• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan Sistem Perakaran dengan Agrobacterium rhizogenes

Bibit Tanaman Manggis

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Perbaikan Sistem Perakaran Tanaman dengan Transformasi Agrobacterium rhizogenes

2.3.4. Perbaikan Sistem Perakaran dengan Agrobacterium rhizogenes

Perakaran masih menjadi masalah utama yang sulit dipecahkan pada tanaman tahunan berkayu yang diperbanyak dengan metode perkecambahan biji maupun kultur in vitro. Percobaan untuk memperbaiki sistem perakaran selama ini lebih banyak dilakukan dengan penambahan zat pengatur tumbuh dan bahan kimia lainnya. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa awal pembentukan akar dapat dipacu lebih cepat, tetapi percepatan peningkatan akar

yang terbentuk tidak terlalu besar. Oleh karena itu perlu dicari upaya lain yang dapat mengatasi masalah perakaran pada tanaman tahunan.

Saat ini telah banyak percobaan yang dilakukan untuk mengatasi masalah pengakaran pada tanaman buah-buahan dan tanaman tahunan berkayu dengan menggunakan A. rhizogenes. A. rhizogenes dapat menginduksi pembentukan akar pada tanaman yang terinfeksi. Akar yang terbentuk dapat tumbuh dengan cepat dan biasanya tidak memerlukan hormon pertumbuhan eksogen. Akar tersebut sering disebut dengan ”hairy root” (akar rambut) karena umumnya memperlihatkan morfologi yang berbeda dengan akar tanaman induknya. Akar-akar tersebut biasanya membentuk cabang-cabang lateral dan rambut-rambut akar yang lebih banyak dibandingkan akar normal.

A. rhizogenes telah banyak ditransformasikan pada berbagai jenis tanaman, terutama pada tanaman buah-buahan dan kehutanan. Strobel et al. (1987) berhasil meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman olive (Olea europaea L.) dengan transformasi Ri-plasmid A. rhizogenes galur 232, dan anatomi akar menunjukkan bahwa sistem jaringan pembuluh tanaman olive hasil transformasi sama dengan tanaman kontrol.

Strobel & Nachmias (1985) melaporkan bahwa transformasi A. rhizogenes galur 232 pada akar almond meningkatan jumlah dan massa akar, diameter batang serta jumlah daun setelah 90 hari transformasi. Dilaporkan juga bahwa terjadinya peningkatkan pertumbuhan dan produksi setelah transformasi A. rhizogenes galur 232 pada bagian akar tanaman olive (Strobel et al. 1988). McAfee et al. (1993) berhasil menginduksi perakaran Pinus dan Larix

spp menggunakan A. rhizogenes galur A4. Damiano & Monticelli (1998) berhasil menginduksi perakaran semua kultivar almond dan apel setelah transformasi dengan A. rhizogenes galur 1855.

Pada kultur in vitro, A. rhizogenes galur A4 dan 232 berhasil menginduksi perakaran eksplan tunas apel ’Golden delicious’ (Patena et al. 1988). Infeksi A. rhizogenes galur 1855, dengan dan tanpa penambahan hormon pada kultur in vitro almond, apel, plum, pyrus pyraster dan dua hibrid rootstocks, Citation (plum X peach) dan GF677 (almond X peach) menghasilkan tiga respon, yaitu : genotif yang berakar tanpa auksin, genotif yang berakar hanya dengan auksin dan genotif yang berakar setelah diinfeksikan A. rhizogenes (Damiano & Monticelli. 1998). Induksi akar dengan A. rhizogenes galur LBA9402 ternyata

lebih efektif dalam meningkatkan persen akar dan jumlah akar pada eksplan radiate pine (Pinus radiata D.) dibandingkan galur A4T (Li & Leung 2003).

Pembentukan akar oleh transformasi A. rhizogenes sangat dipengaruhi lingkungan tumbuh, diantaranya suhu, kelembaban udara, pH dan cahaya. Menurut Whiteman et al. (1988) bahwa efektivitas A. rhizogenes dalam menginduksi pembentukan akar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pH mendekati netral (6.0), suhu 25oC dan bagian tanaman yang diinokulasi.

Biosintesis IAA

Infeksi A. rhizogenes pada bagian yang luka dapat menyebabkan sel berproliferasi membentuk akar. Akar yang tumbuh disebabkan oleh adanya transfer sebagian fragmen DNA atau yang disebut dengan T-DNA dari

Agrobacterium ditransfer ke dalam sel tanaman. T-DNA memiliki gen-gen untuk mensintesis fitohormon, sehingga apabila terekspresi mengakibatkan terjadinya over produksi fitohormon tersebut di dalam sel tanaman (Klee et al., 1987; Winans, 1992).

Fitohormon adalah zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh tanaman dan aktif dalam jumlah yang kecil (10-6–10-5 mM). Dikenal beberapa macam golongan fitohormon salah satunya Indole Asetic Acid (IAA). Asam-asam amino aromatik triptofan (Trp) termasuk dalam jalur utama biosintesis dari IAA. Hasil-hasil intermediet yang terdapat antara triptofan dan IAA adalah asam indol piruvat, triptoamin, dan indol asetaldehida. Triptofan sendiri dihasilkan dari senyawa berkarbon 7, yakni 3-deoksi-7-fosfo-D-asam arabinoheptulosonat yang merupakan hasil kondensasi dari D-eritrosa-4-fosfat (senyawa berkarbon 4) dan fosfo-enol-piruvat (senyawa berkarbon 3). Hormon IAA juga dapat dibentuk secara langsung dari asam amino serine dengan indol (Wattimena, 1988).

Menurut Davies (2004) bahwa jalur pembentukan IAA melalui senyawa intermediat indole-3-pyruvate (IPA) dan indole-3-acetamide (IAM) biasa terjadi pada oleh mikroorganisme, sedangkan jalur lain terdapat dalam tanaman. Jalur IAM terdapat pada semua bakteri Agrobacterium, Bradyrhizobium japonicum,

Rhizobium fredii, Azospirillum brasilense, dan Streptomyces (Manulis et al., 1998). Sedangkan biosintesis IAA melalui IPA dijumpai pada tanaman tingkat tinggi dan beberapa jenis bakteri meliputi Rhizobium spp, Azospirillum spp,

Gen-gen pada jalur IAM menyandikan tryptophan monoxygenase

(iaaM) dan IAM hydrolase (iaaH), sedangkan enzim kunci pada jalur IPA adalah

indole-pyruvate decarboxylase (Gambar 5). Hormon IAA yang dihasilkan oleh tanaman dapat ditransportasikan dan digunakan langsung oleh tanaman, akan tetapi apabila ketersediaannya berlebih maka IAA dapat diikat oleh senyawa-senyawa tertentu menjadi IAA asam aspartat, IAA-mioinositol dan IAA glukosa. Senyawa-senyawa tersebut tidak aktif sebagai auksin kecuali bila dihidrolisis kembali menjadi IAA bebas. Pengaturan ini penting bagi tanaman untuk mengatur ketersediaan IAA di dalam tanaman sesuai dengan kebutuhan tanaman (Wattimena 1988; Davies 2004).

Kultur Jaringan Tanaman

Kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuh-kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan, atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro di laboratorium. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang bebas kuman, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003)

Wattimena (2006) menyatakan bahwa perbanyakan secara in vitro

dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain melalui multiplikasi tunas dari mata tunas aksilar, melalui pembentukan tunas adventif, atau somatik embriogenesis secara langsung (pembentukannya terjadi lansung dari bagian jaringan eksplan) dan tidak lansung (pembentukannya terjadi setelah melalui tahap pembentukan kalus atau protokorm). Semua sistem propagasi dan kultur

jaringan dimulai dengan pemotongan bagian kecil dari tanaman,

membebaskannya dari kontaminasi mikroorganisme dan menempatkannya dalam media kultur. Bagian tanaman yang dikulturkan tersebut dikenal dengan sebutan eksplan dan merupakan bahan untuk perbanyakan kultur in vitro.

Teknik perbanyakan in vitro umumnya dilakukan melalui lima tahap (Werbrouck & Debegh, 1994) ;

Tahap 0 : Persiapan dan perlakuan tanaman (sumber eksplan) Tahap 1 : Inisiasi eksplan

Tahap 2 : Multiplikasi tunas

Tahap 3 : Pemanjangan, induksi akar dan perkembangan akar Tahap 4 : Aklimatisasi dan penanaman di lapangan

Tahap 0 dilakukan untuk mendapatkan bahan tanam (eksplan) yang sehat dan kondisi fisiologisnya bagus. Pada tahap ini, tanaman sebagai sumber eksplan perlu dirawat dengan baik dan kadang-kadang perlu perlakuan khusus seperti pemangkasan, penyemprotan zat pengatur tumbuh sehingga kondisi fisiologinya lebih baik. Pada tahap inisiasi, kegiatan yang dilakukan adalah memilih bagian tanaman yang akan dijadikan eksplan, mencari prosedur sterilisasi yang efektif namun tidak mematikan eksplan, dan memilih komposisi media yang tepat. Tahap multiplikasi merupakan tahap yang penting dalam perbanyakan in vitro.

Multiplikasi tunas dilakukan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dalam media dan mensubkultur planlet pada media yang sama atau media yang berbeda. Pada beberapa kasus, penggunaan sitokinin cukup optimal untuk multiplikasi tunas (Werbrouck & Debergh, 1994). Tahap pengakaran dapat menghasilkan akar sehingga bisa segera diaklimatisasi. Apabila sitokinin yang digunakan pada tahap 2 relatif tinggi, kadang-kadang tunas yang dihasilkan pendek dan sulit berakar. Agar dihasilkan tunas yang panjang dan berakar, planlet ditransfer ke media yang berbeda. Pada tahap aklimatisasi pemilihan media dan kondisi lingkungan rumah kaca perlu diperhatikan untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik.

Dokumen terkait