PERBANDINGAN SISTEM HUKUM KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DENGAN
PEMBERANTASAN KORUPSI DI CHINA
A. Latar Belakang
Bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebagai Negara hukum yang
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan
Negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib yang menjamin
persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Hal tersebut sesuai
dengan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa segala warga
Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya dan di
tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat
untuk mencegah dan memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya
semakin meningkat karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi yang dapat
mengakibatkan kerugian Negara dan berdampak pada timbulnya krisis diberbagai
bidang.
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin
corruption atau corroptus. Eropa seperti Inggris corruption, corrupt, Perancis
corruption, Belanda corruptive dan Indonesia korupsi yang secara harafiah adalah kebusukan, kebutrukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya.1
Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat
diberantas oleh manusia secara maksimal. Pengertian korupsi berdasarkan
ketentuan Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
(pasal 2 ayat 1), adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya
diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”. Dalam hal tentang pengertian yang merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, maka secara implicit, maupun
eskplisit, terkandung pengertian tentang keuangan atau kekayaan milik
‘pemerintah’, atau ‘swasta’, maupun ‘masyarakat’, baik secara keseluruhan
maupun sebagian, sebagai unsur pokok atau elemen yang tidak terpisahkan dari
pengertian negara (state).
Korupsi tumbuh seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan
berada di berbagai belahan dunia, bahkan di negara maju sekali pun, seperti
halnya China. Korupsi ada di berbagai tingkatan dan tidak ada cara yang mudah
untuk memberantasnya. Korupsi, tidak saja mengancam sistem kenegaraan kita,
tetapi juga menghambat pembangunan dan menurunkan tingkat kesejahteraan
jutaan orang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Korupsi telah menciptakan
pemerintahan irasional, pemerintahan yang didorong oleh keserakahan, bukan
oleh tekad untuk mensejahterakan masyarakat. Mengutip Muhammad Zein,
korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai
standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebagai akibat dari korupsi
ketimpangan antara si miskin dan si kaya semakin kentara. Orang-orang kaya dan
politisi korup bisa masuk kedalam golongan elit yang berkuasa dan sangat
dihormati. Mereka juga memiliki status sosial yang tinggi. Tindak pidana korupsi
dapat terjadi bila terdapat kesempatan serta kekuasaan yang dimiliki oleh
seseorang yang memungkinkannya melakukan korupsi.
Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, karena telah ada
sejak tahun 1950-an Adapun sejarah awal lahirnya Peraturan Perundang-undangan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu pada awalnya yang mengatur
masalah Tindak Pidana Korupsi dituangkan dalam Peraturan Penguasa Perang
Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor : Prt/Peperpu/
013/1958 serta peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang Pusat/
Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z/I/7.
Kemudian peraturan tersebut diganti dengan peraturan
perundang-undangan yang berbentuk Undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu) Nomor : 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960, Perppu tersebut menjadi Undang-Undang-undang Nomor
24 Prp Tahun 1960. Dalam perjalanannya kemudian UU Nomor 24 Prp Tahun
terpaksa diganti dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2
Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku, ternyata Undang-undang Nomor
3 Tahun 1971 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat, apalagi dengan terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha,
sehingga MPR sebagai lembaga tertinggi negara mengeluarkan TAP MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut
dengan Undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang
dilakukan dengan tegas, dengan melaksanakan secara konsisten Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi. Atas dasar TAP MPR tersebutlah maka dibuatlah
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999
tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa UU Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan
tidak berlaku lagi. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 2001 diadakanlah
perubahan dan penambahan Pasal-Pasal dari Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 yang dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.3
2 R. Wiryono, 2009. Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta,Sinar Grafika, halaman .3.
Alasan yang terdapat di dalam konsiderans UU Nomor 20 Tahun 2001
sehingga diadakannya penambahan dan perubahan terhadap Pasal-Pasal dalam
UU nomor 31 Tahun 1999, sebagai berikut:
1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum;
2. Menghindari keragaman penafsiran,
3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masayarakat,
4. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.4
Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian
dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan
pemerintahan negara.5 Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan
menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui
kegagalan. Dengan melihat latar belakang timbulnya korupsi, salah satu faktor
yang menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi di beberapa negara
disebabkan terjadinya perubahan politik yang sistemik, sehingga tidak saja
memperlemah atau menghancurkan lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga
hukum.
Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi telah
cukup banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencegahan
dan pemberantasan korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah dengan
4 R. Wiryono, Op. Cit.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.6 Meskipun
penanggulangan korupsi dengan menggunakan peraturan-peraturan yang ada tetap
masih banyak menemukan kegagalan disebabkan berbagai institusi yang dibentuk
untuk melakukan pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsingya dengan
efektif, perangkat hukum yang lemah, ditambah aparat penegak hukum yang tidak
bersungguh-sungguh menyadari akibat serius tindak pidana korupsi.7
Keadaan demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan
kepastian hukum sehingga semakin jauh terciptanya masyarakat yang sejahtera
seperti diketahui bahwa penyebab Negara menjadi terpuruk adalah karena praktik
korupsi secara berlebihan yang dapat merugikan Negara.
Apabila di bandingkan dengan negara maju seperti china, Indonesia perlu
mempelajari sistem pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan China
mengingat negara itu mengalami kemajuan pesat dalam menciptakan
pemerintahan bersih. Pemerintah China sangat serius dalam melakukan upaya
pemberantasan korupsi, sehingga upaya menciptakan pemerintahan bersih mampu
tercapai, yang sangat mendapat perhatian adalah China memiliki setidaknya 5.000
tempat pengaduan masyarakat, suatu tempat masyarakat dapat melaporkan segala
bentuk tindak korupsi dan penyelewengan. Perang melawan korupsi di negara
China merupakan perjuangan panjang, rumit, dan susah. Praktek korupsi hampir
terjadi di seluruh tingkatan birokrasi China. Namun pemerintah China tidak
main-main dalam hal pemberantasan korupsi di negaranya. Sehingga terbukti dalam
hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh lembaga
Transparency Internasional yang menyebutkan semakin besar angka indeksnya artinya semakin sedikit korupsi. Berdasarkan IPK tersebut, China memiliki IPK
sebesar 3,3 pada tahun 2006 dan menduduki peringkat 8 untuk wilayah Asia.
Sedangkan Indonesia, berada pada posisi yang cukup memperihatinkan di mana
IPK 2,4 dan menduduki peringkat 111 di dunia. Sedangkan dari survey yang
dilakukan oleh Transparency International, mengenai peringkat kebersihan korupsi negara-negara di Asia Cina pada tahun 2006 menempati peringkat 8 dan
Indonesia menempati peringkat 16.8
Bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga
kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi harus semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas ada beberapa masalah yang
perlu dikaji antara lain: Bagaimana peran dan problematika Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam memberantas korupsi di Indonesia, serta
perbandingan dan pengaturannya dengan pemberantasan korupsi di China.
C. Pembahasan
Peran dan Problematika Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
Memberantas Korupsi di Indonesia, serta Perbandingan dan
Pengaturannya dengan Pemberantasan Korupsi di China.
Pemberantasan korupsi di Indonesia memiliki perjalanan yang pajang,
sejak dibentuknya Lembaga Pemberantasan Korupsi di Era Soekarno (PARAN
-Panitia Retooling Aparatur Negara) di awal tahun 1960-an hingga kini dengan
kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak cerita kegagalan disamping
keberhasilannya. PARAN di tahap awal memiliki tugas mencatat kekayaan
pejabat, akan tetapi kandas ditengah jalan akibat perilaku birokrat yang sembunyi
dibalik presiden. Tahun 1963 PARAN diaktifkan kembali dengan Operasi Budhi
yang dipimpin AH Nasution dan Wirjono Prodjodikusumo misalnya berhasil
menyelamatkan uang negara sebesar 11 milyar rupiah. Banyak kendala yang
dialami lembaga pemberantasan korupsi di samping lemahnya komitmen politik
Indonesia. PARAN mengalami kegagalan karena berlindung dibawah kekuasaan
Presiden, sementara Operasi Budhi dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena
mengganggu kewibawaan presiden. Sedangkan di era Soeharto lembaga
yang disebabkan oleh banyaknya campur tangan militer. Banyak kalangan militer
yang menduduki kursi “empuk” dalam pemerintahan.9
Pada UU Nomor 28 Tahun 1999, yang dikeluarkan oleh BJ Habiebie,
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau
lembaga Ombudsman. Sedangkan di masa pemerintahan Gus Dur, lembaga
pemberantasan korupsi dibentuk dengan nama Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa
Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo.
Sayangnya di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari
anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan.
Kemudian di era Megawati, lahir sebuah lembaga pemberantasan korupsi
yang bernama Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atau lebih
sering disebut Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Komisi ini dibentuk untuk
mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini
didirikan berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilengkapi dengan berbagai tugas
dan wewenang yang sangat luas dan kuat. Pada tahun 2002 Pemerintah dan DPR
memberi tugas dan wewenang KPK luas sekali. Pada pasal 43 UU No. 31 tahun
1999 menyebutkan bahwa tugas dan wewenang KPK adalah melakukan
koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan
penuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Hal
tersebut dapat menggambarkan bahwa selama ini pemberantasan korupsi memang
dirasakan kurang efektif dan memiliki dampak yang cukup signifikan. Oleh
karena itu kehadiran KPK amat dibutuhkan.
Tugas KPK secara rinci dicantumkan dalam pasal 6 Undang-Undang No.
30 Tahun 2002, yaitu:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
b. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah.
Sedangkan wewenang yang diberikan kepada KPK adalah:
a. Dalam melaksanakan tugas suoervisi, KPK berwenang melakukan
pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang melaksanakan
tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
b. Dalam melaksanakan wewenang tersebut maka KPK juga berwenng
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
c. Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan dan penuntunan, kepolisisn atau
kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta
alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari
kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
d. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat
dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan
kewenangan dan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut
beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia bersifat
independent, tetapi bukan berarti tidak ada campur tangan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Campur tangan pemerintah tersebut adalah
mengawasi berjalannya segala aktifitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Peran pemerintah bisa kita lihat dalam kasus perseteruan antara KPK dan
kepolisisan yang terjadi. KPK dan kepolisian merupakan lembaga yang
mempunyai tugas dan wewenang masing-masing yang sudah tercantum dalam
Undang-Undang. Walaupun memang KPK dan kepolisisan berjalan dalam koridor
masing-masing, tetapi, masyarakat tentu saja mencium adanya perseteruan dari
kedua lembaga tersebut. Mereka sibuk untuk menjatuhkan nama baik satu sama
negara maju dinomorduakan. Oleh karena itu, perlu adanya peran pemerintah
sebagai penengah dalam masalah tersebut sehingga perselisihan yang dianggap
saling menjatuhkan lembaga bisa terselesaikan dengan kekuasaan pemerintah
tersebut.
Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi melalui pembentukan
perundang-undangan dengan tiga kali perubahannya sampai saat ini masih belum
menunjukkan tingkat keberhasilan memadai. Ketidakberhasilan dimaksud dapat
dilihat dari empat aspek: hukum, ekonomi, sosial, dan aspek politik. Aspek
keberhasilan hukum bukan diukur dari jumlah perkara korupsi yang ditangani
KPK dan Kejaksaan Agung setiap tahun, melainkan harus dilihat dari kualitas
prosedur yang digunakan dalam menuntut dan menetapkan seseorang sebagai
tersangka/terdakwa dan kualitas putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah Agung. Kualitas prosedur saat ini masih belum mencerminkan
kepastian hukum dan keadilan, terbukti masih adanya diskriminasi dan arogansi
penyidik yang mencemari institusi.
Pola pemberantasan korupsi yang diterapkan Presiden China Hu Jintao.
Presiden China saat itu bertekad memberantas korupsi di negaranya dengan
mengumumkan akan mempersiapkan 1.000 peti mati untuk pelaku pencurian uang
negara tersebut. Ia membuktikan tekadnya itu sehingga berhasil meraih tiga pilar
kekuasaan di China yakni sebagai presiden, Ketua Partai Komunis China (PKC)
dan Ketua Komisi Militer Pusat (KMP).10
Dalam buku "The China Business Handbook" dilaporkan sepanjang tahun
2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan yang
sebagiannya divonis hukuman mati. Sampai tahun 2007 Pemerintah Cina telah
menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi.
Pemerintah China juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan pejabat yang
hendak bepergian ke luar negeri melapor kepada atasannya terutama yang
membawa uang dalam jumlah besar.
Kebijakan itu membuat China mengalami kemajuan dan perkembangan
ekonomi yang pesat serta diperkirakan akan menjadi negara adidaya di dunia
internasional.
Jika pola China itu diterapkan di Indonesia maka akan ada perubahan
konstitusi terutama aturan yang mengatur tentang ilustrasi atau pemutihan.
Koruptor skala gurem (merugikan negara/ perekonomian negara kurang dari Rp
10 juta) dan skala kecil (antara Rp 10 juta dan kurang dari Rp 100 juta) mendapat
hukuman lebih berat daripada koruptor skala menengah, besar, dan kakap. Hal
tersebut menjadi bukti bahwa sistem hukum yang timpang membuat celah terbuka
lebar. Disanalah akar permasalahannya terletak, sistem hukum yang perlu dirubah
bukan sekedar tambal sulam.
Keberhasilan pemberantasan korupsi di RRC dengan membuat
Undang-Undang Pemaafan Nasional, dimana seluruh pejabat masa lalu dimaafkan. Tetapi
bila sejak Undang-Undang itu keluar ada pejabat yang melakukan korupsi, maka
sudah ada walikota yang dihukum mati karena terbukti melakukan korupsi setelah
Undang-Undang Pemaafan Nasional diberlakukan.
Selain itu, mantan Direktur Administrasi Negara untuk Makanan dan
Obat-Obatan, Zheng Xiaoyu yang terbukti menerima suap 6,5 juta Yuan (sekitar
Rp 75 miliar) telah dieksekusi mati. Para elit politik di RRC banyak juga yang
dihukum. Chen Liangyu, mantan sekretaris partai di Shanghai yang dekat dengan
Jiang Zemin telah diajukan ke pengadilan. Dia diduga terlibat skandal korupsi
senilai 1,25 miliar dollar AS. Begitu juga kasus pemecatan Menteri Keuangan Jin
Renqing pada akhir Agustus 2007. Setelah dikabarkan terlibat skandal wanita,
belakangan diketahui dia berperan dalam penggalangan dana untuk menindas
Falun Gong. Setelah Undang-Undang Pemaafan Nasional diterapkan, sekarang
RRC tidak lagi termasuk dalam negara-negara koruptor di dunia. Dengan
DAFTAR PUSTAKA
Jur. Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
R. Wiryono, 2009. Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta,Sinar Grafika.
Chaerudin et al, Strategi pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Drs. Ermansyah Djaja, SH., Msi, Memberantas Korupsi bersama KPK.
www. Antikorupsi_org.htm, Tahap Perkembangan Korupsi, diakses tanggal 13 April 2013.
www.hukumonline.com, Transparasi Internasional: Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup, diakses pada tanggal 13 Maret 2013.
www.hukumonline.com, perbandingan-cina-indonesia, diakses pada tanggal 13 Maret 2013.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi