• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Umum Tentang Korupsi

26 penyimpangannya tidak jauh berbeda. Tidak tertlihat adanya suatu pola penghitungan yang bisa digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam menghitung kerugian keuangan negara.

B. Tinjauan Umum Tentang Korupsi

27 embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan

penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat). Istilah invisble crime banyak ditujukan untuk menunjuk pada kejahatan yang sulit dibuktikan

maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya16.

Dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menyimpang dari aturan maupun hukum yang berlaku dengan maksud dan tujuan untuk keuntungan pribadi dan memberikan kerugian pada negara.

2.2. Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda straafbaar feit merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dalam istilah asing juga disebut dengan delict. Tindak pidana dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana17.

Pelaku tindak pidana disebut subjek tindak pidana dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum yang memiliki daya berpikir yang merupakan syarat subjek tindak tindak pidana itu. Wujud perbuatan tindak pidana tercantum dalam perumusan pasal-pasal tertentu dalam dalam peraturan tindak pidana atau dalam bahasa Belanda dinamakan delict-omschrijving.

16 Adji, Indriyanto Seno. Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif. Kompas Online.

www.kompas.com/9709/25/opini 1999

17WirjonoProdjodikoro, 2009.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika Aditama, hal. 59

28 Simons18 menyatakan bahwa ”straafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, besifat melawan hukum, yang

berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan”.

Jadi, apabila dilihat rumusan delik yang dikemukakan oleh Simons tersebut diatas, maka di dalamnya terkandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan manusia

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang 3. Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum, dan

4. Perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dirumuskan bentuk tindak pidana korupsi yang tertuang dalam 30 pasal. Dari 30 pasal tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 kategori besar tindak pidana korupsi sebagai berikut :

1) Kerugian Keuangan Negara;

2) Suap-menyuap;

3) Penggelapan dalam Jabatan;

4) Perbuatan Pemerasan;

5) Perbuatan Curang;

6) Benturan Kepentingan dalam Pengadaan Barang dan Jasa;

7) Gratifikasi.

18RuslyEffendy. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian I dan II. LEPPEN UMI : Ujung Pandang. hal.37

29 Dari tujuh kategori tindak pidana korupsi yang tertuang dalam 30 pasal Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara hanya digunakan pada kategori tindak pidana atas kerugian keuangan negara.

Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Unsur tindak pidananya adalah : 1) Setiap orang;

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi;

3) Dengan cara melawan hukum;

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Selain itu dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya

30 karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Unsur tindak pidananya adalah : 1) Setiap orang;

2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

3) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Berdasarkan ketentuan diatas, salah satu unsur yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Terdapat perbedaan antara kerugian keuangan negara dan merugikan keuangan negara. Kerugian keuangan negara diatur dalam Pasal 1 butir (22) UU Perbendaharaan Negara mengartikan kerugian keuangan negara sebagai

"kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai". Dalam

teori hukum pidana, pengertian tersebut termasuk "delik materiil” lantaran memberi syarat adanya kerugian negara "yang benar-benar nyata dan pasti

31 jumlahnya" sebagai akibat suatu perbuatan yang dilarang dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Sedangkan merugikan keuangan negara diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi yang menganut „delik formil‟, yaitu tindak pidana korupsi dianggap sudah terjadi apabila unsur-unsur perbuatan yang dilarang sudah terpenuhi, tanpa memperhitungkan timbulnya suatu akibat. Hal itu dapat dilihat pada kata "dapat" merugikan keuangan dan perekonomian negara dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi. Korupsi dianggap telah terjadi apabila perbuatan tersebut „berpotensi‟ menimbulkan kerugian keuangan negara. Ada atau tidaknya kerugian keuangan negara secara nyata dan pasti jumlahnya, tidak menjadi ukuran telah terjadinya korupsi, bahkan tidak perlu dibuktikan di sidang pengadilan.

Dalam hal menentukan suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”dalam dugaan tindak pidana korupsi diperlukan suatu pendapat dan analisis dari lembaga-lembaga yang berwenang seperti BPK, APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah), BPKP, dan Inspektorat berupa hasil audit seperti Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugiaan Keuangan Negara.

C. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

Dokumen terkait