• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai hambatan aliran udara persisten, progresif, dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronik saluran napas dan paru terhadap berbagai partikel atau gas beracun. Eksarsebasi dan faktor komorbid berpengaruh terhadap keparahan penyakit. Tanda hambatan aliran udara PPOK terjadi karena adanya kelainanan saluran napas kecil (bronkiolitis obstruktif) dan destruksi parenkim paru (emfisema) dengan derajat bervariasi pada masing-masing penderita. Eksarsebasi akut pada PPOK adalah kondisi akut ditandai dengan perburukan gejala respiratorik berupa batuk, sesak, dan perubahan produksi dahak penderita dibanding biasanya sehingga memerlukan perubahan intervensi pengobatan. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut terdiri dari pemberian terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa. Tujuan penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah untuk meminimalkan dampak eksaserbasi yang terjadi saat ini dan mencegah terjadinya eksaserbasi yang akan dating (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015).

1. Faktor risiko PPOK

Faktor risiko penyebab PPOK antara lain genetik, paparan asap rokok, polusi udara dalam ruangan, paparan debu tempat kerja, polusi udara luar ruangan, usia tua, dan status sosioekonomi yang rendah. Merokok merupakan faktor risiko utama PPOK (Brashier and Kodgule, 2012; Senior and Atkinson, 2008; Kirkham and Rahman, 2006). Merokok diduga sebagai penyebab utama PPOK. Lebih dari 90% pasien PPOK adalah perokok tetapi hanya 15-20% perokok menderita PPOK. Hal ini diduga akibat adanya keterlibatan faktor genetik dan lingkungan. Faktor risiko terjadinya PPOK secara rinci dapat dilihat pada tabel 1 ((Brashier and Kodgule, 2012).

(2)

Tabel 1. Faktor risiko PPOK. 1. Genetik.

2. Paparan partikel:

a. Asap rokok (rata-rata merokok sebanyak 10 bungkus/ tahun, 50% perokok menderita PPOK).

b. Polusi udara dalam ruangan berasal dari pemanasan dan memasak menggunakan bahan bakar biomass di rumah dengan ventilasi buruk (minimal 25 tahun paparan).

c. Debu di tempat kerja berupa debu organik dan inorgani (sebanyak 15% populasi Amerika yang terpapar debu di tempat kerja akan menderita PPOK)

d. Polusi udara di luar ruangan. 3. Penurunan volume paru akibat: a. Gangguan tumbuh kembang paru.

b. Menderita tuberkulosis (TB) paru sebelumnya (28-68% kasus bekas TB yang telah mendapatkan pengobatan sebelumnya memiliki risiko menderita PPOK sebanyak 2,9-6,6 kali).

c. Riwayat mengalami infeksi saluran napas berulang saat usia anak-anak (memiliki risiko 2-3 kali menderita PPOK).

d. Asupan nutrisi yang buruk.

4. Jenis kelamin wanita (dengan alasan yang belum diketahui). 5. Usia tua (obstruksi fisiologis).

6. Status sosioekonomi yang rendah (multi komponen).

Dikutip dari (Brashier and Kodgule, 2012

Pemicu kondisi eksaserbasi akut pada PPOK bermacam-macam. Sepertiga kasus eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, polusi udara, dan seperempat kasus tidak dapat diidentifikasi pemicunya (Chabra and Dash, 2014; Celli and Barnes, 2007). Lima puluh sampai 78% kasus dipicu oleh infeksi saluran napas. Infeksi bakteri adalah penyebab terbanyaknya (30-55%). Bakteri patogen terbanyak penyebab eksaserbasi akut adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, dan pada penderita PPOK eksaserbasi derajat berat seringkali disebabkan oleh

Pseudomonas aeruginosa. Pemicu non mikroba adalah polusi udara (Mackay and Wedzicha, 2011).

2. Patogenesis PPOK

Patogenesis PPOK melibatkan berbagai macam mekanisme kompleks. Empat mekanisme dasar patogenesis PPOK adalah stres oksidatif, inflamasi, ketidakseimbangan protease-antiprotease, dan apoptosis. Keempat mekanisme dasar tersebut menyebabkan kerusakan saluran napas dan paru bersifat irreversibel. Gambar 1 menunjukkan empat mekanisme dasar patogenesis PPOK (Bruno and Penque, 2012; Demedts et al. 2006).

(3)

Gambar 1.Empat mekanisme dasar patogenesis PPOK.

Dimodifikasi dari Bruno and Penque, 2012; Demedts et al. 2006

a. Stres oksidatif

Saluran napas dan paru secara tidak langsung berhubungan dengan lingkungan luar sehingga selalu terpapar oksigen (O2) dan partikel atau gas berbahaya dalam konsentrasi tinggi. Paparan O2 dan partikel gas berbahaya tersebut menyebabkan stres oksidatif sehingga terjadi perubahan struktur saluran napas dan paru individu dengan genetik rentan (Neofytou et al. 2012). Stres oksidatif penting pada patogenesis PPOK terutama saat eksarsebasi. Stres oksidatif terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan oksidan-antioksidan baik karena peningkatan produksi dan aktivitas oksidan atau penurunan produksi dan aktivitas antioksidan (Neofytou et al. 2012; Pirabbasi and Cheraghi, 2012).

Radikal bebas yang dikenal sebagai reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) merupakan atom, kelompok atom, atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya. Radikal bebas memiliki sifat tidak stabil dan sangat reaktif (Calvacante and Brain, 2009). Dua sumber utama penghasil ROS adalah ROS eksogen (environmental derived ROS) dan ROS endogen (cell derived ROS) (Rahman, 2008; Kirkham and Rahman, 2006). Reactive oxygen species endogen terdapat di semua sistem biologi dan berasal dari metabolisme seluler O2. Reactive

(4)

oxygen species endogen dihasilkan melalui reaksi enzimatik dan nonenzimatik. Proses enzimatik penghasil ROS endogen antara lain mitokondria, mikrosom, sistem

nicotinamide adenine dinucleotied phosphate (NADPH) oxidase, sistem xantine-xanthine oxidase, dan sistem heme peroxidase (Cavalcante and Brain, 2009; Rahman, 2008; Kirkham and Rahman, 2006). Sel utama penghasil ROS endogen saluran napas adalah sel struktural saluran napas (makrofag alveolar, sel epitel, sel endotel) dan sel inflamasi (makrofag, neutrofil, eosinofil, monosit, dan limfosit). Aktivasi sel tersebut menghasilkan superoxide oxygen (O2.-) dan oleh enzim superoxide dismutase (SOD) dirubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Ion besi (Fe2) melalui reaksi nonenzimatik (disebut reaksi fenton) mengubah H2O2 menjadi hidroxyl radical (OH.-). Gambar dua menunjukkan reaksi reduksi molekul O2 secara secara lengkap (Cavalcante and Brain, 2009).

Gambar 2. Reduksi molekul O2 secara lengkap menggabungkan empat elektron di akhir reaksi respirasi dihasilkan molekul air (H2O) (ditunjuk oleh panah atas). Dua sampai 3% O2 mengalami reduksi tidak sempurna sehingga dihasilkan komponen antara. Enzim SOD merubah O2.- menjadi H2O2 dan akibat pengaruh enzim katalase atau glutathione peroxidase (Gpx) dirubah menjadi H2O.

Dikutip dari Cavalcante and Brain, 2009

Reactive oxygen species eksogen berasal dari lingkungan luar, berbentuk oksidan gas (sepeti ozon, nitrogen dioksida, sulfus dioksida) dan partikel berbahaya (partikel dengan ukuran < 10 mikrometer= µm dihasilkan dari sisa hasil pembakaran) (Kirkham and Rahman, 2006). Asap rokok merupakan penyebab utama PPOK (Saphiro

(5)

konsentrasi oksidan sebanyak 1014 molekul/ isap (Kirkham and Barnes, 2013). Reactive oxygen species rokok bersifat short lived oxidant dan long lived organic radicals.Short lived oxidant misalnya O2.- dan molekul nitric oxide (NO). Long lived organic radicals misalnya semikuinolon yang dapat mengalami siklus redoks dengan cairan yang melapisi epitel saluran napas perokok (Kirkham and Rahman, 2006). Penghentian kebiasaan merokok tidak langsung menghentikan progresifitas penyakit karena inflamasi terus berlangsung dan ROS endogen terus diproduksi (Kirkham and Barnes, 2013).

Paru memiliki mekanisme pertahanan dengan adanya antioksidan endogen untuk melawan oksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen diklasifikasikan menjadi oksidan enzimatik dan nonenzimatik. Antioksidan enzimatik antara lain superoxide dismutase (SOD), katalase, glutation (GSH) peroxidase, GSH S-transferase, dan

thioredoxin. Antioksidan nonenzimatik antara lain GSH, asam askorbat, urat, alfa (α) -tokoferol, bilirubin, dan lipoic acid. Konsentrasi antioksidan nonenzimatik di paru bervariasi. Pergeseran ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan baik karena peningkatan produksi oksidan atau penurunan produksi antioksidan menyebabkan terjadinya stres oksidatif (Pirabbasi and Cheraghi, 2012).

Stres oksidatif menyebabkan kerusakan jaringan paru menetap. Kerusakan saluran napas akibat stres oksidatif dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Stres oksidatif langsung menyebabkan kerusakan melalui oksidasi lipid, protein, dan

deoxyribonucleic acid (DNA). Stres oksidatif secara tidak langsung menyebabkan aktivasi protease, inaktivasi antiprotease, meningkatkan transkripsi protein proinflamasi, dan merangsang apoptosis (Cavalcante and Brain, 2009). Stres oksidatif meningkat pada PPOK dan merupakan mekanisme kunci patogenesis PPOK. Stres oksidatif menyebabkan peningkatan ekspresi gen inflamasi, kegagalan perbaikan respons inflamasi, menurunnya sensitivitas kortikosteroid, menurunnya kapasitas antioksidan endogen, dan mempercepat proses emfisema PPOK.Gambar tiga menunjukkan peranan stres oksidatif pada patogenesis PPOK (Barnes, 2014).

(6)

Gambar 3. Peranan stres oksidatif pada patogensis PPOK. Stres oksidatif meningkat pada PPOK. NFκβ= nuclear factor kappa beta, P38MAPK=

phosphoinositide-38-mitogen-activated protein kinase, SIRT-1= sirtuin-1, DNA= deoxyribonucleic acid, HDAC-2= histone deacetylase-2, TGF-β=

tumor growrh factor beta.

Dikutip dari Barnes, 2014 Stres oksidatif melalui ROS dapat menginduksi respons inflamasi melalui aktivasi redox sensitive signaling, faktor transkripsi seperti NFκβ, activator protein

(AP)-1, dan jalur transduksi lainnya seperti MAPK, dan phosphoinositide-3-kinase (PI-3-K). Perubahan status redoks intraseluler akibat pengaruh stres oksidatif meningkatkan sensitivitas respons gen mediator proinflamasi dan gen antioksidan.Ekspresi mediator inflamasi dipengaruhi juga oleh aktivasi faktor redox-sensitive transcription AP-1 dan NFκβ akibat pengaruh ROS dan tumor necrosing factor alpha (TNF-α) seperti terlihat pada gambar empat (Rahman, 2003).

(7)

Gambar 4. Mekanisme aktivasi NFκβ dan AP-1 yang dimediasi oleh ROS. JNK: c-Jun N-terminal kinase, γ-GCS: gamma glutamylcysteine synthetase; HO: haem oxygenase; IL: interleukin; iNOS: inducible nitric oxide synthase.

Dikutip dari Rahman, 2003

Polyunsaturated fatty acid (PUFA) merupakan bagian penting membran sel dan sangat mudah mengalami kerusakan saat terpapar ROS. Reaksi antara molekul O2 dan PUFA terjadi melalui reaksi peroksidasi lipid atau lipoperoxidation (LPO) (MacNae, 2005). Peroksidasi lipid merusak PUFA sehingga terjadi perubahan struktur, perubahan permeabilitas membran sel, hilangnya selektivitas pertukaran ion, dan pelepasan isi organel. Membran sel fosfolipid dalam sistem biologis dihidrolisis oleh enzim posfolipase menghasilkan nonesterified arachidonic acid. Proses hidrolisis ini terjadi melalui dua cara yaitu jalur enzimatik dan nonenzimatik. Jalur enzimatik melibatkan enzim cyclooxygenase menghasilkan prostaglandin dan tromboksan, serta melibatkan

lipoxygenase menghasilkan leukotrien. Jalur nonenzimatik melibatkan ROS, RNS, logam transisi, dan radikal bebas lainnya menghasilkan produk akhir aldehid reaktif berupa F-2-isoprostane, malondialdehyde (MDA), 4-hydroxy-2-nonenal (4-HNE), dan

(8)

acrolein. Aldehid reaktif tersebut merangsang beberapa reaksi redoks seperti inisiasi reaksi peroksidasi lipid, menyebabkan kerusakan DNA, modifikasi kofalen protein, dan merusak fungsi protein. Peningkatan produksi aldehid endogen selama proses peroksidasi lipid bersifat lebih stabil dibandingkan radikal bebas. Aldehid tersebut dapat berdifusi di dalam sel dan menuju organ target yang jauh (MacNae, 2006). Aldehid reaktif dapat digunakan sebagai penanda adanya stres oksidatif di paru (Rahman, 2006). Gambar lima menunjukkan mekanisme peroksidasi lipid PUFA membran sel yang diinduksi oleh asap rokok.

Gambar 5. Mekanisme peroksidasi lipid PUFA membran sel yang diinduksi asap rokok. Dikutip dari Rahman, 2006

Malondialdehyde merupakan aldehid reaktif yang dapat digunakan sebagai adanya stres oksidatif terutama saat eksarsebasi PPOK. Kadar MDA dapat digunakan untuk menilaian prognosis dan keberhasilan pengobatan eksarsebasi PPOK. Peningkatan kadar MDA pada penderita PPOK berkorelasi negatif terhadap fungsi paru dan nilai persentase volume ekspirasi paksa detik ke- 1 (VEP-1) terhadap prediksi (Antuz et al. 2013; Waseem et al. 2012).

b. Inflamasi

Inflamasi dan respons imun berperan pada perkembangan dan progresifitas PPOK. Inflamasi PPOK terjadi saat stabil dan eksarsebasi. Inflamasi saluran napas PPOK mengaktifkan sistem imun alamiah dan sistem imun adaptif, melibatkan sel-sel

(9)

struktural saluran napas dan paru, sei-sel inflamasi, serta mediatornya (Barnes, 2014). Inflamasi PPOK utamanya terjadi di saluran napas perifer dan parenkim paru (Rovina et al. 2013; Cosio et al. 2009). Perubahan struktur saluran napas, obstruksi saluran napas, dan gejala respiratorik PPOK timbul akibat respons inflamasi saluran napas yang tidak normal (Cosio et al. 2009). Amplifying inflamasi kronik terjadi saat eksarsebasi akut PPOK. Ampliflying inflamasi pada eksarsebasi akut PPOK utamanya disebabkan oleh infeksi (bakteri dan virus) dan lingkungan. Ampliflying inflamasi pada eksarsebasi akut PPOK meningkatkan produksi berbagai mediator inflamasi (Barnes and Cosio, 2006).

Sistem imun alamiah merupakan mekanisme pertahanan pertama melawan infeksi mikroba, bersifat cepat, tidak spesifik, dan secara lambat merangsang sistem imun adaptif. Mekanisme pertahanan alamiah saluran napas dan paru antara lain

epithelial barier, mucocilliary clearance, sistem humoral (misalnya peptide antimikroba, protein komplemen, protein surfaktan), dan faktor seluler (neutrofil, makrofag, natural killer cell, monosit, dan sel mas) (Bruselle et al. 2011). Invasi patogen menyebabkan peningkatan produksi ROS. Patogen memiliki molekul spesifik yang mampu dikenali oleh reseptor sel penjamu berupa pathogen associated molecular patterns (PAMPs). Pathogen associated molecular patterns dikenali oleh pattern recognition receptors (PRRs) di permukaan sel makrofag alveolar, sel dendritik, dan sel epitel alveoli. Kelompok PRRs antara lain toll-like receptors (TLRs), nucleotide binding domain leucine-rich repeat-containing receptors (NLRs), C-type lectin receptors

(CLRs), dan RIG-I-like receptors (RLRs) (Barnes and Cosio, 2006). Aktivasi PRRs dilakukan oleh PAMPs dan danger associated molecular patterns (DAMPs). Danger associated molecular patterns merupakan molekul intraseluler normal yang dikeluarkan oleh sel yang rusak atau mati (Rovina et al. 2013; Bruselle et al. 2011).

Faktor seluler utama yang berperan pada sistem imun alamiah PPOK adalah neutrofil dan makrofag. Makrofag terdiri dari empat subpopulasi yang memiliki fungsi utama yang berbeda. Keempat subpopulasi tersebut adalah makrofag alveolar, makrofag interstisial, makrofag intravaskuler, dan makrofag aksesoria yaitu sel dendritik. Makrofag alveolar memiliki fungsi utama sebagai sel pertahanan utama karena memiliki daya fagositik dan mikrobisidal yang besar terhadap antigen yang masuk. Makrofag intravaskuler terletak diantara endotel kapiler dan berfungsi sebagai sel pertahanan kedua. Sel dendritik memiliki daya fagosit yang lemah dan lebih besar peranannya

(10)

sebagai antigen presenting cell (APC) (Suradi, 2003). Patogen dan kerusakan sel merangsang sel dendritik mengaktivasi sistem imun adaptif (Rovina et al. 2013; Barnes, 2014). Sel dendritik bermigrasi ke kelenjar limfonodi lokal mengekspresikan protein

major histocompatibility complex class (MHC)-I, MHC-II, dan molekul costimulatory cluster differentiation (CD)-80 dan CD-86 yang mempresentasikan antigen (Ag) dan merangsang proliferasi sel efektor limfosit TCD-4 T helper (Th) dan sel limfosit TCD-8

T cytolitic (Tc) (Cosio et al. 2009). Aktivasi dan proliferasi sel limfosit Th atau Tc tergantung keseimbangan sitokin di lingkungannya. Ekspresi MHC-I sel dendritik terbatas pada sel limfosit TCD-8 Tc dan ekspresi MHC-II sel dendritik terbatas pada sel limfosit TCD-4 Th yang befdiferensiasi menjadi sel Th-1, -2, -17, atau regulatory T cell

(Treg) (Bruselle et al. 2011).

Asap rokok langsung dan tidak langsung mengaktivasi sel struktural dan sel inflamasi menghasilkan DAMPs yang dikenali PRRs. Infeksi bakteri atau virus saluran napas menyebabkan amplifikasi inflamasi kronik saluran napas dengan memicu PRRs melalui PAMPs. Aktivasi PRRs menyebabkan aktivasi faktor transkripsi NF-κB. Sel-sel imun alamiah yang teraktivasi (utamanya makrofag dan neutrofil) mengeluarkan sitokin dan kemokin proinflamasi, ROS, serta enzim proteolitik seperti neutrofil elastase (NE) dan matrix metalloproteinases (MMps) (Bruselle et al. 2011).

Gambar 6 menjelaskan proses inflamasi, sel-sel, dan mediator inflamasi yang terlibat pada patogenesis PPOK (Chung and Adcock, 2008). Paparan asap rokok dan zat iritan lainnya mengaktivasi sel epitel dan makrofag menghasilkan beberapa faktor kemotaktik yang menarik sel inflamasi ke paru. Aktivasi sel epitel saluran napas kecil mensekresi mediator inflamasi termasuk TNF-α, IL-1β, IL-6, granulocyte-macrophage colony–stimulating factor (GM-CSF), dan TGF-β. Transforming growth factor-β menarik fibroblas dan menyebabkan proliferasi fibroblas ke saluran napas sehingga terjadi fibrosis di saluran napas kecil. Sel epitel saluran napas penting pada mekanisme pertahanan saluran napas karena sel goblet yang terletak diantara sel epitel saluran napas mampu menghasilkan mukus, mensekresi antioksidan, antiprotease, dan defensin. Penurunan fungsi pertahanan saluran napas penderita PPOK akibat kerusakan struktur sel epitel saluran napas dan sel goblet menyebabkan lemahnya respons epitel saluran napas sehingga meningkatkan risiko infeksi (Barnes, 2014; Chung and Adcock, 2008).

(11)

Sel inflamasi utama yang berperan pada PPOK adalah makrofag dan neutrofil. Sel epitel saluran napas dan sel makrofag menghasilkan chemokine ligand (CXCL)-9, CXCL-10, dan CXCL-11 yang berikatan dengan chemokine receptor (CXCR)-3 untuk menarik sel Th-1 dan Tc. Makrofag menghasilkan CCL-2 yang berikatan dengan CCR-2 untuk menarik monosit, CXCL-1 dan CXCL-8 yang berikatan dengan CCR-CCR-2 untuk menarik neutrofil dan monosit. Monosit yang masuk paru berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Sel-sel inflamasi tersebut bersama sel epitel saluran napas dan sel makrofag mengahasilkan protease seperti MMP-9 yang dapat menyebabkan degradasi elastin dan terjadi emfisema. Neutrofil juga menyebabkan hipersekresi mucus (Barnes, 2014; Chung and Adcock, 2008).

Gambar 6. Proses inflamasi, sel- sel, dan mediator inflamasi yang terlibat pada patogenesis PPOK.

Dikutip dari Chung and Adcock, 2008

Jumlah sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6 meningkat pada PPOK dan menyebabkan amplifikasi inflamasi PPOK. Peningkatan jumlah sitokin proinflamasi ini melalui aktivasi faktor transkripsi NF-κB. Tumour necrosis factor-α dihasilkan oleh sel epitel, makrofag, limfosit T, dan otot polos. Tumour necrosis

factor-α merupakan aktivator kuat NF-κB yang dapat meningkatkan respons inflamasi. Kadar TNF-α meningkat pada induksi sputum penderita PPOK khususnya saat ekasaserbasi akut, penderita PPOK yang mengalami penurunan berat badan (BB), dan penderita PPOK derajat berat (Barnes, 2014; Barnes, 2009). Interleukin-1β berperan dalam

(12)

mengaktifasi makrofag sehingga dihasilkan sitokin inflamasi, kemokin, dan MMPs. Peningkatan kadar IL-1β sputum penderita PPOK berkorelasi dengan derajat keparahan PPOK (Barnes, 2009).

Interleukin-6 adalah glikoprotein ukuran kecil dengan berat molekul 21 kilo Dalton (KDa). Interleukin-6 diproduksi oleh sel sistem imun alamiah (misalnya makrofag, sel dendritic, sel mast, dan neutrofil), sel B, dan sedikit oleh sel limfosit CD4+Th. Interleukin-6 juga disekresi oleh sel non-leukosit seperti sel endotel, fibroblas, astrosit, sel epitel, dan sejumlah sel ganas. Berbagai rangsangan (misalnya radiasi ultraviolet, ROS, produk mikroba, virus, dan sitokin proinflamasi lainnya) dapat menginduksi produksi IL-6 oleh sel-sel tersebut (Rincon and Irvin, 2012). Interleukin-6 adalah sitokin yang memiliki efek pleiotropik. Peranan IL-6 antara lain pada respons imun fase akut, mengatur respons inflamasi kronik, autoimunitas, disfungsi sel endotel, dan fibrogenesis. Selain berfungsi sebagai sitokin proinflamasi, IL-6 juga memiliki aktivitas anti inflamasi. Interleukin-6 bekerja dengan sitokin lainnya dan menjadi penghubung sistem imun alamiah dan adaptif (Tanaka et al. 2014). Kadar IL-6 plasma penderita PPOK berhubungan dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), inflamasi sistemik PPOK, penyakit komorbid PPOK, penurunan fungsi sel epitel saluran napas, peningkatan resistensi insulin, peningkatan risiko osteoporosis, dan meningkatkan terjadinya depresi. Kadar IL-6 meningkat pada induksi sputum dan plasma penderita PPOK khususnya saat eksarsebasi (Chung and Adcock, 2008).

c. Ketidakseimbangan protease dan antiprotease

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologis utama PPOK. Hambatan aliran udara utamanya terjadi akibat obstruksi saluran napas kecil dan akibat terjadinya emfisema. Emfisema merupakan kelainan anatomis paru yang ditandai pelebaran abnormal dan permanen saluran napas distal bronkiolus terminalis disertai destruksi dinding bronkiolus terminalis sampai aloveolus (Yoshida and Tuder, 2007). Emfisema merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan angka mortalitas penderita PPOK (Suradi, 2003). Hal ini terjadi akibat penurunan daya elastisitas paru akibat kerusakan serat elastin paru. Pergerakan paru dalam mengembang dan mengempis mengikuti pergerakan rongga dada sehingga elastisitas jaringan paru sangat mempengaruhi kerja kembang kempis paru. Elastisitas jaringan paru ditentukan oleh serat elastik paru dengan elastin sebagai komponen utamanya. Kerusakan elastin pada

(13)

emfisema menyebabkan daya elastik paru menurun, terjadi penutupan saluran napas lebih awal, air trapping, dan hiperinflasi dinamis yang secara fisiologis ditandai munculnya gejala obstruksi saluran napas (Brashier and Kodgule, 2012; Suradi, 2003).

Destruksi serat elastin pada emfisema terjadi akibat peningkatan produksi atau aktivitas enzim protease dan penurunan produksi atau inaktivasi enzim antiprotease (Reilly et al. 2008; MacNae, 2005). Sel utama penghasil enzim protease dan yang bertanggung jawab atas terjadinya degradasi serat elastin paru adalah sel makrofag dan neutrophil (Suradi, 2003). Paparan asap rokok dan inhalasi partikel zat berbahaya secara cepat mengaktivasi makrofag alveolar dan neutrofil masuk ke paru sehingga terjadi inaktivasi antiprotease endogen (α-1-antitrypsin, secretory leucoprotease inhibitor, dan tissue inhibitors of metalloproteases). Makrofag dan neutrofil mengeluarkan berbagai macam protease. Protease utama yang dihasilkan oleh neutrofil adalah serine protease,

elastase, cathepsin G, dan protease-3. Protease utama yang dihasilkan oleh makrofag adalah cysteine protease dan cathepsins-E, cathepsins-A, cathepsins-L, dan cathepsins-S. Matriks metalloproteinase yang dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil antara lain MMP-8, MMP-9, dan MMP-12. Matriks metalloproteinase utama penghancur serat elastin adalah MMP-9 (MacNae, 2005; Suradi, 2003). Protease tersebut bekerja saling berinteraksi, saling mengaktivasi, dan saling menghambat inhibitor endogennya. Neutrofil elastase menghambat tissue inhibitor MMPs dan menyebabkan degradasi α -1-antitripsin. Protease merusak komponen matriks ekstraseluler (MES), serat fiber, dan kolagen yang membentuk fragmen elastin. Fragmen chemotactide peptide yang dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil secara terus menerus menyebabkan akumulasi dan destruksi. Emfisema terjadi melalui empat mekanisme dasar seperti terlihat pada Gambar 7. Pertama, paparan kronik asap rokok menyebabkan penarikan sel inflamasi dari pembuluh darah ke paru. Kedua, sel-sel inflamasi di paru mengeluarkan proteinase elastolisis yang merusak MES paru. Ketiga, hilangnya matrix-cell attachment

menyebabkan apoptosis sel struktural paru. Keempat, mekanisme perbaikan elastin dan komponen MES yang tidak efektif menyebabkan pelebaran saluran napas menetap dan terjadi emfisema (Reilly et al. 2008).

(14)

Gambar 7. Empat mekanisme dasar patogenesis emfisema.

Dikutip dari Reilly et al. 2008

Imunopatogenesis emfisema seperti terlihat pada Gambar 8. Asap rokok dan zat iritan mengaktivasi APC (sel dendritik dan makrofag alveolar). Antigen presenting cell mencerna antigen dan mengekspresikan peptida protein antigen pada MHC-II di permukaan membran selnya yang berikatan dengan T cell receptor (TCR) sel T helper naive (Th-0). Antigen presenting cell teraktivasi dan dihasilkan sitokin IL-1β, IL-6, IL-8, IL-12, dan TNF-α. Diferensiasi sel Th-0 terjadi lebih kearah sel Th-1 karena pengaruh dan rangsangan mediator IL-12 dan selanjutnya sel limfosit TCD-4 Th-1 yang teraktivasi akan mensekresi interferon gamma (IFN)-γ yang merupakan mediator aktivator makrofag dan IL-2 yang bersifat autokrin terhadap sel limfosit TCD-4 Th-1. Makrofag teraktivasi meningkatkan produksi IL-8 yang merupakan neutrophyl chemotacting factor (NCF) sehingga meningkatkan produksi netrofil elastase utamanya enzim proteolitik MMP-9 (Suradi, 2003).

(15)

Gambar 8. Imunopatogenesis Emfisema.

Dikutip dari Suradi, 2003

d. Apoptosis

Apoptosis adalah mekanisme pengaturan kematian sel yang terprogram. Apoptosis terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeliminasi sel-sel yang tidak diinginkan, rusak, dan terinfeksi. Apoptosis merupakan mekanisme penting lain pada patogenesis PPOK. Peningkatan apoptosis sel struktural paru (sel epitel alveolar dan sel endotel) diduga berperan pada patogenesis PPOK. Ketika terjadi ketidakseimbangan

(16)

antara proliferasi sel struktural dan destruksi jaringan paru akan menyebabkan terjadinya emfisema. Terdapat bukti bahwa vascular endothelial growth factor (VEGF) berperan pada pemeliharaan sel-sel struktural jaringan paru yang terlibat pada proses apoptosis (Cavalcante and Brain, 2009).

Vascular endothelial growth factor adalah salah satu faktor pertumbuhan yang berasal dari platelet yang terikat pada reseptornya (1, 2, dan VEGFR-3). Ikatan antara VEGF dan VEGFR-2 merangsang sel endotel dan sel pneumosit tipe II tumbuh dan tetap bertahan. Gangguan penghantaran signal dari VEGF ke VEGFR-2 terbukti akan menyebabkan pertumbuhan paru berhenti yang bermanifestasi klinis terjadinya displasia bronkopulmoner pada anak-anak dan emfisema pada orang dewasa (Cavalcante and Brain, 2009; Demedts et al. 2006).

Demedts dkk. (2006) mengemukanan bahwa apoptosis pada PPOK terjadi sebagai akibat interaksi antara inflamasi, stres oksidatif, dan ketidakseimbangan antara protease-antiprotease seperti terlihat pada Gambar 9. Inflamasi mempengaruhi apoptosis melalui 2 cara. Pertama, melalui peranan netrofil elastase (NE). Makrofag alveolar penderita PPOK terbukti kurang efektif dalam memfagositosis sel epitel saluran napas yang mengalami apoptosis. Hal ini diperkirakan akibat adanya peranan dari netrofil elastase yang dihasilkan oleh sel netrofil yang dapat memecah fosfatidilserin makrofag sehingga terjadi gangguan bersihan sel-sel yang mengalami apoptosis dan sel radang selanjutnya (Gambar 9 nomor 1). Kedua, melalui peranan sel limfosit T CD-8. Peningkatan jumlah sel limfosit T CD-8 Tc meningkatkan produksi perforin, grazim B dan TNF-α yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan apoptosis sel epitel alveolar (Demedts et al. 2006).

Peningkatan aktivitas proteolitik di paru penderita PPOK dapat mengganggu proses apoptosis secara langsung maupun tidak langsung. Membran basalis mengandung sinyal yang mengatur kelangsungan hidup sel. Hilangnya signal yang mengatur kelangsungan hidup sel secara tidak langsung dihambat oleh adanya enzim matriks metalloproteinase (MMPs) atau tissue inhibitory metalloproteinase (TIMPs) yang merusak membran basalis sehingga terjadilah apoptosis (Gambar 9 nomor 3). Apoptosis juga dapat dipengaruhi oleh zat proteolisis (misalnya MMP-7) yang langsung merusak sinyal yang merangsang kematian sel. Enzim netrophil elastase (NE) atau

(17)

terjadi peningkatan apoptosis (Gambar 9 nomor 4). Stres oksidatif juga penting dalam terjadinya apoptosis di paru. Stres oksidatif menyebabkan penurunan kadar VEGF dalam paru dan meningkatkan terjadinya kerusakan sel epitel dan terjadilah apoptosis (Gambar 9 nomor 5). Stres oksidatif menurunkan ekspresi gen yang mengkode VEGF. Pemberian antioksidan pada hewan coba terbukti dapat mencegah terjadinya apoptosis sel epitel alveolar. Hai ini menunjukkan terdapat mekanisme umpan balik positif antara stres oksidatif dan apoptosis (Cavalcante and Brain, 2009; Demedts et al. 2006).

Gambar 9. Interaksi antara apoptosis dengan patogenesis PPOK yang lain.

Dikutip dari Demedts et al. 2006

3. Patologi PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik ditandai hambatan aliran udara yang bersifat ireversibel akibat respons inflamasi paru abnormal yang menyebabkan perubahan patologis saluran napas dan paru. Perubahan patologis PPOK utamanya terjadi pada saluran napas proksimal yang berkartilago (diameter >2 milimeter= mm), saluran napas perifer yang tidak berkartilago (diameter <2 mm), parenkim paru, dan pembuluh darah paru (Barnes, 2014; Vijayan, 2013; MacNae, 2006).

Perubahan patologis saluran napas proksimal berupa peningkatan jumlah sel inflamasi (sel makrofag, sel limfosit Tc-CD8+, sel neutrofil, dan eosinofil), metaplasi dan disfungsi sel epitel, metaplasi sel goblet, hipertrofi kelenjar submukosa, infiltrasi sel neutrofil dan limfosit di kelenjar bronkus, serta hipertrofi sel otot polos dan jaringan penyambung (Vijayan, 2013; MacNae, 2006). Saluran napas perifer yang tidak berkartilago (diameter <2 mm) mengalami bronkiolitis. Jumlah sel inflamasi

(18)

(sel makrofag, limfosit T, limfosit B, neutrofil, fibroblas, dan eosinofil) meningkat secara signifikan dibanding individu normal. Sel goblet dan sel epitel skuamus mengalami metaplasi. Fibrosis terjadi di daerah peribronkial sehingga terjadi penyempitan saluran napas (MacNae, 2006)

Parenkim paru (bronkiolus respiratorius dan alveoli) mengalami emfisema yaitu pelebaran abnormal saluran napas distal bronkiolus terminalis. Emfisema terjadi akibat destruksi struktur dinding alveoli yaitu destruksi elemen jaringan penyambung utamanya serat elastin, apoptosis sel pneumosit tipe I, dan sel endotel sehingga alveolar attachments hilang (Brnes, 2014). Pembuluh darah paru pada stadium awal mengalami penebalan lapisan intima dan disfungsi endotel sedangkan pada stadium lanjut mengalami hipertrofi lapisan otot polos, deposisi serat kolagen, destruksi capillary bed sehingga terjadi hipertensi pulmonal dan cor pulmonale chronicum (CPC) (MacNae, 2006).

4. Patofisiologi PPOK eksarsebasi akut

Perubahan patologis PPOK menyebabkan perubahan fisiologis saluran napas. Perubahan fisiologi saluran napas PPOK antara lain berupa hipersekresi mukus, disfungsi silia, peningkatan resistensi saluran napas konduksi, peningkatan compliance paru, air trapping, gangguan pertukaran gas, hambatan aliran udara yang bersifat progresif, hipertensi pulmoner, dan inflamasi sistemik (Brashier and Kodgule, 2012; MacNae, 2006). Patofisiologi PPOK secara ringkas dapat dilihat pada gambar 10 (Brashier and Kodgule, 2012).

Gambar 10. Perubahan fiologis paru yang trejadi pada pasien PPOK.

(19)

Hipersekresi mukus menyebabkan batuk kronik tetapi tidak semua pasien PPOK mengalami hipersekresi mukus. Batuk kronik merupakan tanda bronkitis kronik dan tidak berhubungann dengan obstruksi aliran udara. Hipersekresi mukus PPOK terjadi akibat metaplasi sel skuamus, peningkatan jumlah sel goblet, dan peningkatan ukuran kelenjar submukosa bronkus sebagai respons terhadap iritasi kronik partikel dan gas beracun. Disfungsi silia terjadi akibat metaplasi sel epitel skuamus, menyebabkan terjadinya ketidaknormalan muociliary escalator sehingga pasien sukar mengeluarkan dahak (Brashier and Kodgule, 2012).

Obstruksi saluran napas menetap merupakan salah satu gejala kardinal PPOK. Obstruksi saluran napas utamanya terjadi di saluran napas kecil dengan diameter <2 mm. Obstruksi aliran udara terjadi akibat inflamasi, remodelling saluran napas yang menyebabkan penyempitan, dan inflammatory exudates di saluran napas kecil.25 Obstruksi saluran napas merupakan salah satu komponen penting penegakan diagnosis PPOK. Baku emas penentuan derajat obstruksi saluran napas PPOK diukur dengan pemeriksaan spirometri (Vijayan, 2013; MacNae, 2006). Obstruksi saluran napas berdasar spirometri jika nilai rasio volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP)-1 dan kapasitas vital paksa (KVP) postbronkodilator <70%. Penurunan nilai VEP-1 merupakan penanda obstruksi saluran napas dan pada PPOK biasanya bersifat progresif. Individu sehat mengalami penurunan nilai VEP-1 sebanyak 20-30 mililiter per tahun (mL/ tahun) sedangkan pasien PPOK mengalami penurunan nilai VEP-1 sebanyak 50-60 mL/ tahun (Brashier and Kodgule, 2012).

Obstruksi saluran napas menyebabkan udara terperangkap selama ekspirasi sehingga terjadi hiperinflasi saat istirahat dan hiperinflasi selama aktivitas (hiperinflasi dinamis). Hiperinflasi dinamis terjadi pada semua derajat PPOK dan ditandai adanya keterbatasan aliran udara ekspirasi. Hiperventilasi terjadi setiap kali bernapas menyebabkan inspirasi terjadi sebelum ekspirasi selesai berlangsung sehingga menyebabkan terjadinya air trapping. Air trapping menyebabkan peningkatan kapasitas residu fungsional (KRF) dan penurunan kapasitas inspirasi (KI) sehingga pasien PPOK menunjukkan gejala khas berupa sesak napas dan keterbatasan aktivitas. Patofisologi hiperinflasi PPOK seperti tampak pada gambar 11 (Brashier and Kodgule, 2012).

(20)

Gambar 11. Patofisiologi hiperinflasi PPOK.

Dikutip dari (13)

Destruksi dinding alveoli dan struktur pembuluh darah paru menyebabkan penurunan luas area difusi sehingga terjadi hipoksia disertai dengan atau tanpa hiperkapnea kronik dan gangguan rasio ventilasi perfusi (V/Q) (MacNae, 2006). Retensi karbondioksida (CO2) kronik menurunkan sensitivitas kemoreseptor di batang otak terhadap perubahan konsentrasi CO2 sehingga mekanisme respiratory

drive primer PPOK berubah. Pernapasan pasien PPOK diatur oleh hipoksia melalui reseptor yang terletak di badan karotis dan arkus aorta. Hipoksia menyebabakan vasokonstriksi kapiler pulmonal yang secara langsung menyebabkan pengeluaran darah yang tidak terventilasi dari alveoli. Pemberian oksigen (O2) aliran tinggi pada pasien PPOK terutama pada saat ekasarsebasi akan menurunkan sensitivitas pusat pernapasan (Brashier and Kodgule, 2012).

Perubahan struktur saluran napas dan paru pasien PPOK menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Hipertensi pulmoner PPOK terjadi pada stadium akhir saat gangguan pertukaran gas terjadi sangat parah. Faktor predisposisi terjadinya hipertensi pulmoner antara lain kontriksi arteri pulmoner akibat hipoksia, disfungsi endotel, remodelling arteri pulmoner akibat hiperplasi dan hipertrofi sel otot polos, destruksi capillary bed pulmoner, dan hypoxia-induced secondary polycythemias

(21)

menghasilkan tekanan positif ventrikel kanan dan peningkatan tekanan baji arteri pulmoner. Disfungsi diastolik ventrikel kiri akibat kelainan sekunder jantung sebagai penyakit komorbid PPOK menyebabkan gangguan tekanan balik vaskuler paru dan ventrikel kanan. Perubahan struktur arteriol pulmoner menyebabkan hipertensi pulmoner menetap, hipertrofi atau pelebaran ventrikel kanan, dan disfungsi ventrikel kanan yang bermanifestasi sebagai CPC. Hipertensi pulmoner kronik meningkatkan nilai afterload ventrikel kanan, sindrom gagal jantung kanan, dan kongesti sistemik. Gambar 12 menunjukkan patofisiologi hipertensi pulmoner PPOK (Brashier and Kodgule, 2012).

Gambar 12. Patofisiologi hipertensi pulmoner PPOK.

Dikutip dari Brashier and Kodgule, 2012

PPOK merupakan penyakit inflamasi kronik yang berpengaruh tidak hanya pada paru tetapi juga pada organ ekstraparu akibat efek sistemik PPOK. Efek sistemik PPOK menyebabkan keterbatasan aktivitas dan memperburuk prognosis pasien. Mekanisme yang mendasari belum diketahui dengan pasti, diduga akibat pengaruh multifaktorial berupa penurunan aktivitas, inflamasi sistemik, hipoksia jaringan, dan efek stres oksidatif. Beberapa efek sistemik PPOK antara lain cachexia,

muscle wasting dan disuse atrophy, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, anemia, polisitemia sekunder, osteoporosis, depresi, dan cemas (Agusti, 2005).

Eksarsebasi berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi dan perburukan gejala (MacNae, 2006). Kondisi eksarsebasi akut PPOK merupakan suatu kondisi penting karena memiliki efek negatif terhadap kualitas hidup penderita, penurunan rerata fungsi paru lebih berat, dan meningkatkan risiko mortalitas penderita (Global initiative for chronic obstructive lung disease 2015). Eksarsebasi

(22)

akut PPOK memperberat derajat PPOK. Perbaikan gejala dan perbaikan fungsi paru akibat eksarsebasi membutuhkan waktu lebih lama. Eksarsebasi juga menyebabkan meningkatnya perawatan di rumah sakit (RS), meningkatnya beban sosio ekonomi, meningkatnya angka mortalitas, dan memperburuk prognosis (Vijayan, 2013).

Terdapat dua faktor pemicu terjadinya eksarsebasi yaitu faktor ekstrinsik (antara lain infeksi saluran napas dan polusi udara) dan faktor instrinsik (peningkatan stres oksidatif, perubahan imunitas, dan peningkatan respons inflamasi) (Tsoumakido and Siafakas, 2006). Penyebab tersering PPOK eksarsebasi akut adalah infeksi trakeobronkial oleh bakteri dan virus, serta polusi udara. Sepertiga kasus eksarsebasi PPOK tidak diketahui penyebabnya (Antariksa et al. 2011; Tsoumakido and Siafakas, 2006).

Derajat obstruksi saluran napas dapat bersifat ringan atau bahkan tidak terjadi pada penderita PPOK eksarsebasi derajat ringan. Penderita PPOK eksarsebasi derajat berat terjadi perburukan gangguan pertukaran gas akibat peningkatan rasioV/Q dan kelelahan otot respirasi. Perburukan rasio V/Q terjadi akibat amplifying inflamasi, edema saluran napas, hipersekresi mukus, dan bronkokonstriksi sehingga terjadi penurunan ventilasi, hypoxic vasoconstriction arteriol paru, dan akhirnya terjadi gangguan perfusi. Kelelahan otot pernapasan dan hipoventilasi alveolar menyebabkan terjadinya hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik, gagal napas, dan akhirnya kematian. Hipoksia dan asidosis respiratorik merangsang terjadinya vasokonstriksi pulmoner dan meningkatkan kerja ventrikel kanan. Perubahan gangguan hormonal, fungsi ginjal, dan peningkatan kerja ventrikel menyebabkan edema perifer (MacNae, 2006). Perubahan fisiologis PPOK eksarsebasi akut dapat dilihat pada Gambar 13 (Tsoumakido and Siafakas, 2006).

(23)

Gambar 13. Gambar skematis patofisologi PPOK eksarsebasi akut.

Dikutip dari Tsoumakido and Siafakas, 2006

5. Diagnosis PPOK

Diagnosis klinis PPOK berdasarkan gejala klinis akut yang dirasakan penderita. Diagnosis klinis PPOK perlu dipikirkan pada penderita usia diatas 40 tahun dengan gejala sesak napas, batuk kronik, batuk kronik berdahak, dan terdapat riwayat pajanan faktor risiko. Klinisi harus berhati-hati dalam menegakkan diagnosis PPOK terutama jika terdapat penyakit komorbid. Penilaian derajat berat ekasaserbasi berdasarkan riwayat medis penderita, tanda dan gejala, serta beberapa pemeriksaan laboratorium jika tersedia (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015; Antariksa et al.

2011).

Riwayat medis yang harus kita evaluasi meliputi derajat berat PPOK berdasarkan derajat hambatan aliran udara, lamanya perburukan gejala atau munculnya gejala baru, riwayat rawat inap sebelumnya, komorbid, regimen terapi saat ini, dan riwayat penggunaan ventilasi mekanis sebelumnya. Tanda keparahan PPOK eksaserbasi akut yang perlu kita evaluasi antara lain penggunaan otot bantu napas, pergerakan paradoksal dinding dada, perburukan gejala sianosis atau munculnya sianosis sentral, edem perifer, ketidakstabilan hemodinamik, dan perburukan status mental (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015).

(24)

Banyak alat ukur berupa kuesioner yang dapat digunakan untuk menilai gejala PPOK. Kuesioner tersebut antara lain modified british medical research council

(mMRC), COPD assessment test (CAT), COPD control questionnaire (CCQ), CRQ, dan St George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ). Penilaian gejala PPOK sangat penting dilakukan karena dapat menilai kualitas hidup penderita. Kuesioner CRQ dan SGRQ tidak banyak digunakan pada praktik klinik karena memiliki pertanyaan yang kompleks. Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases menyarankan menggunakan kuesioner mMRC, CAT, atau CCQ pada praktik klinik karena lebih sederhana dan mudah (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015).

Modified british medical research council (mMRC) merupakan kuesioner yang mengandung 5 pertanyaan dengan jawaban yang harus dipilih penderita sesuai kondisi sesak napasnya saat ini. Kuesioner ini singkat dan mudah karena hanya menilai derajat sesak saja dan tidak menilai gejala lainnya (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015; Kim et al. 2013; Wise, 2008). Terdapat lima derajat sesak menurut kuesioner mMRC yaitu:

1. Derajat 0: saya hanya mengalami sesak napas saat beraktivitas berat.

2. Derajat 1: saya mengalami sesak napas saat berjalan cepat atau menaiki tangga. 3. Derajat 2: saya berjalan lebih lambat dibandingkan orang seusia saya karena saya

mengalami sesak napas atau harus berhenti untuk mengambil napas.

4. Derajat 3: saya berhenti bernapas setelah berjalan 100 meter atau setelah berjalan beberapa menit.

5. Derajat 4: saya sangat sesak untuk meninggalkan rumah atau saya mengeluh sesak napas saat berpakaian.

Kuesioner CAT merupakan kuosiner penilaian gejala PPOK yang lebih kompleks dibandingkan mMRC tetapi lebih sederhana dibandingkan SGRQ. Kuesioner CAT memiliki varibel klinis bervariasi yang dapat digunakan ulang saat eksarsebasi dan penyembuhan. Kuesioner CAT berisi 8 pertanyaan yang berhubungan dengan derajat batuk, berdahak, sesak napas, rasa tidak nyaman di dada, kapasitas latihan dan aktivitas, kepercayaan diri, kualitas tidur, serta tingkat dan kualitas energi. Kuesioner CAT telah divalidasi, banyak digunakan di seluruh negara di dunia, dan telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Masing-masing pertanyaan berisi 6 skor (0-5) sesuai derajat keluhan penderita. Penialain skor CAT dengan menjumlahkan skor masing-masing pertanyaan

(25)

dengan total rentang skor adalah 0-40 (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015; Kim et al. 2013). Kuesioner CAT dapat dilihat pada Gambar 14 (Guarascio et al. 2013).

Batas titik penilaian keparahan gejala menurut Global initiative for chronic obstructive lung disease berdasarkan mMRC adalah 2 dan berdasarkan CAT adalah 10. Batas titik keparahan gejala ini ditetapkan dan telah disetarakan dengan skor SGRQ. Validasai nilai SGRQ yang telah dilakukan menyebutkan bahwa skor SGRQ ≥25 berarti penderita membutuhkan pengobatan gejala dan skor gejala <25 berati penderita tidak membutuhkan pengobatan gejala dan hal ini setara dengan nilai 2 pada mMRC dan 10 pada CAT (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015).

Gambar 14. Kuesioner COPD assessment test (CAT).

(26)

Rata-rata terjadinya eksarsebasi tiap tahun merupakan salah satu hal penting yang harus dinilai karena berhubungan dengan berhasil tidaknya pemberian terapi. Rata-rata terjadinya eksarsebasi tiap tahun untuk tiap penderita berbeda dan Global initiative for chronic obstructive lung disease memberi batasan 2 sebagai batasan berat ringannya derajat penyakit dalam diagnosis PPOK (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015). Derajat eksarsebasi akut tanpa gagal napas diklasifikasikan berdasar beberapa sistem penderajatan. Salah satu klasifikasi adalah berdasar kriteria Winnipeg. Kriteria Winnipeg membagi derajat eksarsebasi berdasar tiga gejala kardinal yaitu peningkatan jumlah dahak, perubahan warna (purulensi) dahak, dan penambahan sesak napas. Kriteria Winnipeg dapat dilihat pada Tabel 2 (MacIntyre and Huang 2008).

Tabel 2. Derajat eksarsebasi akut PPOK berdasar kriteria Winnipeg. Derajat eksarsebasi Gejala klinis Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3

Tiga gejala meliputi peningkatan jumlah sputum, purulensi sputum, dan sesak napas bertambah

Dua dari tiga gejala

Satu dari tiga gejala ditambah paling tidak satu kriteria yaituinfeksi saluran napas, demam, mengi, batuk bertambah, atau peningkatan denyut jantung >20% dari nilai dasar.

Dikutip dari MacIntyre and Huang 2008

Penderita PPOK umumnya berusia tua dan memiliki riwayat merokok sehingga penderita selain menderita PPOK juga menderita sakit yang berhubungan dengan usia tua dan akibat rokok. Penyakit paru obstruktif kronik juga memiliki efek sistemik seperti penurunan BB, malnutrisi, dan skeletal muscle dysfunction. Semua penyakit tersebut merupakan faktor komorbid yang berpengaruh terhadap derajat penyakit (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015).

Pemeriksaan fisik memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang lemah dalam penegakan diagnosis PPOK. Kelainan pemeriksaan fisik terjadi saat penyakit dalam stadium berat. Kelainan pemeriksaan fisik paru terjadi pada pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan inspeksi didapatkan pernapasan pursed lips breathing, bentuk dinding dada barrel chest, penggunaan otot bantu napas, hipertrofi otot bantu napas, pelebaran sela iga, penampilan pink puffer atau blue bloater, dan bila terjadi CPC akan tampak peningkat jugular venous pressure dan

(27)

edema tungkai. Pemeriksaan palpasi khas pada penderita emfisematous lungakan didapatkan sela iga melebar dan fremitus raba melemah. Pemeriksaan perkusi penderita

emfisematous lung didapatkan hipersonor, batas jantung mengecil, diafragma letak rendah, dan hepar terdorong ke bawah. Pemeriksaan auskultasi penderita emfisematous lung didapatkan suara napas vesikuler normal atau melemah, ekspirasi memanjang, dan bunyi jantung terdengar menjauh. Pemeriksaan auskultasi saat eksarsebasi didapatkan

wheezing dan ronki saat bernapas biasa atau ekspirasi paksa (Antariksa et al. 2011).

Global initiative for chronic obstructive lung disease (2015) merekomendasikan pemeriksaan tambahan yang dapat kita dipertimbangkan untuk menilai derajat keparahan eksaserbasi. Pemeriksaan tersebut antara antara lain pulse oksimetry, pemeriksaan analisis gas darah (AGD), rontgen toraks, elektrokardiografi, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan biokimia darah (misalnya elektrolit dan kadar elektrolit) (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015).

6. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Tujuan penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah untuk meminimalkan dampak eksaserbasi saat ini dan mencegah terjadinya eksaserbasi yang akan datang. Penatalaksanaan yang diberikan tergantung dari derajat berat eksaserbasi akut dan atau keparahan penyakit lain yang mendasari. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut dapat diberikan rawat jalan dan rawat inap, karena tidak semua penderita PPOK eksaserbasi akut memerlukan perawatan di RS. Berdasarkan panduan Global initiative for chronic obstructive lung disease (2015) penderita PPOK yang memerlukan perawatan di RS adalah penderita PPOK dengan peningkatan intensitas gejala (misalnya peningkatan sesak napas saat istirahat), PPOK derajat berat, munculnya gejala dan tanda fisik baru (misalnya sianosis, edem perifer), tidak membaik setelah mendapatkan terapi awal untuk PPOK eksaserbasi akut, adanya penyakit komorbid yang parah (misalnya gagal jantung atau terjadinya aritmia), usia tua, dan perawatan di rumah tidak mendukung (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015).

Terapi PPOK eksarsebasi meliputi pemberian inhalasi agonis β-2 kerja singkat, kortikosteroid, dan antibiotic (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015; Antariksa et al. 2011). Bronkodilator awalnya digunakan sebagai terapi utama untuk mengatasi gejala obstruksi saluran napas PPOK. Obat lain dipilih dengan mekanisme kerja secara langsung dan tidak langsung sesuai patogenesis PPOK seperti

(28)

antagonis mediator proinflamasi, antiprotease, dan obat yang memodifikasi respons inflamasi. Penggunaan anti inflamasi seperti kortikosteroid ternyata juga tidak menurunkan progresifitas penyakit dan memperbaiki prognosis karena pengaruh stres oksidatif menyebabkan peningkatan resistensi terapi kortikosteroid. Stres oksidatif dianggap sebagai mekanisme dasar yang dapat memicu inflamasi PPOK sehingga antioksidan dapat digunakan sebagai terapi pendukung terapi standar PPOK (Kirkham and Barnes, 2013; Rahman, 2012; Cavalcante and Brain, 2009).

Terapi antioksidan dapat digunakan untuk mencegah kerusakan sel akibat pengaruh oksidan pada PPOK eksarsebasi akut karena dapat menurunkan kadar stres oksidatif sehingga respons inflamasi turun, sensitifitas kortikosteroid meningkat, sehingga kualitas hidup penderita meningkat (Global initiative for chronic obstructive lung disease 2015; Pirabbasi and Cheraghi, 2012). Antioksidan disarankan diberikan pada penderita PPOK yang sering mengalami eksarsebasi (Global initiative for chronic obstructive lung disease, 2015). Para ahli telah melakukan penelitian mengenai efek antioksidan terhadap fungsi paru dan utamanya fungsi paru penderita PPOK sejak tahun 1960-an. Vitamin C merupakan salah satu vitamin antioksidan yang dapat digunakan sebagai terapi pendukung PPOK. Penelitian cross sectional study yang dilakukan Grievink dkk. (1998) menyebutkan bahwa konsumsi tinggi vitamin C atau β-karoten tidak hanya menjaga nilai VEP-1 dan KVP tetapi juga dapat menurunkan gejala PPOK.

B. VITAMIN C

Vitamin merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan tubuh untuk berbagai proses biokimia dan fisiologis. Sebagian besar vitamin tidak disintesis oleh tubuh sehingga harus didapat dari diet dalam jumlah tertentu. Terdapat dua golongan vitamin yaitu vitamin larut dalam lemak (vitamin A, D, E, dan K) dan vitamin larut dalam air (vitamin C dan B kompleks). Vitamin C atau asam askorbat atau asam askorbit merupakan salah satu vitamin larut air. Vitamin C pertama kali berhasil diisolasi oleh seorang ahli biokimia dari Hungaria bernama Szent-GyorGyi tahun 1928 dan berhasil disintesis pertama kali oleh Haworth dan Hirst (Iqbal et al. 2004; Naidu, 2003).

(29)

1. Farmakokinetik vitamin C

Vitamin C atau L-ascorbic acid (C6H8O6) tersusun atas enam karbon lakton dengan nama kimia 2-oxo-L-threo-hexono-1,4-lactone-2,3-enediol. Vitamin C mengandung dua komponen antara berupa L-ascorbic acid dan L-dehidroascorbic acid

(DHA). Keduanya merupakan bentuk alamiah utama dalam makanan. Pemeriksaan elektrokimia menunjukkan bahwa L-ascorbic acid dan L-dehydroascorbic acid (DHA) membentuk pasangan redoks reversibel. Dehydroascorbic acid mudah tereduksi kembali menjadi L-ascorbic acid dengan bantuan enzim GSH (Kumar and Rizvi, 2012; Iqbal et al. 2004; Naidu, 2003; Padayatty et al. 2003). Struktur kimia asam askorbat dan DHA seperti pada Gambar 15 (Aysun, 2009).

Gambar 15. Struktur kimiawi asam askorbat dan DHA.

Dikutip dari Aysun, 2009

Sebagian besar hewan dapat mensintesis vitamin C dari D-glucose atau D-galaktosa di hepar. Manusia dan beberapa primata lainnya, babi, kelelawar, beberapa ikan, burung, dan serangga tidak dapat memproduksi asam askorbat secara endogen karena kekurangan enzim oksidasi L-gulono-γ-lactone oxidase sehingga vitamin C harus didapatkan dari makanan atau bentuk sintetiknya (Aysun, 2009; Iqbal et al. 2004; Naidu, 2003). Makanan yang banyak mengandung vitamin C antara lain buah-buahan segar (misalnya jeruk, melon, mangga, papaya, apel, kiwi, strawberi, semangka, anggur, dan sebagainya), sayuran hijau (misalnya asparagus, brokoli, kembang kol, kubis, tomat, dan sebagainya), ikan, dan susu (Padayatty et al. 2003). Bentuk sintetik vitamin C berupa tablet, kapsul, tablet kunyah, tablet hisap, cairan, dan bubuk kristal. Sifat kimia vitamin C antara lain berwarna putih kekuningan, mudah rusak jika terkena panas, cahaya, udara, O2, terkena logam transisi, dan disimpan lama. Vitamin C stabil

(30)

disimpan pada pH 4-6 dan bentuk sintetiknya stabil pada kondisi kering. Aktivitas biologi atau bioavailabilitas bentuk alamiah dan sintetik vitamin C hampir sama, kecuali

ascorbyl palmitate merupakan bentuk komersial vitamin C yang larut dalam lemak sehingga digunakan sebagai antioksidan (Naidu, 2003).

Bentuk sintetik vitamin C banyak dalam sediaan gabungan dengan vitamin lainnya (multivitamin). Dosis sediaan vitamin C bervariasi tergantung jenis preparatnya. Preparat bentuk tablet yang mengandung 50-1500 mg. Sediaan suntik mengandung larutan vitamin C sebanyak 100-1000 mg. Kalsium askorbat dan natrium askorbat didapatkan dalam bentuk tablet dan bubuk untuk penggunaan per oral (Dewoto and Wardhini, 2007).

Absorbsi asam askorbat terjadi di mukosa bukal, lambung, dan usus kecil. Absorbsi vitamin C di mukosa bukal terjadi melalui membran kavum bukal secara difusi pasif (Iqbal et al. 2004). Absorbsi di saluran cerna terjadi secara transport aktif melalui ascorbat transporter yang disebut sodium dependent vitamin C transporter tipe-1 (SVCT)-1. Transporter ini juga terdapat di sel tubulus proksimal ginjal dan berfungsi untuk reabsorbsi askorbat. Delapan puluh sampai 90% vitamin C diabsorbsi di saluran cerna (Adikwu and Deo, 2013; Iqbal et al. 2004). Vitamin C mudah diabsorbsi tetapi tidak disimpan dalam tubuh. Kelebihan kebutuhan vitamin C akan diekskresi dalam bentuk aslinya karena vitamin C mudah tersaturasi dalam plasma. Waktu paruh vitamin C dalam plasma bervariasi. Waktu paruh plasma yang panjang (8-40 hari) terjadi pada tubuh individu yang sedang membutuhkan vitamin C. Waktu paruh dalam plasma yang pendek (30 menit) jika kebutuhan vitamin C tubuh telah tercukupi (Duconge et al. 2008).

Konsentrasi plasma vitamin C lebih cepat tercapai saat vitamin C dikonsumsi secara intravena. Padayatty et al. (2003) menyebutkan bahwa konsentrasi plasma vitamin C 30-70 kali lebih cepat tercapai saat diberikan secara intravena dibandingkan secara oral (Levine et al. 2011; Duconge et al. 2008). Penelitian farmakologi lainnya menyebutkan bahwa konsentrasi maksimum vitamin C di plasma individu sehat hanya 220 mikromol per liter (μmol/L) saat dikonsumsi peroral, sedangkan saat dikonsumsi intravena konsentrasi maksimum dapat mencapai 1500 μmol/L karena sistem digestif dapat di bypassed (Ge et al. 2008). Sehingga kebutuhan vitamin C dalam dosis besar

(31)

sebaiknya diberikan secara intravena (Levine et al. 2011; Duconge et al. 2008; Ge et al.

2008).

Metabolisme utama asam askorbat di hepar dan ginjal. Jalur utama metabolisme asam askorbat terjadi akibat berkurangnya dua elektron. Radikal bebas antara yang terbentuk merupakan bentuk reversibel DHA yang membentuk molekul fisiologis inaktif dan ireversibel berupa 2,3-diketogulonic acid. Diketogulonic acid dipecah menjadi oxalic acid dan threonic acid atau didekarboksilase menjadi karbondiaoksida (CO2), xylose, dan xylulose yang kemudian diubah menjadi xylonic acid dan lyxonic

acid. Semua metabolit dan asam askorbat sendiri diekskresi melalui urin (Aysun, 2009). Sekitar 3% dari 60 miligram (mg) vitamin C yang diberikan secara oral diekskresi melalui feses. Pemberian vitamin C dosis tinggi menyebabkan sebagian besar dosis diekskresi dalam bentuk aslinya (Adikwu and Deo, 2013).

Vitamin C memiliki dosis aman sebesar 30-10.000 mg/ hari. Kadar konsumsi yang direkomendasikan konsumsi vitamin C pada individu sehat dan bertujuan untuk pencegahan penyakit sebesar 250-1000 mg/ hari (Padayatty et al. 2003). Recommended dietary allowance (RDA) vitamin C yang dibutuhkan oleh tubuh untuk mencegah penyakit individu bukan perokok sebesar 60 mg/ hari, perokok sebesar 100mg/ hari, laki-laki adalah 90 mg/ hari, dan perempuan adalah 75 mg/ hari. Dosis minimal yang diberikan untuk mencapai konsentrasi plasma dan terakumulasi di leukosit adalah 250 mg/ hari (Aysun, 2009). Dosis perlu ditingkatkan pada orang sakit atau menderita stres, bahkan pada kondisi parah vitamin C dapat diberikan >2000 mg dalam dosis terbagi 24 jam (Levine et al. 2011).

Efek samping penggunaan vitamin C hampir tidak ada. Konsumsi vitamin C dosis tinggi diekskresi melalui urin sehingga menyebabkan hasil positif palsu saat dilakukan pemeriksaan kadar gula urin dan meningkatkan risiko terbentuknya batu ginjal kalsium oksalat pada orang yang rentan (Adikwu and Deo, 2013; Iqbal et al.

2004). Konsumsi vitamin C dosis tinggi menyebabkan efek samping gastrointestinal ringan seperti distensi abdomen, perut kembung, diare, dan kolik sementara. Efek samping gastrointestinal menghilang jika konsumsi dihentikan (Adikwu and Deo, 2013).

(32)

2. Farmakodinamik vitamin C

Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh (Iqbal et al. 2004). Sel yang mengalami stres membutuhkan konsentrasi vitamin C intraseluler untuk memperbaiki kerusakan. Kadar vitamin C tubuh yang rendah menyebabkan sel tidak berfungsi secara efektif (Levine et al. 2011). Vitamin C pada awal penemuannya diduga memiliki efek antiskorbutik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa vitamin C juga memiliki efek non antiskorbutik (Iqbal et al. 2004). Efek non antiskorbutik vitamin C antara lain kofaktor sejumlah reaksi metabolisme tubuh (antara lain metabolisme tirosin, asam folat, triptofan, kolesterol, asam empedu, steroid, dan sebagainya), absorbsi besi, pembentukan dan pemeliharaan kolagen, meningkatkan sistem imun, antioksidan, antibakteri, antivirus, dan anti kanker. Berbagai penelitian epidemiologis menyebutkan bahwa konsumsi tinggi vitamin C harian dan tingginya kadar plasma vitamin C menurunkan berbagai risiko penyakit antara lain asma, PPOK, artritis, kanker, katarak, penyakit jantung, penyakit periodontal, diabetes melitus, dan strok (Kumar and Rizvi 2012, Ge et al. 2008).

C. PERANAN VITAMIN C PADA PPOK

Penelitian manfaat pemakaian vitamin C telah lama dilakukan. Vitamin C awalnya diketahui memiliki efek antiskorbutik dan telah dipakai sebagai terapi antiskorbutik sejak awal penemuannya. Penelitian efek anti kanker vitamin C juga telah diteliti sejak lama. Vitamin C diketahui dapat digunakan sebagai terapi kanker sejak tahun 1949 dan tahun 1952 vitamin C di pakai sebagai obat kemoterapi (Duconge et al.

2008). Semua manfaat pemakaian vitamin C didapat karena vitamin C diketahui memiliki banyak manfaat. Salah satu mekanisme patogenesis PPOK adalah terjadinya peningkatan produksi ROS sehingga beban stres oksidatif meningkat (Barnes, 2014). Vitamin C diketahui memiliki efek antioksidan dengan membantu memelihara DNA, protein, lemak, enzim, dan membantu antioksidan lainnya sehingga selalu dalam bentuk normalnya (Ge et al. 2008). Vitamin C mampu menetralisir radikal bebas atau

scavenger radikal bebas dan dapat menghambat proses peroksidasi lipid sehingga konsentrasi ROS turun dan beban stres oksidatif menurun. Vitamin C mudah larut dalam air sehingga dapat bekerja intraseluler dan ekstraseluler dalam melawan radikal

(33)

bebas (Aysun, 2009; Padayatty et al. 2003). Padayatty et al. (2003) menyebutkan beberapa golongan senyawa yang dapat dinetralisir oleh vitamin C antara lain :

a. Senyawa yang kehilangan pasangan elektronya seperti ROS, RNS, dan radical sulphur species (RSS). Vitamin C berperan sebagai scavenger ROS.

b. Senyawa yang bersifat reaktif tetapi bukan radikal, misalnya asam hipoklorid, nitrosamin, asam nitrat, dan ozon.

c. Senyawa radikal antara yang dibentuk dalam metabolisme tubuh dan saat berikatan dengan vitamin C dirubah kembali menjadi bentuk nonradikalnya. Contoh senyawa tersebut adalah radikal α-tocopherol.

d. Reaksi transisi yang melibatkan besi dan tembaga.

Penyakit paru obstruktif kronik terjadi akibat peningkatan respons inflamasi kronik saluran napas dan paru terhadap berbagai partikel atau gas beracun, sehingga inflamasi merupakan salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya PPOK. Vitamin C memiliki efek sebagai anti inflamasi (Barnes, 2014; Carcamo et al. 2004). Vitamin C dapat berperan sebagai anti inflamasi dengan mempengaruhi kerja NF-κB. Respons NF -κB dipengaruhi oleh ROS danTNF-α. Aktivasi NF-κB dihambat oleh ekspresi enzim antioksidan dan antioksidan. Penelitian yang dilakukan oleh Carmaco dkk. (2004) membuktikan bahwa terdapat dua mekanisme kerja vitamin C sebagai anti inflamasi. Pertama, vitamin C langsung menghambat kerja ROS dengan mendonorkan elektronnya (ROS scavenger). Kedua, vitamin C dalam bentuk teroksidasinya (DHA) menghambat aktivitas enzim inhibitor of nuclear kappa B kinase (IKK) dengan menghambat aktivitas IKK-β, IKK-α, dan p-38 MAPK. Efek anti inflamasi vitamin C dapat dilihat pada Gambar 16 (Carcamo et al. 2004).

Gambar 16. Efek vitamin C dalam mempengaruhi respons inflamasi.

(34)

Inflamasi kronik PPOK akan mengalami peningkatan saat terjadi eksarsebasi. Salah satu penyebab tersering timbulnya eksarsebasi akut PPOK adalah infeksi trakeobronkial karena bakteri ataupun virus (Antariksa et al. 2011; Tsoumakido and Siafakas, 2006). Vitamin C juga berperan sebagai imunoregulator pada proses infeksi. Infeksi merangsang sistem imun tubuh penjamu. Vitamin C dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas sistem imun dengan meningkatkan pembentukan antibodi dan meningkatkan aktivasi sel imun (sel fagosit dan neutrofil) (Kumar and Rizvi, 2012; Iqbal et al. 2004). Asam askorbat melalui transporter yang sama dengan transporter glukosa masuk ke dalam sel yang mengalami sakit, rusak, dan sel tumor. Transport vitamin C masuk sel akan dihambat oleh glukosa, sehingga untuk mengalahkannya dibutuhkan vitamin C dosis besar. Asam askorbat di dalam sel merangsang hexose monophosphate (HMP) shunt yang memecah glukosa menjadi gula dengan lima cincin karbon dan fructosa-6-phospat (fructose-6-P). Fructosa-6-phospat penting pada siklus krebs yang menghasilkan karbondioksida (CO2), hidrogen dioksida (H2O) atau air, dan energi. Gula dengan lima cincin karbon penting untuk sintesis ribonucleic acid (RNA) dan DNA yang mengatur proliferasi sel imun untuk fungsi fagosit. Enzim NADPH yang dihasilkan oleh HMP shunt digunakan oleh sel fagosit untuk menghasilkan superoksida dan sejumlah ROS yang digunakan untuk membunuh patogen. Hubungan vitamin C dan sistem imun dapat dilihat pada Gambar 17 (Ottoboni and Ottoboni, 2005).

(35)

Gambar 17. Hubungan vitamin C dan sistem imun.

Dikutip dari Ottoboni and Ottoboni, 2005

Efek antiviral dan antibakterial vitamin C terjadi akibat interaksi vitamin C dengan ion logam transisi (khususnya tembaga) yang mampu membentuk peroksida selektif berupa H2O2. Hidrogen peroksida membunuh dan menginaktivasi patogen tanpa menyebabkan kerusakan sel sehat (Levine et al. 2011).

Ketidakseimbangan enzim protease dan antiprotease pada PPOK menyebabkan terjadinya destruksi MES yang utamanya terdiri atas tiga komponen (kolagen, elastin, dan proteoglikan). Kolagen merupakan komponen utama penyebab paru memiliki daya tensil sedangkan elastin merupakan komponen utama penyebab paru memiliki daya regang 2-3 kali tanpa kehilangan energi. Stabilitas kolagen sangat dipengaruhi oleh reaksi enzimatik hidroxilasi prolin dan hidroksilasi lisin. Vitamin C berperan sebagai kofaktor reaksi enzimatik hidroksi prolin dan hidroksi lisin. Vitamin C juga dapat meningkatkan transkripsi messenger of ribonucleic acid (mRNA) kolagen (I dan III) (Koike et al. 2014; Derricks et al. 2013).

(36)

Koike dkk. (2014) melakukan penelitian terhadap tikus yang mengalami emfisema akibat paparan asap. Tikus dipakai sebagai hewan coba karena hewan ini tidak dapat mensintesis vitamin C seperti manusia. Pemberian vitamin C menurunkan stres oksidatif, meningkatkan sintesis kolagen, dan meningkatkan kadar VEGF di paru. Koike et al.. menyimpulkann bahwa pemberian vitamin C dapat mencegah dan mengobati emfisema pada tikus, sehingga vitamin C disarankan digunakan sebagai terapi penyakit PPOK manusia. Gambar 18 menjelaskan skema terjadinya emfisema yang diinduksi oleh asap dan perbaikan dinding alveoli setelah terapi vitamin C pada tikus senescence marker protein-30 knockout (SMP30-KO). Paparan asap rokok kronik menyebabkan terjadinya emfisema karena proses perbaikan dinding alveolar dirusak oleh stres oksidatif, apoptosis sel penyusun dinding alveolar, penurunan VEGF, dan penurunan sintesis kolagen. Emfisema menetap pada tikus SMP30-KO yang mendapatkan terapi vitamin C minimal karena tingginya kadar TNF-α di paru. Kelompok tikus yang mendapatkan terapi vitamin C tinggi mengalami perbaikan alveoli ditandai dengan peningkatan sintesis kolagen (utamanya tipe I dan IV), rendahnya kadar stres oksidatif, peningkatan kadar VEGF, dan proliferasi sel penyusun septum alveoli di paru (Koike et al. 2014).

Gambar 18. Skema terjadinya emfisema yang diinduksi oleh asap pada tikus SMP30-KO dan proses perbaikan dinding alveolar setelah pemberian vitamin C.

Dikutip dari Koike et al. 2014 Gambar 19 menjelaskan kerangka teori peranan vitamin C pada penderita PPOK eksarsebasi akut ditinjau dari patogenesisnya. PPOK eksarsebasi akut merupakan kondisi perburukan gejala penderita PPOK sehingga membutuhkan perubahan terapi.

Gambar

Tabel 1. Faktor risiko PPOK.
Gambar 1.Empat mekanisme dasar patogenesis PPOK.
Gambar  3.  Peranan  stres  oksidatif  pada  patogensis  PPOK.  Stres  oksidatif  meningkat  pada  PPOK
Gambar 4. Mekanisme aktivasi NFκβ dan AP-1  yang dimediasi oleh ROS. JNK: c-Jun  N-terminal  kinase,  γ-GCS:  gamma  glutamylcysteine  synthetase;  HO:  haem  oxygenase; IL: interleukin; iNOS: inducible nitric oxide synthase
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bila suatu balok hanya mengalami satu beban terpusat gaya geser bernilai konstan di antara beban dan momen lentur

Kebijakan pengarusutamaan gender pada pendidikan formal dilakukan pada jenjang pendidikan TK, SD, SMP dan SMA. Sosialisasi gender oleh Dinas Pendidikan Kabupaten

Motivasi dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh revaluasi aset tetap bewujud dan rekayasa akrual terhadap laba kena pajak perusahaan.. Variabel bebas

Apa saja yang menjadi kendala penegakan hukum terhadap pelaku usaha. tambang timah yang tidak memiliki IUP, IPR, dan IUPK di

Cangkang trochospiral sangat rendah, biconvex, equatorial periphery lobulate , periphery axial dengan jelas oleh keel, dinding cangkang berpori, permukaan pada

yang mengedepankan pembelajaran berbasis riset. Salah satu misi Perpustakaan UGM ialah menjadi pusat referensi informasi ilmiah bagi seluruh civitas academica di

Suatu kebakaran tidak akan pernah terjadi tanpa tersedia oksigen, bahan bakar dan sumber panas yang cukup yang dapat berkombinasi dengan sesuai. Berdasarkan konsep segitiga

Berdasarkan hasil crossplot impedansi akustik dengan porositas yang ditunjukkan pada gambar 2 (a) dan posisinya pada log oleh gambar 2 (b) terlihat bahwa