal. 45.

(34)

c. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;

d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme;

e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban;

g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti-Korupsi, 2003).

Menurut sejarah, dalam buku R. Wiryono, “Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,50

50 R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 3-5.

(35)

peraturan-peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z/I/7.

Oleh karena Peraturan Penguasa Perang tersebut hanya berlaku untuk sementara (temporer), maka Pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat yang dimaksud perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Dengan adanya keadaan yang mendesak dan perlunya diatur segera tindak pidana korupsi, maka atas dasar Pasal 96 ayat (1) UUDS 195051

Di dalam penerapannya ternyata Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga terpaksa diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971). Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku,

, pengganti Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian atas dasar Undang Nomor 1 Tahun 1960 menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

51 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia UU No. 7 Tahun 1950, LN

(36)

ternyata Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya parktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kemudian MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara saat itu menetapkan Tap. MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme yang antara lain menetapkan ‘agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi’yang dilakukan dengan segera dengan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

(37)

Perubahan terhadap Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut adalah berupa :52

a. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan tentang adanya perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, penjelasan yang lain dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Thaun 1999, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal masih tetap berlaku;

b. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan yang masing-masing terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, semula-sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001- adalah ketentuan-ketentuan yang mengaitkan dengan mencantumkan ketentuan dalam KUHP, yaitu :53

1) Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni Pasal 209, Pasal 210;

2) Bab XXI tentang perbuatan curang yakni Pasal 387, Pasal 388;

3) Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan yakni pada Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan

52 R. Wiryono, op.cit, hal. 4.

(38)

Pasal 435 KUHP yang naskah aslinya mempergunakan bahasa Belanda, yaitu seperti yang terdapat dalam Wetboek van Starfrecht.

Rumusan delik tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP, dapat dikelompokkan atas empat tindak pidana yaitu:54

1) Kelompok tindak pidana penyuapan, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420;

2) Kelompok tindak pidana penggelapan, yakni Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417;

3) Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau exortion), yakni Pasal 423 dan Pasal 425;

4) Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan, yakni terdiri dari Pasal 387, Pasal 388, Pasal 435.

Dikatakan tidak mengacu lagi pada pasal-pasal dari KUHP, karena dalam Pasal 43B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sendiri telah ditentukan bahwa:

“Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa

(39)

kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.”

Tetapi meskipun demikian, putusan pengadilan dan pendapat pakar mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu, menurut R. Wiryono, masih dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menerapkan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

4) Pasal 1 angka 3 Undang –Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12A, 12B, 12C;

5) Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disispkan pasal baru, yaitu Pasal 26A; 6) Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dipecah menjadi Pasal 37 dan Pasal 37A;

7) Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disispkan pasal baru, yaitu Pasal 38A, Pasal 38B, dan Pasal 38C;

(40)

2. Keuangan Negara Republik Indonesia

Karmin, dalam bukunya “Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya”, bahwa secara etimologi, keuangan berasal dari kata dasar uang. Pengertian uang secara luas adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran utang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan saja. Dengan kata lain, uang merupakan alat yang dapat digunakan dalam suatu wilayah tertentu saja. 55

Julius R. Latumaerissa, dalam bukunya “Bank dan Lembaga Keuangan Lain”, bahwa defenisi uang dilihat dari aspek hukum adalah sebagaimana kata uang yang dirumuskan oleh undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku. Dilihat dari aspek fungsi, uang termasuk segala sesuatu yang melaksanakan fungsi-fungsi uang dan selain itu tidak. Dua diantara fungsi-fungsi ini yaitu fungsi sebagai satuan nilai dan sebagai standar pembayaran tertunda, atau pembayaran masa depan tidak dapat membantu untuk menentukan benda yang mana yang dapat dikatakan sebagai uang dan mana yang tidak, karena benda-benda tersebut merupakan abstraksi yang dapat dihubungkan dengan banyak benda lain yang berbeda.56

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), uang adalah alat tukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak

55

Karmin., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persadaa, 2008), hal. 13.

56 Julius R. Latumaerissa, Bank dan Lembaga Keuangan Lain (Jakarta: Penerbit Salemba

(41)

dengan bentuk dan gambar tertentu, atau harta kekayaan, sedangkan keuangan adalah neraca dan laba rugi.57

Terdapat cukup banyak variasi pengertian keuangan negara yang dikutip oleh W. Riawan Tjandra, dalam bukunya “Hukum Keuangan Negara”, tergantung dari aksentuasi terhadap suatu pokok persoalan dalam pemberian defenisi dari ahli di bidang keuangan negara. Berikut akan ditunjukkan beberapa pengertian dari keuangan negara:58

a. Menurut M. Ichwan

Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijadikan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang.

b. Menurut Geodhart

Keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Unsur-unsur keuangan negara menurut Geodhart meliputi :

1) Periodik;

2) Pemerintah sebagai pelaksana anggaran;

3) Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan, dan;

57 Kamus Besar Bahasa Indonesia (diakses dari

21:27 WIB).

(42)

4) Bentuk anggaran negara adalah berupa suatu undang-undang. c. Menurut Glenn A. Welsch

Budget adalah suatu bentuk statement dari rencana dan kebijaksanaan manajemen yang dipakai dalam suatu periode tertentu sebagai petunjuk atau blue print dalam periode itu.

d. Menurut John F. Due

Budget adalah suatu rencana keuangan untuk suatu periode waktu tertentu. Government budget (anggaran belanja pemerintah) adalah suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode yang telah lampau. Unsur-unsur defenisi John F. Due menyangkut hal-hal berikut :

1) Anggaran belanja yang memuat data keuangan mengenai pengeluaran dan penerimaan dari tahun-tahun yang sudah lalu;

2) Jumlah yang diusulkan untuk tahun yang akan datang; 3) Jumlah taksiran untuk tahun yang sedang berjalan; 4) Rencana keuangan tersebut untuk suatu periode tertentu. e. Menurut Otto Ekstein

Anggaran belanja adalah suatu pernyataan rinci tentang pengeluaran dan penerimaan untuk waktu satu tahun.

(43)

Keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang ataupun barang) yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut.

g. Seminar ICW (Indonesische Comptabiliteits Wet), tanggal 30 Agustus – 5 September 1970 di Jakarta

Merekomendasikan pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu, baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan negara sebagai salah satu rekomendasi seminar ICW tersebut dinilai mendekati pengertian keuangan negara menurut pendapat van der Kemp.

Pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara ( selanjutnya disebut UUKN) dalam Pasal 1 butir 1 adalah:

“Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

Pengertian keuangan negara menurut Muhammad Djafar Saidi, dalam bukunya “Hukum Keuangan Negara”, memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Keuangan negara dalam arti luas mencakup :59

a. Anggaran pendapatan dan belanja negara;

59 Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo

(44)

b. Anggaran pendapatan dan belanja daerah;

c. Keuangan negara pada badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah.

Sementara itu, Muhammad Djafar Saidi juga mengemukakan bahwa keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup keuangan negara yang dikelola oleh tiap-tiap badan hukum dan dipertanggungjawabkan masing-masing.60

Berdasarkan penjelasan UUKN, bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan negara adalah sebagai berikut :61

a. Dari sisi objek, yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan, kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;

b. Dari sisi subjek, yang dimaksud keuangan negara adalah meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara;

c. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari

60 Ibid.

(45)

perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban;

d. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Ruang lingkup keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUKN adalah :

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran negara; e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

Kekayaan pihak lain yang dimaksud pada Pasal 2 poin i UUKN ditegaskan bahwa kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh negara. Menurut Muhammad Djafar Saidi, bahwa ketentuan ini mengandung makna bahwa kekayaan pihak swasta, tatkala memperoleh fasilitas dari negara, merupakan keuangan negara pula.62

3. Lembaga KPK dalam Hukum Positif di Indonesia

(46)

Sebelumnya di atas, telah sedikit disinggung mengenai lembaga KPK di Indonesia. Pada bagian ini, akan lebih di rinci lagi bagaimana sebenarnya lembaga anti korupsi ini di Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian telah diwujudkan dengan UU KPK yang dipertegas dalam Pasal 2 UU KPK;

“Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut KPK-Komisi Pemberantasan Korupsi.”

(47)

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut selanjutnya disebut KPK, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan63, penyidikan64, dan penuntutan65, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan undang-undang. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan66 dan kepolisian67

63 M. Yahya Harahap, (1), op.cit, hal. 101, bahwa penyelidikan berarti serangkaian

tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana.

64 Ibid, hal. 109, bahwa Pasal 1 butir 2, penyidikan berarti serangkaian tindakan yang

dilakukan pejabatpenyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

65KUHP dan KUHAP Beserta Penjelasannya (Bandung: Citra Umbara, 2010), dalam

Pasal 1 butir 7, menuangkan pengertian penuntut (dalam hal ini penuntutan-kata kerja), bahwa penuntut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, pada Pasal 2 ayat (1) kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain bnerdasarkan undang-undang. Pustaka Yustisia, cet. Kesatu, 2010, hal. 63, pada Pasal 1 ayat (1) kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

67 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, pada Pasal 1 butir 1 bahwa Kepolisian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(48)

ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut.68

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pada dasarnya bersifat menambah atau melengkapi hukum pidana yang telah ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN. Dengan adanya UU KPK, maka ketentuan hukum korupsi dalam hal penanganan tindak pidana korupsi telah mengalami kemajuan yang luar biasa dan jauh meninggalkan hukum pidana khusus lainnya.69

Berdasarkan penjelasan UU KPK, bahwa dalam proses pembentukan KPK, tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola KPK. Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘kekuasaan manapun’ adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apa pun.70

68 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif UU

Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002 (2)

(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 183-184.

69 Adami Chazawi, Op.cit, hal. 423-424.

70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Formulate Share Listen Create (FSLC) terhadap kemampuan komunikasi matematis.. Populasi

D pada post sectio caesarea hari pertama didapatkan data sebagai berikut: klien mengatakan nyeri dibagian luka bekas operasi, klien mengatakan nyeri seperti disayat-sayat

Begitu pula dengan hasil penelitian (Putra & Muid, 2012), (Damayanti & Rochmi, 2014) bahwa reputasi berpengaruh signifikan terhadap konservatisme dengan nilai

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

Dalam pemsahaan mmah makan Arwana kegiatan promosi yang sudah dilakukan adalah promosi melalui audio, media massa, Sponsorship, dan pemberian member card bagi pelanggan.. Adapun

Web ini sendiri merupakan web yang memberikan informasi tentang Sejarah Para Pahlawan agar para siswa mengetahui perjuangan para pahlawan yang dahulu berjuang guna tercapainya