• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perang Gerilya Tanda

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 89-95)

BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA

A. Perang Gerilya Tanda

Secara umum, bentuk-bentuk visual yang biasa ditemukan di jalan adalah hasil produksi pemerintah, perusahan iklan, kelompok atau individu pelaku seni jalanan. Umumnya, benda atau gambar visual milik pemerintah bertujuan memberikan pesan kepada masyarakat sehubungan program tertentu yang sedang dijalankannya. Perusahaan iklan

memasang benda visual dengan tujuan untuk menggoda dan memikat hasrat konsumen (memberikan informasi berupa penawaran beragam produk dan jasa). Sedangkan mural dan seni jalanan (grafiti) mengisi ruang-ruang kosong yang dijalan menawarkan “keindahan” yang juga beragam.

Keberadaan mural di tembok-tembok kota Yogyakarta yang terawat baik telah memberikan gambaran bahwa masyarakat setempat telah dapat menerima bentuk seni mural dalam kehidupan keseharian mereka. Berdasarkan pengamatan di lapangan, fenomena mural ini juga diikuti dengan perubahan taktik perusahaan periklanan. Mereka mulai menggunakan mural sebagai corong produk (dan tembok sebagai ruang iklan). Bahkan, beberapa di antara perusahaan tersebut turut mengadopsi teknik grafiti untuk mendesain iklan.

Gambar 26.

Warning not for comercial space Lokasi Sagan (utara Galeria mal Yogyakarta).

Gerakan mural di Yogyakarta memberikan inspirasi bagi para pengusaha dan beberapa organisasi/partai politik untuk turut memanfaatkannya. Dari keterangan Samuel bahwa ada ratusan mural di kota Yogyakarta, tentunya dalam menciptakannya membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Keterlibatan perusahaan-perusahaan yang turut ambil bagian dalam gerakan mural Yogyakarta ini sangat membantu dalam hal pendanaannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan mural Yogyakarta memberikan keuntungan terhadap banyak kalangan (Seniman, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat yang terlibat).

Iklan berbentuk mural pun kian menjamur dan menghias tembok-tembok kota hingga dinding kolong jembatan layang. Terhitung cukup banyak perusahaan yang mau menjadi sponsor dalam pembuatan mural yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi tentu saja disertai syarat. Syaratnya adalah perusahaan tersebut meminta logo perusahaan atau gambar produk mereka dijadikan bagian dari mural. Sebagai contoh, mural yang ada di tembok depan SMA “17” I Bumijo atau iklan pada mural di tembok stadion Kridasono-Kota Baru, yang kemudian tercatat dalam rekor MURI sebagai Iklan Terpanjang.

Gambar 27.

Mural iklan produk tabungan sebuah bank yang dibuat tahun 2004. Lokasi: depan SMA “17” 1 Bumijo, Yogyakarta,

(Foto: Dok. penulis, 2007)

Munculnya mural iklan di Yogyakarta membuat suasana jalan semakin ramai dengan beragam tampilan visual. Kota pun terkesan penuh tanpa ruang kosong. Terlebih lagi

ketika billboard iklan semakin banyak terpasang di hampir setiap sudut perempatan dan batas kota, bahkan terkadang membelah jalan. Hal ini mengindikasikan ketatnya persaingan antara perusahaan periklanan, baik menyangkut pemilihan tempat, variasi bentuk iklan, hingga teknik pembuatannya. Di saat seperti itulah keberadaan mural ternyata dianggap sebagai salah satu pilihan yang patut dicoba.

Di dalam dunia ekonomi, iklan sering diartikan sebagai ujung tombak industri (kapitalisme) tetapi juga tidak dipungkiri, iklan mampu memberikan kontribusi pemasukan yang cukup besar bagi pemerintah kota Yogyakarta, industri periklanan itu sendiri, bahkan masyarakat (misalnya pengadaan gerobak rokok atau biaya sewa tembok). Diterimanya keberadaan iklan oleh masyarakat dapat juga dilihat sebagai ciri dari kehidupan masyarakatnya. Mungkin saja persoalan mural iklan yang menggantikan mural seni dipandang sebagai masuknya “budaya global” yang merupakan dampak dari globalisasi ekonomi yang memberi pengaruh besar pada budaya—artinya, budaya global sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi. Ekspresi budaya kemudian dibentuk berdasarkan landasan paradigma ekonomi, sehingga menciptakan sejumlah kategori baru di bidang budaya, yaitu kebudayaan yang diorganisir dan dibangun atas dasar prinsip industri (kapitalisme) yang mendudukkan kebudayaan sebagai komponen komoditi. Hal ini mendorong semakin majunya budaya konsumerisme di kehidupan masyarakat.

Selain meramaikan dunia periklanan, banyak pula mural yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang sarat muatan politis. Misalnya, mural yang wajib digambar oleh para peserta dalam suatu lomba mural dengan tema yang ditentukan oleh panitia penyelenggara. Tema-tema yang wajib digunakan oleh peserta telah ditentukan sedemikian rupa sehingga mural yang dihasilkan dapat menciptakan keseragaman, baik nuansa

maupun makna dari mural tersebut secara keseluruhan.1 Mural yang identik dengan gambar berukuran besar, yang pada masa Orde Baru pernah dikembangkan oleh Pemerintah dalam bentuk gambar besar yang biasa disebut baliho. Baliho tersebut berisi kampanye program-program kerja pemerintah yang sengaja disebarluaskan ke masyarakat.

Gambar 28.

Mural PAN. Sketsa rancangan Ismail. Visualiser Eko S Widodo. (Foto: Dok. pribadi, 2004)

Keberadaan mural juga mewarnai masa kampanye Pemilu. Beberapa Partai Politik (Parpol) mengembangkan mural sebagai sarana untuk menyampaikan pesan politik atau mengenalkan calon pemimpin yang dijagokan. Untuk mural jenis ini biaya pembuatan biasanya berasal dari Parpol, meski ada pula mural yang dibuat atas inisiatif warga sendiri, seperti yang terjadi di beberapa tempat di Yogyakarta.2

Di mata seorang perupa bernama Eko S Widodo, kampanye adalah peluang bisnis yang bagus. Menurutnya, dahulu parpol hanya mengandalkan percetakan untuk membuat media kampanye. Namun kini para seniman mural mulai bisa ikut merasakan panen rejeki

1

Banyak kampung di Yogyakarta, pada perayaan 17 Agustus 2003-2004, membuat even lomba mural dengan tema yang ditentukan. Hal ini dianggap biasa oleh sebagian masyarakat.

2

Wawancara dengan Agus Botol (30 tahun) warga Gampingan, “Gambar mural Megawati di Pasar Serangan adalah inisiatif warga dengan biaya sendiri.”

lewat kampanye. Berkampanye lewat mural atau lukisan dinding dianggap sebagai strategi kampanye model baru, yang dianggap bisa menarik perhatian publik lebih banyak. Bagi Eko, demi membiayai hidup keluarga, dia tidak terlalu peduli dengan perkembangan seni rupa ataupun tafsiran orang yang menganggap rendah pekerjaannya itu.3

Masyarakat sudah menerima keberadaan mural tanpa merasa perlu mempermasalahkan isi pesan yang dikandungnya—apakah mural seni, propaganda atau mural iklan. Mereka lebih melihat mural sebagai ornamen atau hiasan tembok semata. Namun jika ditinjau lebih jauh, maka akan terlihat campur tangan kapitalisme dalam persoalan ini. Kapitalisme dengan kekuatan maha dahsyat yang mampu mencairkan segala sesuatu yang menghalanginya; dalam hal ini adalah kebebasan yang mengalir ke segala arah yang kemudian secara parsial memenuhi kehendak lewat berbagai bentuk produk dan pencitraan tanda—meski hanya bersifat sementara. Persoalan tersebut dapat pula dilihat sebagai ajang “perang gerilya tanda” antara sejumlah kepentingan yang dilakukan melalui cara saling berebut tanda dan memberi makna.

Inilah gambaran dari dunia konsumerisme, sebagai produk kapitalisme global yang menawarkan sebuah ruang dimana tanda, makna dan citra dapat mengalir bebas seiring mengalirnya kebebasan kapital dan komoditi. Salah satu gejala dari era kapitalisme yang jelas terlihat lewat bentuk visual iklan dan karya seni yang semakin sulit dibedakan, baik dari segi estetis atau teknik pembuatannya.

Penentuan tema (biasanya oleh kelurahan, kecamatan) yang dibuat pada saat lomba mural yang kerap dilakukan menjelang hari Kemerdekaan Republik Indonesia di kampung-kampung Yogyakarta menandakan adanya fenomena hubungan kekuasaan

3

Wawancara dengan Eko S Widodo (33 tahun), seniman lulusan FSR ISI Yogyakarta, pada tanggal 12 Maret 2004.

pemerintah yang diterima begitu saja oleh masyarakat, dalam hal ini kampanye program pemerintah yang dijadikan tema mural.

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 89-95)

Dokumen terkait