• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS PERANAN MILITER DALAM POLITIK

2. IMPLEMENTASI DWIFUNGSI

2.2.5. Peranan Abri Sebagai Kekuatan Sosial–Politik Dalam Pemilihan

Betapa pentingnya pemiludalam kehidupan politik yang demokratis kiranya telah dimaklumi. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, sarana pembangunan politik berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Dalam kerangka siklus kepemimpinan nasional lima tahun, maka pemilu dapat dianggap sebagai langkah pertama, karena dengan pemilu dapatlah tersusun lembaga perwakilan rakyat yang selanjutnya akan menetapkan GBHN, memilih Presiden dan wakil presiden, dan lain-lain; dapat juga dikatakan bahwa pemilu adalah sarana untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional yang digariskan oleh GBHN.

Anggota ABRI tidak menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih; perwakilan ABRI di MPR, DPR dan DPRD I/II diperoleh melalui pengangkatan. Hal ini tidak berarti bahwa ABRI tidak berkepentingan dan tidak mempunyai keterikatan, kewajiban dan tanggungjawab dalam penyelengaraan pemilu yang berhasil. Sebagai kekuatan Hankam, ABRI mempunyai tugas pokok dan tanggungjawab mengadakan pengamanan fisik bagi suksesnya pemilu, baik secara langsung di sekitar TPS maupun secara tidak langsung menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat sepanjang masa penyelengaraan pemilu terutama pada masa kampanye, hari pemungutan suara sampai dengan pelantikan anggota MPR, DPR dan DPRD.

Sebagai kekuatan sosial-politik ABRI seperti halnya dengan kekuatan- kekuatan sosial-politik lainnya (parpol dan Golkar), berkewajiban mensukseskan

pemilu, sukses ini akan mulai tampak pada hari pemungutan suara, jika semua warga negara republik Indonesia berhak memilih datang secara tertib serta teratur dan dengan penuh kesadaran menggunakan hak pilih mereka sesuai dengan keinginan hati nurani mereka, secara rahasia dan bebas, tidak merasakan adanya tekanan ataupun paksaan. Peranan ABRI dalam ikut mensukseskan pemilu telah dilaksanakan dengan berhasil dalam pemilu tahun 1971 sampai dengan pemilu 1997.

Ada beberapa bentuk partisipasi ABRI sebagai kekuatan sosial-politik dalam ikut mensukseskan pemilu. Pertama ialah dengan duduknya anggota-anggota ABRI dalam badan-badan penyelengraaan pemilu mulai tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah melalui kecamatan, yaitu dalam lembaga pemilu, panitia penyelenggara pemilu baik tingkat kecamatan maupun tingkat kotamadya/kabupaten, penitia pemungutan suara, termasuk juga panitia pengawas pelaksanaan pemilu mulai tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.

Hal yang mendapat sorotan masyarakat ialah bahwa dalam pemilu 1971 dan 1977, ABRI ‘membantu’ salah satu kontestan yaitu Golkar. Kerangka peranan ABRI sebagai pelopor dan pendukung utama orde baru yang selalu bergandengan tangan dan memperoleh bantuan terutama dari golkar.

Dengan kenyataannya ada juga anggota-anggota ABRI lain yang terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pemilu, atau melakukan kegiatan-kegiatan di luar batas yang wajar. Hal-hal demikian merupakan ‘ekses-ekses’ yang tidak dikehendaki, namun tidak dapat dihindari. Setelah pemilu 1971, dikeluarkan kebijaksanaan Menhankam/Pangab bahwa anggota-anggota ABRI aktif tidak boleh lagi merangkap jabatan pimpinan Golkar baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Juga

anggota-anggota ABRI aktif jika dicalonkan oleh Golongan Karya atau ingin berkampanye, dibebaskan dari status ABRI-nya atau dipensiunkan dahulu. Sehingga terjadi sedikit perubahan pada pemilu berikutnya.

2.3. Dwifungsi diakhir Orde Baru.

Format dan konstelasi politik yang terjadi di Indonesia pada periode 1998 mengalami perubahan yang relative signifikan, menyusul dipaksa mundurnya soeharto dari panggung politik setelah mengalami desakan yang sangat besar dari masyarakat.perubahan ityu ditandai dengan terjadinya liberalisasi politik yang sekaligus menjadi awal datangnya masa transisi menuju apa yang disebut dengan era reformasi.

Seperti kebanyakan Negara dalm era transisi politik pasaca-reformasi, fragmentasi77

a. keprihatian mereka yang semakin mendalam tentang semakin merosotnya kredibilitas militer di mata masyarakat.

pelaku politik berdasarkan golongan pembaharu (reformist) untuk menandingi golongan lama yang sudah mapan (pro status Quo), juda mendominasi konstelasi politik di indoneia yang terjadi antara dua golongan itu, namun juga antar faksi dalam kedua golongan itu sendiri.

Pandangan-pandangan para revisionis dalam tubuh militer, oleh para militer yang berpikir “reformis” ini dikarenakan :

b. Perjuangan kekuasaan yang tengan mereka lakukan melawan para perwira militer yang ditempatka sebagai struktur patrimonial soeharto.

77 fragmentasi merupakan kekuasaan dibagi dan ditukarkan oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan yang bermacam-macam dan saling bersaing.

Sehingga terjadi apa yang dikatakan dengan perubahan ataupun transformasi yang dilakukan oleh militer mengenai fungsi gandanya. Dalam Tap MPR Nomor VI/2000, pada konsideran menimbang dinyatakan :

Bahwa salah satu tuntutan reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi angkatan bersenjata republic Indonesia. 78

Paradigma yang dilandasi berpikir yang bersifat analitik dan perspektif ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehensif yang menendang TNI sebagai bagian dari sistem nasional. Paradigma ini dalam fungsi sosial politik mengambil bentuk sebagai berikut; merubah posisis dan metode tidak hartus didepan. Hal ini mengandung arti bahwa kepeloporan dan keteladananm TNI dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa yang dudlu amat mengemuka dan secara kondisi obyektif memang diperlukan pada masa itu, kini dapat berubah untuk memberikan jalan guna dilakukannya insitusi fungsional.

Sehinga ABRI mengubah paradigmanya dalam format yang berbeda seperti yang tertulis dalam buku yang diterbitkan Mabes TNI Tentang Redefenisi, Reposisi Dan Reaktualisasi Peran ABRI Dalam Kehidupan Bangsa, yaitu :

79

78 Kontras. Politik militer dalam transisi demokrasi Indonesia;pasca perubahan rezim 1998. Jakarta; Kontras. 2005. hal 7

79 lihat dalam ABRI Abad XXI; Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran ABRI dalam kehidupan bangsa. Markas besar ABRI. 1998. hal 17

Dalam ungkapan singkat, paradigma baru itu dirumuskan dalam jargon, “tidak harus selalu didepan, tidak lagi menduduki tetapi mempengaruhi, tidak lagi mempengaruhi secara langsung tetapi tidak langsung, siap membagi peran dengan pihak sipil dalam pengam,bilan keputrusan penting dengan komponen bangsa yang lain”. Jargon baru ini menggantikan yang lama yang lebih fuul-power yaitu “TNI sebagai stabilisator dan dinamisator”.

Dengan kata lain TNI dengan paradigmanya tidak mengubah secara signifikan budaya dan postur dari TNI dalam ruang sosial politik. Dengan paradigma barunya TNI tetap berada pada ruang konservatisme dengan kepercayaan ABRI merupakan bagian dari rakyat. Sehingga paradigma itu terasa gamang dalam mengambil sikap untuk berjarak dengan aktifitas politik praktis. Hal ini terlihat pada makin meluasnya jumlah kodam yang semua 10 menjadi 12 serta tingginya amino purnawirawan militer dalam kegiatan-kegiatan politik khususnya pada pemilihan umum.

BAB IV

Dokumen terkait