MILITER DAN POLITIK:
PERANAN POLITIK MILITERBERDASARKAN PERSPEKTIF DWIFUNGSI ABRI DALAM POLITIK INDONESIA ORBA
D I S U S U N
Oleh
MARIO BUTAR BUTAR 040906053
DOSEN PEMBIMBING : DRS.ANTONIUS P.SITEPU MSi
DOSEN PEMBACA : DRA EVI. NOVIDA GINTING. MSP
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ABSTRAKSI
BAB I PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG………..1
I.1. Lahirnya Politik Militer Indonesia………..3
I.2. Masuknya Militer Dalam Politik……….9
I.3. Legalisasi Dan Lahirnya Konsep Dwifungsi………...18
2. PERUMUSAN MASALAH.……….…..….27
3. PEMBATASAN MASALAH………..…28
4.TUJUAN PENELITIAN………...……...28
5. MANFAAT PENELITIAN………...28
6. KERANGKA TEORI………...….29
6.1. Konsepsi Dwifungsi ABRI... ………....29
6.2. Teori Sistem. politik...30
7. METODOLOGI PENELITIAN………....40
7.1. Jenis Penelitian...40
7.2. Teknik Pengumpulan Data...41
7.3. Teknik Analisis Data...41
BAB II KONFIGURASI/SISTEM POLITIK ORDE BARU
1. STRUKTUR POLITIK ORDE BARU………...……422.1. Seputar Pemilu di Indonesia……….…………....50
2.2. Sistem Pemilihan Umum……….……….57
3. PARTAI POLITIK DAN KEKUATAN……….….…64
4. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT……….…...70
BAB III ANALISIS PERANAN MILITER DALAM POLITIK
BERDASARKAN DWIFUNGSI ABRI
1. LEGALITAS DWIFUNGSI DALAM SISTEM POLITIK...………...772. IMPLEMENTASI DWIFUNGSI...82
2.1. Fungsi Pertahanan Dan Keamanan...82
2.2. Fungsi Sosial-Politik Di Berbagai Bidang...88
2.2.1. Ideologi...88
2.2.2. Sosial-Budaya... 89
2.2.3. Bidang agama/rohani……… 90
2.2.3. Sosial-Politik...91
2.2.4. Sosial-Ekonomi...92
2.2.5. Peranan Abri Sebagai Kekuatan Sosial–Politik Dalam Pemilihan Umum...94
2.3. Dwifungsi diakhir Orde Baru...95
BAB IV PENUTUP
1.KESIMPULAN………....…982. SARAN-SARAN………....….100
MILITER DAN POLITIK: Peranan Politik Militer Berdasarkan Perspektif Dwifungsi ABRI Dalam Politik Indonesia Orde baru
Nama : Mario butar-butar
Nim : 040906053
Program studi : ilmu politik
ABSTRAKSI
Tulisan ini adalah hasil penelitian yang berjudul “Militer Dan Politik: Peranan Politik Militer Berdasarkan Perspektif Dwifungsi ABRI Dalam Politik Indonesia Orba”. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah deskripsi singkat militer dalam pusaran politik Indonesia ?Bagaimanakah politik militer berdasarkan perspektif teori dwifungsi ABRI dalam politik indonesia khususnya dalam era orde baru? dan Perubahan seperti apa yang terjadi pada ketatanegaraan (sistem politik Indonesia) sejak ABRI memainkan peranannya dalam politik?
Adapun cara yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut adalah dengan cara analisis deskriptif sejarah yaitu menganalisis data-data yang bersumber dari buku-buku, makalah-makalah dan dokumen serta sarana lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
Pada penelitian ini penulis memperoleh hasil penelitian yaitu, pada studi mengenai peranan politik yang dimainkan oleh militer berkaitan dengan kedwifungsiannya yang telah mendapat legalisasi dalam perpolitikan /sistem politik orde baru. Ia muncul sebagai kelompok yang melakukan fungsi sosial-politik melalui konsep dwifungsinya tersebut. Ia menjadi bagian dalam sistem politik Indonesia dan memberikan karakteristik yang tersendiri dari sistem politik yang ada di negara manapun.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankandan dan disetujui untuk diperbanayak di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal : Januari2008
Pukul : 11.00 - 12.30 WIB Tempat : Ruang Sidang FISIP USU
Tim Penguji:
Ketua :
( )
Anggota I :
Drs. P. Anthonius Sitepu M.Si ( )
(131 485 245)
Anggota II :
Dra. Evi Novida Ginting M.SP ( )
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Mario Butar-Butar
Nim : 040906053
Departemen : Ilmu Politik
Judul : Politik Dan Militer
Peranan Politik Militer Berdasarkan Perspektif Dwifungsi ABRI dalam Politik Indonesia Orba
Menyetujui: Ketua
Departemen Ilmu Politik,
(Drs.Heri Kusmanto.MA) NIP. 132 215 084
Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,
(Drs.P. Anthonius Sitepu.M.Si) (Dra.Evi Novida Ginting.MSP) NIP.131 485 245 NIP.131 102 005
Mengetahui; Dekan FISIP USU
KATA PENGANTAR
Skripsi ini berjudul “Kampanye dan Perilaku Politik: Suatu Studi Analisis Pengaruh Kampanye Terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2008 di Kelurahan Tanjung Sari”. Skripsi ini menjelaskan secara singkat tentang pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah di Sumatera Utara tahun 2008, kemudian skripsi ini menjelaskan bahwa kampanye pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tahun 2008 memiliki hubungan dengan perilaku pemilih, di mana mayoritas warga Tanjung Sari menentukan pilihan setelah masa kampanye (pasca kampanye). Hal ini menunjukkan bahwa setiap pasangan calon yang maju dalam pilkada perlu melakukan kampanye dalam meraih suara rakyat (Masyarakat Tanjung Sari) walaupun sebenarnya jumlah masyarakat yang menentukan pilihan antara pra dan pasca kampanye hanya terpaut sedikit.
Dalam skripsi ini juga diuraikan bahwa jenis kampanye yang paling banyak menjangkau masyarakat adalah media kampanye spanduk/baliho/stiker. Akan tetapi kampanye yang paling menarik menurut warga Tanjung Sari adalah kampanye melalui media televisi. Kemudian faktor figur lebih mempengaruhi perilaku pemilih di Kelurahan Tanjung Sari dibandingkan partai politik yang mendukung pasangan calon.
Pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus, atas berkat dan kasihnya penulis dapat menyelesaikan skripsi (penelitian ini). Selama kurang lebih 10 bulan melakukan penelitian, kasih dan berkatnya membuat penulis yakin bahwa semua akan indah pada waktunya. Amin.
Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan Terima Kasih dan Penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan FISIP USU, Bapak Drs. Heri kusmanto MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP USU, Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, arahan, dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak Drs. Tonny P. Situmorang M.Si selaku dosen pembaca dalam penulisan skripsi ini. Ibu Dra. Evi Novida Ginting MSP selaku Ketua Penguji dan selama proses penelitian telah membantu dan mempermudah peneliti dalam memperoleh data di KPU Kota Medan.
Kepada seluruh keluarga tercinta, Ibunda (Siti Syair Br. Tarigan) dan Ayahanda (Benteng Sitepu) yang memberikan cinta, perhatian, kasih sayang yang melimpah kepada penulis. Saudara-saudariku (Anthonius Sabas Sitepu, Yunila Bensastuty Br. Sitepu, Jhon Tirapata Sitepu, Leri Holmes Sitepu, Abdika Novrianto Sitepu) yang memberikan dukungan baik moril dan materil.
Kepada teman-teman seperjuangan (Politik 04), Roy yang kalo punya masalah selalu diam membisu, Jumpa yang katanya abang si ganteng laut (KATANYA), Yosua yang pembawaannya serius, Mario yang Plin-Plan, Simon dan Chaya yang sering kasih masukan dan pengalaman, Hery yang seperti seorang filsuf, Aris, Rimbun, Rospita dll yang tidak dapat dapat saya sebutkan namanya satu persatu saya ucapkan terima kasih karena kalian semua telah memberi warna dan menjadi bagian dalam hidup penulis.
dan KPU Kota Medan yang memberikan data yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.
. Kepada masyarakat kelurahan Tanjung Sari yang bersedia maupun yang tidak bersedia mengisi angket penelitian penulis, penulis ucapkan terima kasih karena telah memberikan pengalaman berharga dan pelajaran mental dan bermasyarakat bagi penulis.
Medan, Desember 2008
MILITER DAN POLITIK: Peranan Politik Militer Berdasarkan Perspektif Dwifungsi ABRI Dalam Politik Indonesia Orde baru
Nama : Mario butar-butar
Nim : 040906053
Program studi : ilmu politik
ABSTRAKSI
Tulisan ini adalah hasil penelitian yang berjudul “Militer Dan Politik: Peranan Politik Militer Berdasarkan Perspektif Dwifungsi ABRI Dalam Politik Indonesia Orba”. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah deskripsi singkat militer dalam pusaran politik Indonesia ?Bagaimanakah politik militer berdasarkan perspektif teori dwifungsi ABRI dalam politik indonesia khususnya dalam era orde baru? dan Perubahan seperti apa yang terjadi pada ketatanegaraan (sistem politik Indonesia) sejak ABRI memainkan peranannya dalam politik?
Adapun cara yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut adalah dengan cara analisis deskriptif sejarah yaitu menganalisis data-data yang bersumber dari buku-buku, makalah-makalah dan dokumen serta sarana lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
Pada penelitian ini penulis memperoleh hasil penelitian yaitu, pada studi mengenai peranan politik yang dimainkan oleh militer berkaitan dengan kedwifungsiannya yang telah mendapat legalisasi dalam perpolitikan /sistem politik orde baru. Ia muncul sebagai kelompok yang melakukan fungsi sosial-politik melalui konsep dwifungsinya tersebut. Ia menjadi bagian dalam sistem politik Indonesia dan memberikan karakteristik yang tersendiri dari sistem politik yang ada di negara manapun.
BAB I
PENDAHULUAN
I.LATAR BELAKANG
Salah satu organ yang perlu dimiliki oleh pemerintah suatu negara ialah
militer, yang merupakan satu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin
untuk melakukan pertempuan, yang diperbedakan dengan orang-orang sipil. Defenisi
ini mungkin kurang sempurna, tetapi kita akan mendapat pengertian, bahwa tujuan
pokok adanya militer adalah untuk bertempur dan memenangkan peperangan guna
mempertahankan dan memelihara eksistensi negara. Bahwa fungsi militer di dalam
negara adalah melakukan tugas di bidang pertahanan dan keamanan, yang disebut
dengan “fungsi militer”. Sedangkan fungsi di luar bidang pertahanan dan keamanan
negara menjadi tugas golongan sipil. Tugas ini disebut “fungsi non-militer” atau
“fungsi sipil”1
1 Yahya Muhaimin. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gaja Mada University Press. 1982. hal. 2
Akan tetapi gejala-gejala yang terdapat pada kebanyakan negara yang sering
disebut “negara sedang berkembang” menunjukkan hal-hal berbeda tentang prinsip
tanggung jawab dan fungsi pokok antara golongan militer dan golongan sipil dalam
kehidupan negara. Kaum militer di dalam negara ini dalam kadar yang berbeda dan
dengan variasi yang bermacam-macam melakukan fungsi-fungsi sosial dan politik,
memikul tugas sipil.bahkan peranan kaum militer di situ bukan skedar ikut
berpartisipasi di dalam urusan-urusan politik, tetapi mereka memegang
Gejala ini berhubungan erat dengan kenyataan bahwa negara tersebut baru
mendapatkan kemerdekaan atau baru membina dirinya sendiri sehingga belum
memiliki sistem politik yang stabil, atau masih mencari-cari sistem politik dan
pemerintahan yang mantap. Hal ini memberikan pengaruh psikologis dan moril yang
istimewa kepada para perwira militer.
Ada beberapa sebab yang mendorong militer secara aktif memasuki arena
politik dan memainkan peranan politik. Faktor-faktor ini lebih terletak pada
kehidupan politik atau sistem politik, bukan pada militer. Dan dikelompokkan
menjadi tiga , yaitu2
1. Rangkaian sebab-akibat yang menyangkut adanya ketidakstabilan system
politik. Keadaan seperti ini menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang
kekerasan yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam kehidupan
politik. :
2. Rangkaian sebab yang bertalian dengan kemampuan golongan militer untuk
memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan. Yang menarik dalam
kaitan ini ialah bahwa beberapa hal dominasi militer didalam politik justru
“diundang” atau dipermudah oleh golongan sipil.
3. Rangkaian sebab yang berhubungan dengan politikal perspektif kaum militer.
Yang paling menonjol diantara beberapa perspektif politik mereka adalah
yang berkaitan dengan peranan dan status mereka didalam masyarakat, dan
juga yang berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan kaum
sipil dan terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Dalam kebudayaan politik yang seperti di atas itulah militer Indonesia dibina
dan berkembang. Ini berarti bahwa para perwira militer Indonesia mempunyai watak,
persepai, tindakan yang kuat sekali yang dipengaruhi oleh implikasi dan aspek nilai
kebudayaan politik serta kondisi lingkungan sekitarnya. Dengan pemikiran dan
konsep diatas pennulis akan melihat bagaimana perkembangan militer Indonesia di
dalam memegang peranan dan berada pada posisi yang betul-betul dominant dalam
politik khususnya ketika mengatasi peristiwa politik yang kritis yang mengancam
keberlangsungan NKRI.
I.1. Lahirnya Politik Militer Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, tidak segera
dibentuk tentara kebangsaan. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri hanya memuat dua
pasal mengenai Angkatan Perang dan Pembelaan Negara, yaitu pasal 10 yang
menetapkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan pasal 30 yang menentukan bahwa tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha-usaha pembelaan negara yang
syarat-syaratnya diatur dalam undang-undang. Tidak mengherankan perkembangan Tentara
Indonesia dalam negara republik Indonesia lebih banyak ditentukan oleh jalannya
dinamika revolusi perjuangan bangsa daripada oleh ketentuan Undang-Undang Dasar.
Ketidaktegasan sikap pemerintah pusat dalam pembentukan sebuah tentara
nasional ternyata menimbulkan akibat-akibat yang serius. Ketidakmampuan untuk
menentukan, atau bahkan buat menuntut hak yang menentukan, pengangkatan
perwira-perwira dan organisasi struktural golonan militer menyebabkan para
terikat oleh kesetiaan atau bahkan oleh rasa berhutang budi kepada mereka.
Kenyataan bahwa para perwira itu dengan cepat merasakan siakp ragu-ragu
pemerintah mengenai soal-soal pertahanan nasional. Dan ini merupakan suatu
permulaan buruk bagi hubungn pemimpin sipil dan militer.
Pada sidang Agustus Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2
tanggal 19 agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk Tentara, tetapi
keputusan ini kemudian diubah dalam siding PPKI ke-3 tanggal 22 agustus 1945.
Dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) saja,
sebagai Bagian Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Penggunaan nama
Tentara dihindari untuk menunjukkan politik damai republik Indonesia terhadap
pihak sekutu yang menang perang. BKR bertugas untuk memelihara ketertiban dan
keamanan didaerah-daerah.
BKR tumbuh secara spontan dari bawah di daerah-daerah, didorong oleh
panggilan jiwa para pemuda, banyak diantaranya bekas PETA, Heiho, KNIL, dan
lain-lainnya. Mereka ini didorong untuk berbakti dan mengabdi kepada bangsa dan
negara yang kedaulatannya menghadapi ancaman pihak penjajah. BKR
mempersenjatai, melengkapi, dan membekali diri sendiri; disusun secara umum
secara kedaerahan (teritorial administratif) dan sedikit banyak dikendalikan oleh
Komite Nasional Indonesia (KNI) didaerah. Pimpinan BKR yang duduk di KNI ikut
memecahkan masalah-masalah yang timbul dibidang politik, ekonomi, sosial, dan
keamanan. BKR bukanlah tentara regular, melainkan suatu korps pejuang bersenjata.
KNI dan BKR menjadi organisasi-organisasi rakyat yang tidak sekedar membantu,
tumbuh pula pasukan-pasukan bersenjata (badan/laskar) yang terdiri dari
pemuda-pemuda dengan bermacam-macam orientasi politik yang tidak puas dengan hanya
dibentuk BKR. Mereka menghendaki suatu tentara kebangsaan.
Baru pada 5 oktober 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah yang
menyatakan bahwa “untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan
suatu Tentara Keamanan Rakyat” (TKR). Bekas Mayor KNIL Urip Sumoharjo
diserahi tugas untuk membentuknya; ia diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR
dan berhasil mendirikan Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta. Dikeluarkannya
peraturan dan instruksi-intruksi untuk menyalurkan susunan kesatuan-kesatuan yang
sudah ada, terutama BKR yang seluruh statusnya beralih menjadi TKR, ke arah suatu
organisasi yang teratur, namum belum dapat berhasil sepenuhnya. Konferensi
pertama antara para komandan divisi dan resimen TKR diadakan di yogyakarta pada
tanggal 12 November 1945 dan dipimpin oleh Letjen Urip Sumoharjo.
Dalam pertemuan ini antara lain diadakan pemilihan Panglima Besar dan
Menteri Keamanan Rakyat. Terpilih sebagai panglima besar ialah Kolonel Sudirman
yang pada waktu itu menjabat sebagai Panglima divisi V/Banyumas dan sebagai
Menteri Keamanan Rakyat terpilih Sultan Hamengku Bowono IX. Pengesahan
jabatan Panglima Besar Sudirman baru ditetapkan tanggal 18 Desember 1945,
sedangkan usul Sultan Hamengku Buwono menjadi Menteri Keamanan Rakyat tidak
dapat diterima oleh pemerintah. Sebagaimana kita ketahui, tentara terbentuk dalam
masa revolusi/perang kemerdekaan sejak awal sudah terlibat dalam kehidupan politik.
Gejala ini disebabkan karena perang umtuk memperjuangkan kemerdekaan
merupakan suatu pimpinan bulat dan tidak terpisahkan putusan-putusan penting
mengenai strategi perjuangan diputuskan secara bersama. Adalah suatu kenyataan
bahwa perang kemerdekaan adalah perang yang bersifat total, tidak jelas batas
perjuangan militer dan non-militer. Keterlibatan pimpinan tentara dalam soal-soal
politik juga disebabkan adanya perbedaan pandangan tentang strategi perjuangan
dalam menghadapi kaum penjajah.
Pemerintah yang dipimpin oleh kaum politik tua lebih menitikberatkan pada
perjuangan diplomasi, sedangkan pimpinan tentara yang tergolong kaum mudalebih
menitikberatkan pada perjuangan dengan menggunakan kekuatan bersenjata.
Perbedaan persepsi tentang stategi ini sering menimbulkan dialog dan silang pendapat
yang antara pemerintah dan pimpinan militer yang mewarnai hubungan yang kurang
serasi antar pemerintah dan pimpinan tentara sampai menjelang diakuinya
kemerdekaan republik Indonesia oleh pihak belanda pada tanggal 27 desember 1949.
Pada tanggal 1 januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi
Tentara Keselamatan Rakyat, yang dapat diartikan memperluas dan memperdalam
tugas tentara dari kamanan menjadi keselamatan dalam arti luas. Ketidaksesuaian
jalan pikiran antar pemerintah/kabinet dan kalangan markas tertinggi TKR tersebut
juga menjadi sumber ketegangan politik dalam perkembangan selanjutnya. Dalam
usaha untuk menjadikan TKR sebagai alat negara republik Indonesia yang patuh
kepada pemerintah, maka pada tanggal 25 januari 1946 dikeluarkan Maklumat
Pemerintah yang mengubah nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI). Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi
Kemudian pada tanggal 23 febuari 1946 dibentuklah panitia besar penyelengaraan
organisasi tentara yang dipimpin oleh Letjen Urip Sumoharjo, sebagai hasil
reorganisasi, maka susunan dan kewenangan markas tertinggi Tentara Republik
Indonesia (TRI) dipecah dua, yakni markas besar umum (MBU) dibawah panglima
besar sudirman dengan tugas operasional membawahi divisi-divisi dan bagian-militer
kementerian pertahanan dibawah direktorat jenderal administrasi dipimpin oleh
Jenderal Mayor Soebidyo. Di Kementerian Pertahanan dibentuk staf pendidik politik
yang mendidik opsir-opsir politik untuk kemudian ditetapkan di divisi-divisi dan
berkedudukan di samping panglima. TRI dengan penuh minat mengikuti kegiatan
politik tersebut dan kadang-kadang dengan terbuka menyatakan pro-kontranya.
Sejak awal pembentukannya Kabinet Syahrir mengalami oposisi yang gencar
dari Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka. Oposisi berkembang
disertai dengan kerusuhan dan berakibat pada pengangkapan terhadap pimpinan
Persatuan Perjuangan. Percobaan perebutan kekuasaan Persatuan Perjuangan dengan
menggunakan panglima divisi III pada tanggal 3 juli 1946 dapat digagalkan. Setelah
“Peristiwa 3 Juli” , sejak itu Jenderal Soedirman merupakan “satu faktor politik
utama” 3
Adanya dua macam TRI sebagai tentara resmi dibawah panglima besar dan
brigade-brigade kelaskaran dibawah biro perjuangan sangat merugikan perjungan
bangsa menghadapi ancaman Belanda. Oleh kerena itu pada tanggal 5 mei 1947
dikeluarkan dekrit oleh presiden yang menentukan agar dalam waktu sesingkatnya
mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Pelaksanaan dekrit .
ditugaskan kepada suatu panitia diketuai oleh presiden sendiri. Pada tanggal 7 juni
1947 dikeluarkan pnenetapan presiden antara lain menetapkan bahwa mulai tanggal 3
juni 1947 disahkan secara resmi berdirinya tentara nasional Indonesia (TNI). Dalam
TNI ini tergabung TRI, kesatuan-kesatuan dari biro perjuangan dan pasukan-pasukan
bersenjata lainnya. Dengan terbentuknya TNI, maka Biro Perjuangan dihapuskan.
Semenjak tahun-tahun pertama republik Indonesia berdiri, para perwira
militer Indonesia memiliki kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit. Dan
kecenderumgan ini semakin kuat setelah tahun-tahun berikutnya mereka mengatasi
peristiwa politik yang kritis dan pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948.
Tetapi turut sertanya militer di dalam politik di Indonesia mulai tampak secara
jelas pada tahun 1952 tatkala terjadi peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama
“peristiwa 17 oktober”. Kejadian yang kiranya tepat disebut politico-military
symptom tersebut meletus karena kepemimpinan sipil dianggap “selfih”, tidak
bertanggung jawab, tidak efektif, penuh korupsi dan tidak berhasil dalam memerintah
negara yang baru merdeka itu, dan justru para perwira militer yang memegang andil
terbesar dalam mencapai dan menegakkan kemerdekaan pada masa 1945-1950.
Menjelang Agustus 1950, sistem federal dibubarkan. Dalam proses
pembubaran sistem federal ini, angkatan darat telah memainkan peran penting dengan
menggunakan kemampuan militer dan politiknya. Baik pimpinan militer maupun
pemimpin sipil pada waktu itu tampaknya tidak menyadari kenyataan bahwa
penggunaan tentara dalam operasi-operasi keamanan dalam negeri melibatkan
mereka dalam membuat pilihan-pilihan politik, dan dengan demikian maka tak
lain, sebuah tentara yang diberi tugas memelihara keamanan dalam negeri secara
besar-besaran dan semi-permanen, secara praktisnya terlibat dalam percaturan politik
dalam negeri; dalam hal ini tentara (Angkatan Darat) telah memainkan peran yang
boleh dikatakan menentukan dalam menetapkan struktur konstitusional Indonesia4
Pada masa periode tahun 1957-1959-yang disini disebut sebagai masa transisi
di dalam kehidupan politik di Indonesia- TNI melalui Mayor Jenderal A.H. Nasution
sebagai KSAD, menitikberatkan tindakannya untuk mengurangi, atau bahkan untuk
menghilangkan kerapuhan politis yang merupakan kelemahan paling fundamental
yang ada pada TNI. Dan Nasution menitik beratkan usahanya untuk mendapatkan
legitimasi atau “dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan
non-militer-dalam hal ini peranan politik- yang selama ini belum dimiliki TNI.
.
I.2. Masuknya Militer Dalam Politik.
5
Pada bulan oktober 1956, Presiden sukarno menawarkan satu alternatif untuk
mengatasi krisis politik yang berkecambuk waktu itu, berupa suatu gagasan system
pemerintahan lain yang dinamainya “Demokrasi Terpimpin” dengan formula atau
konsepsinya sendiri. Sejak itu rakyat dan kalangan politisi Indonesia
menunggu-nunggu konsepsi yang dijanjikannya. Konsepsi Presiden itui ternyata bukan saja tidak
berhasil mendapat dukungan mayoritas, tetapi juga tidak mencapai consensus.
Partai-partai politik menyambutnya dengan suara pro dan kontra. Yang paling jelas menolak
konsepsi itu adalah partai Masyumi dan partai katholik; sedangkan NU, Parkindo,
IPKI, PSII dan PSI menolak secara tidak langsung. Dukungan yang didapat Sukarno
4 Ulf Sundhaussen. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3S. 1986. hal. 98.
adalah dari PNI dan partai-partai nasionalis kecil lainnya, sedangkan yang paling
gigih mendukungnya adalah PKI.
Politik PKI yang sejak tahun1952 merangkul PNI, mulai tahun tahun
1955/1956 PKI melakukan politik merangkul Presiden Sukarno, yang
kedua-duanya-Sukarno dan PKI- kebetulan tidak committed dengan sistem politik yang ada.
Pertimbangan PKI ialah mengingat peranan politik yang dimiliki PNI sudah semakin
menurun terus dan peranan politi Sukarno sebagai presiden yang terus bertambah
besar.
Sementara itu, pimpinan pusat TNI bersikap diam terus sehubungan dengan
gagasan politik daripada konsepsi Sukarno. Tetapi apa yang dikehendaki oleh TNI
jelas bagi Sukarno, yaitu “lebih banyak kekuasaan untuk tentara, tanpa secara
langsung menentang Presiden”. 6
Hal itu menjadi kenyataan tatkala pada bulan Maret 1957, dipermaklumkan
berlakunya “keadaan darurat bahaya perang” atau Staat Van Oorlog en van Beleg Di lain pihak, kabinet Ali tidak mampu lagi menghadapi tantangan yang
berupa tuntutan-tuntutan yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan tetapi
sama-sama beratnya, yaitu antara “pengembalian Dwi-tunggal Sukarno-Hatta” dan
“megimplementasikan konsepsi Sukarno”. Karena itu, tatkala Nasution tidak berhasil
mengkompromikan kaum regionalis dengan Jakarta dan kemudian mendesak
Presiden Sukarno agar dapat menyatakan seluruh wilayah negara berlaku “keadaan
darurat perang”, maka Presiden pun mendesak agar Perdana Menteri Ali untuk
menyetujui peraturan negara dalam keadaan darurat perang.
(SOB) untuk seluruh wilayah Indonesia oleh Presiden Soekarno. Dan hal ini menjadi
dasar hukum dan dasar politik bagi tentara untuk melaksanakan fungsi-fungsi
non-militer, terutama dalam hal peranan politik dalam proses memulihkan keamanan dan
dalam memperjuangkan UUD 19457
a. golongan fungsional dalam masyarakat. .
Langkah Nasution berikutnya yaitu membentuk satu organisasi massa yang
lebih besar dan lebih menyeluruh dibawah pengaruh TNI. Sejak lama, baik Nasution
maupun Sukarno menginginkan dibentuknya suatu Front Nasional yang nantinya
diharapkan akan mengeser kedudukan partai-partai politik.
Dan pada tanggal 8 April 1957 Presiden Sukarno menunjuk Ir. Juanda umtuk
membentuk kabinet dan membentuk Dewan Nasional. Keesokan harinya tanggal 9
April 1957 terbentuk Kabinet Djuanda dan diberi nama Kabinet Karya, yang terdiri
dari 24 Kementerian dengan 23 Menteri. Dan didalamnya duduk dua orang anggota
angkatan bersenjata, yaitu Menteri Urusan Veteran dan Menteri Pelayaran.
Sesuai dengan programnya, dengan undang-undang Darurat no. 7 Tahun 1957
pada tanggal 6 Mei 1957, pemerintah membentuk Dewan Nasional. Dewan nasional
adalah suatu badan yang memberikan nasihat mengenai soal-soal pokok kenegaraan
dan kemasyarakatan kepada pemerintah atas permintaan pemerintah dan atas inisiatif
sendiri. Dewan ini langsung dipimpin oleh Presiden.
Adapun anggota dewan nasional diangkat dan diberhentikankan oleh presiden,
dan terdiri dari eksponen :
b. Orang-orang yang dapat mengemukakan persoalan-persoalan daerah.
c. Pejabat militer dan sipil yang dianggap perlu.
d. Menteri-menteri yang dianggap perlu.
Dengan dimasukkan militer ke dalam dewan nasional maka sesungguhnya
ABRI telah memperoleh legalitas dalam fungsi sosial-politiknya bersana golongn
fungsional lainnya. Masalah pengertian dan rumusan golongan funsional pada waktu
itu masih dianggap kurang jelas. Pada tanggal 13 Januari 1958 Dewan Nasional
bersidang untuk merumuskan kembali golongan fungsional. Akhirnya pada tanggal
26 Januari 1958 berhasil dirumuskan bahwa golongan fungsional adalah “alat
demokrasi berupa penggolongan warga negara Indonesia menurut tugas pekerjaannya
dalam lapangan produksi dan jasa dalam melaksanakan pembangunan masyarakat
adil dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia”. Golongan funsional
terdiri dari:8
- Angkatan bersenjata.
- Buruh pegawai
- Alim ulama (islam, katholik, protestan, indu, budha).
- Tani
- Angkatan 45
- cendekiawan/sarjana.
- Seniman
- Wartawan
- Pemuda.
- Warga negara peranakan..
Pada bulan Juni 1958, militer diakui sebagai kekuatan politik “golongan
fungsional” dan wakil-wakil militer berhasil didudukkan dalam lembaga negara
Dewan nasional yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan SOB. Merupakan badan
negara pusat yang amat besar peranannya didalam proses pembuatan keputusan
politik saat itu. Di dalam tatanan politik yang baru itu Nasution telah berhasil
menempatkan wakil-wakil angkatan darat dalam mpemerintah, badan-badan legislatif
dan hampir semua badan negara. Tentara mempunyai suara dalam penyelenggaraan
hukum dan menjadi makin terlibat dalam pengelolaan ekonomi nasional.9
Dengan dibentuknya Dewan Nasional, maka dimulailah babak baru dalam
konstelasi politik Indonesia. Sementara itu perdebatan konstituante semakin
berlarut-larut, tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat dan
membuat krisis nasional semakin parah. Dalam suasana sangat gawat karena
memuncaknya krisis nasional serta untuk menjaga kemungkinan timbulnya
ekses-ekses politik yang mengancam keselamatan negara sebagai akibat di tolaknya usul
pemerintah oleh konstituante, maka KSAD Jenderal A.H. Nasution atas nama
Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu), tentang larangan mengadakan
kegiatan-kegiatan politik.
Dan tanggal 19 Febuari 1959, dewan menteri secara aklamasi menerima
rumusan Dewan Nasional dalam rangka implementasi Demokrasi Terpimpin dan
dalam rangka kembali ke UUD 1945. Perumusan ini merupakan persiapan untuk
memperlancar jalan menuju kepada usaha kembali UUD 1945.
Kegagalan konstituante dalam melaksanakan tugasnya sudah dapat
dibayangkan sejak semula, dengan itu gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945
melalui saluran konstitusional yang disarankan oleh pemerintah kepada konstituante.
Maka dengan mendapat jaminan dan dukungan Angkatan Bersenjata, Presiden
soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan dekrit presiden mengenai
pembubaran konstituante dan berlakunya kembali ke UUD 1945 dalam kerangka
Demokrasi Terpimpin.
Berlakunya kembali UUD’45 dalam kerangka demokrasi terpimpin disambut
dengan penuh harapan oleh rakyat yang sudah lama mendambakan stabilitas politik.
Tindak lanjut dari dekrit presiden diantaranya adalah membentuk Kabinet Kerja pada
tanggal 13 Juli 1959, pembubaran Dewan Nasional dan membentuk MPRS
berdasarkan Penetapan Presiden No.2/1959 tanggal 22 Juli 1959. Selanjutnya, dengan
penetapan Presiden No. 4 tahun 1960, dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPRGR). Komposisi kenggotaan DPRGR antara lain adalah 44 PNI, 36
NU, 18 PKI, 118 Golongan Fungsional Non-ABRI, 35 ABRI.
Pada Januari 1961, berhasil dibentuk dengan resmi Front Nasional sesuai
dengan konsep dan ide Sukarno, yang rupanya dimaksudkan oleh Sukarno nantinya
menjadi partai tunggal negara dengan basis massa sebagai penggeraknya. Namun
demikian, Sukarno tidak memperoleh kontrol penuh atas Front Nasional,
sebagaimana dengan tidak berhasilnya TNI-AD dalam usaha yang sama.
Dikarenakan, didalam Front Nasional ini tergabung seluruh partai politik-yang
sifatnya amat heterogen dan saling bertentangan ideologi- dan seluruh golongan
mauipun yang independen. Dalam hal ini, partai politik yang mempunyai organisasi
fungsional mempertahankan pengaruhnya dan tetap mengikatnya dengan ketat
sehingga organisasi fungsional tidak terbawa arah tujuan Front Nasional yang akan
dijadikan semacam partai tunggal di Indonesia. Kerena inilah baik Sukarno maupun
TNI tidak bisa menguasai Front Nasional dengan penuh.
Sejak tanggal 23 Maret 1961, dibentuklah cabang-cabang Front nasional di
daerah seluruh Indonesia. Dan badan ini menjadi arena mencari kekuasaan dan
pertarungan politik. Beberapa waktu kemudian, diluar Front nasional, TNI berhasil
menghimpun beberapa organisasi golongan fungsional, terutama yang tidak
berafiliasi dengan sesuatu partai politik, ke dalam satu organisasi bersama golongan
fungsional yang diberi nama dengan “Sekretariat Bersama Golongan Karya” (sekber
golkar) yang sepenuhnya dikuasai oleh TNI.dengan terwujudnya organisasi sekber
Golkar, maka TNI telah dapat dikatakan berhasil banyak dalam memperkuat
posisinya sebagai kekuatan politik golongan fungsional, atau tepatnya, golongan
karya dalan pertikaiannya melawan PKI yang peranannmya sejak tahun 1960 telah
mampu mengubah perimbangan kekuasaan di dalam kehidupan politik di Indonesia.
Usaha-usaha yang lain yang dilakukan oleh tentara dalam rangka
mengimbangi kekuatan PKI terutama didaerah-daerah adalah meningkatkan
organisasi territorial sesuai dengan doktrin perang wilayang yaitu dengan membentuk
struktur territorial di tingkat kecamatan dengan nama Komando Rayon Militer
(Koramil) dan di tingkat desa Bintara Pemdina Desa (Babinsa).
Pada tanggal 1 mei 1963, Indonesia menerima kekuasaan atas Irian Barat dari
agustus 1962 di PBB) dan seterusnya Indonesia berjanji akan memberi hak kepada
penduduk Irian barat untuk menentukan sendiri; apa mau tetap bersatu dengan
Indonesia atau mau lepas dari kekuasaan Indonesia. Dan saat inilah, Presiden sukarno
mengumumkan mencabut SOB di seluruh wilayah Indonesia.
Penghapusan SOB itu diharapkan oleh Sukarno akan memperkuat posisi
presiden dalam hubungannya dengan kepentingan politik TNI, yang dengan cara
demikian Presiden Sukarno lambat laun berharap akan menghilangkan, atau paling
tidak hendak membatasi kegiatan politik TNI. Dalam pada itu, Sukarno dapat
memperkuat terus posisinya sejak 1963, dan kelihatan akan tetap merupakan faktor
politik terkuat di samping dipandang oleh kalangan militer sebagai simbol bangsa
yang pantang ditentang.
Ternyata kemudian pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang seharusnya
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, telah menyimpang jauh sekali. Kekuasaan
presiden tidak ada batasnya, dapat berbuat apa saja menurut kehendaknya.
Selanjutnya dalam Sidang Umum MPRS tahun 1963 mengambil ketetapan
“mengangkat Ir.Sukarno menjadi presiden seumur hidup”. Selama pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin, golongan fungsional terutama TNI, sesungguhnya
ditempatkan dalam suatu posisi sulit. Pada satu pihak berusaha teguh pada Pancasila
dan UUD ’45 sedangkan di pihak lain harus menghadapi berbagai rongrongan,
intimidasi dan usaha dominasi PKI.
Presiden membiarkan berlangsungnya proses balance of power antara dua
mengembalikan kekuasaan antara TNI dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya,
memecah belah kalangan perwira TNI, dan melemahkan kedudukan Nasution10
Pada bulan April 1965, kalangan para pimpinan terkemuka dari TNI-dengan
menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi yang ada pada waktu itu yaitu
mengingat besarnya kekuasaan presiden yang tidak dapat mereka konfrontasi tapi
justru selalu membuka jalan bagi politik PKI-berhasil menyusun satu doktrin buat
TNI khususnya, dan untuk kekuatan militer Indonesia umumnya, yang dinamakan
“Doktrin Tri ubaya Cakti”. Dengan adanya doktrin inilah untuk pertama kalinya
secara resmi TNI menyatakan dirinya memiliki fungsi ganda atau Dwi-fungsi di
dalam tata kehidupan politik Indonesia yaitu “sebagai kekuatan militer dan sebagai
kekuatan sosial-politik”
.
11
10 Yahya Muhaimin. Ibid. hal 117. 11 Yahya Muhaimin. Ibid. hal 141-142
.
Meletusnya peristiwa “Gerakan 30 September” pada tanggal 1 Oktober 1965,
merupakan suatu turning point dalam perkembangan politik nasional Indonesia.
Selama republik Indonesia berdiri, kejadian ini adalah yang paling mengancam
eksistensi dan kedaulatan negara. Dan yang paling penting dalam hubungan ini ialah
bahwa krisis yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September telah menjadi momentum
yang membuka pintu selebar-lebarnya kepada TNI untuk kemudian memegang
peranan politik dan pemerintahan. Yang pasti ialah bahwa peristiwa “Gerakan 30
September” tanpa ragu dan dengan cepat digunakan sebagai dasar tentara untuk
secara bebas menghantam dan membinasakan PKI sebagai “musuh negara yang
Pergolakan yang ditimbulkan “Gerakan 30 September” telah menampilkan
seorang jenderal yang sebelum meletusnya peristiwa itu kurang dikenal dalam
percaturan politik di Indonesia, seorang jenderal yang hampir sepenuhnya
memainkan peranan dalam mengatasi krisis nasional dalam peristiwa itu dan
kecakapan dibidang militer yaitu Suharto.
I.3. Legalisasi dan Lahirnya Konsep Dwifungsi.
Indonesia memasuki babakan politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang
menandai runtuhnya keseimbangan tiga aktor politik utama (Soekarno, Angkatan
Darat, dan PKI) dengan kehancuran PKI dan semakin merosotnya kewibawaan
politik Presiden Soekarno. Perubahan tersebut menyisakan Angkatan Darat sebagai
satu-satunya kekuatan politik, sementara partai politik telah kehilangan kekuatan
politiknya sejak akhir masa parlementer pada pertengahan 1950-an. Keberhasilan
angkatan darat menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek psikologis luar
biasa pada masyarakat anti komunis, akan citranya sebagai penyelamat negara dari
rongrongan komunis.
Peristiwa berdarah itu telah menjadi katalisator yang segera menyatukan
berbagai kekuatan anti komunis yang selama ini berada dibawah tekanan politik PKI.
Angkatan Darat segera meresponnya dengan menggalang aliansi kekuatan sipil untuk
memulai menyerang PKI secara terang-terangan. Hal ini terlihat adanya kesatuan aksi
anti PKI, bahkan mereka dilindungi dalam menjalankan aktifitasnya. Hal ini juga
terlihat dari sikap diam tentara ketika timbul pembantaian besar-besaran terhadap
Akhirnya Angkatan Darat berhasil menampilkan dirinya sebagai kekuatan
politik yang riil terkuat, terlebih setelah kewibawaan politik Presiden Soekarno
merosot secara drastis pada masa paska kudeta. Sentral kekuatan politik lambat-laun
bergeser dari istana kepresidenan ke Markas Kostrad, di mana Mayjen Soeharto
selaku pemegang kendali efektif atas tentara bermarkas pada waktu itu.12
Pemerintahan orde baru dibawah kendali Soeharto yang menempatkan militer
pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas militer
Semakin menguatnya posisi tentara sebagai aktor politik terkuat di Indonesia
pasca kejatuhan Soekarno telah mendorong dilakukannya berbagai upaya untuk
semakin memperkuat posisi dan kelanggengan dominasi politik tentara dalam sistem
politik Indonesia. Oleh karena itu, segeralah diambil berbagai langkah strategis oleh
tentara yang salah satunya adalah pelembagaan Ideologi dwifungsi ABRI, di mana
tentara berusaha untuk merekonseptualisasi jati dirinya, terutama dalam menentukan
bagaimana posisi seharusnya dalam sistem politik dengan konsep ‘dwifungsi’.
Setelah konsepsi dwifungsi ABRI dipertegas dalam doktrin TNI AD dalam
‘Tri Ubaya Cakti’ yang merupakan hasil seminar angkatan darat pada April 1965.
doktrin ini kemudian disempurnakan lagi dalam seminar angkatan darat II Agustus
1966. Melalui doktrin inilah untuk pertama sekali dirumuskan dwifungsi. Selanjutnya
untuk meningkatkan bobot dwifungsi diperkenalkan doktrin ‘Catur Dharma Eka
Karma’ (Cadek) pada tahun 1967. selanjutnya diusahakan agar rumusan dwifungsi
memperoleh landasan yang kuat dan berlaku lebih luas pada umum.
sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan pemerintahan sipil.
Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah menempatkanya pada
posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi strategis Golkar. Dominasi ini
terungkap paling baik dalam konsep dwifungsi ABRI, dimana angkatan bersenjata
dilihat secara sah sebagai kekuatan militer dan politik dimana kekuatan
sosial-politiknya dikukuhkan secara legal.13
13 Bilver Singh. Dwifungsi ABRI;Asal-Usul, Aktualisasi Dan Implikasi Bagi Stabilitas Dan Pembangunan. Jakarta: P.T. Gramedia.1996. hal.xiv
Dengan berhasil didirikannya rejim Orde Baru, tentara kini bukan lagi berada
‘di luar kekuasaan’ sebagaimana masa-masa sebelumnya, dan kian terlihat inhern dan
identik dengan kekuasaan itu sendiri. Tentara bukan saja terlihat sebagai ‘alat
kekuasaan’, atau ‘alat negara’ namun telah menjadi kekuasaan itu sendiri, yang
terlihat dengan perannya secara massif dalam urusan-urusan non kemiliteran,
terutama dibidang-bindang strategis pada lapangan politik misalnya legislatif dan
pemerintahan serta ekonomi. Secara fisik, hal ini terlihat dengan banyaknya para
perwira yang duduk dalam bebagai posisi kunci politik dan pemerintahan, serta
unit-unit ekonomi yang paling menguntungkan yang dikelola oleh tentara, yang jelas akan
memberikan keuntungan material baik bagi lembaga tentara maupun bagi individu
yang bersangkutan.
Sebagaimana dinyatakan dengan tegas oleh Jenderal TNI A.H. Nasution
dalam sebuah pidato Dies natalies Akademi Militer Nasional (AMN) yang dikenal
dengan istilah “the army’s middle way” atau kemudian dengan sebutan ‘Dwifungsi’
“Posisi TNI bukanlah sekedar alat sipil seperti dinegara-negara barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Ia adalah sebagai kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya.”14
Dan istilah itu juga diungkapkan oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani sewaktu
melantik perwira-perwira di Bandung tanggal 26 desember 1962 antara lain
mengatakan: “TNI mempunyai dua fungsi, yakni sebagai militer dan sebagai
golongan karya”15
“sudah sejak semula, angkatan darat tidak merasa dirinya sebagai alat negara belaka. Selaku unsur yang turut mencetuskan revolusi dan kemudian paling banyak berkorban dalam penyelamatan revolusi itu, sebagai pemegangsaham yang dengan seluruh jiwa raganya turut bertanggungjawab pula atas jalannya revolusi. Selaku tentara rakyat secara intensif ia mengembanapa yang kemudian disebut Amanat penderitaan rakyat.”
. Selanjutnya juga dalam pembukaan seminar TNI-angkatan darat
yang pertama di Bandung pada tahun 1965, ia menegaskan :
16
Sehingga ABRI/TNI sebagai kekuatan sosial yang disebut oleh pasal 2 UUD
45 sebagai “golongan” dan disebut TAP No.XXII/MPRS/1966 merupakan “golongan
yang terdapat dalam masyarakat.”17
Namun waktu mengalami keguncangan hebat akibat peristiwa G30S/PKI
yang hampir saja membawa malapetaka bagi bangsa Indonesia dan negara Pancasila,
barulah dwifungsi mendapat tempat dalam perundang-undangan yaitu dalam
Penjelasan UU No. 15 Tahun 1969 tentang pemilihan umum Aggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat serta UU No. 16 Tahun 1969 Tentang susunan
dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Rumusannya berbunyi :“ mengingat
Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan sosial harus kompak bersatu dan
merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal pancasila dan UUD 1945 yang
kuat dan sentosa”.
Dalam menjalankan tugas kewajibannya, ABRI sebagai kekuatan sosial
menunjukkan sifat-sifat sebagai pelopor, dinamisator dan stabilisator. Dengan
demikian hakikat dwifungsi adalah jiwa dan semangat pengabdian ABRI untuk
bersama-sama dengan kekuatan rakyat lainnya memikul tugas dan tanggung jawab
perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang kesejahteraan nasional, maupun
dibidang pertahanan keamanan nasional dalam rangka pencapaian tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu dapat dimengerti rumusan pedoman hidup ABRI sebagaimana
yang terdapat dalam Saptamarga dan Sumpah Prajurit. Saptamarga sebagai pedoman
hidup dan pedoman perjuangan ABRI merupakan usaha pengejawetahan Pancasila
didalam jiwa ABRI.
Dari rumusan itulah kemudian lahir konsepsi mengenai fungsi sosial-politik
ABRI, yaitu18
Dengan kata lain, dalam melaksanakan tugasnya ABRI merupakan inti dari
Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (HAMKAMRATA), ABRI berasal
dari rakyat, sehingga ABRI merasa turut bertanggung jawab atas keselamatan dan :
1. ABRI sebagai pejuang dan sekaligus sebagai prajurit.
2. ABRI sebagai faktor integrasi ( Kemanunggalan ABRI dengan rakyat).
3. ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator.
kesejahteraan rakyat. Dan ABRI sejak lahir merupakan salah satu kekuatan sosial
yang dalam negara republik Indonesia yang ikut bahu-menbahu bersama
kekuatan-kekuatan rakyat lainnya dalam perjuangan bangsa untuk mengisi kemerdekaan dan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian sebagaimana diketahui dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978
tentang garis-garis besar haluan negara telah mengukuhkan Dwifungsi ABRI sebagai
salah satu modal dasar pembangunan nasional dengan kalimat :
“modal dasar pembangunan nasional yang dimiliki oleh rakyat dan bangsa Indonesia
adalah: ‘Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan
keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat dan bersama rakyat
menegakkan kemerdekan bangsa dan negara”.
Sebagai kekuatan Hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan
aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia” (sebagaimana bunyi anak kalimat
alinea ke-4 pembukaan UU 1945). Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah unsur
dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan
kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan
nasional.
Dalam Penerbitan Departemen Hankam, ABRI sebagai kekuatan sosial dan
pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka memelihara dan meningkatkan
kemanunggalan ABRI dengan rakyat dikatakan bahwa19
19 Nogroho Notosusanto.ibid. hal 150
“ABRI sebagai kekuatan sosial yang mempunyai kedudukan yang sejajar dengan
partai politik dan golongan karya, tidak saling membawahi dan tidak ada yang
merasa tinggi dari yang lain”
Sebagai kelanjutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 pada tanggal 19
september 1982 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahana Keamanan Negara (Lembaran Negara Tahun
1982 Nomor 51 Dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 323). Dimana pasal 26
undang-undang tersebut berbunyi: “Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai
kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial”.
Dan juga Bagaimana diketahui setelah disahkan dan diundangkan
“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang “Undang-Undang-“Undang-Undang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia”,
yang juga dapat disebut sebagai “Undang-Undang Pertahanan Negara”. Salah satu hal
yang menarik perhatian kita tentang Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 ini ialah
ketentuan-ketentuan yang menyangkut apa yang lazim disebut sebagai ‘Dwifungsi
ABRI’.
Pasal 26 undang-undang itu secara jelas dan tegas merumuskan dwifungsi
ABRI itu sebagai berikut20
20 UU RI No. 20 Tahun 1982 tentang Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia pasal 26
:
“Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan
keamanan dan sebagai kekuatan sosial”.
Fungsi angkatan bersenjata sebagai kekuatan sosial sudah ada sejak kelahirannya serta merupakan bagian dari hasil proses perjuangan dan pertumbuhan bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam Saptamarga dan dinyatakan sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dalam garis-garis besar haluan negara.
Fungsi pertama sebagai kekuatan pertahanan keamanan dirumuskan dalam
pasal 27 sebagai berikut21
Fungsi kedua sebagai kekuatan sosial dirumuskan dalam pasal 28 berikut ini :
(1) Angkatan bersenjata sebagai kekuatan pertahana keamanan negara adalah alat negara yang melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pasal 12 undang-undang ini.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, angkatan bersenjata memelihara dan meningkatkan kemampuan komponen kekuatan pertahanan negara keamanan negara lainnya yang meliputi kekuatan di darat, laut, udara, serta penerbitan dan penyelamatan masyarakat.
22
21 UU No.20 Tahun 1982. ibid. pasal 27 22 UU No.20 Tahun 1982. ibid. pasal 28
:
(1) Angkatan bersenjata sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengmankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluiruh rakyat Indonesia.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi pancasila dan kehidupan konstitusional berdasar undang-undang dasar 1945 dalam segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.
Melihat pasal-pasal 26,27 dan 28 itu Dwifungsi ABRI dengan sendirinya kini
telah memperoleh tambahan landasan hukum yang kuat sebagai sesuatu hal yang sah.
Bersamaan dengan itu, Dwifungsi ABRI menjadi semakin mantap kedudukannya
Dengan demikian, Dwifungsi ABRI adalah suatu konsepsi politik yang
menempatkan ABRI/TNI dengan peranan yang penting dalam dua lingkungan
kehidupan politik secara bersamaan yaitu dilingkungan pemerintahan dan lingkungan
masyarakat atau dalam suprastruktur politik dan infrastruktur politik.
Dengan uraian diatas jelas nampak proses perkembangan dwifungsi ABRI
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di
Indonesia. Keberadaannya sebagai kekuatan sosial politik yang telah melekat sejak
kelahiran ABRI, karena penanannya secara nyata telah diterima oleh rakyat, karena
peranannya memang nyata-nyata diperlukan bagi kelangsungan system
ketatanegaraan dan system politik berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Doktrin dwifungsi, sejauh menyangkut implementasinya, sejumlah
penyesuaian telah dilakukan. Diantaranya, berbagai partai politik dicapai suatu
kompromi, yakni agar negara mengadopsi semacam system perwakilan berimbang
sebagai pangganti system distrik tuggal seperti yang diusulkan angkatan darat.
Sebagai imbalan atas konsesi ini, tentara dijamin memperoleh 100 kursi dalam
parlemen dan tanpa melalui perebutan suara dalam pemilihan umum.
Sebagai salah satu kekuatan utama politik Indonesia, militer sangat
menentukan state formation. Wujud dominasi militer tersebut tercermin pada,
pertama, struktur politik Indonesia pada waktu dwifungsi mendapat legalitas dan
pada era Suharto, khususnya pada lembaga birokrasi. Kedua, pada lembaga
sangat lemah. Dan ketiga, pada tingkatan massa melalui kebijakan massa
mengambang.
Dengan uraian penjelasan di atas maka yang menjadi judul dari penelitian ini
adalah “Militer Dan Politik: Peranan Militer dalam Politik Berdasarkan Perspektif Dwifungsi ABRI dalam Politik Indonesia ORBA”.
Melalui penelitian ini, banyak hal yang ingin diketahui mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan militer dalam memperlihatkan cara-cara yang mereka tempuh
atau lakukan terhadap fungsi politik dan perwakilan politik yang ada dalam konsep
Dwifungsi ABRI sendiri. Maupun ideologi apa yang dibangun oleh ABRI melaui
konsep Dwifungsi tersebut dalam menjaga dan merumuskan tugas ‘kekaryaan’nya
sebagai stabilisator dan dinamisator dalam system politik Indonesia. Dan melalui
penelitian ini diharapkan dapat diketahui arti penting baik faktor politis maupun
institusional dalam proses pembentukan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh militer
dalam perspektif Dwifungsi ABRI.
2.PERUMUSAN MASALAH.
Perumusan masalah dinyatakan secara jelas dalam bentuk kalimat Tanya,
yang menanyakan antara dua atau lebih variable yang harus dapat diuji oleh metode
empiric yaitu data yang digunakan untuk menjawabnya harus dapat diperoleh.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, peneliti merumuskan masalah yaitu
:1. Bagaimanakah deskripsi singkat militer dalam pusaran politik Indonesia ?
2. Bagaimanakah peranan politik militer berdasarkan perspektif konsep dwifungsi
3. PEMBATASAN MASALAH
Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah yang akan diteliti, adapun
batasan masalah dalam penelitian ini yaitu dalam politik Indonesia pada masa orde
baru tahun 1965-1998, yaitu membahas tentang kekuatan militer dalam sistem politik
Indonesia khususnya di dalam struktur politik yang mana merupakan mesin politik
sebagai lembaga yang dipakai untuk mencapai tujuan politik dan lain sebagainya
dalam kaitannya dengan pengimplementasiannya Teori Dwifungsi ABRI dalam
kaitannya dengan peranan politik militer.
4. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai apa yang hendak kita tuju
dan capai. Adapun beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengumpulkan data dan membuat deskripsi singkat mengenai militer
dalam pusaran politik Indonesia.
2. Untuk menjelaskan analisis deskripsi tentang peranan politik militer dalam
politik Indonesia berdasarkan perspektif Dwifungsi ABRI.
5. MANFAAT PENELITIAN
Sebagai sebuah karya ilmiah setiap penelitian diarahkan agar banyak memiliki
manfaat. Maka manfaat penelitian ini adalah :
1. Memperluas dan memperdalam pemahaman peneliti terhadap deskripsi
mengenai fungsi politik dan perwakilan politik dalam politik Indonesia
2. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi cerminan yang berguna bagi
pengembangan teori-teori politik sistem politik (Indonesia), terutama dalam
kaitannya dengan fungsi politik dan perwakilan politik militer.
3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi
bagi lembaga militer, terutama yang menyangkut peran sertanya dalam
pelaksanaan yang menyangkut kegiatan politik.
6. KERANGKA TEORI
6.1. Konsepsi Dwifungsi ABRI
Konsep sebagai kumpulan bangunan dasar dari teori. Konsep adalah eleman
abstrak yang menampilkan sekelompok fenomena dalam suatu bidang kajian. Setiap
konsep juga mengemukakan abstraksi, yaitu mencangkup cirri-ciri umum yang khas
dari fenomena yang dibicarakan itu. Sehingga informasi, tentang peristiwa empiric
yang menunjukkan keumuman (commonalitas) di antara feomena disebut konsep.23
Konsep dwifungsi dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian
ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan
tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam maupun di
bidang kesejateraan bangsa, dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan
pancasila dan uud 1945”
Oleh karena konsep didefenisikan sebagai kata-kata “penggambaran” yang
umum atas suatu fenomena, yang mana merupakan suatu kata penggambar yang
menunjukkan isi yang menjadi pusat/fokus teori kajian.
24
23 Mary Grisez Kweit. Konsep dan metode analisa politik. Jakarta: Bina aksara. 1986. hal 23. 24 Soebijono. Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gaja Mada University Press. Hal v
memiliki jiwa, mempunyai tekad smangat dan pengabdian di dalam dua bidang
hankam dan non-hankam.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jenderal TNI A.H. Nasution dalam
bukunya berjudul Kekaryaan ABRI yang terbit tahun 1971 mengenai pengertian atas
kosep Dwifungsi ABRI, yaitu:
a. Sebagai inti dan Pembina sistem HAMKAM RATA;
b. Sebagai salah satu kekuatan sosial dalam republik yang ikut serta,
bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lain dalam kenegaraan serta menuju
masyarakat yang adil dan makmur25
Dimana Dwifungsi ABRI merupakan martabat dan kepribadian ABRI yang
telah dimiliki dan dibina sejak tahun 1945 yang mentalnya terumus dalam
Saptamarga (semacam kode etik yang dimiliki oleh setiap temtara Indonesia) dan
pengalaman tersebut berwujud dalam Dwifungsi, dan telah dirumuskan dan
dikonstitusionilkan melalui ketentuan-ketentuan MPRS sejak Indonesia kembali ke
UUD 1945 pada tahun 1959.
Militer memiliki peranan yang dominan dalam sistem pilitik Indonesia dan hal
ini terlihat dalam dwi-fungsi ABRI dimana menurut Dr.T.B.Simatupang ; .
“…..bahwa dwi fungsi yaitu disatu pihak dia formal yang tidak lain adalah alat negara-yang menyatu dengan rakyat mulai dari suasana perang dahulu,sedikit banyak pemimpin rakyat-sebab negara yang mendirikan tentara itu, tanpa negara tidak ada tentara. Dipihak lain, tentara harus juga mampu mengatasi permasalahan yang timbul dalam rakyat khususnya mengenai pembangunan. Oleh karena itu TNI harus ikut serta didalam
memikirkan model pembangunan itu……….”26
25 Jenderal TNI A.H. Nasution. ibid. hal 63
Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah
menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi strategis
Golkar. Schwarz menyatakan:
” The doktrine of dwifungsi or dual function, has grown by leaps and bounds in the new order, allowing the military’s influence to percolate into virtually every nook and cranny of society. Military officers hold key positions all throught the government, from city majors, ambassadors and provincial governors, to seniors position in central government minister, regional bureaucracies, state owned enterprise, the judiciary, the umbrella labour union, Golkar and ini the cabinet itself”27
Pada tahun 1988 terbit sebuah ensiklopedia yang disusun oleh A. Heuken S.J.,
Yulia Gunawan, Herman Edison sinaga dan Ariesto Hadi berjudul Ensiklopedia
Popular Politik Pembangunan Pancasila, (Jakarta, yayasan Cipta Loka Caraka, Edisi
ke-6, 1988) yang antara lain juga membahas masalah Dwifungsi ABRI.dirumuskan
pengertian Dwifungsi ABRI sebagai penugasan tentara yang masih aktif dalam tugas
non-militer, khususnya dalam lembaga-lembaga pemerintahan baik yang legislatif
(DPR,MPR) maupun yang eksekutif (dari lurah sampai menteri). .
28
“Dwifungsi ABRI merupakan konsep politik yang bersifat tetap dan menjadi tata nilai yang berlanjut, lestari dan melekat dalam setiap generasi. Dwifungsi ABRI meupakan cirri khas dari sistem poltik demokrasi pancasila, dan sebagai cirri khas system politik demokrasi pancasila, Dwifungsi ABRI telah memperoleh legalitas formal structural dalam tap MPR dan perundang-Pendapat lain yang mengungkap konsep tentang Dwifungsi ABRI adalah
mantan Kasospol ABRI Letjen Syarwan Hamid yang mengatakan:
27 http://www.antikorupsi.org/docs/anggaranmiliterdanang.pdf/Posted by newblueprint on May/18/ 2008/
28 A. Heuken S.J., Yulia Gunawan, Herman Edison sinaga dan Ariesto Hadi berjudul
undangan, serta legalitas moral-kultural yang diakui sebagai suatu kebenaran, kewajaran, dan keharusan dalam demokrasi pancasila”.29
Dengan konsepsi militer menjadi suatu kekuatan dalam sistem politik
Indonesia dapat dipertegas dengan dikeluarkannya UU Tahun 1982 No. 20 tentang
‘Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara’. Pada pasal-pasalnya
disebut bahwa , “ Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahan
dan sebagai kekuatan sosial”.30
29 Syarwan Hamid. Dari Orde baru ke Orde Reformasi. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 1999. hal. 59
30
Dwi Pratomo. Op.cit. hal.37
Dengan begitu dalam menjalankan peranannya sebagai kekuatan sosial
militer berlaku sebagai dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan
sosial yang lain memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan
menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga tentara Indonesia sebagai
kekuatan politik harus ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah
kenegaraan dan pemerintah.
6.2. Teori Sistem Politik.
Analisis sistem politik merupakan salah satu bidang analisis yang menarik dan
penting. Apabila dikaitkan dengan pesatnya perkembangan jumlah dan aneka warna
jenis sistem politik di dunia. Studi terhadap sistem politik sebenamya sudah sangat
tua, bahkan sama tuanya dengan ilmu politik itu sendiri. Yang baru mungkin adalah
Secara garis besar perkembangan terhadap studi perbandingan politik dalam
bentuknya yang sekarang dimungkinkan oleh adanya dua hal.31
Paling tidak ada empat ciri dari gerakan ini. Pertama, sebagian besar kaum
“behavioral” menolak penempatan insitusi politik sebagai unit dasar analisis politik.
Tidak membuang lembaga politik formal sebagai obyek studi politik, tetapi mereka Pertama,
berkembang pesatnya perhatian sarjana-sarjana ilmu politik di barat terhadap wilayah
“baru” di luar Eropa dan Amerika Utara yang tercermin dalam sejumlah besar studi
kasus wilayah pada tahun 1940-an dan 1950-an. Studi yang sebagian besar didukung
oleh kepentingan politik Amerika Serikat ini memuat orientasi studi perbandingan
politik yang sebelumnya terbatas pada wilayah Eropa dan Amerika Utara menjadi
meluas dengan meliputi wilayah-wilayah asia, afrika, dan amerika latin, yang
dasar-dasar kehidupan politiknya sangat berlainan. Bahkan sejak itu studi perbandingan
politik sering kali diidentikkan dengan studi tentang wilayah-wilayah “baru” itu
sendiri yang kemudian melahirkan studi tentang masalah-masalah politik di
wilayah-wilayah “sedang berkembang”.
Yang kedua adalah banyaknya kemajuan yang dicapai dalam studi tingkah
laku yang sering disebut “behavioral approach”., yang kemudian banyak diterapkan
dalam penelitian kehidupan politik. “Pendekatan tingkah laku” mi timbul pada era
sesudah perang dunia kedua, terutama dekade lima puluhan dan kemudian menjadi
begitu berpengaruh ehingga terbentuk semacam gerakan dalam komunitas akademik
ilmu politik, yang disebut “behavioral movement”.
juga mempelajari gejala-gejala sosial yang bersifat politik. Jadi unit dasar analisis
mereka adalah individu dan kelompok. Kedua, mereka berasumsi tentang adanya
kesatuan ilmu-ilmu sosial. Setiap prilaku seseorang dianggap berkaitan dengan
prilakunya dalam bidang-bidang kegiatan lain dalam kehidupannya. Ketiga,
digalakkannya pengembangan dan pemanfaatan teknik-teknik yang menjamin kadar
ketepatan tinggi dalam observasi, kiarifikasi dan pengukuran data dan penerapan
metode-metode analisis matematik yang canggih. Keempat, mereka berpendapak
bahwa tujuan ilmu politik adalah pembentukan teori politi yang sistematik dan
empiric, yang bisa menhasilkan pengetahuan yang reliable, artinya bisa diulang oleh
peneliti yang berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda dengan hasil yang kurang
lebih sama, dan valid, maksudnya bisa menggambarkan dan menjelaskan secara tepat
kehidupan politik.
Dengan menekankan studi prilaku individu dan kelompok-kelompok, ilmu
politik bisa melepaskan din dan tradisi institusionalisme kaku yang hanya
memperhatikan lembaga-lembaga politik yang legal formal menurut konstitusi seperti
parlemen, birokrasi, eksekutif, dsb. Demikianlah, meluasnya perhatian para ilmuwan
barat kea rah masyarakat berkembang yang dikenalkannya pendekatan tingkah-laku
telah mempermudah usaha-usaha yang sama dan berlaku universal demi studi
terhadap ilmu politik dengan lebih tepat. Oleh karena itu mendorong para teoritisi
ilmu politik untuk menciptakan pendekatan atau kerangka analisis atau model lain
yang sekiranya dapat dengan lebih tepat menggambarkan kehidupan politik.
Pendekatan alternatif paling awal dan paling spektakuler yang menggambarkan
“analisis sistem” (general systems analysis) oleh David Easton dan
“struktur-fungsional” (Struktur-funcional analysis) oleh GABRIel A. Almond. Dengan
menggunakan kedua pendekatan mi, kedua teoritisi tokoh “behavioralis” mi
mengembangkan kategori-kategori analisis yang lebih tepat dan universal.
Untuk dapat mengetahui pengertian sistem politik, maka terlebih dahulu kita
harus mengetahui apa arti sistem dan apa arti politik.Menurut Sukarna sistem adalah
sesuatu yang berhubungan satu sama lain, sehingga membentuk satu kesatuan.
Dengan demikian ada tiga unsur dalam sistem yaitu32
1. Faktor-faktor yang dihubungkan;
:
2. Hubungan yang tidak dipisahkan antara faktor-faktor tersebut;
3. Karena hubungannya, maka membentuk suatu kesatuan.
Carl J. friedrich dalam buku Man And His Government mengemukakan
defenisi sistem sebagai berikut : apabila beberapa bagian yang berlainan dan berbeda
satui sama lain membentuk satu kesatuan, melaksanakan hubungan fungsional yang
tetap satu sama lainnya serta mewujubkan bagian-bagian itu saling tergantungan satu
sama lain.33 Sistem adalah suatu interaksi diantara unit-unit yang dapat
diidentifikasikan guna mencapai tujuan tertentu.34
Deliar Noer dalam Pengantar ke Pemikiran Politik : “Politik memusatkan
perhatian kepada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.
Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula
32 Drs. Sukarna. Sistem Politik. Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti. 1990 hal. 13
pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relative baru. Diluar
bidang hukum sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah ada. Hanya
dalam zaman modern ini memang kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara”35
Dan menurut Ossip K. flechtheim bahwa “politik adalah yang mempelajari
sifat khusus dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan,
beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi yang dapat
mempengaruhi negara”.
.
36
1. Sistem pemerintahan;
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sistem politik berhubungan dengan :
2. Sistem kekuasaan untuk mengatur hubungan individu atau kelompok individu
satu sama lain atau dengan negara dan antara negara dengan negara.
Defenisi sistem politik menurut GABRIel Almond :”……… sistem politik
adalah interaksi dijumpai di semua masyarakat independen yang membentuk integrasi
dan adaptasi melalui employment, ancamant employment, atau paksaan yang bersifat
fisik.”37
Menurut GABRIel Almond bahwa sistem politik pada hakekatnya
melaksanakan fungsi-fungsi mempertahankan kesatuan masyarakat, menyesuaikan
dan merubah unsur pertautan hubungan, agama dan system ekonomi, melindungi satu Yang mana menitikberatkan arti penting interaksi, funsi pokok sistem dan
struktur sebagai sehimpunan peran yang saling bertalian. Basis penting dalam sistem
politik adalah penentuan hubungan diantara fungsi dan struktur.
35 lihat dalam Deliar Noer. Pengantar ke Pemikiran Politik. Medan: Dwipa 1965. hal 65 yang dikutip dalam Miriam Budiardjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005. hal 10