BAB IV PEMBAHASAN
4.6 Perbandingan UU No 22 Tahun 1999 dengan
penyelenggaraan pemerintahan pusat, karena pemerintahan daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan demikian asas penyelenggaraan pemerintahan berlaku juga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.
Perbedaan yang mencolok dalam UU No 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga sebagai persoalan dalam penulisan ini adalah proses pemilihan kepala daerah.
Trauma terhadap pelaksanaan pilkada pada masa orde baru yang ditandai dengan intervensi pusat secara berlebihan menjadi semangat para pembuat Undang-undang untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah, solusi tersebut adalah dengan melahirkan pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Perombakan tersebut untuk menjawab segala kekurangan yang terdapat dalam pemilihan kepala daerah selama orde baru. Ihwal kepala daerah diatur dalam Pasal 34 sampai Pasal 40 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas memuat ketentuan-ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan DPRD dalam pelaksanaan pilkada. Ketentuan lebih rinci tentang pilkada tertuang dalam peraturan pemerintah Nomor 151/2000 tentang Tatacara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Setia kepala daerah yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 harus memiliki legitimimasi dalam kepemimpinan karena telah mendapatkan pengakuan dari masyarkat secara umum. Prihatmoko (2005) terdapatnya 3 jenis legitimasi: (1) legitimasi yuridis; (2) legitimasi sosiologis; dan (3) legitimasi etis. Legitimasi berasal dari kata Legitim” atau “Lex” yang berarti hukum. Proses politik selalu dikaitkan dengan kekuasaan, kekuasaan tercakup dalam otoritas atau wewenang atau juga kekuasaan yang telah dilembagakan yakni kekuasaan yang tidak hanya
de facto melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang selalu dimiliki oleh setiap pemimpin untk mengarahkan jalannya pemerintahan secara demokratis tanpa adanya sifat diktator serta menerima saran sebagai masukan. Wewenang merupakan kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan sehingga berhak untuk
memberikan perintah, tidak semua orang dapat memiliki wewenang karena wewenang melekat dalam jabatan politik.
Dalam legitimasi yuridis adalah proses pemilihan kepala daerah yang mengacu pada aturan atau ketentuan hukum yang digunakan sebagai payung perlindungan untuk menjamin keabsahan atau legalitas. Legitimasi sosiologis merupakan persoalan mekanisme motivatif yang nyata membuat rakyat mau menerima wewenang kepala daerah, artinya bahwa proses pemilihan kepala daerah dilakukan dengan prosedur dan tatacara yang memlihara dan mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dan norma-norma sosial sebagai perwujudan mekanisme partisipasi, kontrol, pendukungan dan penagihan janji rakyat terhadap kepala daerah, atau dengan kata lain sejauh mana kepala daerah memperoleh dukungan rakyat atau publik sejauh itu pula ia memiliki alasan moral untuk berwenang sebagai kepala eksekutif di daerah.
Legitimasi etis dipengaruhi oleh legitimasi sosiologis karena terdapatnya proses keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral, apablia seorang calon kepala daerah memperoleh suara tertinggi dalam pilkada maka calon berhak menjadi kepala daerah namun apabila kepala daerah tersebut tidak merealisasikan janji-janji dalam kampanye atau tidak memperhatikan norma-norma sosial dan moral pada saat menjalankan fungsi dan tugasnya maka pada saat yang sama dianggap tidak layak menjalankan wewenang kekuasaan sehingga sebebnarnya tidak memiliki legitimasi lagi karena berkurangnya kepercayaan masyarakat.
Seorang kepala daerah yang memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tatacara yang sesuai ketentuan perundang-
undangan, melalui proses kampanye dan pemilihan yang bebas, adil sesuai dengan norma-norma sosial dan etika politik, didukung oleh suara terbanyak dari seluruh pemilih secara objektif.
Legitimasi memberikan pengaruh yang cukup kuat bagi setiap pemimpin dalam memipin suatu daerah yang tidak lain dimiliki oleh kepala daerah, legitimasi merupakan hasil dari kepercayaan rakyat kepada kepala daerah yang telah di pilihnya untuk menuntun pemerintahan yang adil serta memperhatikan masyarakat dengan komunikasi, kedekatan pemerintah dengan masyarakat sehinnga hubungan emosional antara pemimpin dengan yang dipimpinnya dapat berjalan seiring dengan perubahan.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pemerintah di Tingkat pusat dan atau Pejabat Pemerintah di Daerah Provinsi yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pemerintah yang berwenang mengesahkan atau menyetujui menangguhkan dan membatalkan kebijakan daerah dan/atau mengangkat, memberhentikan, mengesahkan, menyetujui, membina dan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan/atau Pejabat Pemerintah pada pemerintahan Daerah Provinsi yang berwenang dan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten dan kota. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian yang lebih lengkap dan jelas dari Undang-undang sebelumnya sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Pemberhentian kepala daerah adalah apabila Kepala Daerah dipilih dengan sistem perwakilan oleh DPRD maka DPRD berwenang untuk memberhentikan, mekanisme ini merupakan turunan dari sistem demokrasi parlementer dalam hal parlemen lokal dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu sedangkan kepala daerah dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada parlemen lokal. Apabila, pejabat pusat (Presiden atau Menteri Dalam Negeri) yang menunjuk dan/atau mengangkat Kepala Daerah maka pejabat yang mengangkat juga yang berwenang melakukan pemberhentian kepala daerah, mekanisme ini menganut sistem pemberhentian tata pemerintahan konservatif. Jika kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat maka cara memberhentikan kepala daerah dengan mekanisme politik pemilukada, cara ini merupakan turunan dari sistem demokrasi presidensial dengan prinsip “parlemen tidak bisa menjatuhkan kepala daerah dan kepala daerah tidak dapat membubarkan parlemen lokal” dalam hal ini dikarenakan kepala daerah maupun parlemen lokal dipilih dalam oleh rakyat.
Kewenangan DPRD dalam memberhentikan kepala daerah didasarkan pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 46 Ayat (3) yang berbunyi “Bagi kepala daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk keduakalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepada Presiden” artinya eksekusi penggunaan wewenang terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah yang harus disampaikan kepada kepada DPRD. Sementara pada Pasal 44 Ayat (2) yang berbunhi”dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD”.
Dalam UU No. 32 Tahun2004 diatur secara lebih terperinci dan jelas mengenai syarat-syarat pembentukan suatu daerah otonom, dn tujuan dari
pembentukan daerah otonom tersebut UU No 32 Tahun 2004 disebutkan secara tegas pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Propinsi dan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota, dan mengatur pula mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Terdapat juga perbedaan antara Kepala Daerah pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu mengenai: (1) Syarat-syarat Calon Kepala Daerah dalam Pembatasan masa jabatan; (2) Dalam syarat-syarat Calon Kepala Daerah UU No. 32 Tahun 2004 menambahkan syarat-syarat Calon Kepala Daerah dibanding dalam Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999; (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak ada pembatasan masa jabatan sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 terdapat pembatasan masa jabatan yang sangat jelas adalah 2 kali dalam masa jabatan yang sama; (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur tentang tata cara pemberhentian Kepala Daerah, Penetapan Pemilih, Kampanye, pemungutan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan, pemantauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan ketentuan pidana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan oleh
mengatur bahwa Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung hal ini berbeda dengan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD.
pemerintah yang lebih tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi, Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten. Berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyebutkan bahwa: “Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan” selanjutnya pada Ayat (2) menyebutkan bahwa: “Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”.
Berdasarkan PP No. 151 Tahun 2000 tahapan-tahapan Pemilihan Calon Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah terdiri dari (1) pendaftaran bakal calon; (2) penyaringan bakal calon; (3) penetapan pasangan calon; (4) rapat paripurna khusus; (5) pengiriman berkas pengiriman, pengesahan; dan (6) pelantikan. Semua tahapan tersebut dirancang agar Kepala Daerah terpilih adalah benar-benar seorang pemimpin yang mumpuni yaitu memenuhi kualifikasi administratif yang disyaratkan, mengenal dan dikenal oleh masyarakat daerah, memiliki kompetensi dan kapabilitas memimpin daerah serta memiliki visi, misi strategi membangun daerah.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 demokrasi dan demokratisasi diperlihatkan bahwa mengenai rekrutmen pejabat pemda yang menyangkut proses legislasi di daerah juga mendekatkan pemerintah dengan rakyat karena titik berat otonomi daerah diletakkan kepada daerah kabupaten dan kota bukan kepada daerah Provinsi. Sistem otonomi luas dan nyata pemda berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak menggunakan otonomi bertingkat, daerah-daerah pada tingkat yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual yaitu yang tidak diselenggarakan oleh pemda yang lebih tinggi tingaktannya. Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses rekrutmen politik lokal ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memiliki perbedaan yang prinsipal dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 karena keduanya sama- sama menganut asas desentralisasi namun sangat berbeda dalam memilih kepala daerah. Pemerintah daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, otonomi yang luas nayata dan bertanggungjawab.
Perubahan signifikan adalah pola hubungan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan DPRD yaitu kepala daerah, DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggungjawaban dari kepala daerah.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pada dasarnya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh semangat reformasi diawali dengan berlakunya desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2001, dengan semangat ingin memperbaiki demokrasi menjadi sesuatu yang berarti bagi masyarakat dalam suatu kesatuan bangsa dan Negara.
Perjalanan pemilihan kepala daerah sudah berjalan sekian lama namun selalu berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan negara, perjalanan pemilihan kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan mekanisme pemilihan oleh DPRD dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan peluang terbesar demokrasi dalam pengaplikasiannya dalam masyarakat meskipun harus diakui setiap Produk Undang-undang selalu memiliki kekurang sehingga perjalanan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disempurnakan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 mengenai berhaknya calon perseorangan mencalonkan diri menjadi kepala daerah tanpa melalui partai sebagai perahu politik calon. Perubahan demi perubahan dialui untuk penyempurnaan Undang-undang mengenai pemerintahan daerah yang ditujukan tidak lain untuk mensejahterakan masyarakat yang telah mempercayakan tanggungjawab kepada pasangan calon kepala daerah yang terpilih. Pada saat ini telah lahir penyempurnaan dari Undang-undang pemilihan kepala daerah dalam bentuk revisi Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 yang
saat ini masih di rembukkan oleh DPR bahwa pemilihan kepala daerah akan kembali dipilih oleh DPRD mengingat efektivitas dan biaya minim yang di keluarkan setiap calon dalam pertarungan pemilihan kepala daerah.
Pilkada langsung sebagai euphoria demokrasi, euphoria ini semakin
mendapatkan tempat di wacana publik karena memang ada berbagai penyimpangan dalam pilkada masa lalu pada saat pemilihan oleh DPRD, penyimpangan timbul karena dihasilkan oleh ketidaksempurnaan mekanisme sistem pilkada selama ini sekaligus karena praktek politik uang yang melibatkan anggota DPRD artinya rendahnya kualitas DPRD menjadi inti dari merebaknya persoalan yang bermuara pada kekecewaan masyarakat.
Dalam masa reformasi pemilihan kepala daerah secara langsung menandai popularitas paradigma demokrasi partisipatoris dan sekaligus menandai surutnya popularitas paradigma demokrasi perwakilan (demokrasi representasi) atau dapat dikatakan kemenangan para penganjur demokrasi massa terhadap demokrasi elite, artinya pilkada langsung melengkapi pembaharuan sistem politik kontemporer hasil reformasi politik dan hukum ketatanegaraan.
Pilihan politik untuk menyelenggarakan pilkada secara langsung merupakan keputusan politik strategis dan layak dicatat sebagai peristiwa politik yang melampaui nilai-nilai atau bahkan doktrin-doktrin yang tertanam lebih setengah abad digunakannya sistem pemilihan tidak langsung oleh demokrasi elite (pemilihan kepala daerah oleh DPRD) baik pengangkatan dan/atau penunjukan pusat atau pemilihan perwakilan. Pada lain pihak, energi, pikiran dan dana yang harus disediakan untuk penyelenggaraan pilkada sangat besar yang secara serta merta menyedot alokasi anggaran untuk kepentingan publik yang lebih mendesak
seperti persoalan kemiskinan, pengangguran dan pendidikan, atas dasar itu keputusan politik untuk melaksanakan pilkada langsung merupakan pertaruhan terhadap hidup demokrasi di Indonesia.
Pilkada langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokratis, negara memberikan kesempatan kepada masyarakat didaerah untuk menentukan sendiri pemimpin mereka serta menentukan sendiri segala bentuk kebijakan yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah.
Dengan pilkada langsung diharapkan bahwa kedaulatan rakyat yang dititipkan kepada anggota DPRD berada ditangan rakyat meskipun anggota DPRD tidak lain adalah hasil pilihan masyarakat secara langsung juga dengan demikian ketika DPRD memilih Gubernur sebagai kepala daerah dapat juga dikatakan adalah hasil pemilihan masyarakat karena yang memilih DPRD adalah masyarakat juga, tentu tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Rakyat sebagai subjek demokrasi dan sumber kekuasaan, rakyat sebagai pelaku demokrasi dan berhak penuh menurunkan anggota DPRD yang dipilihnya karena tidak memperhatikan masyarakat karena rakyat yang memilih maka sudah sewajarnya pula masyarakat yang menurunkannya.
Pendukung pilkada langsung adalah dengan keberhasilan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung, dari keadaan tersebut pemilu dianggap berhasil dengan pertimbangan masyarakat sudah dewasa dalam memnentukan pilihan secara objektif dan tanpa paksaan sehingga sudah dapat dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan
bermodalkan kedewasaan masyarakat sebagai pemilih yang aktif dan dewasa dalam menentukan pilihan dan juga masyarakt sudah terbiasa dengan pemilihan kepala desa sehingga cenderung sudah mengerti menghadapi apa arti perbedaan yang tetunya bertujuan untuk menyatukan.
Harus digarisbawahi bahwa pilkada langsung maupun pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak dengan sendirinya menjamin lahirnya kepemimpinan daerah yang kapabel, kredibel dan akuntabel serta tidak ada yang dapat memastikan dalam memilih kepala daerah tidak terlepas dari pengaruh politik uang. Pilkada secara langsung dan pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga tidak serta merta dapat dengan mulus menciptakan situasi kondusif bagi peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri dan demokratisasi di daerah.
Terjadinya perubahan paradigma dalam proses pemilihan kepala daerah adalah hal yang tidak mudah karena akan mengorbankan sistem yang telah dibangun dan kembali kepada sistem lama yang juga memiliki kekurangan tentunya. Namun, pada kenyataanya perubahan tersebut bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah menyangkut persoalan politik uang yang sangat besar menyedot anggaran dan menjadikan persoalan berupa konflik horizontal dalam masyarakat serta mengajarkan kepada masyarakat bahwa politik uang adalah halal dan legal, keadaan tersebut adalah sesuatu yang terpenting untuk diantisipasi demi tercapainya kedewasaan masyarakat dalam memahami dan memandang politik secara objektif sesuai dengan keadaan sebenanrnya tanpa adany ketimpangan dan ketidakadilan dalam proses pemilihannya sehingga konsep yang dilahirkan adalah lemablinya kepada pemilihan oleh DPRD.
Pemilihan kepala daerah secara langsung dalam negara kesatuan dapat disebut sebagai hasil adopsi dari negara federalisasi karena mencoba menggabungkan konsep Negara Kesatuan dengan sistem federasi meskipun dalam kenyataannya tidaklah demikian, proses tersebut ada untuk mencapai dalam mencapai demokrasi yang ada. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati yang harus diperjuangkan meskipu adanya anggapan yang tidak berdasar dalam menilai proses perjalanan sistem negara. Adanya peranan yang tidak sesuai dengan jiwa pancasila yang berpendapat bahwa adanya usaha mengarahkan dan menggiring Negara kesatuan menuju Negara Federasi meskipun menimbulkan persoalan yang kompleks dengan dimensi yang amat luas karena akan berdampak pada berubahnya tatana yuridis, sistem pemerintahan, dan struktural. Persoalan pemilihan kepala daerah merupakan suatu proses yang panjang, meskipun dalam peralanan proses tersebut melompat pada proses yang dapat dikatakan tidak sesuai dengan jiwa kesatuan bangsa namun tidak lah dijadikan persoalan yang dapat memecahbelah bangsa namun sebagai sesuatu yang memandirikan dengan tetap memperjuangkan NKRI sebagai satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dari sabang samapi merauke.
5.2 Saran
Sesungguhnya, apapun sistem yang dianut sepanjang fungsi-fungsi pemerintah daerah dapat dilaksanakan dengan optimal dan dirasakan hasilnya dalam hal tanggung jawab kepada masyarakat secara jujur dan sepenuh hati mengemban tugas untuk menorehkan tintas emas dalam perjalanan mencapai demokrasi yang dicari, ditemukan, dan ditentukan secara objektif diberikan
sepenuhnya secara nyata kepada masyarakat maka sistem yang dipilih apapun sama saja.
Dalam Undang-undang yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah bertujuan untuk menyempurnakan perjalanan dalam pemilihan kepala daerah yang tentunya dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat meskipun terdapat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menjamin pencalonan perseorangan (independent) dalam mencapai kepala daerah, dari kondisi penyempurnaan tersebut sehingga lahirnya revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang masih dalam tahapan penggodokan di DPR yang ditujukan bahwa pemilihan kepala daerah akan dipilih oleh DPRD dan tujuan terbesarnya adalah mengurangi biaya pilkada yang sangat besar jumlahnya.
Pemilihan kepala daerah berjalan ketika ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 meskipun dalam perjalanannya berlaku sentralistis-terpusat dengan intervensi penuh dari pusat sebagai pengawas daerah, keadaan tersebut
membelenggu masyarakat sehingga menjadikan masyarakat tidak melek politik
karena dijadikan objek dari pemerintah sehingga pendidikan politik yang sangat minim menjadikan masyarakat jauh untuk mengenal sistem pemerintahan untuk memilih pemimpin di daerah, masyarakat hanya diberikan kesempatan untuk memahami pembelajaran politik setiap 5 tahun dalam pemilihan Presiden yang tentunya juga tidak terlepas dari intervensi militer yang mengawal penuh perjalanan pemilihan tersebut.
Dari kondisi tersebut, saat ini masyarakat dapat menilai secara langsung tidak saja pemilihan kepala daerah, namun pemilihan Presiden hingga pemilihan kepala desa. Dengan kata lain, masyarakat tidak lagi menjadi objek dalam suatu pemerintahan namun menjadi pelaku dalam demokrasi itu sendiri dengan bersentuhan langsung dengan proses perjalanan yang berlangsung dalam setiap pemilihan yang ada meskipun keadaan tersebut justru redup dengan persoalan negatif hingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemangku jabatan yang diberikan tanggungjawab oleh masyarakat.
Dalam pemilihan kepala daerah tentunya dapat dinilai kelebihan dan kekurangan dari sistem pemilihan yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa kekurangan akan selalu ada namun tidak menutup kemungkinan untuk mengulangi kesalahan yang sama karena sudah seharusnya bercermin dari sejarah yang ada sehingga dapat memberikan perubahan menuju penyempurnaan, perubahan tentunya tidak diakibatkan oleh kekurangan yang berulang namun perubahan harus memiliki sifat yang selalu maju dengan prinsip perubahan untuk hal yang lebih baik dan positih demi kebaikan masa depan dengan mencapai cita- cita untuk menggoreskan tinta emas demi kemajuan bersama.
DAFTAR PUSATAKA
Abdullah H. Rozali (2005), Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Agustino Leo (2009), Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Badan Pembinaan Hukum Nasional DEPHUKHAM RI (2009), Kompendium Pemilihan Kepala Daerah, Jakarta.
Chidmad Tataq (2004), Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta.
Hendratno Edie Toet (2009) Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Graha Ilmu, Yogyakarta.
IDEA (Institute For Democracy and Electoral Assistance) (2000), Ameepro.
Panuju Redi (2011), Studi Politik Oposisi dan Demokrasi, Interprebook, Yogyakarta.
Purnama Putra A. A Gde Febri (2009), Meretas Perdamaian Dalam Konflik Pilkada Langsung, Gava Media, Yogyakarta.
Prihatmoko, Joko J (2005), Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
_________________ . (2008), Mendemokratiskan Pemilu, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Rifai Amzulian (2003), Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah, Ghalia, Jakarta.
Syaukani, Gaffar Affan, dan Rasyid M. Ryaas (2005), Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sahdan Gregorius dan Haboddin Muhtar (2009), Evaluasi Kritis Penyelenggaraan
Pilkada DI Indonesia, IPD (The Indonesian Power For Democracy),
Yogyakarta.
Wahidin Samsul (2008), Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Zaini A. Bisri dan Amiruddin (2006), Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Zuhro R. Siti (2009), Demokrasi Lokal Perubahan dan Kesinambungan Nilai-nilai Budaya Politik Lokal, Ombak, Jakarta.