• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian manfaat pemakaian vitamin C telah lama dilakukan. Vitamin C awalnya diketahui memiliki efek antiskorbutik dan telah dipakai sebagai terapi antiskorbutik sejak awal penemuannya. Penelitian efek anti kanker vitamin C juga telah diteliti sejak lama. Vitamin C diketahui dapat digunakan sebagai terapi kanker sejak tahun 1949 dan tahun 1952 vitamin C di pakai sebagai obat kemoterapi (Duconge et al. 2008). Semua manfaat pemakaian vitamin C didapat karena vitamin C diketahui memiliki banyak manfaat. Salah satu mekanisme patogenesis PPOK adalah terjadinya peningkatan produksi ROS sehingga beban stres oksidatif meningkat (Barnes, 2014). Vitamin C diketahui memiliki efek antioksidan dengan membantu memelihara DNA, protein, lemak, enzim, dan membantu antioksidan lainnya sehingga selalu dalam bentuk normalnya (Ge et al. 2008). Vitamin C mampu menetralisir radikal bebas atau scavenger radikal bebas dan dapat menghambat proses peroksidasi lipid sehingga konsentrasi ROS turun dan beban stres oksidatif menurun. Vitamin C mudah larut dalam air sehingga dapat bekerja intraseluler dan ekstraseluler dalam melawan radikal

bebas (Aysun, 2009; Padayatty et al. 2003). Padayatty et al. (2003) menyebutkan beberapa golongan senyawa yang dapat dinetralisir oleh vitamin C antara lain :

a. Senyawa yang kehilangan pasangan elektronya seperti ROS, RNS, dan radical sulphur species (RSS). Vitamin C berperan sebagai scavenger ROS.

b. Senyawa yang bersifat reaktif tetapi bukan radikal, misalnya asam hipoklorid, nitrosamin, asam nitrat, dan ozon.

c. Senyawa radikal antara yang dibentuk dalam metabolisme tubuh dan saat berikatan dengan vitamin C dirubah kembali menjadi bentuk nonradikalnya. Contoh senyawa tersebut adalah radikal α-tocopherol.

d. Reaksi transisi yang melibatkan besi dan tembaga.

Penyakit paru obstruktif kronik terjadi akibat peningkatan respons inflamasi kronik saluran napas dan paru terhadap berbagai partikel atau gas beracun, sehingga inflamasi merupakan salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya PPOK. Vitamin C memiliki efek sebagai anti inflamasi (Barnes, 2014; Carcamo et al. 2004). Vitamin C dapat berperan sebagai anti inflamasi dengan mempengaruhi kerja κB. Respons NF-κB dipengaruhi oleh ROS danTNF-α. Aktivasi NF-NF-κB dihambat oleh ekspresi enzim antioksidan dan antioksidan. Penelitian yang dilakukan oleh Carmaco dkk. (2004) membuktikan bahwa terdapat dua mekanisme kerja vitamin C sebagai anti inflamasi. Pertama, vitamin C langsung menghambat kerja ROS dengan mendonorkan elektronnya (ROS scavenger). Kedua, vitamin C dalam bentuk teroksidasinya (DHA) menghambat aktivitas enzim inhibitor of nuclear kappa B kinase (IKK) dengan menghambat aktivitas IKK-β, IKK-α, dan p-38 MAPK. Efek anti inflamasi vitamin C dapat dilihat pada Gambar 16 (Carcamo et al. 2004).

Gambar 16. Efek vitamin C dalam mempengaruhi respons inflamasi.

Inflamasi kronik PPOK akan mengalami peningkatan saat terjadi eksarsebasi. Salah satu penyebab tersering timbulnya eksarsebasi akut PPOK adalah infeksi trakeobronkial karena bakteri ataupun virus (Antariksa et al. 2011; Tsoumakido and Siafakas, 2006). Vitamin C juga berperan sebagai imunoregulator pada proses infeksi. Infeksi merangsang sistem imun tubuh penjamu. Vitamin C dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas sistem imun dengan meningkatkan pembentukan antibodi dan meningkatkan aktivasi sel imun (sel fagosit dan neutrofil) (Kumar and Rizvi, 2012; Iqbal et al. 2004). Asam askorbat melalui transporter yang sama dengan transporter glukosa masuk ke dalam sel yang mengalami sakit, rusak, dan sel tumor. Transport vitamin C masuk sel akan dihambat oleh glukosa, sehingga untuk mengalahkannya dibutuhkan vitamin C dosis besar. Asam askorbat di dalam sel merangsang hexose monophosphate (HMP) shunt yang memecah glukosa menjadi gula dengan lima cincin karbon dan fructosa-6-phospat (fructose-6-P). Fructosa-6-phospat penting pada siklus krebs yang menghasilkan karbondioksida (CO2), hidrogen dioksida (H2O) atau air, dan energi. Gula dengan lima cincin karbon penting untuk sintesis ribonucleic acid (RNA) dan DNA yang mengatur proliferasi sel imun untuk fungsi fagosit. Enzim NADPH yang dihasilkan oleh HMP shunt digunakan oleh sel fagosit untuk menghasilkan superoksida dan sejumlah ROS yang digunakan untuk membunuh patogen. Hubungan vitamin C dan sistem imun dapat dilihat pada Gambar 17 (Ottoboni and Ottoboni, 2005).

Gambar 17. Hubungan vitamin C dan sistem imun.

Dikutip dari Ottoboni and Ottoboni, 2005

Efek antiviral dan antibakterial vitamin C terjadi akibat interaksi vitamin C dengan ion logam transisi (khususnya tembaga) yang mampu membentuk peroksida selektif berupa H2O2. Hidrogen peroksida membunuh dan menginaktivasi patogen tanpa menyebabkan kerusakan sel sehat (Levine et al. 2011).

Ketidakseimbangan enzim protease dan antiprotease pada PPOK menyebabkan terjadinya destruksi MES yang utamanya terdiri atas tiga komponen (kolagen, elastin, dan proteoglikan). Kolagen merupakan komponen utama penyebab paru memiliki daya tensil sedangkan elastin merupakan komponen utama penyebab paru memiliki daya regang 2-3 kali tanpa kehilangan energi. Stabilitas kolagen sangat dipengaruhi oleh reaksi enzimatik hidroxilasi prolin dan hidroksilasi lisin. Vitamin C berperan sebagai kofaktor reaksi enzimatik hidroksi prolin dan hidroksi lisin. Vitamin C juga dapat meningkatkan transkripsi messenger of ribonucleic acid (mRNA) kolagen (I dan III) (Koike et al. 2014; Derricks et al. 2013).

Koike dkk. (2014) melakukan penelitian terhadap tikus yang mengalami emfisema akibat paparan asap. Tikus dipakai sebagai hewan coba karena hewan ini tidak dapat mensintesis vitamin C seperti manusia. Pemberian vitamin C menurunkan stres oksidatif, meningkatkan sintesis kolagen, dan meningkatkan kadar VEGF di paru. Koike et al.. menyimpulkann bahwa pemberian vitamin C dapat mencegah dan mengobati emfisema pada tikus, sehingga vitamin C disarankan digunakan sebagai terapi penyakit PPOK manusia. Gambar 18 menjelaskan skema terjadinya emfisema yang diinduksi oleh asap dan perbaikan dinding alveoli setelah terapi vitamin C pada tikus senescence marker protein-30 knockout (SMP30-KO). Paparan asap rokok kronik menyebabkan terjadinya emfisema karena proses perbaikan dinding alveolar dirusak oleh stres oksidatif, apoptosis sel penyusun dinding alveolar, penurunan VEGF, dan penurunan sintesis kolagen. Emfisema menetap pada tikus SMP30-KO yang mendapatkan terapi vitamin C minimal karena tingginya kadar TNF-α di paru. Kelompok tikus yang mendapatkan terapi vitamin C tinggi mengalami perbaikan alveoli ditandai dengan peningkatan sintesis kolagen (utamanya tipe I dan IV), rendahnya kadar stres oksidatif, peningkatan kadar VEGF, dan proliferasi sel penyusun septum alveoli di paru (Koike et al. 2014).

Gambar 18. Skema terjadinya emfisema yang diinduksi oleh asap pada tikus SMP30-KO dan proses perbaikan dinding alveolar setelah pemberian vitamin C.

Dikutip dari Koike et al. 2014 Gambar 19 menjelaskan kerangka teori peranan vitamin C pada penderita PPOK eksarsebasi akut ditinjau dari patogenesisnya. PPOK eksarsebasi akut merupakan kondisi perburukan gejala penderita PPOK sehingga membutuhkan perubahan terapi.

Kondisi ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, polusi udara (termasuk asap rokok), dan ketika daya tahan tubuh menurun. Inflamasi kronik PPOK mengalami amplifikasi saat eksarsebasi sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas dan jumlah sel-sel inflamasi utamanya neutrofil dan makrofag di saluran napas dan plasma. Sel neutrofil dan makrofag merupakan sel penghasil radikal bebas endogen yang dapat mengganggu keseimbangan oksidan dan antioksidan sehingga terjadilah stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan peningkatan kerusakan sel dan komponennya (seperti lipid, protein, dan DNA), kerusakan asam hyaluronat, dan kartilago. Lemak lebih mudah teroksidasi dibandingkan protein. Oksidasi lipid menyebabkan kerusakan membran sel yang utamanya tersusun atas lemak sehingga pembentukan karbon reaktif (diantaranya malondialdehyde) meningkat.

Paru memiliki mekanisme untuk mempertahankan homeostasis dengan menghasilkan antioksidan endogen yang dapat menetralkan radikal bebas dan mencegah terjadinya stres oksidatif. Eksarsebasi menyebabkan produksi oksidan melebihi jumlah antioksidan endogen dan terjadilah stres oksidatif. Peningkatan produksi ROS menyebabkan peningkatan aktivitas faktor transkripsi seperti NF-κB sehingga kerusakan seluler semakin parah. Rangsangan aktivitas faktor transkripsi NF-κB pada PPOK eksarsebasi dapat disebabkan oleh infeksi (bakteri dan virus), ROS, dan MDA. Sehingga dihasilkan berbagai macam mediator inflamasi antara lain IL-6, IL-8, IL-1β, TNF-α, TGF-β, dan GMCSF.

Ketidakseimbangan enzim protease-antiprotease menyebabkan destruksi MES yang utamanya terdiri atas tiga komponen (kolagen, elastin, dan proteoglikan). Kolagen merupakan komponen utama penyebab paru memiliki daya tensil sedangkan elastin merupakan komponen utama penyebab paru memiliki daya regang 2-3 kali tanpa kehilangan energi. Stabilitas kolagen sangat dipengaruhi oleh reaksi enzimatik hidroxilasi prolin dan hidroksilasi lisin. Vitamin C berperan sebagai kofaktor reaksi enzimatik hidroksi prolin dan hidroksi lisin. Vitamin C juga dapat meningkatkan transkripsi messenger of ribonucleic acid (mRNA) kolagen (I dan III). Amplifikasi inflamasi, peningkatan stres oksidatif, dan peningkatan produksi dan aktivitas protease menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fisologi saluran napas yang bersifat kronik, progresif, dan ireversibel. Perubahan tersebut berupa edema saluran napas, hipersekresi mukus, emfisema, fibrosis saluran napas kecil, disfungsi silia saluran

napas, penebalan dinding saluran napas, dan bronkokonstriksi. Perubahan patologis tersebut memperparah penyempitan saluran napas yang jika tidak segera diatasi menyebabkan hiperinflasi dan gangguan pertukaran gas sehingga menyebabkan peningkatan kerja pernapasan. Gangguan pertukaran gas yang terjadi berupa hipoksia kronik. Hiperinflasi dinamis dan gangguan pertukaran gas pada saat eksarsebasi akan memperburuk gejala klinis PPOK berupa batuk, produksi dahak, sesak napas, dan gagal napas. Perburukan gejala klinis PPOK saat eksarsebasi dapat dinilai dengan kuesioner berupa COPD assessment test (CAT).

Gambar 19. Kerangka teori yang menjelaskan hubungan pengaruh pemberian vitamin C terhadap kadar MDA plasma dan perbaikan klinis penderita PPOK eksarsebasi akut.

Dokumen terkait