BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
C. Pembahasan
4. Peranan Persepsi Kontrol Perilaku dalam Intensi Pembelian
Selanjutnya, dari analisa data didapatkan hasil bahwa persepsi kontrol perilaku tidak berperan terhadap intensi pembelian Samsung smart TV, sehingga hipotesis tambahan, yaitu persepsi kontrol perilaku berperan dalam intensi pembelian Samsung smart TV, ditolak. Hasil penelitian peranan persepsi kontrol perilaku terhadap intensi pembelian Samsung smart TV dalam penelitian ini mungkin dipengaruhi oleh aitem pada skala intensi yang lebih mengarahkan pada atribut Samsung smart TV daripada intensi membeli Samsung smart TV.
Persepsi kontrol perilaku didefinisikan oleh Ajzen (1991) sebagai kemudahan atau kesulitan untuk melakukan perilaku. Persepsi kontrol perilaku ini merefleksikan pengalaman masa lalu dan mengantisipasi halangan-halangan yang ada sehingga semakin menarik sikap dan norma subjektif terhadap perilaku,
semakin besar persepsi kontrol perilaku, semakin kuat pula intensi seseorang untuk melakukan perilaku tersebut. Ketika individu membentuk intensi, individu memperkirakan seberapa besar kontrol yang dimiliki terhadap perilaku (Semin dan Fiedler, 1996) dan memperkirakan kendala-kendala yang dipersepsikan oleh individu yang dapat menghambat perilakunya (Sarwono, 1997). Sehingga semakin seseorang memandang banyak kemudahan yang ia dapatkan, maka semakin positif persepsi kontrol perilaku yang dimilikinya, yang menyebabkan intensinya untuk melakukan perilaku tersebut akan semakin besar. Sebaliknya, apabila individu tidak mendapatkan kemudahan, maka semakin negarif persepsi kontrol perilaku yang dimilikinya.
Peranan persepsi kontrol perilaku dalam penelitian ini juga berhubungan dengan latar belakang subjek, seperti aspek pribadi, sosial dan informasi. Pada penelitian ini, peneliti melalukan wawancara dengan beberapa subjek peneliian untuk mengungkap persepsi kontrol perilaku yang dimilikinya dalam intensi membeli Samsung smart TV. Subjek mengaku tidak pernah mengoperasikan Samsung smart TV, sehingga tidak memiliki pengalaman menggunakannya, tetapi pernah menonton di Samsung smart TV milik teman, menurutnya pengalaman menonton di Samsung smart TV sangat menyenangkan, subjek bebas menonton program apapun yang ingin ditonton, namun subjek tidak harus memiliki smart TV sendiri di rumah.
“Enak kok nonton pake Samsung smart TV, saya mau nonton apa
aja bisa, misalnya lagi pengen nonton drama ada, film action juga ada, semua ada deh pokoknya. Sekalian saya bisa nge-hack
account facebook-nya pas dia gak ada.. hehe”
“Walaupun enak, tapi saya jarang nonton TV, yaudah nonton
punya temen aja, gausa harus beli kan. Lagian TV saya belum
rusak ngapain beli baru lagi”
(Komunikasi personal, 5 Mei 2014)
Ada juga subjek mengaku juga jarang menonton televisi, hanya pada waktu liburan, apabila berada di rumah, sehingga televisi tidak menjadi barang yang terlalu penting baginya. Mayoritas subjek penelitian adalah orang yang sudah bekerja (full-time), sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk menonton televisi (kurangnya sumber untuk membentuk perilaku membeli).
“Saya jarang sih nonton TV, kadang-kadang aja pas liburan atau
minggu, itu pun kalo pas aku ada di rumah, kalo gak ya pigi juga. Saya sering lembur.. sampe rumah aja udah jam 9 lebih, uda capek lah mana ada waktu lagi mau nonton TV, kan besoknya mau kerja lagi.”
(Komunikasi personal, 5 Mei 2014)
Selain itu, ada pula subjek yang mengaku tidak pernah mengoperasikan Samsung smart TV sehingga tidak memiliki pengalaman menggunakannya (kurangnya kesempatan untuk membentuk perilaku membeli).
“Aku aja gak pernah liat apa itu smart TV apalagi pake smart TV.
Cuma pernah denger aja. Cuman tau bisa internet, cuman cara
kerjanya gimana sama sekali gak tau.”
“Gak banyak yang pake, cuman bilang keren aja. Mungkin buat
orang yang lagi mau beli TV ya bisa beli smart TV Samsung itu ya, tapi kan gak mungkin juga aku yang lagi punya TV biasa sekarang pigi ganti smart TV Samsung. Walau keren tapi kan gak perlu aja”
Hasil wawancara dengan beberapa subjek menunjukkan bahwa kontrol perilaku subjek penelitian tidak kuat, sehingga persepsi kontrol perilaku tidak berperan dalam intensi pembelian Samsung smart TV.
Dengan adanya analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis utama pada penelitian ini diterima, yaitu variabel
sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol perilaku berperan positif dalam intensi pembelian Samsung smart TV. Selain itu, hipotesis tambahan (1) dan (2) diterima, yaitu masing-masing variabel sikap dan norma subjektif memiliki peranan dalam intensi pembelian Samsung smart TV, sedangkan hipotesan tambahan (3) ditolak, yaitu variabel persepsi kontrol perilaku tidak berperan dalam intensi pembelian Samsung smart TV.
68
Pada bab ini akan disimpulkan jawaban-jawaban dari permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Selanjutnya, pada akhir bab, peneliti akan memberikan saran bagi konsumen, pemasar, dan peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan tema yang berkaitan dengan penelitian ini.
A.Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa:
1. Sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol perilaku berperan positif yang signifikan dalam intensi membeli Samsung smart TV dapat diterima;
2. Norma subjektif adalah aspek yang paling berperan dalam intensi pembelian Samsung smart TV;
3. Sikap dan norma subjektif masing-masing berperan positif yang signifikan dalam intensi pembelian Samsung smart TV;
4. Persepsi kontrol perilaku tidak berperan dalam intensi pembelian Samsung smart TV.
B.Saran
1. Saran Metodologis
Pada penelitian ini diperoleh nilai Adjusted R-Squaresebesar 0,632 yang berarti bahwa sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol perilaku memberikan
sumbangan efektif sebesar 63,2% dalam meningkatkan intensi pembelian Samsung smart TV, selebihnya 36,8% intensi pembelian Samsung smart TV dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Sehubungan dengan hal ini, maka disarankan kepada peneliti selanjutnya yang berminat meneliti intensi membeli Samsung smart TV untuk mengkaji faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi intensi, misalnya fakor kepribadian, demografi, faktor lingkungan, usia, tingkat sosial, dan latar belakang pendidikan. Skala intensi pada penelitian ini hanya mencakup perilaku dan sasaran (objek), sehingga untuk peneliti selanjutnya dapat mengukur intensi dengan menggunakan keempat faktor intensi yang mencakup perilaku, sasaran, situasi, dan waktu; ataupun dapat menggunakan skala intensi yang diadaptasi dari Ajzen & Fishbein untuk memperoleh hasil pengukuran yang lebih akurat.
Selain itu, konstruk aitem pada skala ini masih memiliki kekurangan. Aitem pada skala sikap terhadap Samsung smart TV dalam penelitian ini belum mengukur sikap subjek terhadap Samsung smart TV secara menyeluruh, sehingga diharapkan peneliti selanjutnya agar dapat membuat konstruk aitem yang lebih dapat menjelaskan sikap terhadap perilaku sesuai dengan teori perilaku terencana oleh Ajzen (2005).
2. Saran Praktis
a. Variabel persepsi kontrol perilaku merupakan variabel yang tidak berperan terhadap intensi membeli Samsung smart TV. Oleh karena itu, diharapkan
produsen melakukan pameran demonstrasi Samsung smart TV di berbagai pusat perbelanjaan di kota Medan.
b. Mengingat variabel sikap dalam penelitian ini memiliki peran yang rendah (dibanding norma subjektif) terhadap intensi membeli Samsung smart TV, disarankan kepada produsen agar dapat lebih banyak mempromosikan Samsung smart TV melalui media sosial, seperti facebook, twitter, email, dan lebih menonjolkan kelebihan-kelebihan Samsung smart TV dibanding TV biasa, serta meyebarluaskan video-video pengalaman menggunakan Samsung smart TV termasuk fitur-fitur yang dimilikinya.
c. Karena norma subjektif merupakan penyumbang terbesar terhadap intensi membeli Samsung smart TV, disarankan kepada para pemasar untuk mengembangakan pemasaran melalui konsumen yang telah menggunakan Samsung smart TV, misalnya dengan memberikan harga khusus atas rekomendasi dari orang lain.
A. Intensi Membeli
Intensi membeli adalah motivasi atau keinginan yang menunjukkan adanya usaha atau kesiapan seseorang untuk menampilkan perilaku membeli. Semakin besar intensi seseorang membeli, semakin besar pula peluang perilaku membeli (Rahmah, 2011). Dalam hal ini adalah perilaku membeli Samsung smart TV.
Menurut Fishbein, sikap dan norma subjektif tidak secara langsung mempengaruhi tingkah laku, melainkan menentukan intensi terlebih dahulu yang akhirnya akan berubah menjadi suatu perilaku membeli (Engel, Blackwell, Miniard, 1995). Selanjutnya, menurut Kotler (1998), intensi membeli merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan membeli sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi intensi membeli kurang lebih sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli. Ada lima faktor yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi intensi membeli, yaitu motivasi, persepsi, belajar, kepercayaan, dan sikap.
Faktor yang mempengaruhi keputusan membeli dibagi menjadi dua kelompok antara lain : faktor yang berasal dari lingkungan (eksternal) dan bersifat individu (internal). Faktor eksternal mencakup budaya, sub budaya, kelas sosial, demografi, pengaruh kelompok, keluarga, dan aktivitas pemasaran. Faktor internal
mencakup persepsi, belajar, ingatan, gaya hidup, sikap, serta motivasi dan kepribadian (Hawkins, 2007).
Penelitian yang dilakukan (Ang, Cheng, Lim, & Tambhyah 2001) menemukan bahwa konsumen memiliki niat beli terhadap produk tiruan. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor: perceived risk in buying fake product; perceived harm / benefits to singer, music industry, and society; morality of buying fake products; social influence, dan personality factor. Penelitian yang dilakukan (Sahin, 2011) menemukan adanya niat beli konsumen terhadap produk tiruan merek mewah. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor: Price-Quality Inference, Social Effect, Brand Loyalty, dan Ethical Issues. Penelitian yang dilakukan (Wilcox al. , 2009) menyatakan bahwa konsumen memiliki niat yang lebih tinggi dari pembelian produk tiruan bermerek mewah, ketika mereka terkena konten sosial dalam iklan dari produk bermerek mewah tersebut.
Menurut Peter dan Olson (2002) intensi membeli didasari atas sikap konsumen yang mengarah pada pembelian merek spesifik, norma subjektif yang mempengaruhi harapan individu. Sikap konsumen yang mengarah pada pembelian merek spesifik didasari atas tujuan akhir yang terikat dengan keyakinan mengenai konsekuensi dan nilai yang diasosiasikan dengan perilaku membeli atau menggunakan merek. Sedangkan norma subjektif mengacu pada faktor sosial berupa keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif (harapan orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan norma. Kemudian Ajzen (2005) menambahkan aspek kontrol perilaku yang dihayati yaitu keyakinan tentang ada
atau tidaknya faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghalangi performansi perilaku individu dan kekuatan kontrol individu untuk mewujudkan perilakunya.
Intensi dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku, merupakan sesuatu yang sifatnya khusus dan mengarah pada dilakukannya suatu perilaku khusus dalam situasi khusus pula (Ajzen, 2005). Kekhususan intensi tersebut memiliki 4 aspek:
a. Perilaku, yaitu perilaku khusus yang nantinya akan diwujudkan. Perilaku dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perilaku yang umum dan perilaku yang spesifik. Dalam hal penelitian ini, perilaku yang dimaksud adalah perilaku yang spesifik, yaitu perilaku membeli Samsung smart TV.
b. Tujuan target, yaitu siapa yang akan menjadi tujuan perilaku khusus tersebut. Komponen ini terdiri dari particular object (orang tertentu), a class of object (sekelompok orang tertentu), dan any object (orang-orang pada umumnya). Dalam konteks membeli Samsung smart TV, objek yang dapat menjadi sasaran perilaku dapat berupa tersedianya uang.
c. Situasi, yaitu dalam situasi yang bagaimana dan dimana perilaku itu diwujudkan. Situasi dapat diartikan juga sebagai lokasi perilaku itu akan dimunculkan.
Pada penelitian ini, situasi membeli Samsung smart TV adalah ketika individu merasa ia membutuhkan televisi yang canggih, yang dapat memenuhi segala kebutuhannya.
d. Waktu, yaitu menyangkut kapan dan berapa lama suatu perilaku akan diwujudkan.
Konsumen akan mengevaluasi karakteristik dari berbagai produk atau merek yang mungkin paling memenuhi keuntungan yang diinginkannya, penentuan kapan akan membeli, dan memungkinkan finansialnya (Soderlund & Ohman, 2003). Setelah ia menemukan tempat yang sesuai, waktu yang tepat, dan dengan didukung oleh daya beli, maka kegiatan pembelian dilakukan. Sekali konsumen melakukan pembelian, maka evaluasi pasca pembelian terjadi. Jika kinerja produk sesuai dengan harapan konsumen, maka konsumen akan puas. Jika tidak, kemungkinan pembelian akan berkurang.
Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam pengukuran intensi membeli adalah bahwa setiap elemen tersebut memiliki variasi pada tingkat kespesifikan dimensinya. Pada tingkat yang paling spesifik, seseorang akan menampilkan perilaku membeli tergantung objeknya dalam situasi dan waktu tertentu.
Intensi terbentuk ketika seorang individu membuat rencana untuk melakukan suatu perilaku di waktu yang akan datang. Menurut Anoraga (2000), intensi atau niat beli merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh konsumen sebelum mengadakan pembelian atas produk yang ditawarkan atau yang dibutuhkan oleh konsumen tersebut.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana komponen sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol perilaku mempengaruhi intensi pembelian Samsung smart TV. Jika konsumen telah mempunyai intensi membeli akan suatu produk, maka perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi keputusan membeli pada konsumen. Hal ini dapat berlanjut hingga konsumen mendapatkan kepuasan
dari produk, maka konsumen akan tetap konsisten dan setia membeli produk dengan merek tersebut. Bahkan pada tingkat yang lebih jauh, konsumen akan merekomendasikan produk tersebut kepada orang lain untuk ikut membeli (Soderlund & Ohman, 2003).
Berdasarkan berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa intensi membeli adalah suatu niat atau keinginan seseorang untuk membeli sesuatu baik itu berupa barang maupun jasa yang akan segera diwujudkan dalam perilakunya (membeli).
B.Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)
Theory of Reasoned Action (Fishbein, 1967; Fishbein & Ajzen, 1975) merupakan salah satu teori yang paling berpengaruh dalam memprediksi perilaku manusia dan pengaturan perilaku. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh intensi berperilaku yang mana intensi berperilaku ini dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku dan norma subjektif.
Komponen pertama, sikap terhadap perilaku, adalah fungsi dari konsekuensi yang dirasakan orang diasosiasikan dengan perilakunya. Komponen kedua, norma subjektif, merupakan fungsi keyakinan mengenai harapan pentingnya rujukan dari orang lain dan motivasi individu mengikuti rujukan tersebut. Teori ini sangat didukung oleh penelitian empiris mengenai perilaku konsumen dan literatur yang berhubungan dengan psikologi sosial (Ryan, 1982; Sheppard, Hartwick, & Warshaw, 1988). Namun teori ini memiliki keterbatasan memprediksi intensi berperilaku dan perilaku individu ketika konsumen tidak
memiliki kontrol kehendak (vocational control) atas perilaku mereka (Ajzen, 1991; Taylor & Todd, 1995). Teori Perilaku Terencana (Theory Planned Behavior) dibuat untuk menutupi kekurangan ini (Ajzen, 1991). Teori ini menambahkan 1 komponen yang dapat mempengaruhi intensi berperilaku dan perilaku individu, yaitu persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control). Ajzen (2005) menjelaskan bahwa perilaku seseorang tidak hanya dikendalikan oleh dirinya sendiri, tetapi juga membutuhkan kontrol berupa ketersediaan sumber daya dan kesempatan bahkan keterampilan tertentu. Dengan demikian, banyaknya dan besarnya kontrol ini akan menentukan tampilnya perilaku tertentu. Persepsi kontrol perilaku ini lebih penting dalam mempengaruhi intensi berperilaku seseorang khususnya ketika perilaku tersebut tidak sepenuhnya dibawah kontrol kehendak. Misalnya ketika seseorang hendak membeli sebuah produk yang inovatif, konsumen tidak hanya memerlukan sumber daya yang cukup (waktu, informasi, uang, dll) tetapi lebih kepada keyakinan diri dalam membuat keputusan yang benar. Oleh karenanya, persepsi kontrol perilaku menjadi faktor penting dalam memprediksi intensi berperilaku seseorang dalam kondisi tersebut. Teori perilaku terencana telah mendapat banyak dukungan pada studi-studi empiris mengenai konsumsi dan literatur yang berhubungan dengan psikologi sosial (Ajzen, 1991; Ajzen & Driver, 1992; Ajzen & Madden, 1986; Taylor & Todd, 1995).
Gambar 2.1 Theory of Planned Behavior
Sumber: http://www.cancer.gov/cancertopics/cancerlibrary/theory.pdf (Croyle, 2005) dan Theory of Planned Behavior (Ajzen , 2005)
B.1 Sikap terhadap Perilaku (Attitude Toward the Act) B.1.1 Definisi Sikap terhadap Perilaku
Sikap terhadap perilaku merupakan salah satu dari konsep atau konstruk dalam psikologi yang melibatkan proses dasar psikologis seseorang tentang suatu objek maupun suatu kejadian yang ada dalam pengalaman hidupnya. Sikap atau attitude berasal dari Bahasa Latin, yaitu aptus yang berarti sesuai atau cocok dan siap untuk bertindak atau berbuat sesuatu. Pengertian sikap menurut bahasa asalnya ini diartikan sebagai sesuatu yang dapat diamati secara langsung. Hogg & Vougham, 2002, menganggap bahwa sikap merupakan suatu konstruk yang tidak dapat diamati atau dilihat secara langsung. Akan tetapi sikap dapat dijadikan sebagai salah satu determinan dalam memprediksi perilaku dan sebagai arahan dalam mengambil suatu keputusan.
Fishbein & Ajzen (1975) mengartikan attitude atau sikap sebagai suatu faktor predisposisi atau faktor yang ada dalam diri seseorang yang dipelajari untuk memberikan respon dengan cara yang konsisten, yaitu suka atau tidak suka pada penilaian terhadap suatu objek yang diberikan.
Untuk memahami dan mengamati seseorang terhadap objek tertentu maka keyakinan seseorang terhadap objek tersebut adalah salah satu bagian penting yang tidak boleh ditinggalkan. Fishbein & Ajzen (1975) menyatakan bahwa keyakinan mewakili informasi-informasi yang melekat pada objek sikap. Keyakinan ini mewakili atribut-atribut yang terdapat pada suatu objek.
B.1.2 Komponen Sikap terhadap Perilaku
Berdasarkan teori perilaku terencana (Theory of Planned Behavior) oleh Ajzen (2005), sikap terdiri dari 2 komponen yaitu evaluasi terhadap konsekuensi perilaku (outcome evaluation) dan keyakinan akan perilaku tersebut (behavioral beliefs).
Sikap adalah keyakinan positif atau negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu. Keyakinan-keyakinan atau beliefs ini disebut dengan behavorial beliefs. Seseorang individu akan berniat untuk membeli smart TV ketika ia menilainya secara positif. Sikap ditentukan oleh keyakinan-keyakinan individu mengenai konsekuensi dari menampilkan suatu perilaku (behavioral beliefs), ditimbang berdasarkan hasil evaluasi terhadap konsekuensinya (outcome evaluation). Contoh : Seseorang percaya bahwa smart TV akan memberinya informasi yang up-to-date setiap harinya. Sikap-sikap tersebut dipercaya memiliki
pengaruh langsung terhadap intensi pembelian smart TV dan dihubungkan dengan norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku.
B.2 Norma Subjektif (Subjective Norm) B.2.1 Definisi Norma Subjektif
Norma subjektif merupakan determinan kedua terbesar akan intensi dalam teori perilaku terencana, disebut juga sebagai fungsi dari keyakinan. Keyakinan individu bahwa individu atau kelompok lain setuju atau tidak setuju untuk menampilkan sebuah perilaku; atau refrensi sosial itu sendiri terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku tersebut.
Norma subjektif adalah keyakinan individu mengenai harapan orang-orang sekitar yang berpengaruh (significant other) baik perorangan maupun perkelompok untuk menampilkan perilaku tertentu atau tidak (Ajzen, 2005).
Refrensi yang penting pada kebanyakan perilaku termasuk orang tua individu tersebut, pasangan, sahabat, teman kerja, dan tergantung pada perilaku yang dimaksud, mungkin dokter dan akuntan pajak (Ajzen, 2005). Keyakinan yang mendasari keyakinan norma subjektif ini disebut juga dengan keyakinan normatif (normative beliefs).
B.2.2 Komponen Norma Subjektif
Dalam teori perilaku terencana (Ajzen,2005) dijelaskan bahwa norma subjektif memiliki 2 komponen yaitu keyakinan normatif (normative beliefs) dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (motivation to comply).
Keyakinan subjektif diasumsikan sebagai suatu keyakinan mengenai harapan orang lain terhadap dirinya yang menjadi acuan untuk menampilkan
perilaku atau tidak Keyakinan-keyakinan yang termasuk dalam norma subjektif disebut juga keyakinan normatif (normative beliefs). Seseorang individu akan berniat membeli smart TV jika ia mempersepsikan bahwa orang lain yang penting berpikir ia seharusnya membelinya dan adanya motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut (motivation to comply). Orang lain yang penting tersebut bisa pasangan, sahabat, dokter, dsb. Hal ini diketahui dengan cara menanyai responden untuk menilai apakah orang lain yang penting tersebut cenderung akan setuju atau tidak setuju jika ia membeli smart TV.
Norma subjektif dapat diukur secara langsung dengan meminta responden untuk menilai seberapa besar kemungkinan bahwa orang yang penting bagi dirinya akan menyetujui perilaku yang akan ditunjukkannya.
B.3 Persepsi Kontrol Perilaku (Perceived Behavioral Control) B.3.1Definisi Persepsi Kontrol Perilaku
Prediktor terakhir terhadap intensi perilaku dalam teori perilaku terencana adalah persepsi kontrol perilaku. Persepsi kontrol perilaku dalam teori perilaku terencana (Ajzen, 1991) didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap sulit tidaknya melaksanakan perilaku yang diinginkan, tekait dengan keyakinan akan tersedia atau tidaknya sumber dan kesempatan yang diperlukan untuk mewujudkan perilaku tertentu. Persepsi kontrol perilaku ini juga merupakan fungsi dari keyakinan, keyakinan tentang hadir tidaknya faktor yang mengfasilitasi atau menghambat tampilnya sebuah perilaku (Ajzen, 2005). Keyakinan ini dapat berupa bagian dari pengalaman individu terhadap perilaku tersebut, tapi biasanya juga akan dipengaruhi oleh informasi dari orang lain
mengenai perilaku tersebut, dengan mengobservasi pengalaman teman atau kenalan, dan oleh faktor lain yang menaikkan atau menurunkan kesulitan yang dirasakan untuk menampilkan sebuah perilaku. Semakin besar sumber daya dan kesempatan yang dirasa individu dan semakin sedikit halangan yang diharapkan individu, semakin besar persepsi kontrol perilaku individu.
B.3.2Komponen Persepsi Kontrol Perilaku
Persepsi kontrol perilaku dalam teori perilaku terencana (Ajzen, 2005) terdiri dari 2 komponen yaitu keyakinan kontrol (control beliefs) dan kekuatan dari kontrol perilaku tersebut (power of control factors).
Persepsi kontrol perilaku menunjuk pada suatu derajat dimana seseorang individu merasa bahwa tampil atau tidaknya suatu perilaku yang dimaksud adalah dibawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan membentuk suatu intensi yang kuat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber atau kesempatan untuk melakukannya meskipun ia memiliki sikap positif dan ia percaya bahwa orang lain yang penting baginya akan menyetujuinya. Keyakinan pada persepsi kontrol perilaku disebut juga dengan keyakinan kontrol (control beliefs). Selain keyakinan kontrol, persepsi kontrol perilaku dipengaruhi juga oleh persepsi individu mengenai seberapa kuat kontrol tersebut untuk mempengaruhi dirinya dalam memunculkan tingkah laku sehingga memudahkan atau menyulitkan pemunculan tingkah laku tersebut (power of control beliefs). Persepsi kontrol perilaku dapat mempengaruhi pembelian smart