• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENYELESAIAN NUMERIS

C. Perbandingan Hasil Aproksimasi

A. Kesimpulan B. Saran

8 BAB II

PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN MATRIKS

Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan teori. Landasan teori yang akan dibahas adalah persamaan diferensial, model matematis, matriks, nilai eigen dan vektor eigen, titik kesetimbangan, bilangan reproduksi dasar, matriks generasi selanjutnya, metode Runge Kutta orde empat dan metode Adams-Moulton.

A. Persamaan Diferensial

1. Pengertian Persamaan Diferensial

Dalam subbab ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial dan contoh-contohnya.

Definisi 2.1.1 (Ross, 1989)

Persamaan diferensial adalah suatu persamaan yang melibatkan atau menyatakan hubungan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.

Contoh 2.1.1

Berikut ini merupakan contoh dari persamaan diferensial:

𝑑2𝑦

𝑑𝑥2+ 𝑥𝑦 (𝑑𝑦 𝑑𝑥)

2

= 0 (2.1.1)

𝑑4𝑥

𝑑𝑡4 + 5𝑑2𝑥

𝑑𝑡2 + 3𝑥 = sin 𝑡 (2.1.2)

𝜕𝑣

𝜕𝑠 +𝜕𝑣

𝜕𝑡 = 𝑣 (2.1.3)

𝜕2𝑢

𝜕𝑥2+𝜕2𝑢

𝜕𝑦2 +𝜕2𝑢

𝜕𝑧2 = 0 (2.1.4)

Berdasarkan banyaknya variabel bebas persamaan diferensial dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial.

2. Persamaan Diferensial Biasa Definisi 2.1.2 (Ross, 1989)

Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas tehadap satu variabel bebas.

Contoh 2.1.2

Persamaan diferensial (2.1.1) dan (2.1.2) merupakan contoh dari persamaan diferensial biasa. Pada persamaan diferensial biasa (2.1.1) memiliki variabel bebas yaitu 𝑥 dan variabel tak bebas yaitu 𝑦. Pada persamaan diferensial biasa (2.1.2) memiliki variabel bebas 𝑡 dan variabel tak bebas 𝑥.

3. Persamaan Diferensial Parsial Definisi 2.1.3 (Ross, 1989)

Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap dua atau lebih variabel bebas.

Contoh 2.1.3

Persamaan diferensial (2.1.3) dan (2.1.4) merupakan contoh dari persamaan diferensial parsial. Pada persamaan diferensial parsial (2.1.3) memiliki variabel bebas 𝑠 dan 𝑡, dan memiliki variabel tak bebas 𝑣. Pada persamaan diferensial parsial (2.1.4) memiliki variabel bebas 𝑥, 𝑦 dan 𝑧, dan memiliki variabel tak bebas 𝑢 = 𝑢(𝑥, 𝑦, 𝑧).

4. Orde (derajat) Persamaan Diferensial Definisi 2.1.4 (Ross, 1989)

Orde dari persamaan diferensial adalah tingkat turunan tertinggi dalam persamaan diferensial.

Contoh 2.1.4

Persamaan diferensial (2.1.1) memiliki orde dua. Persamaan diferensial (2.1.2) memiliki orde empat. Persamaan diferensial (2.1.3) memiliki orde satu.

Persamaan diferensial (2.1.4) memiliki orde dua.

Berdasarkan sifat linearitasnya, persamaan diferensial dibagi menjadi dua yaitu persamaan diferensial linear dan persaman diferensial non linear

5. Persamaan Diferensial Biasa Linear Definisi 2.1.5 (Ross, 1989)

Persamaan diferensial biasa linear orde n dengan variabel tak bebas 𝑦 dan variabel bebas 𝑥 adalah persamaan yang dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut:

𝑎0(𝑥)𝑑𝑛𝑦

𝑑𝑥𝑛+ 𝑎1(𝑥)𝑑𝑛−1𝑦

𝑑𝑥𝑛−1+ ⋯ + 𝑎𝑛−1𝑑𝑦

𝑑𝑥+ 𝑎𝑛(𝑥)𝑦 = 𝑏(𝑥) dengan 𝑎0 ≠ 0.

Persamaan diferensial linear merupakan persamaan diferensial yang memiliki ciri-ciri:

a) Variabel tak bebas 𝑦 dan turunannya hanya berpangkat satu.

b) Tidak terdapat perkalian antar variabel tak bebas 𝑦 dan turunan-turunannya.

c) Variabel tak bebas dan turunannya bukan merupakan fungsi transenden.

Contoh 2.1.5

Berikut ini merupakan contoh dari persamaan diferensial biasa linear:

𝑑2𝑦

𝑑𝑥2 + 5𝑑𝑦

𝑑𝑥+ 6𝑦 = 0 (2.1.5)

𝑑4𝑦

𝑑𝑥4+ 𝑥2𝑑3𝑦

𝑑𝑥3+ 𝑥3𝑑𝑦

𝑑𝑥 = 𝑥𝑒𝑥 (2.1.6)

6. Persamaan Diferensial Biasa Nonlinear Definisi 2.1.6 (Ross, 1989)

Persamaan diferensial nonlinear adalah persamaan diferensial yang bukan termasuk dalam persamaan diferensial biasa linear. Persamaan diferensial non linear merupakan persamaan diferensial yang memiliki ciri-ciri:

a) Variabel tak bebas 𝑦 dan turunannya berpangkat bukan nol dan bukan satu.

b) Mengandung bentuk perkalian antara sebuah variabel tak bebas dengan variabel tak bebas lainnya, atau turunan-turunannya.

c) Variabel terikatnya merupakan fungsi transenden.

Contoh 2.1.6

Berikut ini merupakan contoh persamaan diferensial biasa nonlinear:

𝑑2𝑦

7. Sistem Persamaan Diferensial Definisi 2.1.7 (Ross, 1989)

Sistem persamaan differensial adalah kumpulan dari dua atau lebih persamaan diferensial. Sistem persamaan differensial dapat ditulis dalam bentuk:

𝑥̇(𝑡) = 𝑓(𝑡, 𝒙) (2.1.10)

dengan 𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛 adalah variabel tak bebas dan 𝑡 adalah variabel bebas. Pada persamaan (2.1.10) variabel 𝑡 tidak dinyatakan secara eksplisit maka sistem (2.1.10) dapat ditulis dalam bentuk:

𝑥̇(𝑡) = 𝒇(𝑥)̇ (2.1.12)

dengan

𝑓(𝑥) = (

𝑓1(𝑡, 𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) 𝑓2(𝑡, 𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)

𝑓𝑛(𝑡, 𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)

) (2.1.13)

Contoh 2.1.7

Berikut ini merupakan contoh dari sistem persamaan diferensial.

𝑑𝑥

𝑑𝑡 = 2𝑥 − 3𝑦 + 2 sin 𝑡

(2.1.14) 𝑑𝑦

𝑑𝑡 = 𝑥 − 2𝑦 − cos 2𝑡

Berdasarkan linearitasnya, sistem persamaan diferensial dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem persamaan diferensial linear dan sistem persamaan diferensial nonlinear.

8. Sistem Persamaan Diferensial Linear Definisi 2.1.8 (Ross, 1989)

Pada persamaan (2.1.11) jika fungsi 𝑓1, 𝑓2, … , 𝑓𝑛 masing-masing merupakan fungsi linear dengan 𝑡 adalah variabel bebas dan 𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛 adalah variabel tak bebas maka sistem tersebut disebut dengan sistem persamaan diferensial linear.

Variabel bebas t dapat ditulis dalam bentuk berikut:

𝑥̇1(𝑡) = 𝑎11(𝑡)𝑥1(𝑡) + 𝑎12(𝑡)𝑥2(𝑡) + ⋯ + 𝑎1𝑛(𝑡)𝑥𝑛(𝑡) + 𝑓1(𝑡)

(2.1.15) 𝑥2̇ (𝑡) = 𝑎21(𝑡)𝑥1(𝑡) + 𝑎22(𝑡)𝑥2̇(𝑡) + ⋯ + 𝑎2𝑛(𝑡)𝑥𝑛(𝑡) + 𝑓2(𝑡)

𝑥𝑛̇ (𝑡) = 𝑎𝑛1(𝑡)𝑥1(𝑡) + 𝑎𝑛2(𝑡)𝑥2̇(𝑡) + ⋯ + 𝑎𝑛𝑛(𝑡)𝑥𝑛(𝑡) + 𝑓𝑛(𝑡)

Sistem (2.1.15) dapat ditulis dalam bentuk matriks berikut:

sehingga dapat ditulis dalam bentuk:

𝑥̇(𝑡) = 𝐴(𝑥)𝑥(𝑡) + 𝑓(𝑡) (2.1.17) Jika 𝑓(𝑡) = 0 pada sistem persamaan (2.1.17) maka sistem tersebut dikatakan homogen.

Contoh 2.1.8

Berikut ini adalah contoh sistem persamaan diferensial linear.

𝑑𝑥

𝑑𝑡 = 2𝑥 + 𝑦 + 7

(2.1.18) 𝑑𝑦

𝑑𝑡 = 4𝑥 − 𝑦 + 3

9. Sistem Persamaan Diferensial Nonlinear Definisi 2.1.9 (Ross, 1989)

Pada persamaan (2.1.11) jika fungsi 𝑓1, 𝑓2, … , 𝑓𝑛 masing-masing merupakan fungsi nonlinear dengan 𝑡 adalah variabel bebas dan 𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛 adalah variabel tak bebas maka sistem tersebut disebut dengan sistem persamaan diferensial nonlinear. Sistem persamaan diferensial non linear orde satu dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut

⋮ 𝑑𝑥𝑛

𝑑𝑡 = 𝑓𝑛(𝑡, 𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) Contoh 2.1.9

Berikut ini adalah contoh sistem persamaan diferensial non linear.

𝑑𝑥

𝑑𝑡 = 𝑥2− 𝑥𝑦

(2.1.20) 𝑑𝑦

𝑑𝑡 = 5𝑦 + 𝑥𝑦

B. Model Matematis

Pada subbab ini akan dibahas mengenai model matematis. Di dalamnya subbab ini akan dijelaskan mengenai pengertian model matematis, jenis-jenis model matematis, dan langkah menyusun model matematis.

1. Pengertian Model Matematis Definisi 2.2.1 (Iswanto, 2012)

Pemodelan matematis merupakan usaha perancangan rumusan matematika yang secara potensial menggambarkan bagaimana mendapatkan penyelesaian masalah matematika yang digeneralisasikan untuk diterapkan pada perilaku atau kejadian alam. Secara sederhana model matematis adalah usaha untuk menggambarkan suatu fenomena ke dalam bentuk matematis sehingga mudah untuk dipelajari dan dicari solusinya.

Pemodelan matematis merupakan salah satu cara untuk menghubungkan konsep matematika yang abstrak dengan masalah dalam kehidupan nyata. Masalah yang ada dalam kehidupan nyata terlebih dahulu diubah kedalam masalah matematis yang nantinya dapat dicari penyelesaiannya dan hasilnya diterjemahkan kembali ke dalam solusi masalah dari kehidupan nyata. Salah satu penggunaan model matematika yang paling sering digunakan adalah untuk memodelkan penyebaran penyakit. Seperti contohnya pemodelan matematis banyak digunakan

untuk mengidentifikasi dan menganalisis dinamika penyebaran penyakit termasuk menganalisis keefektifan bakteri atau vaksinasi.

2. Pendekatan pada Model Matematika

Dalam pemodelan matematis terdapat beberapa jenis-jenis model yaitu meliputi model emperis, model simulasi, model stokastik, dan deterministik (Widowati dan Sutimin, 2007).

a) Model Emperis

Pada model emperis, data yang berhubungan dengan problem menentukan peran yang penting. Dalam pendekatan ini, gagasan yang utama adalah mengkonstruksi persamaan matematika yang dapat menghasilkan grafik terbaik untuk mencocokkan data.

b) Model Simulasi

Dalam model simulasi program komputer dituliskan didasarkan pada aturan-aturan. Aturan ini dipercaya untuk membentuk bagaimana suatu proses atau fenomena akan berjalan terhadap waktu dalam kehidupan nyata. Program komputer ini dijalankan terhadap waktu sehingga implikasi interaksi dari berbagai variabel dan komponen yang dikaji dan diuji.

c) Model Deterministik dan Stokastik

Model deterministic meliputi penggunaan persamaan atau himpunan persamaan untuk merepresentasikan hubungan antara variabel suatu sistem.

Contohnya adalah persaman diferensial biasa yang menjelaskan bagaimana suatu kuantitas tertentu berubah terhadap waktu. Persamaan ini menunjukkan hubungan antara kuantitas (yang dinyatakan oleh variabel tak bebas dari persamaan) dan waktu sebagai variabel bebas. Diberikan syarat awal yang sesuai, persamaan diferensial dapat diselesaiakan untuk memprediksi perilaku sistem model.

3. Langkah – Langkah Menyusun Model Matematis

Untuk menyusun model matematis dari masalah nyata dapat dilakukan langkah-langkah berikut :

Langkah 1: Mengidentifikasi Masalah

Langkah ini merupakan langkah awal untuk menyusun suatu model matematis dalam masalah kehidupan nyata. Mengidentifikasi masalah dapat dilakukan dengan melihat secara langsung masalah apa yang sedang terjadi. Dalam langkah ini, dipilih sejumlah data dan diidentifikasi aspek apa saja yang akan dipelajari. Selanjutnya, dari masalah yang didapat diterjemahkan dalam simbol-simbol matematika untuk dicari penyelesaian dari masalah tersebut.

Langkah 2: Membuat Asumsi

Pada bagian ini akan dilakukan identifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masalah yang sudah dimodelkan dalam model matematis pada langkah sebelumnya. Dalam menyederhanakan masalah dapat dilakukan dengan mengurangi sejumlah faktor yang dipertimbangakan. Kemudian, menentukan hubungan atara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Ada dua kegiatan utama dalam langkah ini, yaitu:

a) Mengklasifikasikan variabel.

b) Menentukan hubungan di antara variabel-variabel yang sudah dipilih.

Langkah 3: Menyelesaikan atau Menginterpretasikan Model

Dalam berbagai kasus, model matematis dapat terdiri atas persamaan atau pertidaksamaan matematika yang harus dicari penyelesaiannya. Ketika mencari penyelesaian dari suatu model, jika tidak ditemukan penyelesaiannya maka dapat ditambahkan asumsi untuk menyederhanakan model dengan kembali ke langkah 2 atau kembali ke langkah 1 untuk mendefinisikan kembali masalah.

Langkah 4: Memeriksa Kebenaran Model

Sebelum model digunakan, model tersebut harus diuji terlebih dahulu.

Terdapat beberapa hal yang pelu diperhatikan dalam memeriksa kebenaran model.

Hal tersebut yaitu yang pertama memastikan apakah model telah menjawab masalah yang diidentifikasi pada langkah 1, yang kedua apakah model yang telah disusun dapat digunakan dengan mudah dan yang ketiga apakah model matematis tersebut masuk akal. Setelah memeriksa kebenaran model dan didapatkan

penyelesaianya, maka model tersebut dapat diuji dengan menggunakan data yang diperolah dari pengamatan.

Langkah 5: Mengimplementasikan atau Melaksanakan Model

Model matematis yang telah disusun tidak akan berguna jika tidak dilaksanakan. Penggunaan model matematis juga dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer untuk mempermudah implementasinya.

Langkah 6: Memperbaiki Model

Pada langkah ini penting dilakukan karena dilakukan untuk melihat kembali apakah masalah yang dimodelkan pada langkah 1 mengalamai perubahan atau tidak, atau faktor yang sebelumnya dihilangkan atau ditambah pada langkah 2 menjadi faktor yang penting.

C. Matriks

Definisi 2.3.1 (Marsudi dan Marjono, 2012)

Matriks (matrix) adalah susunan (array) segi empat dari bilangan-bilangan yang disajikan dalam kurung siku. Bilangan-bilangan ini disebut dengan entri (entry) dari matriks.

Contoh 2.3.1

[3 4 1 5] , [

1 2 3 4 5 6

] , [2 3]

Pada contoh 2.3.1 berturut-turut adalah matriks 2 × 2, matriks 3 × 2, dan matriks 1 × 2.

Definisi 2.3.2 (Marsudi dan Marjono, 2012)

Jika 𝐴 = [𝑎𝑖𝑗] adalah matriks bujur sangkar orde 𝑛(𝑛 ≥ 2), maka determinan 𝐴 adalah jumlahan dari entri-entri dalam baris pertama 𝐴 dikalikan dengan kofaktor-kofaktornya.

det(𝐴) = |𝐴| = ∑ 𝑎1𝑗𝐶1𝑗 = 𝑎11𝐶11+ 𝑎12𝐶12+ ⋯ + 𝑎1𝑛𝐶1𝑛

𝑛

𝑗=1

(2.3.1)

Definisi 2.3.3 (Kocak and Hale, 1991)

Diberikan 𝑓(𝑓1, 𝑓2, … , 𝑓𝑛) pada system 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) dengan 𝑓𝑖 ∈ 𝐶(𝐸) dan Dinamakan matriks Jacobian dari 𝑓 di titik 𝑥

Contoh 2.3.3

D. Nilai Eigen dan Vektor Eigen Definisi 2.4.1 (Anton and Rorres, 2014)

Jika 𝐴 adalah sebuah matriks 𝑛 × 𝑛, maka sebuah vector tak nol 𝑥 pada 𝑅𝑛 disebut vector eigen (eigenvector) dari 𝐴 jika 𝐴𝑥 adalah kelipatan scalar dari 𝑥;

jelasnya,

𝐴𝑥 = 𝜆𝑥 (2.4.1)

untuk scalar sebarang 𝜆. Scalar 𝜆 disebut nilai eigen (eigenvalue) dari 𝐴, dan 𝑥 disebut sebagai vector eigen dari 𝐴 yang terkait dengan 𝜆.

Untuk memperoleh nilai eigen dari suatu matriks 𝐴𝑛×𝑛 persamaan (2.4.1) dapat dituliskan kembali sebagai

𝐴𝑥 = 𝜆𝐼𝑥 (2.4.2)

Atau ekuivalen dengan

(𝜆𝐼 − 𝐴)𝑥 = 0 (2.4.3)

Teorema 2.4.1 (Anton and Rorres, 2014)

Jika 𝐴 adalah matriks 𝑛 × 𝑛, maka 𝜆 adalah nilai eigen dari 𝐴 jika dan hanya jika memenuhi persamaaan

det(𝜆𝐼 − 𝐴) = 0 (2.4.4)

Persamaan ini disebut dengan persamaan karakteristik dari matriks 𝐴

Persamaan (2.4.4) disebut sebagai persamaan karakteristik dari matriks 𝐴, skalar-skalar yang memenuhi persamaan (2.4.4) adalah nilai eigen dari matriks 𝐴.

Apabila diperluas lagi, det(𝜆𝐼 − 𝐴) adalah sebuah polinomial 𝑝 dalam variabel 𝜆 yang disebut dengan polinomial karakteristik dari matriks 𝐴.

Teorema 2.4.2 (Olsder & Waode, 1998)

Diberikan matriks Jacobian 𝐽𝑓(𝑥) dari sistem 𝑥̇ = 𝑓(𝑥)̇ dengan nilai eigen 𝜆.

1. Sistem dikatakan stabil asimtotik local, jika semua bagian real nilai eigen dari matriks 𝐽𝑓(𝑥) bernilai negatif.

2. Sistem dikatakan tidak stabil, jika terdapat paling sedikit satu nilai eigen matriks 𝐽𝑓(𝑥) yang bagian realnya positif.

Contoh 2.4.1

Tentukan nilai eigen dari

𝐴 = [

0 1 0

0 0 1

4 −17 8 ]

Dari matriks 𝐴 dapat dibentuk:

𝜆𝐼 − 𝐴 = [

𝜆 −1 0

0 𝜆 −1

−4 17 𝜆 − 8 ]

Berdasarkan (2.3.4) diperoleh persamaan karakteristik:

𝜆3− 8𝜆2+ 17𝜆 − 4 = 0

(𝜆 − 4)(𝜆2− 4𝜆 + 1) = 0 (2.4.5)

Sehingga didapatkan nilai eigen 𝜆1 = 4 dan 𝜆1,2 = 2 ± √3 E. Titik Kesetimbangan

Misalkan suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:

𝑥̇ = 𝑓(𝑥) (2.5.1)

Sistem (2.5.1) dikatakan setimbang jika sistem tersebut konstan atau tidak mengalami perubahan sepanjang waktu.

Definisi 2.5.1 (Perko, 1991)

Titik kesetimbangan 𝑥 ∈ 𝑅𝑛 dari sistem (2.5.1) dikatakan:

1. Stabil lokal jika untuk setiap 𝜀 > 0 terdapat 𝛿 > 0 sedemikian sehingga untuk solusi 𝑥(𝑡) yang memenuhi ‖𝑥(𝑡0) − 𝑥‖ < 𝛿 berlaku ‖𝑥(𝑡) − 𝑥‖ < 𝜀 untuk setiap 𝑡 ≥ 𝑡0.

2. Stabil asimtotik lokal jika titik kesetimbangan 𝑥 ∈ 𝑅𝑛 stabil dan terdapat bilangan 𝛿0 > 0 sehingga untuk setiap solusi 𝑥(𝑡) yang memenuhi

‖𝑥(𝑡0) − 𝑥‖ < 𝛿0 berlaku lim

𝑥→∞𝑥(𝑡) = 𝑥

3. Tidak stabil jika titik kesetimbangan 𝑥 ∈ 𝑅𝑛 tidak memenuhi point (1).

F. Bilangan Reproduksi Dasar Definisi 2.6.1 (Ndii, 2018)

Basic reproduction number atau bilangan reproduksi dasar adalah jumlah infeksi baru yang dihasilkan oleh adanya satu individu terinfeksi dalam populasi dan biasanya dinotasikan dengan 𝑅0.

Bilangan reproduksi dasar dapat diperoleh dengan menggunakan matriks generasi selanjutnya dan diperoleh radius spectral. Sebagai contoh jika didapatkan nilai 𝑅0 = 3, maka hal ini berarti bahwa satu individu terinfeksi dalam populasi pada suatu waktu dapat menghasilkan tiga individu terinfeksi baru pada satuan waktu berikutnya.

Teorema 2.6.1 (Rost and Wu, 2008)

Menurut Rost dan Wu, teorema tentang bilangan reproduksi dasar adalah sebagai berikut:

1. Titik kesetimbangan bebas penyakit (disease free equilibrium) stabil asimtotik local jika 𝑅0 < 1 dan tidak stabil jika 𝑅0 > 1.

2. Jika 𝑅0 < 1 maka semua solusi konvergen ke titik kesetimbangan bebas penyakit (disease free equilibrium).

3. Titik kesetimbangan endemik (endemic equilibrium) stabil asimtotik local jika 𝑅0 > 1.

4. Jika 𝑅0 > 1 maka penyakit tersebut endemik.

G. Matriks Generasi Selanjutnya

Dalam skripsi perhitungan bilangan reproduksi dasar menggunakan metode matriks generasi selanjutnya. Matriks ini berasal dari konstruksi sub-sub populasi yang menyebabkan infeksi penyakit saja.

Misalkan 𝑥 = (𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) dimana ∀𝑥𝑖 ≥ 0 menyatakan jumlah individu pada masing-masing kelas ke – 𝑖, 𝑖 = 1,2, … , 𝑛 yang terinfeksi pada waktu 𝑡.

Didefinisikan 𝐹𝑖 merupakan matriks rata-rata jumlah individu baru yang terinfeksi

pada kelas ke-i dan 𝑉𝑖 merupakan penurunan jumlah individu yang terinfeksi dari kelas ke-i dengan laju perpindahan individu yang masuk ke-i sehingga

𝑉𝑖 = 𝑉𝑖− 𝑉𝑖+

dengan 𝑉𝑖(𝑥) menyatakan laju perpindahan individu yang keluar dari kelas ke 𝑖 dan 𝑉𝑖+(𝑥) menyatakan laju perpindahan individu yang masuk ke kelas 𝑖. Model penularan penyakit (model epidemik) baik terinfeksi atau tidak terjadi dinyatakan sebagai berikut:

𝑥̇𝑖 = 𝑓𝑖(𝑥) = 𝐹𝐼(𝑥) − 𝑉𝑖(𝑥), 𝑖 = 1,2, … , 𝑛 (2.7.1) Dengan

𝑉𝑖 = 𝑉𝑖(𝑥) − 𝑉𝑖+(𝑥) (2.7.2) Sehingga (2.7.1) dapat ditulis dalam bentuk

𝑥̇𝑖 = 𝐹(𝑥) − 𝑉(𝑥) (2.7.3)

Dengan 𝐹(𝑥) = (𝐹1(𝑥), 𝐹2(𝑥), … , 𝐹𝑛(𝑥)) dan 𝑉(𝑥) = (𝑉1(𝑥), 𝑉2(𝑥), … , 𝑉𝑛(𝑥)).

Matriks Jacobian dari 𝐹(𝑥) dan 𝑉(𝑥) hasil linearisasi di sekitar titik kesetimbangan bebas penyakit 𝑥 pada (2.7.3) adalah sebagai berikut

𝐽(𝐹(𝑥)) = [𝐹 0

0 0] dan 𝐽(𝑉(𝑥)) = [𝑉 0 𝐽3 𝐽4]

Dimana 𝐹 dan 𝑉 adalah matriks berukuran 𝑛 × 𝑛 yang didefinisikan berikut

𝐹 = (𝜕𝐹𝑖

𝜕𝑥𝑗(𝑥)) , 𝑉 = (𝜕𝑉𝑖

𝜕𝑥𝑗(𝑥)) , 𝑖 ≥ 1, 𝑗 ≤ 𝑛

Dengan 𝑥 adalah titik kesetimbangan bebas penyakit. Selanjutnya matriks 𝑉 akan dicari inversnya sehingga diperoleh 𝑉−1. Selanjutnya didefinisikan matriks 𝐾 yang merupakan perkalian dari matriks 𝐹 dan 𝑉−1 sehingga diperoleh

𝐾 = 𝐹𝑉−1

yang merupakan matriks generasi selanjutnya dari (2.7.3)

Definisi 2.7.1 (Driessche and Watmough, 2002)

Radius spectral (𝜌) dari matriks generasi selanjutnya 𝐾 = 𝐹𝑉−1 merupakan bilangan reproduksi dasar untuk system (2.7.3) pada titik kesetimbangan bebas penyakit 𝑥 sehingga diperoleh 𝑅0 = 𝜌(𝑅𝑉−1).

H. Metode Runge Kutta Orde Empat

Metode numeris merupakan teknik yang digunakan untuk memformulasikan persoalan matematika sehingga dapat diselesaiakan dengan operasi perhitungan atau aritmatika biasa seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.

(Munir, 2003). Sebelum menggunakan metode Adams-Moulton diperlukan beberapa titik sebelum yang pada skripsi ini akan digunakan metode Runge Kutta orde empat.

Bentuk umum dari metode runge Kutta Orde empat adalah sebagai berikut:

𝑦𝑖+1= 𝑦𝑖 +1

6(𝑘1+ 2𝑘2 + 2𝑘3+ 𝑘4)ℎ (2.8.1) dengan

𝑘1 = 𝑓(𝑡𝑖, 𝑦𝑖), 𝑘2 = 𝑓 (𝑡𝑖+1

2ℎ, 𝑦𝑖 +1 2𝑘1ℎ), 𝑘3 = 𝑓 (𝑡𝑖 +1

2ℎ, 𝑦𝑖 +1 2𝑘2ℎ), 𝑘4 = 𝑓(𝑡𝑖+ ℎ, 𝑦𝑖 + 𝑘3ℎ) I. Metode Adams-Moulton

Metode Adams-Moulton merupakan salah satu metode banyak langkah.

Metode ini dapat digunakan tanpa harus mencari nilai-nilai turunan fungsi nya, melainkan menggunakan prediktor-korektor. Untuk mencari penyelesaian numeris dengan metode Adams-Moulton diperlukan Metode Adams-Bashforth sebagai persamaan prediktornya. Metode Adams Bashforth Moulton orde empat merupakan salah satu metode numeric yang banyak digunakan.

Penyelesaian persamaan diferensial biasa dengan metode Adams Bashforth Moulton adalah proses mencari nilai fungsi 𝑦(𝑥) pada titik tertentu dari persamaan diferensial biasa non linear 𝑦= 𝑓(𝑥, 𝑦) dan nilai awal 𝑦(𝑥0) = 𝑦0 yang diketahui dengan melakukan prediksi dengan persamaan prediktor dan melakukan koreksi dengan korektor. Nilai awal yang digunakan dalam metode Adams Bashforth Moulton dapat diperoleh dari metode satu langkah yaitu seperti metode Runge Kutta Orde Empat (Apriadi dkk, 2014).

Diberikan persamaan diferensial nonlinear orde satu dengan nilai awal 𝑦(𝑥0) = 𝑦0 sebagai berikut (Apriadi dkk, 2014):

𝑦= 𝑓(𝑥, 𝑦(𝑥)) (2.9.1)

Integralkan persamaan (2.9.1) dari 𝑥𝑛 sampai 𝑥𝑛+1 = 𝑥𝑛+ ℎ untuk mendapatkan solusi 𝑦𝑛+1 pada titik 𝑥𝑛+1 sehingga diperoleh

∫ 𝑑𝑦

𝑑𝑥𝑑𝑥 = ∫ 𝑓(𝑥, 𝑦(𝑥))

𝑥𝑛+1

𝑥𝑛 𝑥𝑛+1

𝑥𝑛

𝑑𝑥

𝑦(𝑥)|𝑥𝑥𝑛𝑛+1 = ∫ 𝑓(𝑥, 𝑦(𝑥))

𝑥𝑛+1

𝑥𝑛

𝑑𝑥

𝑦(𝑥𝑛+1) − 𝑦(𝑥𝑛) = ∫ 𝑓(𝑥, 𝑦(𝑥))

𝑥𝑛+1

𝑥𝑛

𝑑𝑥

𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛+ ∫ 𝑓(𝑥, 𝑦(𝑥))

𝑥𝑛+1

𝑥𝑛

𝑑𝑥

Untuk mendapatkan rumus prediktor (𝑦𝑛+1𝑝 ) dilakukan substitusi interpolasi mundur Newton derajat tiga untuk 𝑦= 𝑓(𝑥, 𝑦(𝑥)) yang terdefinisi pada titik-titik 𝑥𝑛, 𝑥𝑛−1, 𝑥𝑛−2. Rumus interpolasi selisih mundur Newton berderajat tiga dapat dituliskan sebagai berikut (Kreyszig, 2006):

𝑝3(𝑥) = 𝑓𝑛+ 𝑟∇𝑓𝑛 +1

2𝑟(𝑟 + 1)∇2𝑓𝑛 +1

6𝑟(𝑟 + 1)(𝑟 + 2)∇3𝑓𝑛 (2.9.2)

Jika dinotasikan 𝑓(𝑥𝑛+1, 𝑦(𝑥𝑛+1) ) = 𝑓𝑛+1 dan digunakan ∇𝑘𝑓𝑛+1 sebagai bentuk operasi selisih mundur derajat-𝑘 dari fungsi 𝑓𝑛+1, sehingga diperoleh rumus prediktor sebagai berikut:

Untuk menyederhanakan integral pada persamaan (2.9.3), maka didefinisikan peubah: terhadap 𝑢, dengan demikian menjadi:

𝑦𝑛+1𝑝 = 𝑦𝑛+ ∫ [𝑓𝑛+ ∇𝑓𝑛𝑢 +∇2𝑓𝑛

Selanjutnya akan diselesaikan integral pada persamaan (2.9.4) untuk mendapatkan rumus prediktor Adams-Bashforth sebagai berikut:

𝑦𝑛+1𝑝 = 𝑦𝑛 + ∫ [𝑓𝑛+ ∇𝑓𝑛𝑢 +∇2𝑓𝑛

2 (𝑢2+ 𝑢) +∇3𝑓𝑛

6 (𝑢3+ 3𝑢2+ 2𝑢)] ℎ 𝑑𝑢

1

0

= 𝑦𝑛 + ℎ (𝑓𝑛𝑢 +1

Persamaan diferensial pada titik selanjutnya adalah sebagai berikut:

𝑓𝑛+1 = 𝑓𝑛+1(𝑥𝑛+1, 𝑦𝑛+1𝑝 ) (2.9.6)

Untuk mendapatkan rumus prediktor (𝑦𝑛+1𝑐 ) dilakukan substitusi interpolasi mundur Newton derajat tiga untuk 𝑦= 𝑓(𝑥, 𝑦(𝑥)) yang terdefinisi pada titik-titik 𝑥𝑛+1, 𝑥𝑛, 𝑥𝑛−1, sehingga diperoleh rumus korektor (𝑦𝑛+1𝑐 ) sebagai berikut:

Untuk menyederhanakan integral pada persamaan (2.9.7), maka didefinisikan peubah:

𝑢 =(𝑥 − 𝑥𝑛+1)

ℎ , 𝑑𝑢 =𝑑𝑥

ℎ , ℎ = 𝑥𝑛+𝑖− 𝑥𝑛+𝑖−1

Jika 𝑥 = 𝑥𝑛 maka 𝑢 =𝑥𝑛−𝑥𝑛+1 terhadap 𝑢, dengan demikian menjadi:

𝑦𝑛+1𝑐 = 𝑦𝑛 + ∫ [𝑓𝑛+1+ ∇𝑓𝑛+1𝑢 +∇2𝑓𝑛+1

Selanjutnya akan diselesaikan integral pada persamaan (2.9.8) untuk mendapatkan rumus korektor Adams-Moulton sebagai berikut:

𝑦𝑛+1𝑝 = 𝑦𝑛+ ∫ [𝑓𝑛+1+ ∇𝑓𝑛+1𝑢 +2𝑓𝑛+1

Definisi mengenai operator selisih mundur derajat-𝑘 adalah sebagai berikut (Kreyszig, 2006):

∇𝑓𝑛 = 𝑓𝑛− 𝑓𝑛−1

2𝑓𝑛 = ∇𝑓𝑛− ∇𝑓𝑛−1

= (𝑓𝑛− 𝑓𝑛−1) − (𝑓𝑛−1− 𝑓𝑛−2) persamaan (2.9.5) dan (2.9.9) sehingga didapatkan rumus prediktor dan korektor sebagai berikut:

= 𝑦𝑛+ ℎ

24(55𝑓𝑛 − 59𝑓𝑛−1+ 37𝑓𝑛−2 − 9𝑓𝑛−3 )

Sehingga didapatkan rumus prediktor Adams-Bahfort adalah sebagai berikut:

𝑦𝑛+1𝑝 = 𝑦𝑛+ ℎ

Sehingga didapatkan rumus korektor Adams-Moulton adalah sebagai berikut:

𝑦𝑛+1𝑐 = 𝑦𝑛+ ℎ

24(9𝑓𝑛+1+ 19𝑓𝑛− 5𝑓𝑛−1+ 𝑓𝑛−2) (2.9.11)

Contoh 2.9.1

Gunakan metode Adams-Bashforth-Moulton untuk menyelesaikan masalah nilai awal berikut

{𝑦= 𝑥 − 𝑦 2 𝑦(0) = 1

(2.9.12) dengan menggunakan ℎ = 0.125.

Nilai 𝑦0 dari masalah diatas diberikan dalam (2.9.11) dan untuk nilai 𝑦1, 𝑦2 dan 𝑦3 dengan menggunakan metode Runge-Kutta didapatkan:

𝑥0 = 0.0, 𝑦0 = 1.0000 𝑥1 = 0.125, 𝑦1 = 0.9432 𝑥2 = 0.25, 𝑦2 = 0.8975 𝑥3 = 0.375, 𝑦3 = 0.8620

Selanjutnya dengan menggunakan 𝑥4 = 0.5 akan dicari nilai 𝑦4 dengan metode Adams-Bashforth -Moulton. Dari fungsi 𝑓(𝑥, 𝑦) =𝑥−𝑦

2 ddapat ditentukan 𝑓0 = 𝑓(𝑥0, 𝑦0) = 𝑓(0.0 , 1.0000000) = −0.5,

𝑓1 = 𝑓(𝑥1, 𝑦1) = 𝑓(0.125 , 0.9432) = −0.4091, 𝑓2 = 𝑓(𝑥2, 𝑦2) = 𝑓(0.25 , 0.8975) = −0.8975, 𝑓3 = 𝑓(𝑥3, 𝑦3) = 𝑓(0.375, 0.8620) = −0.2435.

Selanjutnya menggunakan (2.9.10) dengan 𝑛 = 3 dan ℎ = 0.125 akan dihitung nilai prediktor 𝑦4𝑝.

𝑦4𝑝 = 𝑦3+0.125

24 (55𝑓3− 59𝑓2+ 37𝑓1 − 9𝑓0)

= 0.8620 + 0.0052 (55 (−0.2425) − 59(−0.3237) + 37(−0.4091) − 9(−0.5))

= 0.8363

Selanjutnya dengan menggunakan dengan 𝑛 = 3 akan dicari nilai 𝑓4 sebagai berikut:

𝑓4 = 𝑓(𝑥4, 𝑦4𝑝) = 𝑓(0.5 ,0.8363) = −0.1681.

Dengan menggunakan (2.9.11) dan nilai ini 𝑓4, selanjutnya akan dihitung nilai dari korektor 𝑦4𝑐 sebagai berikut:

𝑦4𝑐 = 𝑦3+0.125

24 (9𝑓4+ 19𝑓3− 5𝑓2+ 𝑓1)

= 0.8620 + 0.0052(9(−0.1681) + 19(−0,2435) − 5(−0,3237) + (−0.4091) = 0.8363

Dari perhitungan di atas didapatkan nilai korektor 𝑦4𝑐 yaitu 0.8363 dengan 𝑥4 = 0.5

Selanjutnya menggunakan (2.9.10) dengan 𝑛 = 4 dan ℎ = 0.125 akan dihitung nilai prediktor 𝑦5𝑝.

𝑦5𝑝 = 𝑦4+0.125

24 (55𝑓4− 59𝑓3+ 37𝑓2− 9𝑓1)

= 0.8363 + 0.0052 (55 (−0.1681) − 59(−0.2435) + 37(−0.3237) − 9(−0.4091))

= 0.8197

Selanjutnya dengan menggunakan dengan 𝑛 = 3 akan dicari nilai 𝑓5 sebagai berikut:

𝑓5 = 𝑓(𝑥5, 𝑦5𝑝) = 𝑓(0.625 ,0.8197) = −0.0973.

Dengan menggunakan (2.9.11) dan nilai ini 𝑓5, selanjutnya akan dihitung nilai dari korektor 𝑦5𝑐 sebagai berikut:

𝑦5𝑐 = 𝑦4+0.125

24 (9𝑓5+ 19𝑓4 − 5𝑓3+ 𝑓2)

= 0.8331 + 0.0052(9(−0.0973) + 19(−0,2378) − 5(−0,2435) + (−0.3237) = 0.8197

Dari perhitungan di atas didapatkan nilai korektor 𝑦5𝑐 yaitu 0.8197 dengan 𝑥4 = 0.625

BAB III

MODEL MATEMATIS PENYEBARAN COVID-19

Pada bab ini akan dibahas mengenai pemodelan matematis penyebaran COVID-19. Pembahasan berupa asumsi-asumsi yang digunakan, pembentukan model matematis, bilangan reproduksi dasar, dan analisis kestabilan titik kesetimbangan.

A. Asumsi – Asumsi yang Digunakan

Pada bagian ini akan dibahas mengenai asumsi-asumsi yang digunakan dalam pembuatan model matematis. Asumsi yang digunakan dalam model matematis penyebaran COVID-19 adalah:

1. Penularan COVID-19 hanya terjadi pada antar manusia saja.

2. Model matematis mempertimbangkan kelahiran individu, kematian alami dan kematian akibat terinfeksi COVID-19.

3. Model matematis mempertimbangan individu yang terinfeksi COVID-19 dan memilih menjalani karantina dan di rawat di rumah sakit.

4. Belum adanya individu yang mendapatkan vaksin COVID-19.

5. Total populasi adalah penjumlahan dari enam kelas populasi.

6. Kondisi awal dari penyebaran COVID-19 dan nilai parameter adalah bilangan non-negatif.

7. Periode waktu yang digunakan adalah per hari.

Akan dibagi beberapa kelas populasi dalam memodelkan matematis penyebaran COVID-19, yaitu:

1. 𝑆𝑢𝑠𝑐𝑒𝑝𝑡𝑖𝑏𝑙𝑒 (𝑆) adalah populasi individu yang rentan terinfeksi COVID-19.

2. 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 (𝐿) adalah populasi individu yang terinfeksi COVID-19 tanpa menunjukkan gejala klinis.

3. 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 (𝐼) adalah populasi individu yang terinfeksi COVID-19 disertai dengan gejala klinis.

4. 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 (𝑄) adalah populasi individu yang terinfeksi COVID-19 dan menjalani karantina.

5. 𝐻𝑜𝑠𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑧𝑒𝑑 (𝐻) adalah populasi individu yang terinfeksi COVID-19 dan menjalani rawat inap di rumah sakit.

6. 𝑅𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦 (𝑅) adalah populasi individu yang sembuh dari COVID-19.

Tabel 3.1. Variabel yang digunakan dan keterangannya.

Variabel Keterangan

𝑆(𝑡) Banyaknya individu yang rentan terinfeksi COVID-19 pada waktu 𝑡

𝐿(𝑡) Banyaknya individu yang terinfeksi COVID-19 tanpa menunjukkan gejala klinis pada waktu 𝑡

𝐼(𝑡) Banyaknya individu yang terinfeksi COVID-19 disertai dengan gejala klinis pada waktu 𝑡

𝑄(𝑡) Banyaknya individu yang terinfeksi COVID-19 dan menjalani karantina pada waktu 𝑡

𝐻(𝑡) Banyaknya individu yang terinfeksi COVID-19 dan menjalani rawat inap di rumah sakit pada waktu 𝑡

𝑅(𝑡) Banyaknya individu yang sembuh dari COVID-19 pada waktu 𝑡

Tabel 3.2. Parameter yang digunakan dan keterangannya.

Parameter Keterangan

Λ Parameter recruitment

𝜇 Laju kematian alami individu

𝑘 Laju perpindahan individu dari 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 ke 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 dan 𝐻𝑜𝑠𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑧𝑒𝑑

𝛼 Proporsi individu dari 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 ke 𝐻𝑜𝑠𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑧𝑒𝑑 𝛽 Proporsi perpindahan individu dari 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 ke

𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒

𝜀 Laju kematian individu akibat COVID-19

𝑎1 Koefisien transmisi kontak individu 𝑆𝑢𝑠𝑐𝑒𝑝𝑡𝑖𝑏𝑙𝑒 dengan individu 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡

𝑎2 Koefisien transmisi kontak individu kelas 𝑆𝑢𝑠𝑐𝑒𝑝𝑡𝑖𝑏𝑙𝑒 dengan individu 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠

𝑎3 Laju perpindahan individu dari 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 ke 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 𝑎4 Laju perpindahan individu dari 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 ke 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 𝑎5 Laju perpindahan individu dari 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 ke 𝑅𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦 𝑎6 Laju perpindahan individu dari 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 ke

𝐻𝑜𝑠𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑧𝑒𝑑

𝑎7 Laju perpindahan individu dari 𝐻𝑜𝑠𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑧𝑒𝑑 ke 𝑅𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦

B. Pembentukan Model Matematis Penyebaran COVID-19

Model matematis penyebaran COVID-19 dapat diilustrasikan pada Gambar 3.1

Gambar 3.1. Diagram penyebaran COVID-19 (Prathumwan et al., 2020)

Berdasarkan diagram penyebaran COVID-19 di atas diperoleh formulasi model SLIQHR sebagai berikut:

1. Populasi 𝑆𝑢𝑠𝑐𝑒𝑝𝑡𝑖𝑏𝑙𝑒 (𝑆) [

banyaknya populasi individu rentan terinfeksi COVID − 19

pada waktu 𝑡

Banyaknya individu pada kelas 𝑆𝑢𝑠𝑐𝑒𝑝𝑡𝑖𝑏𝑙𝑒 dipengaruhi oleh adanya 𝑙𝑎𝑗𝑢 𝑟𝑒𝑐𝑟𝑢𝑖𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡 (Λ) atau pertambahan individu dalam suatu sistem. Sedangkan pengurangan banyaknya individu dalam kelas 𝑆𝑢𝑠𝑐𝑒𝑝𝑡𝑖𝑏𝑙𝑒 dipengaruhi oleh interaksi individu rentan dengan individu yang terinfeksi COVID-19 tanpa menunjukkan gejala secara klinis (𝑎1𝑆𝐿) dan tingkat interaksi individu rentan dengan individu yang terinfeksi COVID-19 dengan menunjukkan gejala secara klinis (𝑎2𝑆𝐼). Pengurangan individu juga dipengaruhi oleh kematian alami individu (𝜇𝑆). Sehingga didapatkan model matematis dalam bentuk persamaan diferensial berikut:

𝑑𝑆

𝑑𝑡 = Λ − 𝑎1𝑆𝐿 − 𝑎2𝑆𝐼 − 𝜇𝑆 (3.2.1)

2. Populasi 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 (𝐿)

[

banyaknya populasi individu yang terinfeksi COVID − 19 tanpa menunjukkan

gejala klinis pada waktu 𝑡

] =

Banyaknya individu pada kelas 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 dipengaruhi oleh interaksi individu rentan dengan individu yang terinfeksi COVID-19 dengan tidak menunjukkan gejala klinis (𝑎1𝑆𝐿) dan juga tingkat interaksi antara individu rentan dengan individu yang terinfeksi COVID-19 dengan menunjukkan gejala klinis (𝑎2𝑆𝐼).

Sedangkan pengurangan individu pada kelas 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 dipengaruhi oleh laju perpindahan individu pada kelas 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 ke dalam kelas 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 (𝑎3𝐿), laju perpindahan individu pada kelas 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 ke (𝑎4𝐿), dan kematian alami individu pada kelas 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 (𝜇𝐿). Sehingga didapatkan model matematis dalam bentuk persamaan diferensial berikut:

𝑑𝐿

𝑑𝑡 = 𝑎1𝑆𝐿 + 𝑎2𝑆𝐼 − 𝑎3𝐿 − 𝑎4𝐿 − 𝜇𝐿 (3.2.2)

3. Populasi 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 (𝐼) [

banyak populasi individu yang terinfeksi COVID − 19 dengan menunjukkan

gejala klinis ada waktu 𝑡

] =

) × ( proporsi individu dari 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 ke 𝐻𝑜𝑠𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑧𝑒𝑑) ×

)] − [(laju kematian individu akibat COVID − 19 ) ×

Pertambahan individu pada kelas 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 dipengaruhi oleh perpindahan individu dari kelas 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 ke 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 (𝑎3𝐿). Sedangkan pengurangan pada kelas 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 dipengaruhi oleh perpindahan individu dari kelas 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 ke

𝐻𝑜𝑠𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑧𝑒𝑑 (𝑘𝛼𝐼), perpindahan individu dari kelas 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 ke 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 (𝑘𝛽𝐼), perpindahan individu dari 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 ke 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 (𝑘(1 − 𝛼 − 𝛽)), kematian individu akibat terinfeksi COVID-19 (𝜀𝐼), dan kematian alami individu pada kelas 𝐼𝑛𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑢𝑠 (𝜇𝐼). Sehingga didapatkan model matematis dalam bentuk persamaan diferensial berikut:

𝑑𝐼

𝑑𝑡= 𝑎3𝐿 − 𝑘𝛼𝐼 − 𝑘𝛽𝐼 − 𝑘(1 − 𝛼 − 𝛽)𝐼 − 𝜀𝐼 − 𝜇𝐼 (3.2.3)

4. Populasi Quarantine (Q) [

banyaknya populasi individu yang terinfeksi COVID − 19 dan menjalani karantina pada waktu 𝑡

] =

)] − [( laju perpindahan individu dari 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 ke 𝑅𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦) ×

(

banyak individu kelas populasi 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒

pada waktu 𝑡

)] − [( laju perpindahan individu

dari 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑖𝑛𝑒 ke 𝐻𝑜𝑠𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑧𝑒𝑑) ×

Pertambahan individu pada kelas 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 dipengaruhi oleh perpindahan individu dari kelas 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 ke 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 (𝑎4𝐿) dan perpindahan individu dari

Pertambahan individu pada kelas 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 dipengaruhi oleh perpindahan individu dari kelas 𝐿𝑎𝑡𝑒𝑛𝑡 ke 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑒 (𝑎4𝐿) dan perpindahan individu dari

Dokumen terkait