Perangkat hukum perjanjian dalam syariah Islam adalah terpenuhinya rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus ada (inheren) dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. Adapun syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa, dan tindakan tersebut, tetapi tidak merupakan esensi dari akad tersebut.
Rukun akad yang utama adalah ijab dan qabul. Adapun syaratnya adalah ada yang menyangkut rukun akad, ada yang menyangkut objeknya dan ada yang menyangkut subjeknya. Syarat rukun akad telah dibicarakan dimuka. Selanjutnya yang akan dibicarakan adalah syarat yang menyangkut objek dan subjeknya.
a. Rukun Akad
Para ulama berbeda pandangan dalam menentukan rukun akad ini. Perbedaan itu muncul dari segi esensi akad itu sendiri. Di sini tidak akan membahas perbedaan pandangan ulama tersebut, hanya akan menjelaskan pendapat jumhur, khususnya yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili. Wahbah tampaknya sepakat bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu unsur penting dalam suatu perjanjian54 Namun ada
unsur lain yang juga penting termasuk dalam rukun akad. Dari unsur-unsur yang akan disebutkan Wahbah ini, ada yang menganggap hanya satu sebagai rukun, sedangkan lainnya syarat. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa kesemuannya merupakan rukun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut 55 :
1). Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri); 2). Al-Ma’qud alaih/mahal al-‘aqd (objek akad );
3). Al-Muta’aqidain/al-‘aqidain (pihak-pihak yang berakad); 4). Maudhu’al-‘aqd (tujuan akad ).
1. Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri)
Shighat al-aqad adalah cara bagaimana pernyataan mengikatkan diri itu dilakukan. Shighat al-aqad ini merupakan rukun akad yang terpenting. Bahkan, menurut ulama Hanafiyah, rukun akad itu hanya satu yaitu shighat al-aqad ini. Adapun yang lainnya yang dianggap sebagai rukun akad oleh jumhur, hanya merupakan syarat-syarat akad. Dalam literatur fiqh, shighat al-aqad biasanya diwujukan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini, agar ijab-qabul ini benar-benar mempunyai akibat hukum, para ulama fiqh mensyaratkan 3 (tiga) hal :
55 Ibid, hlm 252-258
a) Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;
b) Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian;
c) Pernyataan ijab dan qabul ini mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti dan tidak ragu-ragu.
Adapun shighat al’aqad dapat dilakukan secara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan qabul, dan dapat pula berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.
Menurut Mustafa Ahmad Az-zarqa 56, suatu akad telah sempurna apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat. Akan tetapi, ada juga akad-akad tertentu yang baru sempurna apabila telah dilakukan serah terima objek akad yaitu tidak cukup dengan ijab qabul saja. Akad seperti ini disebut dengan al-‘uqud al-‘ainiyyah. Akad seperti ini ada 5 (lima) macam, yaitu :
a. Al-Hibah
b. Al-‘ariyah (pinjam meminjam), c. Al-wadi’ah (penitipan barang), d. Al-qiradh (pemberian modal), dan e. Al-rahn (jaminan utang).
Untuk akad-akad seperti ini, menurut para ulama fiqh disyaratkan bahwa barang itu harus diserahkan kepada pihak yang berhak dan dikuasai sepenuhnya.
56 Ibid, hlm 254.
Semata-mata ijab dan qabul dalam kelima macam akad di atas, belum menimbulkan akibat hukum apapun.
2. Mahal al-Aqd (Objek akad)
Sesuai dengan bentuknya objek akad bermacam-macam. Dalam akad jual beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai objeknya adalah barang gadai dan utang yang diperolehnya. Dalam akad sewa menyewa, objeknya adalah manfaat yang disewa seperti tenaga manusia, rumah dan tanah. Dalam perjanjian bagi hasil, objeknya adalah kerja petani/pedagang/pengusaha dan hasil yang akan diperoleh, dan selanjutnya. Agar suatu akad dapat dipandang sah, objeknya memerlukan syarat sebagai berikut :
a). Telah ada pada waktu akad diadakan
Objek akad harus telah ada pada waktu akad diadakan. Barang yang belum ada tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat kebanyakan fuqaha, sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada suatu yang belum ada. Meskipun ada pengecualian dari kententuan umum tersebut, seperti akad salam (pesan barang dengan pembayaran harga sebagian atau seluruhnya lebih dulu), dan ijarah/leasing (sewa menyewa), atau juga dalam bentuk bagi hasil (mudharabah), di mana objek akad cukup diperkirakan akan ada pada masa yang akan datang.
b). Dibenarkan oleh syara/nash
Para fuqaha sepakat bahwa suatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat menjadi objek akad. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang
diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak – pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan benda bernilai bagi kaum muslimin. Karenanya, ia tidak memenuhi syarat menjadi objek akad jual beli antara pihak – pihak yang keduanya atau salah satunya beragama Islam. c). Dapat ditentukan dan diketahui
Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan objek akad mudah menimbulkan sengketa di kemudian hari sehingga tidak memenuhi syarat menjadi objek akad. Untuk menentukan apakah syarat kejelasan suatu objek akad itu sudah terpenuhi atau belum, adat kebiasaan (urf) mempunyai peranan penting.
d). Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi
Objek akad harus dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak dapat berarti harus dapat diserahkan seketika. Maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan dalam akad, objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada di bawah kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan. Karenanya, ikan di laut, burung di udara dan binatang yang masih berkeliaran di hutan tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad. 3. Al-‘aqidain (Pihak-pihak yang berakad).
Ijab dan qabul yang telah dibicarakan, tidak mungkin terwujud tanpa adanya pihak-pihak yang melakukan akad. Oleh karenanya, pihak – pihak yang melakukan perjanjian merupakan faktor utama pembentukan suatu perjanjian. Namun demikian, tidak semua orang dipandang cakap mengadakan akad, ada yang sama sekali
dipandang tidak cakap, ada yang dipandang cakap mengenai sebagian tindakan dan tidak cakap sebagian lainnya, dan adapula yang dipandang cakap melakukan segala macam tindakan.
Dari pendapat yang dikemukakan para ahli hukum Islam, tidak cakap bertindak ialah terdiri dari 57 :
a) Anak yang masih di bawah umur; b) Orang yang tidak sehat akal; c) Orang yang boros.
Berkaitan dengan kecakapan orang yang melakukan akad ini, para fuqaha membahasnya pada dua hal pokok. Pertama, Ahliyatul Ada’, yaitu : ada orang yang layak dengan sendirinya dapat melakukan berbagai akad. Di mana seseorang tersebut layak mendapat ketetapan untuk menerima hak dan kewajiban serta tindakan-tindakan sesuai dengan perjanjian dibuatnya yang dibenarkan oleh syara’. Di samping itu juga terbebas dari kemungkinan terhalangnya kelayakan tersebut (‘Alwaridhul Ahliyah). Adapun yang kedua, wilayah atau perwalian. Kata wilayah ini berarti adanya kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh syara’ atau undang-undang kepada seseorang untuk melakukan tindakan suatu akad, yang mempunyai akibat-akibat hukum. Kewenangan perwalian ini terdapat dalam beberapa bentuk, ada yang disebut Niyabah ashliyah, yaitu seseorang yang mempunyai kecakapan sempurna dan melakukan dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri. Dan ada juga yang disebut dengan Niyabah al-Syar’iyyah atau wilayah Niyabiyah, yaitu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai
57
kecakapan sempurna untuk melakukan tindakan hukum atas nama orang lain. Bentuk kedua ini baik karena ikhtiyariyah (memilih menentukan sendiri) atau berdasarkan ijbariyah (keputusan tetap hakim untuk menunjuk seseorang melakukan perwalian terhadap pihak-pihak yang mengharuskan adanya perwalian, atau pihak lain sebagai wakil atas namanya berdasarkan ketetapan/keputusan hakim).
4. Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Akad)
Tujuan akad merupakan salah satu bagian penting dari syarat akad. Adapun yang dimaksud dengan maudhu’ul aqd adalah almaqshudul ashliy alladzia syara’a l’aqdu min ajlih (tujuan utama mengapa ditentukan adanya akad).
Dalam hukum positif yang menentukan tujuan ini adalah undang-undang itu sendiri. Adapun dalam syariah Islam, yang menentukan tujuan akad adalah yang memberikan syari’at (al-Syari’) yaitu Allah Swt. Jadi, Tuhanlah yang menentukan tujuan dari setiap perjanjian yang dibuat. Tujuan perjanjian adalah 1 (satu). Meskipun beraneka ragam jenis dan bentuknya sesuai dengan bermacam-macam jenis dan bentuk akad. Misalnya, dalam jual beli tujuannya adalah pemindahan hak milik dari suatu barang dengan imbalan tertentu. Dalam sewa menyewa, tujuannya adalah memberi manfaat/faedah dari barang yang disewakan.
Tujuan setiap akad menurut ulama fiqh, hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu, seluruh akad yang mempunyai tujuan atau akibat hukum yang tidak sejalan dengan syara’ hukumnya tidak sah, seperti berbagai akad yang dilangsungkan dalam rangka menghalalkan riba, seperti
bai al-‘ainah (salah satu bentuk akad semu yang diciptakan untuk menghalalkan riba).
Tujuan akad memperoleh tempat penting untuk menentukan apakah suatu akad dipandang sah atau tidak. Tujuan ini berkaitan dengan motivasi atau niat seseorang melakukan akad. Agar tujuan akad dianggap sah, maka harus memenuhi syarat 58 yaitu :
a) Tujuan hendaknya baru ada pada saat akad diadakan, bukan merupakan kewajiban yang seharusnya menjadi kewajibannya;
b) Tujuan akad harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad;
c) Tujuan akad harus dibenarkan syara’.