• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 06 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak

KESIMPULAN DAN SARAN A.KESIMPULAN

E. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 06 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak

Suatu langkah maju Pemerintah Sumatera Utara telah melahirkan suatu Peratuan Daerah Trafficking disahkan pada tanggal 6 Juli 2004., oleh gubernur Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin dan diundangkan pada tanggal 26 Juli 2004. Dalam Perda ini bahwa perdagangan anak dan perempuan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, dan mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia baik nasional maupun Internasional.68

Perempuan adalah penerus generasi bangsa yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk itu perlu dilindungi harga diri dan martabatnya, serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai

67

http://www.kompasiana.com/memposisikan perdagangan orang sebagai kejahatan luar

biasa. Diakses terakhir pada hari selasa, 4 Agustus 2015

68

dengan fitrah dan kodratnya, karena itu segala bentuk perlakuan yang menggangu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus segera dihentikan.

Dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan teganya telah memperlakukan Perempuan dan Anak untuk kepentingan bisnis, yakni melalui perdagangan manusia (Trafficking). Trafficking terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian.

Penghapusan perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak dilakukan dengan berasaskan penghormatan dan pengakuan atas hak-hak dan martabat kemanusiaan yang sama dan perlindungan hak-hak asasi perempuan dan anak (Pasal 2). Penghapusan perdagangan perempuan dan anak dalam Perda ini, bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi, da reintegrasi perempuan dan anak korban perdagangan (Pasal 3);

Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Hal ini diwujudkan dalam pemberian :

a. Hak mencari, memperoleh, atau memberikan informasi dan atau melaporkan adanya perdagangan perempuan dan anak kepada penegak hukum;

b. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

atau pengiriman tenaga kerja agar tidak terjadi praktik-praktik yang menjurus kepada perdagangan perempuan dan anak.

Sanksi pidana dalam perda ini terdapat dalam Pasal 28 yaitu : “Setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi, dan membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya perdagangan perempuan dan anak dengan tujuan melakukan eksploitasi baik dengan atau tanpa persetujuan untuk pelacuran, kerja, atau pelayanan, perbudakan atau praktik serupa dengan perbudakan, pemindahan, atau transplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga, dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun nonmaterial dapat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu dilindungi harga diri dan martabatnya. Setiap keluarga pasti menginginkan kelahiran dari seorang anak untuk melengkapi kebahagiannya. Setiap orang harus menjamin hak hidup seorang anak, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Tiap-tiap individu ini harus menghormati hak asasi dari setiap manusia lainnya termasuk anak.

Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan menggantikan generasi tua dan melanjutkan roda kehidupan negara, dengan demikian, anak perlu dibina dengan baik agar semua tidak salah dalam hidupnya kelak. Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara lansung maupun tidak langsung. Setiap komponen bangsa, baik pemerintah maupun non pemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Komponen-komponen yang harus melakukan pembinaan terhadap anak adalah orangtua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah 1.

Dalam Pasal 34 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Dalam perubahan kedua tahun 2000 (amandemen) UUD 1945 Pasal 28B ayat 2 menyatakan bahwa “setiap anak

1

Maidin Gultom, Perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan (Bandung : PT. Refika Aditama, 2012), Halaman 69

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskrminasi”. Dan perlindungan terhadap anak diwujudkan dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartipsipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. Baik fisik, mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

Dari pengertian korban yang disebutkan diatas, tidak hanya sebatas pengertian saja, tetapi ada juga ciri yang melekat pada pengertian korban. Ciri yang dimaksud adalah bahwa korban mengalami penderitaan (suffering) dan ketidak adilan (injustice). Luas sempitnya pengertian korban kejahatan berkaitan erat dengan sifat kejahatan itu sendiri.

Seiring perkembangan zaman dan perkembangan teknologi, telah terjadi eksploitasi terhadap anak yang mengarah ke tindak pidana perdangan orang dengan berbagai faktor. Jika di telusuri lebih dalam banyak sekali faktor

terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Para pelaku tindak pidana perdagangan anak menggunakan berbagai macam modus operandi untuk melancarkan aksinya untuk memperdayai korbannya yang masih anak-anak. Anak yang seharusnya menjadi penerus bangsa dan memiliki masa depan yang cerah telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

Di zaman globalisasi sekarang ini, telah banyak terjadi berbagai macam kejahatan yang mengancam kehidupan manusia, tidak terkecuali dengan kejahatan mengenai perdagangan orang. Perdagangan orang telah menyebar ke semua negara yang ada di dunia ini, termasuk juga di Indonesia.

Perdagangan perempuan dan anak telah lama terjadi dimuka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia 2. Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut laporan Global tentang tentang perdangan manusia tahun 2014 yang diluncurkan oleh Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) di

2

Wina, anak perempuan merupakan 2 dari 3 korban perdagangan orang. Dan bersama-sama dengan perempuan, mereka merupakan 70 persen dari korban perdagangan orang di dunia yang secara khusus menjadi target dan dipaksa menjadi budak modern.3 Situasi ini sangat buruk bagi anak perempuan dan perempuan pada umumnya.

Permasalahan perdagangan anak dan perempuan memang merupakan masalah yang sangat kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berkaitan erat. Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Apalagi, hingga saat ini posisi perempuan masih termarjinalisasi, tersubordinasi yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kondisi perempuan.4

Kekerasan sering terjadi terhadap anak dan perempuan rawan. Disebut rawan adalah karena kedudukan anak dan perempuan yang kurang menguntungkan. Anak dan perempuan rawan (children and women at risk) merupakan anak dan perempuan anak dan perempuan yang mempunyai resiko besar mengalami gangguan gangguan atau masalah dalam perkembangannya, baik secara psikologis (mental), sosial maupun fisik. Anak dan perempuan rawan dipengaruhi oleh kondisi internal maupun kondisi eksternalnya, diantaranya ialah anak dan perempuan yang “economically disadvantaged” (anak dan perempuan

3

Laporan mengenai perdagangan manusia yang dikeluarkan oleh kantor Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), 24 Agustus 2014,

http:/www.unic-jakarta.org/2014/11/25/perdagangan anak meningkat menurut laporan pbb terbaru.html diakses terakhir pada tanggal 29 Juli 2015

4

Chairul Bariah Mozasa, Aturan-aturan Hukum Trafiking (perdagangan perempuan dan

dari keluarga miskin); culturally disadvantaged (anak dan perempuan dari daerah terpencil); cacat, yang berasal dari broken home (keluarga retak)5.

Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pada kasus perdagangan manusia, posisi perempuan dan anak-anak benar-benar tidak berdaya dan lemah, baik secara fisik maupun mental, bahkan terkesan pasrah pada saat diperlakukaan tidak semestinya.

Industri seks sebagai salah satu pengguna perdagangan manusia, selain menimbulkan human social and economic cost yang tinggi, juga menyebarkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bagi anak yang dilacurkan, terampaslah peluang mereka untuk memperoleh pendidikan dan untuk mencapai potensi pengembangan sepenuhnya, yang berarti merusak sumber daya manusia yang vital untuk pembangunan bangsa. Namun demikian, tidak dapat disangkal pula bahwa praktik legal trafficking dalam berbagai bentuk menandai telah terjadinya pergeseran-pergeseran relatif dalam bidang hukum kontemporer.6

Indonesia merupakan negara sumber utama perdagangan seks dan pekerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan laki-laki dan dalam tingkatan yang jauh lebih rendah menjadi negara tujuan perdagangan manusia, dengan daerah-daerah yang signifikan adalah jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan

5

Maidin Gultom, Op. Cit, Halaman 15

6

Alfitra, Modus Operandi pidana khusus di luar KUHP,(Jakarta : penebar swadaya grup, 2014) Halaman 106

Sumatera Selatan.7 Perdagangan manusia didalam negeri merupakan masalah yang signifikan di Indonesia, anak Perempuan dan Perempuan dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga dan eksploitasi seksual komersial. Banyak korban pada awalnya direkrut dengan ditawari pekerjaan di restoran, pabrik atau sebagai pekerja rumah tangga sebelum dipakasa masuk ke dalam dunia prostitusi.

Dewasa ini, seks telah menjelma dalam berbagai bentuk, baik yang dilakukan secara langsung dengan persetubuhan (normal) dan yang dilakukan melalui berbagai media elektronik, walaupun hingga saat ini jasa pelayanan seks yang diatur dalam peraturan pemerintah dan ditawarkan di lokalisasi atau kompleks-kompleks pelacuran masih dapat diperoleh, pelayanan seks komersil diluar lokalisasi tetap marak biasanya secara sembunyi-sembunyi seperti perumahan, hotel, SPA, bar, restoran, diskotik, salon kecantikan, tempat khusus, dan sebagainya yang menyediakan teman pendamping atau teman kencan.8

Banyak faktor yang mendorong anak perempuan terlibat dalam trafficking yang salah satunya adalah faktor materialisme yang konsumtif yang menjerat hidup anak baru gede (ABG) sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini. ABG ini sangat rentan terhadap bujukan dan rayuan para calo untuk masuk dalam perdagangan orang.9

Sebagai negara hukum, konstitusi kita menjamin warganya sama kedudukannya dimuka hukum. Sebagaimana Pasal 27 ayat 1 UUD 1945

7

Laporan Perdagangan Manusia yang dikeluarkan oleh Kantor Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri AS, Tahun 2014,

http://indonesia.jakarta.usembassy.gov/laporanpolitik/perdagangan-manusia.html, diakses pada

tangal 31 Juli 2015

8

Maidin Gultom, Op. Cit, Halaman: 30

9

memberikan jaminan tersebut bahwa “ setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintah serta wajib menjunjung hukum dan pemerintah tersebut tanpa terkecuali”. Makna dari bunyi Pasal tersebut adalah bahwa setiap warga negara mempunyai hak dibela (acces to legal counsel), sama diperlakukan dimuka hukum (equality before the law) dan keadilan untuk semua (justice for all).

Bekerjanya peradilan pidana baik dalam lembaga dan pranata hukumnya lebih diorientasikan pada pelaku kejahatan (offender oriented). Eksistensi korban tersubordinasi dan tereliminasi sebagai risk secondary victimizations dalam bekerjanya peradilan pidana.10 Dapat dipahami bahwa sistem peradilan pidana memiliki publiknya sendiri yang selalu terikat dengan konteks sosial masyarakat dimana sistem peradilan pidana itu dijalankan. Kerentanan sistem peradilan pidana dalam menerjemahkan fungsinya yang berafiliasi dengan kepentingan dapat dipahami dari karakter sistem peradilan pidana itu.

Sehubungan dengan upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini banyak ditelantarkan. Masalah kejahatan senantiasa difokuskan pada apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat dan kurang dipertanyakan apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap si penjahat, seakan-akan penjahat merupakan satu-satunya sumber kesulitan korban.11

Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian kebenaran materiil, yaitu sebagai saksi. Dalam tahap pemeriksaan, seperti halnya

10

C.maya Indah S, Perlindungan Korban dalam Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, ( Jakarta : Kharisma Putra Utama, 2014), Halaman 97

11

korban perdagangan anak tidak sedikit yang mengabaikan hak-hak dari korban, misalnya korban diperiksa tanpa didampingi penasehat hukum sehingga banyak dari mereka yang tidak dipenuhi hak-haknya sebagai korban. Hal itu dikarenakan anak-anak korban perdagangan orang tidak mengerti akan proses hukum yang berjalan. Sementara itu, pada tahap penjatuhan putusan hakim, korban dikecewakan dengan keputusan pidana karena putusan yang dijatuhkan pada pelaku relatif ringan, tidak sebanding dengan penderitaan yang harus ditanggung oleh korban.12

Dalam penanganan perkara pidana khususnya tindak pidana perdagangan orang, kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya tindak pidana juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law) yang menjamin keadilan bagi semua orang (justtice before all). Perhatiaan kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity)13.

Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya, perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan atau perbudakan. Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia sehingga, setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali.

12

Dikdik Arief Mansur dan ElisatrisGultom, urgensi perlindungan korban kejahatan. (Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada, 2007) , Halaman 30

13

Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang harus dijadikan sebagai bagian dalam upaya penegakan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan sosial yang merupakan usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan yang mengakomodasi hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang. Sudah sewajarnya bahwa kepentingan korban diperhatikan. Oleh karena itu, masalah utama atau objek hukum pidana, pertanggungjawaban, dan pidana, juga harus meliputi permasalahan korban.

Perlindungan korban dalam peradilan pidana terkait dengan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, sebagai bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat dan kebijakan kesejahteraan sebagai bagian dari kebijakan sosial. Keterpadauan antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial berkonsekuensi pada perlunya perhatian terhadap korban. Pengakomodasian hak-hak asasi korban melalui perlindungan hukum terhadapnya merupakan bagian integral pula dari keseluruhan kebijakan kriminal

Menyadari betapa pentingnya Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang demi terwujudnya keadilan dan pemenuhan hak asasi korban tindak pidana perdangan orang, maka penulis bermaksud menelaah tentang Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang ( Studi di Pengadilan Negeri Medan)