• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Menyetkan Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Menyetkan Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DAN PEREKONOMIAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 J.O

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Sebelum melangkah lebih jauh mengenai konsep kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, akan diuraikan terlebih dahulu sebab-sebab terjadinya tindak pidana korupsi. Surachmin dan Suhandi Cahaya, dalam buku “Strategi Dan Teknik Korupsi”, mengungkapkan beberapa sebab korupsi diantaranya:76

1. Sifat tamak dan keserakahan;

2. Ketimpangan penghasilan sesama Pegawai Negeri Pejabat Negara; 3. Gaya hidup konsumtif;

4. Penghasilan yang tidak memadai;

5. Kurang adanya keteladanan dari pimpinan; 6. Tidak adanya kultur organisasi yang benar;

7. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai; 8. Kelemahan sistem pengendalian manajemen yang terdiri atas:

a. Struktur organisasi b. Kebijakan

c. Perencanaan harus realistis d. Prosedur yang sederhana

e. Pencatatan harus lengkap dan informatif f. Pelaporan

76 Surachmin, dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui dan

(2)

g. Penerimaan dan pemberhentian h. Supervisi dan review intern.

9. Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam organisasi; 10. Nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyrakat;

11. Masyarakat tidak mau menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi adalah masyarakat itu sendiri;

12. Moral yang lemah;

13. Kebutuhan yang mendesak;

14. Malas atau tidak mau bekerja keras;

15. Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar; 16. Lemahnya penegakan hukum mencakup beberapa aspek:

a. Bisa tidak adanya tindakan hukum sama sekali terhadap pelaku korupsi; b. Tindakan ada tetapi penanganan di ulur-ulur dan sanksinya ringan;

c. Tidak dilakukan pemindahan sama sekali, karena si pelaku mendapat backing dari jajaran tertentu atau tindak pidana korupsinya bermotifkan

kepentingan untuk kelompok tertentu atau partai tertentu. 17. Sanksi yang tidak setimpal dengan hasil korupsi;

18. Kurang atau tidak adanya pengendalian 19. Pendapat pakar lain penyebab korupsi

Pendapat lain tentang penyebab korupsi diantaranya dari Klitgaar, Hamzah, Lopa, World Bank, dalam Surachmin menyatakan bahwa penyebab korupsi adalah:

(3)

b. Rendahnya akuntabilitas publik; c. Lemahnya kepemimpinan;

d. Gaji pegawai publik dibawah kebutuhan hidup; e. Kemiskinan;

f. Moral rendah atau disiplin rendah; g. Sifat konsumtif;

h. Pengawasan dalam organisasi kurang; i. Atasan memberi contoh;

j. Kesempatan yang tersedia; k. Pengawasan ekstern yang lemah; l. Lembaga legislatif lemah;

m.Budaya memberi upeti;

n. Permisif (serba membolehkan); o. Tidak mau tahu;

p. Keserakahan;

q. Dan lemahnya penegakan hukum.

(4)

Masyarakat Transparansi Internasional (MTI) yang dikutip Surachmin, menemukan sepuluh pilar penyebab korupsi di Indonesia yaitu sebagai berikut:

a. Absennya kemauan politik pemerintah;

b. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintah; c. Dominannya peranan militer dalam bidang politik;

d. Politisasi birokrasi;

e. Tidak independennya lembaga pengawas; f. Kurang berfungsinya parlemen;

g. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil; h. Kurang bebasnya media massa; i. Oportunitas sektor swasta.

Adapun Ilham Gunawan yang dikutip oleh Surachmin, menyatakan bahwa korupsi dapat terjadi karena berbagai faktor antara lain :

a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi;

b. Kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika;

c. Akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi;

d. Kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan; e. Kemiskinan yang bersifat struktural;

(5)

g. Kurang dan terbatasnya lingkungan yang anti korupsi; h. Struktur pemerintahan yang lunak;

i. Perubahan radikal sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tradisional;

j. Kondisi masyarakat, karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyarakat secara keseluruhan.

20. Faktor politik;

21. Budaya organisasi pemerintah

A. Delik Kerugian Keuangan Negara Dalam Undang Nomor 31 Tahun 1999 JO Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Yunus Husein, dalam hasil penelitian “Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi” oleh Emerson Yuntho, dan kawan-kawan, yang menyebutkan ada beberapa cara terjadinya kerugian negara, yaitu kerugian negara yang terkait dengan berbagai transaksi:77

1. Transaksi barang dan jasa;

2. Transaksi yang terkait dengan utang- piutang;

3. Transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan.

77

Emerson Yuntho, dan kawan-kawan, Indonesia Corruption Watch, Hasil Penelitian

Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi, (diakses

(6)

Masih menurut Yunus Husein, dalam penelitian itu juga, bahwa tiga cara terjadinya kerugian negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara:78 1. Pengadaan barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di atas harga

pasar;

2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar namun tidak sesuai dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan;

3. Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar; 4. Piutang negara berkurang secara tidak wajar;

5. Aset negara berkurang karena dijual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau perorangan (ruilslag);

6. Memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan cara lain;

7. Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan sebenarnya.

Pandangan lain mengenai terjadinya kerugian negara juga disampaikan Soeharto dari BPKP, dalam hasil penelitian itu juga, Soeharto menyebutkan terjadinya kerugian negara disebabkan karena:79

1. Pengeluaran atas suatu sumber kekayaan negara atau daerah, atau atas pendapatan negara atau daerah berupa uang, barang, atau bentuk lainnya yang seharusnya tidak (dapat) dikeluarkan, tetapi dikeluarkan;

78 Ibid.

(7)

2. Pengeluaran atas suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah, atau atas pendapatan negara atau daerah yang lebih besar dari yang seharusnya;

3. Berkurang atau hilangnya sumber kekayaan negara atau daerah, atau pendapatan (atau pemasukan) negara atau daerah yang seharusnya diterima; 4. Berkurangnya hak atas suatu negara atau daerah dari yang seharusnya

didapat.

Eddy Mulyadi Soepardi, dalam ceramah ilmiah yang berjudul “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Unsur Tindak Pidana Korupsi”, bahwa masih ada faktor lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara selain faktor diatas yang dapat ditinjau dari:80

1. Sisi pelaku

a. Perbuatan bendaharawan yang dapat menimbulkan kekurangan perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain adanya pembayaran, pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak, pertanggungjawaban /laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, penggelapan, tindak pidana korupsi, dan kecurian karena kelalaian;

b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan negara dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak pidana korupsi, dan menaikkan harga atau merubah mutu barang;

80

Eddy Mulyadi Soepardi, Dalam Ceramah Ilmiah, Memahami Kerugian Keuangan

Negara Sebagai Salah Satu Faktor Unsur Tindak Pidana Korupsi (diakses dari

(8)

c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan cara antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat yang berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi).

2. Sisi sebab

a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang disengaja, dan tidak disengaja, karena kelalaian, kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang tidak memadai;

b. Kejadian alam, seperti bencana alam, dan proses alamiah seperti membusuk, menguap, menyusut, dan sebagainya;

c. Peraturan perundang-undangan dan situasi moneter/perekonomian, yakni kerugian keuangan karena adanya pengguntingan uang (sanering), gejolak moneter yang mengakibatkan turunnya nilai uang sehingga menaikkan jumlah kewajiban negara dan sebagainya.

(9)

Adami Chazawi, memberi pandangan bahwa dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan berdasarkan dapat-tidaknya merugikan keuangan atau perekonomian negara, dibagi dalam dua bagian, yaitu:81

1. Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan;

2. Tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Tindak pidana korupsi pada bagian pertama merupakan tindak pidana formil (delik formil), yang artinya terjadinya tindak pidana secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terdapat unsur/syarat dapat merugikan keuangan dan atau perekonomian negara terdapat dalam Pasal 2, 3, dan 15 jo Pasal 2 dan 3 (sepanjang percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat itu dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3). Demikian juga dalam Pasal 16 diisyaratkan dapat menimbulkan kerugian negara sepanjang orang yang berada di luar wilayah hukum Republik Indonesia itu memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 dan

(10)

Pasal 3. Terhadap bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya pada bagian kedua tidak memerlukan unsur atau syarat dapat merugikan keuangan dan atau perekonomian negara.

Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:

“Pasal 2

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” “Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Apabila ditelaah lebih lanjut, perbuatan yang memenuhi unsur-unsur penting yang terdapat dalam Pasal 2 agar dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, menurut Marwan Effendy, dalam bukunya “Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana”, diantaranya:82

(11)

1. Setiap orang

Pengertian setiap orang dalam pasal ini, siapa saja yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, baik dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri atau pihak swasta.

Menurut Elwi Danil, bahwa pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana adalah manusia (natururlijke persoon). Hal ini dapat disimpulkan dari rumusan tindak pidana dalam undang-undang yang selalu dimulai dengan kata “barang siapa” yang tidak dapat diartikan lagi selain orang / manusia. Disamping itu yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah manusia. Hal itu disebabkan karena kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan merupakan sikap dalam batin manusia. Atas dasar pemikiran itu pulalah maka dalam penjelasan KUHP (Memorie van Toelichting),yaitu penjelasan atas Pasal 59 KUHP ditegaskan bahwa, suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, di dalam perkembangan pemikiran hukum pidana, ajaran seperti itu sudah ditinggalkan.83

Martiman Prodjohamidjojo, memberi pendapat istilah yang lazim dalam perundang-undangan pidana ataupun KUHP memakai kata “barang siapa”. Pengertian “setiap orang” atau “barang siapa” ialah orang atau orang-orang yang apabila orang atau orang-orang tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka orang atau orang-orang itu disebut sebagai si pelaku atau si pembuat dari delik tersebut. Adalah sangat jarang

(12)

delik korupsi dilakukan oleh seseorang saja, dan sangat dimungkinkan delik korupsi dilakukan oleh beberapa orang lainnya. Jika hal itu dilakukan secara bersama-sama dengan orang lain, baik dalam bentuk “mededaderschap” atau “turut serta” (Pasal 55 ayat (1) KUHP) atau juga dalam bentuk “uitloking” atau “menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu delik” (Pasal 55 ayat (2) KUHP), maupun dalam bentuk “medeplichtigheid” atau “membantu melakukan” (Pasal 56 KUHP).84

Mengenai korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi, menurut Komariah Emong Sapardjaja yang dikutip oleh Elwi Danil, pada mulanya sulit diterima badan hukum dapat melakukan tindak pidana, karena badan hukum bukanlah subjek hukum dalam hukum pidana. Bertolak dari ketentuan yang ada dalam KUHP, sejak KUHP dibuat sudah terlihat bahwa subjek hukum pidana hanyalah orang pribadi. Hal tersebut tidak saja disebabkan karena seluruh rumusan tindak pidana dalam KUHP selalu diawali dengan perkataan “barang siapa”, melainkan juga bunyi Pasal 59 KUHP yang membatasi kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris secara pribadi. Akan tetapi jika dikaitkan dengan laju perkembangan ekonomi dan Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi menurut Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

(13)

teknologi, dan dengan melihat pada pertumbuhan dan peran badan hukum, maka penempatan badan hukum sebagai subyek hukum pidana secara umum dalam kehidupan hukum pidana di Indonesia sudah merupakan sesuatu yang mendesak. Dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak ditentukan adanya ketentuan secara khusus untuk mengatur kualifikasi si pembuat (pelaku) sebagai subjek tindak pidana korupsi. Menurut Elwi Danil, artinya bahwa rumusan tindak pidana korupsi sejak semula tidak pernah menentukan subjek dengan kualifikasi tertentu. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam merumuskan tindak pidana korupsi selalu diawali dengan kata “barang siapa”. Demikian dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengawali rumsan dengan kata “setiap orang” yang berarti siapa saja.85

Elwi Danil berpendapat, dalam menyikapi pertumbuhan perilaku yang koruptif, pembuat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menempuh kebijakan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pembuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, khususnya menyangkut subyek hukum pidana tentang korupsi. Meskipun sama-sama melakukan perluasan mengenai pengertian pegawai negeri, namun dalam soal subyek hukum pidana pembuat undang-undang korupsi yang baru tampak lebih maju daripada undang-undang korupsi sebelumnya. Hal tersebut terbukti dengan adanya kebijakan melakukan perluasan subyek hukum

(14)

tentang korupsi, yang tidak saja berupa orang perorangan melainkan juga korporasi.86

Selain alasan diatas, Martiman Prodjohamidjojo juga memberikan pandangan bahwa delik korupsi telah merayap dan menyelinap sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dipandang perlu memperluas subyek delik korupsi, meliputi korporasi yang dikenai sanksi, perluasan pengertian pegawai negeri dari Pasal 92 KUHP maupun Undang-Undang Nomor 8 tahun 1961.87

Dapat dikenakannya sanksi pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi menurut Elwi Danil cukup beralasan pula dalam menampung beberapa rekomendasi Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatments of Offenders, diantaranya :88

a. Dalam rekomendasi Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 antara lain ditegaskan agar ada tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi (take appropriate mesures against enterprise involved in corruption);

b. Dalam dokumen Kongres PBB ke-9 di Kairo antara lain ditegaskan sebagai berikut: bahwa korporasi, asosiasi kriminal atau individu terlibat dalam penyuapan para pejabat untuk alasan yang tidak semua bersifat ekonomis. Namun dalam banyak kasus masih ada penyuapan digunakan untuk mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya adalah membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai perlakuan khusus dan istimewa.

86 Ibid, hal. 107

(15)

Dalam kaitan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi, penentuan kesalahan korporasi menurut Elwi Danil dilakukan dengan cara mengidentifikasikannya dengan sikap batin pengurus korporasi. Untuk itu harus dibuktikan bahwa pelaksanaan tindak pidana tersebut merupakan business policy yang diputuskan oleh mereka yang berwenang dalam korporasi

tersebut, dan keputusan itu diterima sebagai kebijakan korporasi.89

2. Secara melawan hukum

Andi Hamzah, dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana”, mengemukakan bahwa, pengertian “melawan hukum” itu sendiri bermacam-macam. Ada yang mengartikan sebagai tanpa hak sendiri (Zonder eigen recht), bertentangan dengan hak orang lain (tegen eens anders recht), bertentangan dengan hukum obyektif (tegen het objective recht). Andi Hamzah mengutip pendapat Noyon-Langemeyer, bahwa karena bermacam-macamnya pengertian melawan hukum itu, ada baiknya fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya.90

Mohammad Ekaputra, dalam buku “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, menyatakan bahwa salah satu unsur penting dari suatu tindak pidana adalah unsur melawan hukum (wederrechtelijk), unsur ini merupakan suatu penilaian objektif yang diberikan terhadap suatu perbuatan/tindakan. Menurut Simon yang dikutip oleh Mohammad Ekaputra pengertian dari sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya, tetapi dalam hubungan sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur delik ditegaskannya, supaya selalu

89 Ibid, hal. 113

(16)

berpegang kepada norma delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana. Juga mengutip pendapat dari Sudarto, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, jika perbuatan itu telah sesuai dengan rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Namun perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik itu tidak selalu bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada sebab yang menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan.91

Perbuatan melawan hukum dalam ilmu hukum dibedakan atas dua, melawan hukum secara formil dan melawan hukum secara materiil. Menurut Andi Hamzah, melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formil. Melawan hukum materiil harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya kalau tidak ada melawan hukum (materiil) maka merupakan dasar hukum pembenar. Dalam penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya yang bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.92

H. Zamhari Abidin, dalam bukunya “Pengertian dan Asas Hukum Pidana”, bahwa ajaran melawan hukum formil (formele wederrechttelijkheid) yang dianut salah satunya oleh Simons, berpendapat bahwa, “wederrechtelijk is in strijd met het recht in het algemene” (melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum

dalam arti umum). Unsur melawan hukum bukan merupakan unsur daripada delik dan karena itu tidak harus dibuktikan, kecuali bilamana dengan tegas-tegas

91 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2013), hal. 127.

(17)

dinyatakan sebagai unsur (seperti dalam Pasal 167, 333 dan 406 KUHP), maka haruslah dibuktikan. Istilah-istilah dalam KUHP misalnya, “dengan tanpa hak” (Pasal 303, 548, 549 KUHP), “dengan melampaui kekuasaannya” (Pasal 430, 429 KUHP), “dengan melawan hukum” (Pasal 179, 180 KUHP). Ajaran melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid), merupakan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum. penganutnya seperti van Hamel yang sepakat dengan pendapat Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) dengan salah satu arrestnya, “Zonder eigen recht of zonder eigen bevoegdheid” (tanpa ada haknya atau tanpa ada wewenangnya).

Unsur melawan hukum adalah unsur daripada setiap delik, dan karena itu haruslah dibuktikan.93

Mohammad Ekaputra berpendapat bahwa sifat melawan hukum formal mengandung arti semua bagian atau unsur-unsur dari rumusan delik telah terpenuhi. Sifat melawan hukum formal terjadi karena suatu perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan yang bersumber dari asas legalitas. Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum perbuatan itu dapat hapus hanya berdasarkan ketentuan undang-undang, dengan kata lain alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh di ambil diluar hukum positif. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). Menurut ajaran melawan hukum materiil, yang disebut dengan melawan hukum tidaklah

93 H. Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana (Dalam Schema atau Bagan

(18)

hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, sifat melawan hukum suatu perbuatan yang nyata-nyata masuk ke dalam rumusan suatu delik, dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan yang tidak tertulis. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis, misalnya bertentangan dengan tata susila dan sebagainya.94

Penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dengan fungsi positif seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, dikalangan Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang dimaksud perbuatan melawan hukum pada Pasal 1, dalam penjelasannya bahwa:

“Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan."

Pengertian melawan hukum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun, berdasarkan Penjelasan Umum, yaitu :

“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.”

(19)

para ahli hukum dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga ia merupakan suatu pelanggaran terhadap asas legalitas. Oleh karena itu, fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materiil tidak mungkin diterapkan.95

Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan karakteristik undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu undang-undang pidana khusus, maka penerapan fungsi positif dalam ajaran sifat melawan hukum materiil menurut Elwi Danil patut dipertimbangkan sebagai suatu yang eksepsional sifatnya. Kerangka berpikir seperti itu akan menjadi semakin penting bila dikaitkan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crima, maka penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materiil dapat diposisikan sebagai extra ordinary instrument. Elwi Danil mengaitkan dengan kenyataan yang berkembang dewasa ini , apabila pemberantasan tindak pidana korupsi hanya bersandar pada sifat melawan hukum formil saja, maka banyak pelaku perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat bersifat koruptif dan merugikan keuangan negara dalam skala yang sangat besar tidak mampu dijangkau oleh ketentuan undang-undang yang ada. Akibatnya para pelaku perbuatan yang dipandang koruptif dan tercela itu menjadi tidak dapat dijatuhi pidana. Penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materiil dalam kebijakan legislasi, akan memperlihatkan relevansinya kaitannya dengan perkembangan jenis kejahatan yang sering tidak terdeteksi dan terantisipasi oleh pembuat undang-undang. Disamping itu , perlu juga dipahami bahwa tujuan untuk menempatkan asas ajaran melawan hukum materiil sebagai instrumen khusus

(20)

adalah untuk mempermudah proses pembuktian tindak pidana korupsi dipersidangan.96

3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi.

Namun, penjelasan ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor: 003/PUU-IV/2006, dalam poin mengadili, bahwa perbuatan melawan hukum materiil dalam Pasal 2 dan 3 undang-undang tersebut adalah ”bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”. Dengan demikian, maka perbuatan melawan hukum yang dirumuskan dalam Pasal 2 adalah perbuatan melawan hukum formil saja.

Beberapa pengertian dari unsur ketiga ini diantaranya:

a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memperkaya artinya menjadikan lebih kaya97

b. Martiman Prodjohamidjojo, bahwa yang dimaksud dengan “memperkaya” diri sendiri atau orang lain, atau korporasi, menurut ketentuan ini, ialah selalu dan terus menerus tanpa henti menambah harta kekayaan dengan jalan melawan hukum, hingga kekayaan yang diperoleh sebagai tambahan itu tidak seimbang dengan sumber atau penghasilan kekayaan yang ia miliki. Tetapi pengertian memperkaya diri sendiri itu sifatnya adalah relatif, artinya perbuatan atau kegiatan yang menjadikan suatu kondisi objektif, tingkat kemampuan materiil tertentu dijadikan lebih meningkatkan lagi dalam pengertian yang tetap relatif, walaupun

;

(21)

secara subjektif orang yang bersangkutan mungkin merasa belum kaya. Pengadilan Negeri Purwokerto yang dikutip Martiman Prodjohamidjojo, dalam memberikan tafsiran kata “memperkaya diri sendiri, harus ditafsirkan membuat kaya orang kaya tanpa melihat sudah kaya/tidak/belum kaya, dengan jalan melawan hukum”98

c. Berbeda dengan pendapat Sudarto yang dikutip oleh Marwan Effendy, bahwa perbuatan memperkaya artinya berbuat apa saja, misalnya mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya sehingga si pembuat bertambah kaya

;

99

d. Marwan Effendy dalam pendapatnya, bahwa ada tidaknya hal memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan itu, dilihat dari penghasilannya. Apakah penghasilannya memungkinkan adanya penambahan kekayaan yang bersangkutan. Dibandingkan antara kekayaan yang ada dengan penghasilannya. Bila kekayaan menunjukkan lebih besar dari penghasilan, perlu diteliti jauh dan terdakwa harus menjelaskan dari mana asal usul kekayaannya itu. Jika penjelasannya tidak masuk akal, maka ada petunjuk bahwa ia telah melakukan tindak pidana korupsi. Mengingat bahwa yang diperkaya itu, disamping terdakwa mungkin juga orang lain dari terdakwa atau suatu korporasi, maka harus juga diperiksa kekayaan dari orang lain atau suatu korporasi itu yang diduga memperoleh hasil dari korupsi. Disamping itu, menurut putusan Mahkamah Agung Nomor: 951K/Pid/1982 tanggal 10 Agustus 1982 dan Nomor:

;

(22)

275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983, kata ‘memperkaya’, dapat juga diartikan memperoleh hasil korupsi, walau hanya sebagian100

e. Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan dalam sebuah e-book yang berjudul “ Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu”, menurut Sukardi bahwa pengertian dari memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah upaya untuk mengumpulkan kekayaan yang tidak setara dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan dari sumber yang tidak sah;

;

101

f. Topo Santoso, dan kawan-kawan juga mengutip dari Wiyono tentang pengertian lain dari memperkaya adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya, sedangkan berdasarkan putusan pengadilan negeri Tangerang tanggal 13 Mei 1992 No. 18/Pid/B-1992/PN/ TNG memperkaya adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau yang sudah kaya bertambah kaya102

g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dalam penjelasan Pasal 1 bahwa: ;

“Perkataan "memperkaya diri sendiri" 103

100

Ibid, hal. 104.

atau "orang lain" atau "suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang

101 Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan, e-book Panduan Investigasi dan

Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu (diakses dari

102

Ibid.

103

Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan, “Pemahaman Unsur

Memperkaya, Dan Atau Menguntungkan Pada Tindak Pidana Korupsi”, mengutip pendapat

(23)

memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.”

h. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pengertian “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dapat dikaitkan dengan Pasal 37A104

i. Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 44/PUU-XI/2013, mengenai unsur memperkaya:

ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;

“Adapun perbuatan yang dilakukan menurut unsur “memperkaya” diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah:

1) Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri;

2) Memperkaya orang lain, artinya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung;

3) Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” orang lain atau suatu Badan “telah memperoleh” harta (uang/ barang) dan hasil perbuatan tersangka/terdakwa yang melawan hukum, maka pembuktian unsur ini sudah cukup; Kata-kata telah memperoleh diberi tanda kutip, sebab hasil korupsi tersebut oleh Pasal 1 ayat (1) tidak hanya dari hasil “ Mengambil/Menggelapkan” tetapi juga dari sumber lain misalnya “menerima hasil dari suatu pertanggungjawaban fiktif (diakses dari WIB).

(24)

j. Sebuah artikel yang berjudul “Pemahaman Unsur Memperkaya, Dan Atau Menguntungkan Pada Tindak Pidana Korupsi”, oleh Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayugung, Sumatera Selatan dalam pertimbangan hukum putusan pidana kasus korupsi Pengadilan Negeri Sukabumi No.31/Pid.B/2008/PN.Smi atas nama terpidana DRS. Endin Samsudin, MM., tertanggal 03 Juli 2008, halaman 385, yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.334/Pid/2008/PT.Bdg, tertanggal 01 September 2008 Majelis Hakim dalam kesempatan tersebut telah memberikan batasan kerugian negara senilai Rp.100.000.000.-(seratus juta rupiah), untuk dapat memudahkan kategori/ukuran nilai ”memperkaya” sebagai suatu kriteria dalam menentukan batas dan tolok ukur yang membedakan antara kriteria unsur ”memperkaya” dengan kriteria unsur ”menguntungkan”. Dengan perkataan lain memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tidak harus berarti terdakwa menjadi kaya atau bertambah kekayaannya atas perolehan keuangan negara tersebut. Selanjutnya, dalam pengertian kaya yang harus diperhatikan bukan saja si pelaku menjadi bertambah kekayaannya di luar apa yang semestinya ia dapatkan secara sah/resmi, akan tetapi juga menyangkut nilai / substansi dari jumlah uang yang ia terima sehingga dapat dikatakan si pelaku tersebut karenanya menjadi kaya.105

4. Dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 pada Pasal 1 ayat (1) huruf a:

(25)

“Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971:

“Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bidang kewenangannya seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.”

Sebelum frasa merugikan keuangan negara terdapat kata “dapat” yang menjadikan pasal ini masuk ke dalam delik formil sesuai penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999:

“...Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.”

Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Marwan Effendy, dengan dicantumkannya kata dapat didepan unsur merugikan keuangan negara pada Pasal 2 dan 3, merubah delik tersebut menjadi delik formil. Lebih lanjut menurut Marwan Effendy jika perubahan tersebut mengacu kepada pengertian delik formil, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 362106 atau 372107

106 KUHP, op.cit, Pasal 362, Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

107

Ibid, Pasal 372 , Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

(26)

Permasalahannya apakah pengertian delik formil yang dimaksudkan pada Pasal 2 dan 3 sama dengan pengertian delik dalam Pasal 362 atau 372 KUHP. Dalam Pasal 362 atau 372 KUHP , wujud barang sesuatu yang diambil atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa adalah nyata dan nilainya telah ditetapkan lebih dari Rp 250,- (dalam Pasal 364 KUHP) sehingga tidak perlu lagi dibuktikan apakah akibat perbuatan terdakwa/tersangka tersebut, korban dirugikan atau tidak. Berbeda dengan Pasal 2 dan 3 undang-undang korupsi, menurut Marwan Effendy jika keuangan negara tersebut berwujud barang sesuatu yang nyata, seperti rumah, mobil, perhiasan dan sebagainya, tidak menimbulkan permasalahan dalam memformulasikan ke dalam berkas perkara dan surat dakwaan, tetapi jika sebaliknya maka kata dapat dari rumusan Pasal 2 dan 3 harulah dikaji terlebih dulu.108

Marwan Effendy, mengacu pada pengertian delik formil diatas, berarti kata “dapat” didalam rumusan kedua pasal ini, tidak dapat ditafsikan secara sempit, mengingat kata “dapat” padanannya adalah kata “bisa”, atau dengan kata lain “potensi”, bukan “mungkin”. Jadi kata “dapat” mengandung adanya suatu kepastian dan terukur, tidak bersifat abstrak. Untuk menentukan dapat tidaknya atau bisa tidaknya keuangan negara perlu diketahui berapa potensi dari kerugian tersebut (potential loss). Artinya perkiraan besar potential loss yang ditimbulkan oleh perbuatan tersangka atau terdakwa terukur. Untuk mendapatkan ukuran potential loss tentunya diperlukan audit terlebih dahulu.109

(27)

Pendapat hakim Mahkamah Konstitusi dalam poin konsideran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, yang antara lain:

“Menimbang ... bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum ( wederrechtelijk ) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387110

(28)

perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi.”

Pada bab sebelumnya telah diuraikan pengertian keuangan negara baik dari para pendapat ahli maupun dari hukum positif di Indonesia. Secara khusus, pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam penjelasannya bahwa:

“Keuangan negara seperti yang dimaksud oleh Undang-undang ini meliputi juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum yang menggunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain. Tidak termasuk "keuangan negara" dalam undang-undang ini ialah keuangan dari badan/badan hukum yang seluruhnya modal diperoleh dari swasta misalnya P.T., Firma, CV. dan lain-lain.”

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pada penjelasan umum, yaitu:

“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.”

(29)

Marwan Effendy melihat penafsiran autentik tentang pengertian keuangan negara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 lebih luas. Perbedaannya terletak pada suatu badan hukum yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak dicantumkan lagi. Sehingga dalam hal ini menurut Marwan bagi bank yang menyelewengkan atau menyalahgunakan dana yang dihimpun dari nasabah atau masyarkat tidak dapat dijerat lagi dengan undang-undang tindak pidana korupsi, hanya dijerat oleh delik-delik yang dirumuskan dalam Undang-Undang Perbankan.111

111 Marwan Effendy (4),op.cit. hal. 106.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di atas, dapat dilihat frasa kekayaan “yang dipisahkan” atau “yang tidak dipisahkan”. Pengertian kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak dipisahkan mengalami benturan dalam dua peraturan perundang-undangan. Diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (untuk selanjutnya disebut dengan Undang-Undang BUMN) dan UUKN.

Undang-Undang BUMN, mensyaratkan keuangan negara yang dipisahkan dalam Pasal 1 angka 10, bahwa:

(30)

Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang BUMN, yang dimaksud dengan dipisahkan adalah:

“Pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.”

Dengan demikian, kekayaan negara yang dipisahkan yang dijadikan modal untuk BUMN berdasarkan pengertian diatas adalah tunduk pada hukum perdata (privat), bukan masuk dalam ranah pidana (dalam hal ini korupsi).

Berbeda dengan UUKN dalam Pasal 2 huruf g, menyatakan bahwa keuangan negara salah satu bentuknya adalah:

“Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.”

Dalam arti bahwa, undang-undang ini menghendaki berlakunya hukum pidana (publik) dalam lingkup keuangan negara, yang mana kekayaan negara baik yang dipisahkan atau tidak adalah bagian dari hukum publik. Hal ini menjadi perdebatan, karena pasal yang kontradiktif ini dapat menyebabkan penafsiran yang berbeda-beda terutama dalam menjerat para koruptor yang melakukan korupsi dalam ruang lingkup Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

(31)

berasal dari Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSS-UI) yang diwakili oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H.,dan kawan-kawan, dengan register Putusan Nomor: 48/PUU-XI/2013, dalam konsideran poin 3.17:

“Menurut Mahkamah, adanya ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU 17/2003 bertujuan agar negara dapat mengawasi bahwa pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa BHMN PT atau badan lain yang menggunakan fasilitas dari pemerintah atau menggunakan fasilitas dari negara haruslah tetap dapat di awasi sebagai konsekuensi dari bentuk pengelolaan keuangan negara yang baik dan akuntabel.”

Melalui putusan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN/D atau badan-badan lain tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara.

W. Riawan Tjandra, berpendapat bahwa pengertian yang dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang BUMN diatas sebenarnya harus melihat sumber kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN, yang menunjukkan bahwa uang negara tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai uang negara yang bersumber dari APBN. BUMN hanya sebatas mengelolanya tetapi sifat kekayaan negara yang bersumber dari APBN kiranya tidak menghilangkan karakteristiknya sebagai uang negara, meskipun dikelola oleh BUMN.112

Dengan demikian, kekayaan negara yang dipisahkan sebagai bentuk penyertaan modal bagi BUMN/BUMD masih dalam lingkup keuangan negara sesuai dengan UUKN, yang mana hukum pidana masih dapat diberlakukan untuk

(32)

menilai kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan direksi atau pegawai dari BUMN/BUMD tersebut.

Selanjutnya pengertian kerugian keuangan negara, yang tercantum dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara:

“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Demikian dengan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK):

“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”

Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaskud dengan :

“Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik113

“Kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud didasarkan pada ketentuan Pasal 35

yang ditunjuk.”

Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara:

114

113 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 17/PMK.01/2008 Tentang Jasa Akuntan Publik, pada Pasal 1 angka 2, menyebutkan bahwa akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

Undang-undang Nomor 17 Tahun

(33)

2003 tentang Keuangan Negara. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.”

Sebuah naskah publikasi yang berjudul “Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi” oleh Anto Widi Nugroho, bahwa mengenai unsur “merugikan keuangan negara” aparat penegak hukum bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara. Namun demikian, kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara (kerugian negara) bukanlah menjadi syarat untuk terjadinya tidak pidana korupsi Pasal 2 secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul dari perbuatan memperkaya diri dengan melawan hukum tersebut. Ukurannya dapat menimbulkan kerugian yang didasarkan pada pengalaman dan logika/akal orang pada umumnya dengan memperhatikan berbagai aspek sekitar perbuatan yang dikategorikan memperkaya diri tersebut. Oleh karena kerugian ini tidak perlu timbul, maka cukup menurut akal orang pada umumnya bahwa dari suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara tanpa merinci dan menyebut adanya bentuk dan jumlah kerugian negara tertentu sebagaimana pada tindak

(34)

pidana materiil. Untuk membuktikan bahwa hal itu dapat merugikan negara, semua bergantung pada kemampuan hakim dalam menganalisis dan menilai aspek-aspek yang menyertai atau ada di sekitar perbuatan dalam rangkaian peristiwa yang terjadi.115

1. Setiap orang.

Setelah menguraikan penjelasan delik Pasal 2, demikian juga dengan delik pada Pasal 3 yang juga mensyaratkan adanya unsur kerugian keuangan dan atau perekonomian negara seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dengan unsur-unsurnya :

Pengertian subyek hukum dalam Pasal 3 ini berbeda dengan Pasal sebelumnya, karena adanya unsur “kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, mempersempit makna setiap orang. Disini titik beratnya hanya pada pegawai negeri yang perbuatannya terkait dengan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.116

115 Anto Widi Nugroho, Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya

Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi (diakses dari

Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa: “Undang-undang ini memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

(35)

Elwi Danil berpandangan apabila dikaitkan dengan kedudukan pegawai negeri yang dimaksud, titik pangkal persoalan subyek hukum dalam tindak pidana, sebenarnya terletak pada rumusan mengenai pegawai negeri dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang membuat pembatasan pegawai negeri sebagai subyek tindak pidana korupsi, sesuai dengan penjelasan Pasal 2, bahwa pengertian pegawai negeri dalam pasal ini tidak hanya mencakup pengertian pegawai negeri dalam Pasal 92117 K.U.H.P. dan pengertian pegawai negeri menurut hukum Administrasi seperti diatur dalam Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian, yang meliputi orang-orang yang menerima gajih atau upah dari keuangan negara atau daerah, tetapi selain dari itu juga meliputi orang-orang yang menerima gajih atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lainnya yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain.118

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi.

Marwan Effendy, berpandangan bahwa pengertian menguntungkan diri sendiri adalah menambah harta kekayaan atau harta benda atau dapat juga

117 KUHP, op.cit, Pasal 92 ayat (1) Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah; ayat (2) Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama; ayat (3) Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat.

(36)

diartikan telah menikmati hasil-hasil yang diperolehnya dari perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Pendapat Sudarto yang dikutip oleh Marwan Effendy, menguntungkan diri sendiri adalah unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan dan sebagainya. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara obyektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka.119

Unsur “menguntungkan diri sendiri”, menurut Martiman Prodjohamidjojo, disini adalah sama dengan pengertian dan penafsirannya dengan “menguntungkan diri sendiri” yang tercantum dalam Pasal 378 KUHP120. Meskipun tidak ada unsur melawan hukum, akan tetapi unsur itu ada secara diam-diam, sebab tiap perbuatan delik, selalu ada unsur melawan hukum “menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum” berarti “menguntungkan diri sendiri tanpa hak”. Unsur “orang lain” dan atau “korporasi” masih sama maknanya dengan Pasal 2.121

Pengertian lainnya dalam Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan, frasa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menurut Sukardi adalah upaya untuk mengumpulkan kekayaan yang tidak setara dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan dari sumber yang tidak sah. Pengertian lain dari ‘menguntungkan’ menurut Wiyono adalah dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari

119 Marwan Effendy, (4), op.cit.

120 KUHP, op.cit, Pasal 378, Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(37)

pengeluaran, di sini terlihat bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi.122

Selain itu, dalam artikel yang disusun oleh Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan,unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang. Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan (menguntungkan) bagi dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperoleh suatu keuntungan atau menguntungkan artinya memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. Kekayaan dalam arti ini tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu dapat dinilai dengan uang termasuk hak. Tujuan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain dan atau suatu badan dalam suatu tindak pidana korupsi adalah merupakan unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan tersebut. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara objektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka itu (ante factum dan post factum).123

Jika dikaitkan unsur menguntungkan dalam Pasal 3 dengan unsur memperkaya dalam Pasal 2, dalam artikel tersebut juga dinyatakan bahwa

122 Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan, op.cit.

(38)

diantara kedua unsur tersebut memiliki pengertian yang multitafsir, sebagai berikut :124

a. Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” (Pasal 2 ayat (1) dan unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” (Pasal 3), merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain;

b. Unsur “memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan. Namun secara teoritis, unsur “memperkaya diri” sudah dapat dibuktikan dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari-harinya, sedangkan unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya padanya ada fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang;

c. Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” yaitu adanya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Di sini tidak ada perhitungan sebelum menjabat dan sesudah menjabat. Subyeknya dijelaskan ialah pejabat publik bukan orang swasta. Perhitungan jumlah kerugian negara juga harus dengan akuntan publik dan berapa besar uang pengganti yang harus dibayar memerlukan perhitungan yang cermat

(39)

dibuktikan dengan alat bukti yang ada. Jika dilihat penjelasan Pasal 32 ayat (1) maka juga harus dengan perhitungan oleh akuntan publik. Hakim pun harus memakai pertimbangan obyektif dengan hati nuraninya, dengan memperhatikan apa yang telah terbukti di sidang pengadilan.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971, unsur menguntungkan ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b:

“Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971:

“Tindak pidana korupsi ini memuat sebagai perbuatan pidana unsur "menyalah gunakan kewenangan" yang ia peroleh karena jabatannya, yang semuanya itu menyerupai unsur dalam Pasal 52125

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, yang ada

padanya, karena jabtan atau kedudukan

K.U.H.P. yang selain dari itu memuat pula unsur yang "secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara" serta dengan "tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan."

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tidak memberikan defenisi mengensi unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

Martiman Prodjohamidjojo, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan”, dapat ditafsirkan bahwa orang dimaksudkan adalah seorang pejabat yang memiliki suatu kekuasaan, yang perbuatan itu

125

(40)

dilakukan dengan melawan hukum. Atau dengan kata lain, ia dengan wewenangnya “berlindung” dibawah kekuasaan hukum. Namun, frasa “menyalahgunakan wewenang” tidak hanya terdapat dalam lingkup hukum publik (dalam hal ini hukum pidana), tetapi juga berlaku dalam hukum perdata dan administrasi negara. Yang dimaksud dengan “kesempatan”, ialah keleluasaan, memperoleh peluang, mumpung (bahasa Jawa). Yang dimaksud dengan “sarana”, ialah alat, media, segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai tujuan atau maksud. Baik kata-kata “menyalahgunakan”, “kewenangan”, “kesempatan”, atau “sarana”, semuanya dikaitkan karena jabatan atau kedudukan yang dijabatnya atau yang diperolehnya. Pengertian “jabatan”, berasal dari kata jabat yang berarti memegang, atau melakukan pekerjaan, dalam fungsinya sedangkan “jabatan” berarti pekerjaan atau tugas, fungsi ataupun dinas.126

Marwan Effendy, memberikan defenisi “menyalahgunakan wewenang” yang berarti menyalahgunakan kewajiban yang dibebankan oleh atau yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang menunjukkan kepada “posisi” subyek hukum selaku pegawai negeri di institusi tempatnya bekerja. Menyalahgunakan kesempatan berarti menyalahgunakan peluang atau waktu yang ada yang seharusnya dipergunakan menjalankan kewajibannya sesuai dengan jabatan dan kedudukan yang telah digariskan oleh tujuan pokok dan fungsi institusi. Menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan berarti menyalahgunakan atribut yang menjadi instrumen kewajiban sesuai dengan tujuan pokok dan fungsi institusi. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

(41)

sarana yang ada terkait dengan posisinya selaku pegawai negeri di insitusi itu secara salah, dapat disebut dengan “misbruik van gezag atau van bevoegheid”.127

“....Ajaran tentang “Autonomie van het Materiele Strafrecht (hak otonomi hukum pidana materiel)” diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara “Sertifikat Ekspor” dimana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea & Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung R.I. dilakukan penghalusan hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan detournement de pouvoir. Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies Ermessen

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 979 K/PID/2004 tanggal 10 Juni 2005, yang dalam poin menimbang halaman 87 sampai 88:

128

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan ;

ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu :

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain ;

127 Marwan Effendy, (3), op.cit.hal 114.

128Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), Secara bahasa Freies Ermessen berasal dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudiaan secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga Freies Ermessen

(diskresionare) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerka bagi pejabat atau

(42)

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.”

Demikian banyaknya pendapat mengenai penyalahgunanan wewenang yang tidak hanya dalam satu ruang lingkup hukum, tetapi bisa masuk dalam beberapa ruang lingkup hukum lain yang saling berhubungan.

4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Penjelasan unsur ini sama dengan apa yang telah diuraikan dalam Pasal 2.

B. Pemeriksaan Terhadap Kerugian Keuangan Negara

Pemeriksaan merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan terhadap suatu hal-hal yang mencurigakan yang dapat dinilai melalui kegiatan pengawasan. Ahmad Fikri Hadin dalam bukunya “Eksistensi Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan Era Otonomi Daerah”, berbicara mengenai pengawasan, biasanya yang dimaksud adalah salah satu fungsi dasar manajemen (dalam Bahasa Inggris disebut controlling). Istilah pengawasan dikenal dan dikembangkan dalam ilmu manajemen, karena memang pengawasan ini merupakan salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan. Wajarlah apabila pengertian tentang pengawasan lebih banyak diberikan oleh ilmu manajemen daripada ilmu hukum. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance129

129Ahmad Fikri Hadin, Eksistensi Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan Era

Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Genta Press,2013), hal 32, bahwa Good Governance menurut

Bank Dunia (World Bank) adalah cara kekuasaan digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (the way state is used in managing

economic and social resources for development of society). Good Governance sinonim dengan

penyelenggaraan manajemen pembangunan dengan lima prinsip: a) solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar efisien; b) menghindari salah alokasi dan investasi yang terbatas; c) pencegahan korupsi baik secara politik,maupun administratif; d) menjalankan prinsip disiplin anggaran; e) penciptaan kerangka politik dan hukum bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.

(43)

menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Hubungannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu pengawasan yang efektif, baik intern (internal control) maupun ekstern (external control). Sedangkan kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya korupsi, penyelewengan dan pemborosan anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri.130

Lembaga pengawas keuangan negara menurut Ahmad Fikri Hadin, yang memiliki fungsi pemeriksaan umumnya merupakan lembaga fungsional atau lembaga khusus pengawasan, seperti Inspektorat Jenderal, Satuan Pemeriksa Internal pada BUMN, BPKP, dan Bawasda. Sedangkan secara tidak langsung melakukan pemeriksaan adalah pengawasan melekat atau pengawasan oleh

Didalam pengawasan, banyak kegiatan yang dilakukan untuk memastikan apakah kinerja yang dilaksanakan oleh pihak yang diawasi berjalan sesuai dengan aturan atau tidak, salah satu kegiatannya adalah melakukan pemeriksaan.

Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, dalam Pasal 1 ayat (1):

“Pengawasan bertujuan mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pembangunan.”

Dalam Pasal 2 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983: “ Pengawasan terdiri dari :

a. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah ;

b. Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawasan”.

130

(44)

atasan, namun demikian pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga pengawas fungsional terutama yang berada dalam struktur pemerintahan adalah kepentingan atasan, yaitu sebagai bahan koreksi terhadap pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan keuangan negara yang menjadi tanggung jawab atasan. Sedangkan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK adalah untuk kepentingan DPR sebagai pemegang fungsi pengawasan dan anggaran.131

Pemeriksaan yang dimaksud dilakukan secara bebas dan mandiri sesuai dengan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK:

Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang memiliki cakupan yang sangat luas sebagai urat nadi kehidupan perekonomian bangsa, maka dibentuklah peraturan perundang-undangan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Landasan hukum dilaksanakannya pemeriksaan terhadap kerugian negara adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dengan salah satu pertimbangannya:

“Bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara, keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.”

Defenisi pemeriksaan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 dalam Pasal 1 angka 1:

“Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.”

Gambar

Tabel 2: Beberapa Kasus Kerugian Keuangan Negara.

Referensi

Dokumen terkait

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Klinik Kecantikan Kusuma memiliki beberapa masalah yang diantaranya adalah tidak dapat menginformasikan secara akurat kepada pelanggan, layanan telepon klinik Kusuma yang

Dalam proses menganalisis metode hisab perlu melihat data yang dipakai serta rumus dalam proses perhitungannya. Data yang dipakai dalam kitab Tibyanul Murid „Ala Ziijil Jadid

Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

To conclude, the researchers’ reason to conduct this research are based on the importance subject-verb agreement in the succes of writing, the result of the previous research

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

Koperasi Sekolah, Sarana Pembentukan Jiwa Entrepreneurship Siswa Jiwa wirausaha harus ditanamkan sejak dini pada anak agar terbangun produktivitas dan kemandirian