• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERAPAN AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

i PENERAPAN AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN

NEGARA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar

OLEH :

LA BARIA NIM : P0900215017

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(2)

ii HALAMAN PERSETUJUAN

PENERAPAN AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

OLEH :

LA BARIA NIM : P0900215017

Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Mengikuti Ujian Tesis Pada Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. M. Djafar Saidi, S.H., M.H. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H.

Mengetahui :

Plt. Ketua Program Studi S2 Ilmu Hukum

Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum.

(3)

iii ABSTRAK

LA BARIA. Penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Khusus Pada Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara Tahun Anggaran 2015). (dibimbing oleh M. DJAFAR SAIDI dan AMINUDDIN ILMAR).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan (1) penerapan audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dan (2) kekuatan pembuktian audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) atas dugaan tindak pidana korupsi di Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara.

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pengumpulan data menggunakan metode studi dokumen atau bahan purtaka dan studi lapangan yang berkaitan dengan Audit BPKP dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) penerapan audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam penangangan kasus dugaan tindak pidana korupsi dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada Dinas Kehutanan Kab. Konut dan (2) kekuatan pembuktian audit PKKN atas kasus tersebut yakni sebagai alat bukti surat karena kasus tersebut belum masuk ranah pengadilan, namun kasus tersebut mengacu pada data yang ada di BPKP bahwa semua hasil audit PKKN yang dilakukan oleh BPKP perwakilan daerah Sultra pada ranah pengadilan selalu dibutuhkan keterangan Ahli dari BPKP.

Demikian halnya dengan audit PKKN atas dugaan tindak pidana korupsi tersebut, keterangan Ahli dari BPKP dapat member pengaruh keyakinan Hakim dalam menjatuhkan putusan.

Kata kunci : Keuangan Negara, Perhitungan Kerugian, Audit, Tindak Pidana Korupsi, Pembuktian.

(4)

iv ABSTACT

LA BARIA. Implementation Of State Budget Loss Audit (PKKN) in Handling of Corruption Crime (Study of Alleged Crime Of Corruption Misuse of Local Original Income Fund and Special Allocation Fund at North Konawe Forestry Service Office of Fiscal Year 2015). (Guided by M. DJAFAR SAIDI and AMINUDDIN ILMAR).

This study aims to identify and explain (1) the implementation ot the audit of State Financial losses and (2) the strength of audit evidence of the State Financial Losses (PKKN) on the alleged corruption crime in the North Konawe District Forestry Office.

This research uses normative juridical method with approach of legislation and case approach. Data collection using document study method or materials of purtaka and field study related to BPKP Audit in order to Calculate State Financial Losses.

The result of the research shows that (1) the implementation of audit of State Financial Losses in the handling of cases of alleged corruption of local revenue (PAD) and Special Allocation Fund (DAK) at the Forestry Service of Kab. Konut and (2) the strength of the verification of the PKKN audit on the case as a proof of letter because the case has not yet entered the court domain, but the case refers to the data contained in BPKP that all PKKN audit results conducted by BPKP regional representatives of Southeast Sulawesi in the realm of the court Always needed information from BPKP Expert. Similarly, with the PKKN audit of alleged corruption, the expert's statement from BPKP can influence the Judge's confidence in deciding the verdict.

Keywords : State Finance, Loss Calculation, Audit, Corruption, Proof.

(5)

v DAFTAR SINGKATAN

PKKN Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.

BPKP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.

BPK Badan Pemeriksa Keuangan.

PAD Pendapatan Asli Daerah.

DAK Dana Alokasi Khusus.

LHA Laporan Hasil Audit.

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

UUKN KUHP

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Kita Undang-Undang Hukum Pidana.

KUHAP Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

UU BPK BUMN BUMD HPS APIP KPA PPK PP Perpres

Kepres

LHPKKN MK SKKNI KKA

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Badan Usaha Milik Negara.

Badan Usaha Milik Daerah.

Harga Perkiraan Sendiri.

Aparat Pengawasan Internal Pemerintah.

Kuasa Pengguna Anggaran.

Pejabat Pembuat Komitmen.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 192 tahun 2014 tentang BPKP yang menggantikan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 beserta perubahannya.

Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, Fungsi, Pengawasan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non - Departemen .

Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.

Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.

Kertas Kerja Audit

(6)

vi UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas anugerahNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang merupakan salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar magister di bidang ilmu hukum pada Program Studi IlmuHukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar Propinsi Sulawesi Selatan.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, sangat diharapkan berbagai masukan dan saran dari para penguji maupun peneliti-peneliti lain untuk kesempurnaannya.

Selama dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan, arahan, petunjuk dan saran dari beberapa pihak, khususnya yang amat terpelajar tim pembimbing dan tim penguji. Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. M. Djafar Saidi, S.H., M.H. selaku Pembimbing I, yang begitu banyak meluangkan waktunya membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis.

2. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H. Selaku Pembimbing II yang selalu dengan ikhlas meluangkan waktunya membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis.

3. Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H., Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H., dan Dr. Muhammad Hasrul, S.H., M.H., masing-masing selaku komisi penguji, yang telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan saran untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

(7)

vii 4. Rektor Universitas Hassanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina, MA. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana di Universitas Hasanuddin.

5. Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum. yang memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan magister pada program studi ilmu hukum.

6. Para Pembantu Dekan, staf pengajar dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu penulis selama menempuh pendidikan magister pada program studi ilmu hukum.

7. Dosen S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan magister pada program studi ilmu hukum.

Pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya, kepada:

1. Kapolda Sultra Bapak Brigjend Pol. Andap Budhi Revianto, S.IK yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan magister pada program studi ilmu hukum.

2. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sultra Bapak Kombes Pol. Wira Satya Triputra, S.IK, M.H.

3. Kasubdit III Tipidkor Polda Sultra Bapak AKBP Honesto Ruddy Dasinglolo, S.Sos

4. Koordinator Pengawasan Bidang Investigasi BPKP Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara Bapak Lindung Saut Maruli Sirait, SE., Ak., M.Si., CFE., CA., CFrA.

(8)

viii 5. Teman-teman seperjuangan Kelas Program Pascasarjana S2 program studi ilmu

hukum Universitas Hasanuddin Angkatan 2015.

6. Pimpinan-pimpinan Lembaga/Instansi di tempat penulis meniliti, yang telah banyak memberi data-data, masukan dan petunjuk kepada penulis dalam menyusun penelitian tesis ini.

7. Secara khusus tesis ini kupersembahkan buat yang tercinta Ayahanda Alm. La Hali dan Ibunda Wa Kombihu.

8. Keluarga Kecil saya yang kukasihi Istri tercinta Wa Ode Trisnasiswaty, SE, dan yang tersayang anakku Zalfa Kirana Al-Iffah dan Muh. Zaldi Al-Fariza, berkat doa dan dukungannya yang terus-menerus serta dengan penuh kesabaran, pengharapan kepada penulis selama menempuh pendidikan pada Program Pascasarjana S2 program studi ilmu hukum Universitas Hasanuddin.

9. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis, diucapkan banyak terima kasih atas semua dukungannya, baik moril maupun materil selama penulis menempuh pendidikan S2 ini.

Semoga Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua sehingga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ..………... ABSTRAK ………... ABSTRACK ………... DAFTAR SINGKATAN ………... UCAPAN TERIMA KASIH ……….…... ii iii iv v vi DAFTAR ISI ………... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………... 1 1.1. B. Rumusan Masalah ………... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kerugian Keuangan Negara ... 8

1.1. Pengertian Keuangan Negara ... 8

1.2. Pengertian Kerugian Keuangan Negara ... 11

1.3. Ruang Lingkup Kerugian Keuangan Negara ... 13

1.4. Penetapan Kerugian Keuangan Negara ... 16

1.5. Timbulnya Kerugian Keuangan Negara …... 18

1.6. Tahap-Tahap Perhitungan Kerugian Negara ... 20

1.7. Metode Penghitungan Kerugian Negara ... 21

B. Tinjauan Umum Tentang Korupsi ... 26

2.1. Pengertian Korupsi ... 26

(10)

x

2.2. Tindak Pidana Korupsi ... 27

C. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian ... 31

3.1. Pengertian Pembuktian ... 31

3.2. Sistem Pembuktian ... 34

3.3. Alat Bukti dalam KUHAP ... 36

D. E. Kerangka Pemikiran ... Bagan Kerangka Pikir ... 41 43 F. Definisi Operasional ... 44

BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 46

B. Lokasi Penelitian ... 46

C. Jenis dan Sumber Data ... 47

D. Teknik Pengumpulan Data ... 48

E. Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Konawe Utara ... 50

B. Penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Konawe Utara ... 53

1. Lembaga yang Berwenang dalam Audit PKKN ... 53

2. Langkah-Langkah Yang digunakan dalam Audit PKKN ... 62

3. Metode Yang Digunakan dalam Audit PKKN ... 74 C. Kekuatan Pembuktian Audit Penghitungan Kerugian Keuangan

Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di

(11)

xi Kabupaten Konawe Utara ... 78 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 88 DAF TAR PUSTAKA ………...………... 90

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah negara hukum, hal ini secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu ciri dari negara hukum adalah menjunjung tinggi hukum dengan tidak ada kecualinya (equality before the law).

Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut dapat tercapai apabila masalah hukum ditempatkan pada kedudukan yang sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Di negara Indonesia hukum dijadikan suatu aturan, kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing.

Proses penegakan hukum di Indonesia berkaitan erat dengan proses pembangunan negara, karena pembangunan negara disamping dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat.

Untuk itu diperlukan penegakan hukum. Salah satu tindak pidana yang cukup fenomenal adalah korupsi. Karena tindak pidana ini tidak hanya merugikan

(13)

2 keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat 1.

Pasca Krisis Moneter tahun 1997 yang membuat perekonomian menjadi lesu dan menghancurkan rezim orde baru yang berkuasa berimbas ke berbagai aspek dari ekonomi, politik, hukum dan tata negara, Sistem perekonomian yang dibangun orde baru dengan kekuasaan sekelompok elit politik dan didukung militer telah menampakkan kebobrokannya, dimana faktor kolusi, korupsi dan nepotisme menjadi sebab utama mengapa negara ini tidak mampu bertahan dari krisis bahkan dampaknya masih terasa hingga sekarang.

Reformasi yang dilakukan pemerintah setelah orde baru memberikan harapan akan adanya perubahan dari sisi demokrasi kepempimpinan melalui pemilihan umum langsung dan pemilihan kepala daerah, distribusi perekonomian dengan lebih merata dengan diberlakukannya otonomi daerah maupun transparansi dan akuntabilitas pemerintah yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan yang bebas Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Namun harapan tersebut seakan jauh dari kenyataan.

Kasus korupsi di Indonesia seakan semakin berkembang dengan metode baru yang lebih canggih. Pemberantasan korupsi dilakukan selama ini kurang memberikan efek jera yang diharapkan timbul dari terpidananya pelaku koruptor.

1Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, hal.1

(14)

3 Fenomena tersebut terjadi sejak bergulirnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah yaitu dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sampai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sistem pemerintahan mengalami pergeseran dari sistem pemerintahan sentralistik ke sistem pemerintahan yang desentralisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi. Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 343 bupati/walikota dan 18 gubernur tersandung korupsi, dari 343 kasus yang menjerat bupati/walikota, 50 kasus di antaranya ditangani KPK. Sementara sisanya ditangani oleh aparat penegak hukum yakni kejaksaan dan kepolisian serta dari 18 kasus yang menjerat gubernur, 16 kasus ditangani oleh KPK dan dua kasus tersisa ditangani oleh kejaksaan2.

Desentralisasi Pemerintahan seakan-akan menjadi kambing hitam penyebab kondisi tersebut padahal tidaklah demikian adanya, tujuan utama dari desentralisasi atau otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat seperti apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Dengan demikian korupsi dilakukan di tingkat pusat dan daerah-daerah dari tingkat tinggi ke tingkat yang rendah. Salah satu contoh korupsi yang masuk kedalam lingkup birokrasi pemerintahan dengan adanya kedua undang-undang tersebut yaitu dalam kasus korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi dari seluruh daerah di tanah air.

2http://www.suara.com/news/2016/08/11/054655/kpk-sebanyak-361-kepala-daerah-terlibat-korupsi, diaskses tanggal 20 Januari 2017 pada pukul 20.45 wita.

(15)

4 Salah satu yang mendorong terjadinya pelanggaran hukum oleh pejabat negara ini adalah tabiat mereka yang serakah, mungkin juga sikap itu dilandasi rasa takut bercampur malu kepada oknum pejabat tinggi dan pengusaha kuat yang berkolusi, rasa berkuasa itulah yang sering membuat seseorang memandang remeh orang lain dan berani bertindak apa saja, keserakahan ini tumbuh subur karena lemahnya penegakan hukum serta manajemen yang tidak rapi sehingga kebocoran tidak bisa segera diketahui dan dikendalikan3.

Berbagai macam kesulitan dihadapi oleh aparat yang berwenang untuk menyeret pelaku korupsi tersebut. Hambatan tersebut bisa disebabkan karena ada tekanan politis yang berasal dari campur tangan eksekutif maupun legislatif, atau dikarenakan oleh rumitnya birokrasi di peradilan. Tidak hanya itu, tidak jarang aparat penegak hukum juga ikut “bermain” dalam melindungi pelaku korupsi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kasus korupsi sulit untuk diberantas4.

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengungkap kasus korupsi adalah dengan Audit Penghitungan Kerugiaan Keuangan Negara (PKKN).

Pendekatan audit Audit Penghitungan Kerugiaan Keuangan Negara dipandang dapat membantu dalam menganalisis berbagai kasus korupsi di Indonesia khususnya di pemerintah daerah yang berkaitan dengan korupsi sistemik yang dilakukan melalui konspirasi yang telah dipersiapkan dengan dukungan dokumen legal oleh para pelakunya. Di Indonesia, kasus-kasus korupsi yang makin banyak terungkap dan semakin beragam jenisnya dan belum terlihat ada kecenderungan penurunan juga pada hakekatnya membuktikan saat ini dan di masa datang makin

3Baharudin Lopa, artikel, Bisnis Indonesia, 21/11/1998.diakses pada tanggal 20 Januari 2017 pada pukul 20.00 wita.

4http://www.antikorupsi.org. Indonesian Court Monitoring. 2004.diaksespadatanggal 20 Januari 2017 padapukul20.00 wita.

(16)

5 diperlukan keahlian dibidang audit. Di Indonesia terlihat peran-peran auditor, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diberi kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam dugaan tindak pidana korupsi.

Salah satunya adalah laporan hasil audit Audit Penghitungan Kerugiaan Keuangan Negara yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara terkait kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara pada Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara Tahun Anggaran 2015 dengan nilai anggaran total sebesar Rp. 1.502.505.500,- (satu miliyar lima ratus dua juta lima ratus lima ribu lima ratus rupiah) yang terdiri dari beberapa item pekerjaan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yakni:5

1. Kegiatan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu kegiatan pengadaan bahan kelengkapan dan bibit (bibit eboni dan bayam) dengan anggaran sebesar Rp. 294.250.000,- (dua ratus sembilan puluh empat juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).

2. Kegiatan yang berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu Kegiatan perencanaan penanaman hutan rakyat (jati) dengan anggaran sebesar Rp.

235.300.500,- (dua ratus tiga puluh lima juta tiga ratus ribu lima ratus rupiah), kegiatan pelaksanaan pengadaan/penanaman hutan rakyat (jati) dengan anggaran sebesar Rp. 878.010.000,- (delapan ratus tujuh puluh delapan juta sepuluh ribu rupiah) dan kegiatan pemeliharaan penanaman hutan rakyat (jati)

5 Data Subdit III Tipikor Polda Sultra pada tanggal 15 Desember 2016

(17)

6 dengan anggaran sebesar Rp. 98.945.000,- (sembilan puluh delapan juta sembilan ratus empat puluh lima ribu rupiah).

Berdasarkan Laporan Hasil Audit (LHA) dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara, negara mengalami kerugian sebesar Rp. 935.662.500,- (sembilan ratus tiga puluh lima juta enam ratus enam puluh dua ribu lima ratus rupiah). Berangkat dari latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk menyusun tesis dengan judul “Penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi Laporan Hasil Audit BPKP Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Pada Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara Tahun Anggaran 2015)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, maka peneliti merumuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe Utara ?

2. Bagaimana kekuatan pembuktian Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe Utara ?

(18)

7 C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe Utara.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kekuatan pembuktian Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe Utara.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan gambaran tentang penerapan dan kekuatan pembuktian Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe Utara.

b. Memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu dibidang audit dan hukum pembuktian dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia secara umum dan terkhusus masyarakat Kabupaten Konawe Utara tentang Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe Utara.

b. Memberikan pedoman praktis dan sebagai dasar pertimbangan bagi aparat penegak hukum dan pejabat daerah yang berkaitan dengan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi.

(19)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kerugian Keuangan Negara 1.1. Pengertian Keuangan Negara

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja mengatakan keuangan negara dalam arti luas meliputi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Perusahaan Umum (Perum) dan sebagaianya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya. Keuangan yang meliputi APBN, APBD dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), tidaklah tepat apabila menggunakan istilah keuangan negara yang lebih tepat adalah menggunakan istilah Keuangan Publik6.

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut7.

Pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang digunakan dalam pendekatan merumuskan keuangan negara menurut penjelasan umum angka 3

6 Adrian Sutedi., Hukum Keuangan Negara, 2010, Jakarta: Sinar Grafika, hal.10

7 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

(20)

9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan8:

a. Dilihat dari sisi objek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun beruba barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

b. Dilihat dari sisi obejk yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

c. Dilihat dari sisi proses, keuangan negara mencangkup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan samapai dengan pertanggungjawaban.

d. Dilihat dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegaitan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena9:

8 Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media: Semarang, 2014, hal. 6

(21)

10 a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pidak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Berdasarkan unsur-unsur tersebut, kerangka pikir keuangan negara dirumuskan adalah keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena “berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban10:

1. Pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

2. BUMN/BUMD,

3. Yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Hukum Keuangan Negara adalah sekumpulan kaidah hukum tertulis yang mengatur hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk uang dan barang yang dikuasai oleh negara terkait dengan pelaksanaan

9 Penjelasan Alinea III Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

10 Hernold Ferry Makawimbang, Op.Cit, hal. 9

(22)

11 hak dan kewajiban tersebut11. Pengertian barang yang dikuasai oleh negara dapat berupa barang berwujud dan barang tidak berwujud. Penguasaan yang dilakukan oleh negara sesuai dengan substansi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang tidak memberikan keabsahan untuk memilikinya.

Kepemilikan dalam negara hanya berada pada pemilik kedaulatan yaitu rakyat Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD.

1.2. Pengertian Kerugian Keuangan Negara

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat bahasa Indonesia Depatemen Pendidikan Nasional, Edisi Keempat Tahun 2008 mendefinisikan kata rugi, kerugian dan merugikan sebagai berikut” kata “rugi” (1) adalah kurang dari harga beli atau modalnya (2) kurang dari modal, (3) “rugi” adalah tidak mendapat faedah (manfaat), tidak beroleh sesuatu yang berguna, “kerugian”

adalah menanggung atau menderita rugi, sedangkan kata “merugi” adalah mendatangkan rugi kepada ...., sengaja menjual lebih rendah dari harga pokok12.

Sementara menurut Djiko Sumaryanto bukanlah kerugian negara dalam pengertian di dunia perusahaan/peniagaan, melainkan suatu kerugian yang terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum). Dalam kaitan ini, faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian negara adalah penerapan kebijakan yang tidak benar, memperkaya sendiri, orang lain, atau korporasi.

Sebenarnya pengelolaan keuangan negara melupakan identitasnya pada saat

11Muhammad Djafar Saidi., Hukum Keuangan Negara, 2013, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 2

12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Indonesia, Edisi ke empat 2008, (Departemen Pendidikan Nasional), Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1186.

(23)

12 diserahi tugas untuk mengurus keuangan negara sehingga negara mengalami kerugian13.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, memberikan definisi tentang “kerugian” dalam konteks kerugian negara/daerah. Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang ini berbunyi: Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Kerugian negara/daerah yang timbul karena di luar kemampuan manusia (force majeure) tidak dapat dituntut. Kerugian negara/daerah sebagai akibat perbuatan melawan hukum, dapat dituntut. Paham yang dikemukakan dalam Pasal 1365 KUHPerdata tercermin dalam Kerugian Negara/ Daerah yang dapat dituntut.

Dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian keuangan negara yang dimaksud adalah yang disebabkan perbuatan melawan hukum (pasal 2), tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya (pasal 3).

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

13 Hernold Ferry Makawimbang, Op. Cit., hal. 110

(24)

13 atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan pidana yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Oleh karena itu, unsur kerugian negara harus dibuktikan dan dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Dengan demikian, maka pembuktian atas kerugian tersebut harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Kerugian Keuangan Negara adalah berkurangnya kekayaan negara atau bertambahnya kewajiban negara tanpa diimbangi dengan prestasi yang setara, yang disebabkan oleh suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan, kelalaian seseorang, dan atau disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia (force majeure).

1.3. Ruang Lingkup Kerugian Keuangan Negara

Yang menjadi ruang lingkup keuangan negara menurut Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN) adalah sebagai berikut:

a. Hak negara untuk memungut pajak;

b. Hak negara untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang;

c. Hak negara untuk melakukan pinjaman;

(25)

14 d. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara;

e. Kewajiban negara untuk membayar tagihan pihak ketiga;

f. Penerimaan negara;

g. Pengeluaran negara;

h. Penerimaan daerah;

i. Pengeluaran daerah;

j. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

k. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

l. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Ruang lingkup keuangan negara tersebut, dikelompokkan ke dalam tiga bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberikan pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan negara. Adapun pengelompokan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai berikut:

1. Bidang pengelolaan pajak;

a. Pajak penghasilan;

b. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa;

c. Pajak penjualan atas barang mewah;

d. Bea matrai.

(26)

15 2. Bidang pengelolaan moneter;

a. Bea masuk;

b. Cukai gula;

c. Cukai tembakau;

3. Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;

a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;

b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;

c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;

d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah;

e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;

f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah;

g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.

Pengelolaam keuangan negara merupakan bagian dari pelaksanaan pemerintahan negara. Pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelolaan keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

Jadi ruang lingkup pengelolaan keuangan negara, meliputi:

1. Perencanaan keuangan negara;

2. Pelaksanaan keuangan negara;

(27)

16 3. Pengawasan keuangan negara; dan

4. Pertanggungjawaban keuangan negara.

1.4. Penetapan Kerugian Keuangan Negara

Penetapan kerugian keuangan negara dapat dilakukan dengan cara melakukan audit terlebih dahulu oleh instansi yang memiliki keahlian di dalam bidangnya untuk menghitung kerugian negara. Dalam penjelasan sebelumnya sudah disebutkan terkait instansi-instasi apa saja yang dapat menghitung kerugian keuangan negara. Selain itu, untuk dapat menentukan kerugian negara juga harus dapat membuktikan bahwa unsur dari pengertian kerugian negara dapat terpenuhi.

Pengertian kerugian negara sendiri dalam Pasal 1 angka 22 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa “Kerugian Negara/Daerah adalah berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai”.

Unsur-unsur dari kerugian negara adalah:

1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/atau nilai yang seharusnya;

2. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya, dengan dapat ditentukan besarnya, dengan demikian kerugian

(28)

17 negara tersebut hanya merupakan indikasi atau berupa potensi terjadinya kerugian; dan

3. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat.

Dalam penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik di pejabat lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah; dan

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara, sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan maupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 sebagaimana di kemukakan di atas, maka dapat dilihat bahwa

(29)

18 konsep yang dianut yaitu konsep kerugian negara dalam arti delik materiil di mana perbuatan atau tindakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) Uundang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan bahwa kerugian negara dalam konsep delik formil dikatakan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dari beberapa ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa konsep kerugian keuangan negara dalam arti delik materiil tidak dapat lagi digunakan atau tidak dapat lagi dipertahankan karena untuk dapat atau tidaknya suatu tindakan dikatakan sebagai korupsi harus adanya tindakan persiapan yang dilakukan tetapi belum nyata dapat merugikan keuangan negara. Tindakan persiapan tersebut juga akan mengarah pada perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara, sehingga untuk mencegah agar suatu tindakan pidana keuangan negara maka sebaiknya dipergunakan konsep delik formil dalam menentukan apakah telah terjadi kerugian keuangan negara atau tidak.

1.5. Timbulnya Kerugian Keuangan Negara

Timbulnya kerugian negara menurut Yunus Husein sangat terkait dengan berbagai transaksi, seperti transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. Dalam kaitan ini Djoko Sumaryanto mengemukakan bahwa tiga kemungkinan terjadinya kerugian negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat merugikan keuangan negara, adalah sebagai berikut:

(30)

19 1. Terjadi pengadaan barang-barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di atas harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan negara sebesar selisih harga pembelian dengan harga pasar atau harga yang sewajarnya;

2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa murah, tetapi kualitas barang dan jasa kurang baik, maka dapat dikaitkan juga merugikan keuangan negara;

3. Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar, sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan negara karena kewajiban negara untuk membayar utang semakin besar;

4. Piutang negara berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan merugikan keuangan negara;

5. Kerugian keuangan negara dapat terjadi kalau aset negara berkurang karena terjual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau perorangan (ruilasg);

6. Untuk merugikan negara adalah dengan memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan cara lain seperti membuat biaya fiktif. Dengan biaya yang diperbesar, keuntungan perusahaan yang menjadi objek pajak semakin kecil; dan 7. Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan

sebenarnya, sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut.

Kerugian negara dari aspek Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentng Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dapat

(31)

20 terjadi pada dua tahap sebagaimana dikemukakan oleh Djoko Sumaryanto, yaitu pada tahap dana akan masuk pada kas negara dan pada tahap dana akan ke luar dari kas negara. Pada tahap dana akan ke luar dari kas kerugian bisa terjadi melalui; konspirasi pajak, konspirasi denda, konspirasi pengembalian kerugian negara dan penyelundupan. Sedangkan pada tahap dana akan ke luar dari kas negara kerugian terjadi akibat; Mark Up, korupsi, kredit macet, pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan program dan lain-lain.

Sementara yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugiakan perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang kewenangan.

1.6. Tahap-Tahap Perhitungan Kerugian Negara

Proses terkait dengan kerugian keuangan negara terbagi ke dalam 4 tahap yaitu:

1. Menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara.

Pada tahap ini, penyelidik, penyidik, dan kemudian penuntut umum merumuskan perbuatan melawan hukumnya berdasarkan fakta hukumnya.

Hasil akhir dari tahap ini adalah menentukan apakah ada kerugian keuangan negara.

2. Menghitung kerugian keuangan negara

Pada tahap ini, pihak yang bertanggung jawab menghitung kerugian keuangan negara adalah akuntan/auditor/akuntan forensik. Di Undang- Undang, pihak yang menghitung kerugian keuangan negara disebut sebagai Ahli, seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8

(32)

21 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

3. Menetapkan kerugian keuangan negara

Dalam tindak pidana korupsi, tahap ketiga merupakan putusan majelis hakim, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.

4. Menetapkan besarnya pembayaran uang pengganti

Pembayaran uang pengganti merupakan salah pidana tambahan dalam Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam pasal 18 ayat (1) poin ketiga “pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

1.7. Metode Penghitungan Kerugian Negara

Pada dasarnya metode perhitungan kerugian negara tidak dapat ditetapkan secara baku untuk dijadikan pedoman/acuan dalam menghitung kerugian negara. Hal ini dikarenakan modus operandi, kasus-kasus penyimpangan dan bentuk kerugian negara dapat bermacam-macam. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, pemeriksa dapat memilih metode yang dianggap paling tepat.

(33)

22 Tuanakotta membagi konsep atau metode penghitungan kerugian keuangan negara menjadi enam konsep atau metode, yaitu14 :

1) Kerugian Total (Total Loss)

Metode ini menghitung kerugian keuangan negara dengan cara seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugian keuangan negara. Metode penghitungan kerugian negara kerugian total juga diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Bagian yang tidak disetorkan merupakan kerugian total.

2) Kerugian Total dengan Penyesuaian

Metode kerugian total dengan penyesuaian seperti dalam metode Kerugian Total, hanya saja dengan penyesuaian ke atas. Penyesuaian diperlukan apabila barang yang dibeli harus dimusnahkan dan pemusnahannya memakan biaya. Kerugian keuangan negara tidak hanya berupa pengeluaran untuk pengadaan barang tersebut, tetapi juga biaya yang diperlukan maupun dikeluarkan untuk memusnahkan barang tersebut.

3) Kerugian Bersih (Net Loss)

Dalam metode kerugian bersih, metode nya sama dengan metode kerugian total. Hanya saja dengan penyesuaian ke bawah. Kerugian bersih adalah kerugian total dikurangi dengan nilai bersih barang yang dianggap masih ada nilainya. Nilai bersih merupakan selisih yang bias diperoleh dikurangi salvaging cost.

14 Theodorus M.Tuanakotta, 2009, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Penerbit Salemba Empat, hal. 144

(34)

23 4) Harga wajar

Pada metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, harga wajar menjadi pembanding untuk harga realisasi. Kerugian keuangan negara dimana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara harga wajar dengan harga realisasi. Metode penghitungan kerugian keuangan negara harga wajar digunakan dalam kasus pengadaan barang maupun transaksi pelepasan dan pemanfaatan barang.

Dalam menghitung harga wajar sederhana, akan tetapi penerapannya tidak selalu mudah. Hal ini dikarenakan sulitnya menentukan harga wajar. Hukum Amerika Serikat menggunakan arm’s length transaction untuk menentukan harga wajar. Arm’s length transaction

merupakan kesepakatan atau kontrak antara dua pihak seolah-olah mereka tidak saling mengenal. Apabila kriteria arm’s length transaction tidak terpenuhi maka harga yang terjadi bukan merupakan harga wajar.

Terminologi apple to apple comparison biasanya digunakan untuk menguji kewajaran harga dalam pengadaan barang, khususnya barang bergerak. Yang dimaksud dengan metode perbandingan apple to apple comparison adalah membandingkan dua obyek yang bukan hanya

jenisnya harus sama tetapi unsur-unsur yang membentuk obyek tersebut juga harus sama.

Adapun unsur-unsur yang harus diperhatikan pada saat melakukan perbandingan harga barang antara lain adalah sebagai berikut:

a. spesifikasi suatu barang;

b. biaya pengangkutan;

(35)

24 c. asuransi;

d. pajak;

e. biaya pemasangan;

f. biaya pengujian barang;

g. keuntungan rekanan.

Selain penghitungan berdasarkan pendekatan apple to apple comparison, ada dua jenis harga pembanding lain, yaitu:

a. Harga Pokok

Penghitungan berdasarkan harga pokok sering dikritik. Hal ini dikarenakan harga pokok tidak sama dengan harga jual. Harga pokok seharusnya disesuaikan ke atas atau ke bawah untuk dapat mencerminka harga jual.

b. Harga Perkiraan Sendiri

Dalam pengadaan barang, lembaga yang melaksanakan proses tender memiliki kewajiban dan diharuskan untuk menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Harga perkiraan sendiri dihitung dengan pengetahuan dan keahlian mengenai barang ataupun jasa yang ditenderkan dan harus berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Akan tetapi, penggunaan harga perkiraan sendiri juga memiliki kelemahan. Karena transaksi yang terjadi bukanlah arm’s length transaction, sehingga harga perkiraan sendiri sudah dimainkan.

Dalam menentukan harga wajar, penggunaan harga pembanding yang dihitung atau ditaksir oleh seorang ahli juga sering

(36)

25 dipertanyakan. Yang dimaksud dengan ahli dalam hal ini adalah penilai (appraiser). Seorang penilai sangatlah tepat untuk menilai gedung, pabrik,

mobil, atau alat berat. Penilai bisa orang yang berspesialisasi atau berpengalaman dalam aset tertentu. Nilai yang diajukan oleh beberapa penilai biasanya lebih dapat diterima oleh pengadilan disbanding dengan yang diajukan oleh hanya seorang penilai.

5) Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)

Dalam metode biaya kesempatan, apabila ada kesempatan atau peluang untuk memperoleh yang terbaik, akan tetapi justru peluang ini yang dikorbankan, maka pengorbanan ini merupakan kerugian, dalam arti opportunity cost.

6) Bunga (Interest)

Bunga merupakan unsur kerugian negara yang penting, terutama pada transaksi-transaksi keuangan yang seperti dalam penempatan aset.

Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan konsep nilai waktu dari uang. Bunga perlu dimasukkan dalam penghitungan kerugian keuangan negara. Dalam sengketa perdata, kerugian bunga dihitung berdasarkan jangka waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku.

Menghitung kerugian keuangan negara dapat menggunakan berbagai macam metode. Dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, dapat juga digunakan dua metode atau lebih sekaligus, tergantung pada kompleksitas pekerjaan dan jenis kontraknya.

Dalam pelaksanaannya penerapan atas metode penghitungan kerugian keuangan negara sering kali tidak konsisten, meskipun secara umum

(37)

26 penyimpangannya tidak jauh berbeda. Tidak tertlihat adanya suatu pola penghitungan yang bisa digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam menghitung kerugian keuangan negara.

B. Tinjauan Umum Tentang Korupsi 2.1. Pengertian Korupsi

Korupsi adalah penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari perijinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya.

Untuk kasus seperti ini, korupsi menyebabkan biaya ekonomi tinggi, dan oleh karena itu korupsi tidak baik bagi pertumbuhan15.

Berdasarkan pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan, pengertian korupsi tidak lagi hanya diasosiasikan dengan penggelapan keuangan Negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum).

Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit),

15 Shleifer, Andrei dan Robert W. Vishny. Corruption. Quarterly of Journal Economy. Vol.CVIII. pp 598-617. Cambridge: MIT Press. 199

(38)

27 embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan

penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat). Istilah invisble crime banyak ditujukan untuk menunjuk pada kejahatan yang sulit dibuktikan

maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya16.

Dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menyimpang dari aturan maupun hukum yang berlaku dengan maksud dan tujuan untuk keuntungan pribadi dan memberikan kerugian pada negara.

2.2. Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda straafbaar feit merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dalam istilah asing juga disebut dengan delict. Tindak pidana dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana17.

Pelaku tindak pidana disebut subjek tindak pidana dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum yang memiliki daya berpikir yang merupakan syarat subjek tindak tindak pidana itu. Wujud perbuatan tindak pidana tercantum dalam perumusan pasal-pasal tertentu dalam dalam peraturan tindak pidana atau dalam bahasa Belanda dinamakan delict-omschrijving.

16 Adji, Indriyanto Seno. Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif. Kompas Online.

www.kompas.com/9709/25/opini 1999

17WirjonoProdjodikoro, 2009.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika Aditama, hal. 59

(39)

28 Simons18 menyatakan bahwa ”straafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, besifat melawan hukum, yang

berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan”.

Jadi, apabila dilihat rumusan delik yang dikemukakan oleh Simons tersebut diatas, maka di dalamnya terkandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan manusia

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang 3. Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum, dan

4. Perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dirumuskan bentuk tindak pidana korupsi yang tertuang dalam 30 pasal. Dari 30 pasal tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 kategori besar tindak pidana korupsi sebagai berikut :

1) Kerugian Keuangan Negara;

2) Suap-menyuap;

3) Penggelapan dalam Jabatan;

4) Perbuatan Pemerasan;

5) Perbuatan Curang;

6) Benturan Kepentingan dalam Pengadaan Barang dan Jasa;

7) Gratifikasi.

18RuslyEffendy. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian I dan II. LEPPEN UMI : Ujung Pandang. hal.37

(40)

29 Dari tujuh kategori tindak pidana korupsi yang tertuang dalam 30 pasal Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara hanya digunakan pada kategori tindak pidana atas kerugian keuangan negara.

Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Unsur tindak pidananya adalah : 1) Setiap orang;

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi;

3) Dengan cara melawan hukum;

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Selain itu dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya

(41)

30 karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Unsur tindak pidananya adalah : 1) Setiap orang;

2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

3) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Berdasarkan ketentuan diatas, salah satu unsur yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Terdapat perbedaan antara kerugian keuangan negara dan merugikan keuangan negara. Kerugian keuangan negara diatur dalam Pasal 1 butir (22) UU Perbendaharaan Negara mengartikan kerugian keuangan negara sebagai

"kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai". Dalam

teori hukum pidana, pengertian tersebut termasuk "delik materiil” lantaran memberi syarat adanya kerugian negara "yang benar-benar nyata dan pasti

(42)

31 jumlahnya" sebagai akibat suatu perbuatan yang dilarang dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Sedangkan merugikan keuangan negara diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi yang menganut „delik formil‟, yaitu tindak pidana korupsi dianggap sudah terjadi apabila unsur-unsur perbuatan yang dilarang sudah terpenuhi, tanpa memperhitungkan timbulnya suatu akibat. Hal itu dapat dilihat pada kata "dapat" merugikan keuangan dan perekonomian negara dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi. Korupsi dianggap telah terjadi apabila perbuatan tersebut „berpotensi‟ menimbulkan kerugian keuangan negara. Ada atau tidaknya kerugian keuangan negara secara nyata dan pasti jumlahnya, tidak menjadi ukuran telah terjadinya korupsi, bahkan tidak perlu dibuktikan di sidang pengadilan.

Dalam hal menentukan suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”dalam dugaan tindak pidana korupsi diperlukan suatu pendapat dan analisis dari lembaga-lembaga yang berwenang seperti BPK, APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah), BPKP, dan Inspektorat berupa hasil audit seperti Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugiaan Keuangan Negara.

C. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian 3.1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan salah satu hal yang penting dalam menentukan kebenaran atas dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa dalam suatu persidangan. Oleh karena itu, pembuktian perlu diketahui secara mendalam.

Dalam KUHAP istilah “bukti”, “barang bukti” dan “alat bukti” tidak terdefinisi secara jelas, untuk itu diperlukan pendefinisian dari literatur di luar

(43)

32 KUHAP dalam hal ini Kamus Hukum maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia dan pendapat para ahli hukum pidana.

Bukti dalam bahasa Inggris “evidence” menurut Ian Dennis19 yang memiliki arti yaitu informasi yang memberikan dasar-dasar yang mengandung suatu kenyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar.

Menurut Max M. Houck20evidence atau bukti didefinisikan sebagai pemberian informasi dalam penyidikan yang sah mengenahi fakta yang kurang lebih seperti apa adanya.

Dalam bahasa Belanda “bewijs” merupakan asal kata serapan dari bukti, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum “bewijs”

diartikan sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya.

Syaiful Bakhri,21pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang, membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan di dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasar keadilan.

19Eddy O.S. Hiariej. 2012. Teori & Hukum Pembuktian. Penerbit Erlangga : Jakarta, hal. 2

20Ibid, hal. 3

21Ibid, hal. 4

(44)

33 Nashr Farid Washil,22 „membuktikan‟ yakni menyajikan alat-alat bukti yang sah menurut hukum.

Phyllis B. Gerstenfeld,23 memberi definisi hukum pembuktian adalah sebagai aturan yang menentukan dapat diterimanya semua bentuk bukti di pengadilan.

Bambang Poernomo,24 hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenahi kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang-orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo25berpendapat bahwa membuktikan mengandung tiga pengertian yaitu membuktikan dalam arti logis, membuktikan dalam arti konvensional, dan membuktikan dalam hukum atau mempunyai arti yuridis.

Menurut Yahya Harahap26 pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang- undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan.

22Ibid, hal. 5

23Ibid

24Ibid

25Ibid, hal. 6

26M. Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

hal. 273

(45)

34 Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian :

1) Memberi (memperlihatkan bukti);

2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);

3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu itu benar);

4) Meyakinkan, menyaksikan.

Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapat dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana. Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang.

Dalam kaitannya dengan audit forensik bukti yang disajikan oleh auditor forensik harus memenuhi hukum acara pidana tindak pidana korupsi yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum, semuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

Begitu pentingnya pembuktian dalam proses peradilan pidana untuk mencari dan mempertahankan kebenaran materiil baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasehat penasehat hukum.

(46)

35 3.2. Sistem Pembuktian

Dalam ilmu hukum, kita kenal empat jenis sistem atau teori pembuktian, yaitu27 :

1) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijsteorie).

Sistem ini berkembang diabad pertengahan, dan saat ini sudah mulai ditinggalkan. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

2) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atau sistem keyakinan belaka (conviction intime)

Dalam sistem ini sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu kepada kebijaksanaan hakim. Menurut sistem ini hakim tidak terikat kepada alat-alat bukti tertentu, hakim harus memutus tentang kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinannya belaka.

3) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim dengan alasan yang logis (la convictio raisonee).

Bahwa hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Hakim bebas untuk menentukan macam dan

27Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 247-253

Referensi

Dokumen terkait

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

Penelitian yang dilakukan terhadap Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta (AK-TEKSTIL Surakarta) dimaksudkan untuk mengetahui sistim

Dalam proses menganalisis metode hisab perlu melihat data yang dipakai serta rumus dalam proses perhitungannya. Data yang dipakai dalam kitab Tibyanul Murid „Ala Ziijil Jadid

Untuk perumusan ketiga rekomendasi rute yang baik pada angkutan kota dari hasil network analysis dapat dilihat didapat rute angkutan kota 01 sebaiknya menggunakan

Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Klinik Kecantikan Kusuma memiliki beberapa masalah yang diantaranya adalah tidak dapat menginformasikan secara akurat kepada pelanggan, layanan telepon klinik Kusuma yang