• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/ PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran

Dalam dokumen Persandingan Satu NaskahUndang-Undang KUP (Halaman 166-171)

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 189/PMK.03/2007

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN SURAT TAGIHAN PAJAK

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986); 4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT TAGIHAN PAJAK.

Pasal 1

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak dalam hal:

a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan idak atau kurang dibayar; b. berdasarkan hasil peneliian terdapat kekurangan pembayaran

pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;

c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;

d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, idak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi idak tepat waktu;

e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak idak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, kecuali isian faktur pajak tersebut telah mencantumkan:

1. idenitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000; atau

2. idenitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran; f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak idak sesuai dengan

masa penerbitan faktur pajak. Pasal 2

(1) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diterbitkan setelah dilakukan peneliian administrasi perpajakan atau berdasarkan hasil pemeriksaan pajak.

(2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a diterbitkan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak Masa Pajak yang bersangkutan.

Pasal 3

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Pasal 4

Sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga yang ditagih berdasarkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c termasuk sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) dan sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

Pasal 5

Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d, huruf e, atau huruf f, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Pasal 6

Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.

Agar seiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 28 Desember 2007 MENTERI KEUANGAN,

td

SRI MULYANI INDRAWATI

Catatan : Peraturan Menteri Keuangan ini telah mengalami perubahan, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2010 Tanggal 13 April 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/ PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 190/PMK.03/2007

TENTANG

TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740); 2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan pajak yang seharusnya idak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan objek pajak.

Pasal 2

(1) Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas pajak yang seharusnya idak terutang, pembayaran tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan surat permohonan. (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

melipui Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi termasuk orang pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 3

(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yakni:

a. pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut; atau

b. pajak yang dipotong atau dipungut seharusnya idak dipotong atau idak dipungut,

dan pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan idak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut.

(2) Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan.

(3) Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali

oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.

Pasal 4

Pengembalian pajak yang seharusnya idak terutang berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau ayat (3) dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan, dalam hal:

a. pihak yang dipotong atau dipungut orang pribadi yang idak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

b. pihak yang dipotong atau dipungut subjek pajak luar negeri; atau

c. terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut,

kecuali Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan idak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha.

Pasal 5

(1) Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdatar atau berdomisili. (2) Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan

pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut terdatar.

(3) Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang

diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dikukuhkan.

(4) Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang diajukan oleh Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdatar atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan dikukuhkan.

Pasal 6

(1) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dilampiri, antara lain: a. asli buki pembayaran pajak;

b. perhitungan pajak yang seharusnya idak terutang; dan

c. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang.

(2) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut atau Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri, antara lain:

a. asli buki pemotongan/pemungutan pajak;

b. perhitungan pajak yang seharusnya idak terutang; dan

c. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang.

(3) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri, antara lain:

a. asli buki pemotongan/pemungutan pajak; b. perhitungan pajak yang seharusnya idak terutang; c. surat permohonan dan surat kuasa dari pihak yang

dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan; dan

d. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang.

Pasal 7

(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan peneliian terhadap permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang dalam jangka waktu paling lama 3 (iga) bulan sejak surat permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.

(2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila berdasarkan laporan hasil peneliian terdapat pembayaran pajak yang seharusnya idak terutang.

(3) Apabila berdasarkan laporan hasil peneliian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyatakan bahwa idak terdapat pajak yang seharusnya idak terutang, Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara tertulis.

Pasal 8

Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak setelah terlebih dahulu memperhitungkan dengan utang pajak.

VIII

Dalam dokumen Persandingan Satu NaskahUndang-Undang KUP (Halaman 166-171)