• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Kepemimpinan dalam Kerangka Manajemen

2. Peranan Manajer sebagai Pemimpin

Mintzberg (dalam Thoha, 2005: 265) berpendapat bahwa walaupun ada perbedaan peranan diantara manajer, tetapi pada hakikatnya setiap manajer memiliki peranan yang sama, yaitu peranan yang bersifat interpersonal, bersifat informasional dan sebagai pengambil keputusan.

Peranan yang bersifat interpersonal yang meliputi: a) figurehead yaitu suatu peranan yang dilakukan untuk mewakili organisasi yang dipimpinnya di dalam setiap kesempatan dan persoalan yang timbul secara formal. Misalnya sebagai pemimpin satuan organisasi kadang-kadang harus tampil dalam berbagai upacara resmi dan undangan; (b) sebagai leader yaitu seorang pemimpin harus mampu memberi motivasi kepada bawahan; (c) sebagai perantara (liaison manager) yaitu pemimpin harus mampu mengembangkan

hubungan kerja sama dan berinteraksi, bukan hanya dengan bawahan melainkan dengan lingkungan kerja di luar satuannya.

Peranan yang bersifat informasional meliputi: (a) peranan sebagai pemonitor yaitu pemimpin harus selalu mengikuti dan memperoleh segala macam informasi seluruh proses kegiatan di satuan kerjanya; (b) peranan sebagai dissiminator yaitu pemimpin harus selalu memberikan informasi kepada bawahan setiap hal yang berkaitan dengan satuan kerjanya; (c) berperan sebagai juru bicara (spokesman) yaitu pemimpin itu sendiri yang menyampaikan informasi tentang satuan kerjanya keluar dan tidak dapat disalurkan melalui orang lain.

Peranan sebagai pengambil keputusan antara lain: a) entrepeneur yaitu pemimpin harus selalu berusaha memperbaiki dan mengembangkan satuan kerja yang dipimpinnya serta berusaha menciptakan ide atau gagasan baru; (b)

disturbande handle atau penghalau gangguan yakni orang yang mampu mengatasi segala macam kesulitan atau yang bertanggung jawab terhadap organisasi ketika organisasinya terancam bahaya; (c) resource allocator atau peranan sebagai pengatur segala macam sumber yang ada sehingga masing-masing sumber dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif dalam mendukung pencapaian tujuan organisasi; (d) peranan sebagai negosiator, peranan ini meminta kepada manajer untuk selalu bepartisipasi dalam arena negosiasi.

3. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan ( style of leadership) dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu (Ranupandojo & Husnan, 1989: 224).

Setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Likert (dalam Thoha, 2005: 314) ada empat gaya kepemimpinan yaitu: explosive atau authoritative/ gaya otoriter, benevolent authoritative/ gaya otoriter yang bijaksana, consultative/ gaya konsultatif dan participatif management/ gaya partisipasif.

Gaya kepemimpinan explosive atau otoriter memiliki bebarapa ciri, yaitu: a) pemimpin menentukan semua keputusan yang bertalian dengan seluruh pekerjaan, dan memerintahkan semua bawahan untuk melaksanakannya; b) pemimpin menentukan standar bagaimana bawahan melakukan tugas; c) pemimpin memberikan ancaman dan hukuman kepada bawahan yang tidak berhasil melaksanakan tugas-tugas yang telah ditentukan; d) pemimpin atau manajer kurang percaya terhadap bawahan dan sebaliknya bawahan tidak atau sedikit sekali terlibat dalam proses pengambilan keputusan; dan e) atasan dan bawahan bekerja dalam suasana saling mencurigai.

Gaya kepemimpinan benevolent authoritative/ otoriter yang bijaksana menunjukkan karakteristik seperti: a) manajer atau pemimpin menyampaikan berbagai peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas atau perintah, dan

sebaliknya bawahan diberi kebebasan untuk memberikan pendapatnya; b) bawahan diberikan kelonggaran atau fleksibilitas dalam melaksanakan tugas-tugas, tetapi dengan hati-hati diberi batasan serta berbagai prosedur; c) bawahan yang berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya diberikan hadiah atau penghargaan, disamping adanya sanksi-sanksi bagi mereka yang kurang berhasil sebagai dorongan; dan d) hubungan antara atasan dan bawahan dalam suasana yang baik.

Pada gaya kepemimpinan consultative/ konsultatif pemimpin memiliki ciri-ciri: a) Manajer atau pemimpin menentukan tujuan, dan mengemukakan berbagai ketentuan yang bersifat umum, sesudah melalui proses diskusi dengan para bawahan; b) Bawahan dapat mengambil keputusan sendiri terhadap bagaimana melaksanakan tugas-tugasnya dalam batas-batas tertentu, sedang beberapa hal tertentu sepenuhnya menjadi keputusan atasan; c) Penghargaan dan hukuman diberikan dalam rangka memberikan dorongan kepada bawahan; d) Para bawahan merasa bebas untuk berdiskusi dengan atasan mengenai hal-hal yang bertalian tugas pekerjaanya; e) Manajer atau pemimpin mempunyai kepercayaan dan keyakinan kepada bawahan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik; dan f) Tercipta hubungan dua arah antara atasan dengan bawahan dengan baik.

Sedangkan beberapa ciri gaya kepemimpinan partisipasif yaitu: a) dalam rangka penentuan tujuan dan pengambilan keputusan ditentukan oleh kelompok/bersama; b) apabila pemimpin secara formal perlu mengambil keputusan, dilakukan setelah adanya saran dan pendapat bersama para

bawahan; c) hubungan kerja sama antara atasan dan bawahan terjadi dalam suasana yang penuh persahabatan dan saling percaya-mempercayai; dan d) motivasi terhadap bawahan tidak hanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ekonomis, melainkan juga didasarkan atas pentingnya pengakuan peranan para bawahan dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.

Organisasi yang tidak produktif biasanya disebabkan adanya kecenderungan pemimpin kearah perilaku gaya otoriter dan otoriter yang bijaksana. Sebaliknya produktivitas tinggi yang dapat dicapai oleh suatu organisasi banyak ditentukan oleh adanya gaya kepemimpinan yang konsultatif atau partisipatif.

Gaya partisipasi ditujukan bagi bawahan dengan tingkat perkembangan dari sedang sampai tinggi. Bawahan dengan tingkat perkembangan seperti ini memiliki kemampuan tetapi tidak berkemauan. Ketidakmauan mereka pada umumnya disebabkan karena kurangnya keyakinan atas kemampuan itu. Apabila bawahan merasa yakin atas kemampuannya tapi tidak mau, maka hal itu semata-mata merupakan masalah motivasi. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (suportif tinggi) dan secara aktif mendengar keluhan bawahan serta mendorong bawahan menggunakan kemampuan yang dimiliki.

Bagi bawahan dengan tingkat perkembangan seperti hal di atas gaya partisipasi memiliki tingkat efektif paling tinggi. Gaya ini disebut partisipasi karena antara pemimpin dan bawahan saling tukar menukar ide dalam pengambilan keputusan (Dharma, 1984: 45).

Dokumen terkait