ANALISIS PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1999 DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2004
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
TESIS
Oleh
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2012
ANALISIS PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1999 DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2004
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)
dalam Program Studi Pembangunan pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
Judul Tesis : ANALISIS PERBANDINGAN TERHADAP UU NO. 22 TAHUN 1999 DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Nama Mahasiswa : Wesley L. Hutasoit
Nomor Pokok : 107024011
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Warjio, MA, Ph.D) (Drs. Bengkel Ginting, M.Si
Ketua
)
Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)
Telah diuji pada
Tanggal 30 Agustus 2012
__________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Warjio, MA, Ph.D
Anggota : 1. Drs. Bengkel Ginting, M.Si
2. Hatta Ridho, S.Sos, MSP
3. M. Arifin Nst, S.Sos, MSP
PERNYATAAN
ANALISIS PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1999 DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2004
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2012
Penulis,ANALISIS PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1999 DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
ABSTRAK
Pada dasarnya setiap Undang-undang memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga Undang-undang berubah secara dinamis seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam menjawab tuntutan perubahan. Metode penulisan dalam tesis ini menggunakan analisis deskripsi studi pustaka yang mengandalkan analisa penulis sebagai instrumen penelitian dalam membandingkan Undang-undang melalui buku-buku, media elektronik dan sumber lainnya yang layak dipercaya dan dipertanggungjawabkan dalam penulisan karya ilmiah tesis ini.Otonomi dan desentralisasi yang diberlakukan pada tahun 2001 memberikan perubahan yang sangat berarti kepada setiap daerah untuk bersentuhan langsung dengan demokrasi dan secara penuh dijamin oleh Undang-undang. Otonomi dan desentralisasi memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan daerah sesuia dengan potensi masyarakat yang ada dengan tidak terlepasnya perhatian pemerintah kepada masyarakat yang ada didaerah. Perjalanan pemilihan kepala daerah dimulai dalam UU No. 5 Tahun 1974 namun besarnya intervensi pemerintah berlaku hingga reformasi. Kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 melalui otonomi-desentralisasi meskipun pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD hingga akhirnya disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 memberlakukan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan mengembalikan hak rakyat sepenuhnya dalam alam demokrasi yang berhak dipilih dan memilih. Keterbukaan demokrasi juga melahirkan UU No. 12 Tahun 2008 yang memberikan peluang bagi setiap calon perseorangan. UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 memiliki beberapa persamaan yaitu kentalnya politik uang yang diberikan kepada DPRD dalam pencapaian kekuasaan di daerah serta masih rendahnya pendidikan politik masyarakat, UU No. 32 Tahun 2004 secara tersendiri mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung untuk memberikan pemahaman dan pendidikan politik kepada masyarakat melalui partisipasi politik masyarakat namun kesalahan dalam UU No. 22 Tahun 1999 justru berpindah kepada UU No. 32 Tahun 2004 dimana praktek politik uang dalam bentuk memberikan uang kepada setiap pemilih.Pemilihan kepala daerah sudah tidak seharusnya menggunakan uang dalam pencapain kekuasaan namun lebih menekankan pada kejujuran, keadilan serta tanggungjawab akan tugas yang diemban dalam mensejahterakan masyarakat. Rakyat berhak meminta pertanggungjawaban kepala daerah sesuai dengan janji-janji yang telah diberikan namun bila tidak tercapai maka masyarakat akan menghukum kepala daerah dengan tidak lagi memilihnya. Tugas kepala daerah adalah memandirikan daerah sesuai dengan potensi daerah sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah kepada daerah.
COMPARISON OF ACT NO. 22 OF 1999 AND ACT NO. 32 OF 2004 ABOUT LOCAL GOVERNMENT
ABSTRACT
Principally each act has advantages and weakness that cause the law changed dynamically based on the development and society need that require change.The writing of this thesis applies the library study descriptive analysis that rely on the writer’s analysis as research instrument in compare the act through books, electronic media and another trusted and accountable sources in the writing of this thesis as scientific paper. Autonomy and decentralization that applied in 2001 provide the important change to each area contact to democracy directly and protected by act. Autonomy and decentralization provide the society with opportunity to develop their area based on the available society potency without neglect the attention of central government to the society in local level. The implementation of local government head election it begin by act No. 5 of 1974 but the being intervention of government is implemented up to the reformation. The issuance of act No. 22 of 1999 trough autonomt-desentralization althought the election of local government head is elected by Local Assembly up to the issuance of Act No. 32 of 2004 that applies the election of local government head directly by return the right of society into democracy condition that has a right to elect and be elect. The democacy openness delivers the Act No. 12 of 2008 that provide the individual candidate with opportunity. Act No. 22 of 1999 and Act no. 32 of 2004 has any similarity, i.e. the money politic that provided to local assembly (DPRD) to get the local authority and the lower of society political education level. The Act No. 32 of 2004 regulate the election of local government head directly in order to provide the society with political education and understanding through the society political participation but the fault in Act No. 22 of 1999 move to Act No. 32 of 2004 in which the money politic is found by the distribution of money to the voters. The election of local government had shout had shout not use the money to get the power or authority but focus to the honesty, justice and accountability on the task for the society prosperous. The people has a right to ask the responsibility on the task for government head based on the promises but if it did not fulfilled, the society will punish the local government head by not elect him/her for the next period. The task of local government head is to make the local area be self sufficient based on the local potency and the authority delegated by the central government to the local government.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kupersembahkan untuk Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat, bimbingan dan kasihnya sehingga karya penulisan tesis ini dapat
terselesaikan.
Tesis yang berjudul “Analisis Perbandingan Terhadap Undang-undang
Nomo 22 Tahun 1999 Dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah” ini disusun guna memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan program Magister Studi Pembangunan pada
Universitas Sumatera Utara.
Ungkapan terbesar penulis ucapkan kepada keluarga yang selalu
mendukung penulis untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Tanpa doa dari
keluarga, kedua orang tua dan saudara mustahil karya penulisan tesis ini dapat
terselesaikan, dengan rasa hormat kuucapkan terimakasih. Sehubungan dengan
itu, penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH, MSc (CTM), SpA(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Ketua Program Studi
Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Warjio, MA, Ph.D selaku ketua pembimbing atas saran dan
5. Bapak Drs. Bengkel Ginting, M.Si selaku anggota pembimbing atas saran
dan bimbingan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis.
6. Bapak Hatta Ridho, S.Sos, MSP selaku penguji yang memberikan saran
dalam penyelesaian penulisan tesis.
7. Bapak M. Arifin Nst, S.Sos, MSP selaku penguji yang memberikan saran
dalam penyelesaian penulisan tesis.
8. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku Dosen Tamu yang
memberikan saran dalam penyelesaian tesis.
9. Terimakasih kepada semua keluarga yang telah mendukung
terselesaikannya penulisan tesis ini.
10. Teman-teman kuliah Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Angkatan XIX yang banyak memberikan saran dan masukan
dalam penyelesaian tesis.
Semoga saran, kritik, bimbingan dan arahan serta dukungan yang diberikan
kepada penulis menjadi tanggungjawab dalam proses perjalanan penulis untuk
kebaikan penulis di masa depan, penulis berharap kiranya tesis ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
Medan, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP
Nama : Wesley L. Hutasoit
N.I.M : 1 0 7 0 2 4 0 1 1
Tempat/Tgl Lahir : P. Siantar, 19 September 1985
Alamat : Jl. Dorowati Lr/Gg Gereja No. 27 Medan, 20236
Nama Orang Tua : Darwis Hutasoit, S.pd
T. Br Pasaribu, S.pd
Saudara : Sarmeylida hutasoit
Frans Risky Hutasoit
Pendidikan : 1. SDN No. 116882 Torgamba
2. SLTP RK Cinta Rakyat 1, P. Siantar
3. SMU RK Bintang Timur, P. Siantar
4. Universitas HKBP Nommensen Medan, Admnistrasi Negara.
5. Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
1.1 Latar Belakang Masalah……….………….11.2 Perumusan Masalah………...7
1.3 Tujuan Penelitian……….…8
1.4 Manfaat Penelitian……….…..8
1.5 Kerangka Pemikiran……….…....9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi………15
2.2 Sistem Pemilihan Semu Masa Orde Baru dalam UU No. 5 Tahun 1974………..18
2.3 Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 Dengan UU No. 32 Tahun 2004………...20
2.4 Demokrasi………...……….26
2.5 Pilkada……….…………32
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………...40
3.2 Defenisi Konsep……….. 40
3.3 Teknik Pengumpulan Data……….…..42
3.4 Analisis Data………....42
3.5 Jadwal Penulisan Penelitian………...43
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Otonomi Daerah………...44
4.2 Desentralisasi………....54
4.3 Pemilihan Kepala Daerah………...61
4.4 Pemilihan Kepala Daerah Orde Baru………...68
4.5 Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (Pilkada)……...74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan………...97
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Matriks Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999
Dengan UU No. 32 Tahun 2004……….36 Tabel 2 Kelebihan dan Kekurangan UU No. 22 Tahun 1999
ANALISIS PERBANDINGAN TERHADAP
UU NO. 22 TAHUN 1999 DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
ABSTRAK
Pada dasarnya setiap Undang-undang memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga Undang-undang berubah secara dinamis seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam menjawab tuntutan perubahan. Metode penulisan dalam tesis ini menggunakan analisis deskripsi studi pustaka yang mengandalkan analisa penulis sebagai instrumen penelitian dalam membandingkan Undang-undang melalui buku-buku, media elektronik dan sumber lainnya yang layak dipercaya dan dipertanggungjawabkan dalam penulisan karya ilmiah tesis ini.Otonomi dan desentralisasi yang diberlakukan pada tahun 2001 memberikan perubahan yang sangat berarti kepada setiap daerah untuk bersentuhan langsung dengan demokrasi dan secara penuh dijamin oleh Undang-undang. Otonomi dan desentralisasi memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan daerah sesuia dengan potensi masyarakat yang ada dengan tidak terlepasnya perhatian pemerintah kepada masyarakat yang ada didaerah. Perjalanan pemilihan kepala daerah dimulai dalam UU No. 5 Tahun 1974 namun besarnya intervensi pemerintah berlaku hingga reformasi. Kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 melalui otonomi-desentralisasi meskipun pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD hingga akhirnya disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 memberlakukan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan mengembalikan hak rakyat sepenuhnya dalam alam demokrasi yang berhak dipilih dan memilih. Keterbukaan demokrasi juga melahirkan UU No. 12 Tahun 2008 yang memberikan peluang bagi setiap calon perseorangan. UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 memiliki beberapa persamaan yaitu kentalnya politik uang yang diberikan kepada DPRD dalam pencapaian kekuasaan di daerah serta masih rendahnya pendidikan politik masyarakat, UU No. 32 Tahun 2004 secara tersendiri mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung untuk memberikan pemahaman dan pendidikan politik kepada masyarakat melalui partisipasi politik masyarakat namun kesalahan dalam UU No. 22 Tahun 1999 justru berpindah kepada UU No. 32 Tahun 2004 dimana praktek politik uang dalam bentuk memberikan uang kepada setiap pemilih.Pemilihan kepala daerah sudah tidak seharusnya menggunakan uang dalam pencapain kekuasaan namun lebih menekankan pada kejujuran, keadilan serta tanggungjawab akan tugas yang diemban dalam mensejahterakan masyarakat. Rakyat berhak meminta pertanggungjawaban kepala daerah sesuai dengan janji-janji yang telah diberikan namun bila tidak tercapai maka masyarakat akan menghukum kepala daerah dengan tidak lagi memilihnya. Tugas kepala daerah adalah memandirikan daerah sesuai dengan potensi daerah sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah kepada daerah.
COMPARISON OF ACT NO. 22 OF 1999 AND ACT NO. 32 OF 2004 ABOUT LOCAL GOVERNMENT
ABSTRACT
Principally each act has advantages and weakness that cause the law changed dynamically based on the development and society need that require change.The writing of this thesis applies the library study descriptive analysis that rely on the writer’s analysis as research instrument in compare the act through books, electronic media and another trusted and accountable sources in the writing of this thesis as scientific paper. Autonomy and decentralization that applied in 2001 provide the important change to each area contact to democracy directly and protected by act. Autonomy and decentralization provide the society with opportunity to develop their area based on the available society potency without neglect the attention of central government to the society in local level. The implementation of local government head election it begin by act No. 5 of 1974 but the being intervention of government is implemented up to the reformation. The issuance of act No. 22 of 1999 trough autonomt-desentralization althought the election of local government head is elected by Local Assembly up to the issuance of Act No. 32 of 2004 that applies the election of local government head directly by return the right of society into democracy condition that has a right to elect and be elect. The democacy openness delivers the Act No. 12 of 2008 that provide the individual candidate with opportunity. Act No. 22 of 1999 and Act no. 32 of 2004 has any similarity, i.e. the money politic that provided to local assembly (DPRD) to get the local authority and the lower of society political education level. The Act No. 32 of 2004 regulate the election of local government head directly in order to provide the society with political education and understanding through the society political participation but the fault in Act No. 22 of 1999 move to Act No. 32 of 2004 in which the money politic is found by the distribution of money to the voters. The election of local government had shout had shout not use the money to get the power or authority but focus to the honesty, justice and accountability on the task for the society prosperous. The people has a right to ask the responsibility on the task for government head based on the promises but if it did not fulfilled, the society will punish the local government head by not elect him/her for the next period. The task of local government head is to make the local area be self sufficient based on the local potency and the authority delegated by the central government to the local government.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia berdasarkan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik
yang dengan sadar memilih bentuk negara dan dirumuskan sesuai dengan jiwa
negara yang berbudaya serta seutuhnya digali semurninya dari bumi Indonesia,
dapat dikatakan memilih bentuk Negara Kesatuan secara sadar berdasarkan
pilihan plural serta kemajemukan bangsa dan tanpa adanya paksaan dari negara
lain dalam menerapkan demokrasi yang ditujukan membawa negara pada ranah
gemah ripah lohjinawi sebagai suatu keputusan politik untuk membangun suatu bangsa-negara yang akan berdampingan dengan negara lain.
Dalam perjalanan negara sangat dibutuhkan pembuatan Undang-undang
sebagai pondasi suatu negara. Undang-undang bersifat dinamis, mengikuti arus
kemajuan jaman sesuai dengan kebutuhan dari negara tersebut yaitu Indonesia,
karena seiring waktu Pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-undang terkadang
tidak dapat mengikuti perkembangan kemajuan dari suatu negara sehingga harus
selalu mengalami pembaruan sehingga selalu mampu beriringan dengan
kenutuhan negara.
Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 merupakan suatu paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah pada
masa Orde Baru sangat didominasi oleh pendekatan sentralistik dimana urusan
pemerintahan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Perjalanan Undang-undang
perjalanan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut telah mengebiri
hak-hak daerah sepenuhnya sehingga menimbulkan efek yang sangat besar dengan
hilangnya kreativitas daerah dalam mengembangkan daerah karena selalu
menunggu keputusan dari pusat akan apa yang harus dan boleh dilakukan oleh
daerah jika pemerintah daerah melakukan kebijakan berdasarkan inisiatif daerah
sendiri maka akan berakibat fatal bagi daerah itu sendiri karena akan dianggap
tidak tunduk kepada Pemerintah Pusat.
Dahulu, Undang-undang yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 dan sejak reformasi telah dua kali membentuk Undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan selanjutnya mengalami perbaikan
Undang-undang dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 yang
menunjukkan kemajuan dalam demokrasi dengan dibukanya jalur independen
dalam membangun demokrasi seutuhnya dan menghargai nilai-nilai dalam
pencapaian demokrasi.
Rozali Abdullah (2005) menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan
berlaku efektif sejak tahun 2000 yang dibentuk pada masa reformasi dilandasi
oleh suatu semangat yang besar untuk merubah keadaan yang terpenjara selama
ini dengan menggali kembali nilai-nilai pemerintahan daerah sehingga mampu
menjadikan pemerintahan yang desentralistik sebagai suatu agenda utama dari
reformasi. Adanya perubahan paradigma Pemerintahan Daerah yang sangat
radikal yang berhasil mengurangi peran Pemerintah Pusat yang sangat dominan
Pemerintahan Di Daerah, perubahan radikal tersebut adalah dilakukannya
pengalihan urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat menjadi kewenangan daerah.
Dengan semangat reformasi yang membawa perubahan kepada daerah
dengan mejadikan sebagian kewenangan pusat sebagai kewenangan daerah dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ternyata tidak sesempurna harapan karena
menyebabkan gejolak dalam konsep peralihan tersebut, adanya peraturan
Perundang-undangan yang tidak sesuai dengan perundang-undangan dalam
otonomi daerah yang mengatur apa saja yang menjadi kewenangan daerah yang
tentunya adalah bagian dari kewajiban dari pemerintahan daerah, dari kondisi
tersebut menyebabkan terjadinya instabilitas nasional yang pada akhirnya
melahirkan keputusan politik untuk kembali merubah Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999.
Perubahan undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang ditetapkan pada 15 Oktober 2004 menjadi
jawaban bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak berlaku lagi secara
hukum. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 melahirkan beberapa perubahan
yang cukup nyata yang pada dasarnya ditujukan untuk meredakan konflik
kewenangan pusat dengan daerah serta ketegangan antara hubungan Kepala
Daerah dengan DPRD yang dilihat dari sisi kekuatan legislatif atau dengan kata
lain bahwa Lembaran Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD sering
dijadikan instrumen untuk melakukan ancaman impeachmant terhadap Kepala
Daerah yang pada akhirnya dapat diselesaikan dalam bentuk kompromi politik
dengan peningkatan kinerja Kepala Daerah yang di evaluasi dalam LPJ Kepala
daerah tersebut.
Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa perubahan signifikan dari
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah diterapkannya pemilihan langsung oleh
rakyat dalam memilih pemimpin daerah yang tentunya sebagai Kepala Daerah
hasil pilihan rakyat yang dominan pada daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Beralihnya pemilihan kepala daerah dari dipilih melalui DPRD sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi dipilih langsung
oleh rakyat menyebabkan beralihnya pertanggungjawaban kepala daerah yang
pada awalnya kepada DPRD menjadi kepada rakyat yang memilihnya.
Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa bila Presiden dipilih langsung oleh
rakyat maka berlaku turunan bersifat hukum dimana pemilihan Gubernur sebagai
Kepala Daerah selayaknya dipilih pula oleh rakyat mengingat Gubernur adalah
Wakil Pemerintah Pusat yang terdapat didaerah. Begitu juga sebaliknya bila
Presiden dipilih oleh MPR sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
dimana MPR yang memilih Presiden sebagai Mandataris MPR maka bersifat
turunan ketika Gubernur dipilih oleh DPRD. Sesungguhnya sistem apapun yang
dipakai, pemilihan langsung atau pemilihan perwakilan serta pengangkatan tentu
memiliki nilai positif dan nilai negatif sebagai konsekuensinya, kembali kepada
cara pandang dan kepentingan dari kemurnian sejarah pembentukan negara
tersebut. Pada akhirnya sistem apapun yang dipakai dengan menjalankan
peraturan secara baik dan benar serta penuh pertanggungjawaban sesuai dengan
norma dan nilai-nilai maka sistem apapun yang dipakai akan membawa
Dalam semangat pembentukan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah bertujuan
bahwa pemilihan langung Kepala Daerah tidak lain demi menjalankan
desentralisasi demokrasi sampai pada tingkat lokal maka dengan kata lain
pemilihan Gubernur melalui lembaga Legislatif dalam Revisi Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 akan membuat kemunduran kehidupan demokrasi yang
sudah mulai tumbuh di tingkat lokal.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan bagian dari catatan
sejarah yang penting untuk diingat, dengan tidak melupakan sejarah yang pernah
dilewati maka secara wajar mengingatkan bahwa terdapat catatan penting dari
proses perjalanan sejarah yang dilewati tersebut dengan tidak mengulangi
kesalahan yang sama seakan terkesan bahwa perubahan tidak memberikan hasil
yang maksimal seiring bertambahnya umur suatu negara. Momentum sejarah dari
perjalanan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentunya untuk meluruskan
cita-cita reformasi yang tidak lain melewati demokrasi menuju kesejahteraan yang
tentunya diprioritaskan. Kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah harus mempu memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan bukan bersifat elitis dan ekslusif
yang hanya menguntungkan elit penguasa lokal.
Rozali Abdullah (2005) menjelaskan bahwa lahirnya otonomi daerah tidak
lain merupakan turunan dari lahirnya desentralisasi yang mengatur kewenangan
daerah yang pada awalnya terdapat dalam Undang-undang nomor 22 Tahun 1999
dalam semangat reformasi. Ciri utama otonomi daerah dalam negara kesatuan
otonom dibentuk oleh pusat dan bahkan dapat dihapus apabila tidak mampu
melaksanakan otonominya. Sumber kewenangan dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 adalah berasal dari Pemerintah Pusat dan tanggungjawab
pemerintahan ada ditangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
sebagaimana secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945.
Desentralisasi sebagai suatu kebijakan dalam negara kesatuan berawal dari
adanya pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Kekuasaan pemerintahan ada pada
pemerintah pusat dan menetapkan kekuasaan yang akan diserahkan kepada daerah
sebagai kewenangan. Semakin sentralisasi pemerintahan dalam suatu negara maka
akan semakin sedikit kekuasaan pemerintahan daerah dan begitu juga sebaliknya
semakin desentralistik pemerintah dalam negara maka akan semakin luas urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah.
Pemberian otonomi seluas mungkin kepada daerah sebagai suatu
kewenangan pemerintah daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tetap tanggungjawab akhir pemerintahan ada ditangan Pemerintah Pusat. Secara
nyata konsekuensi yang terjadi adalah semakin maju suatu bangsa secara sosial,
ekonomi, dan politik maka akan semakin sedikit daerah yang diatur oleh pusat
dan sebaliknya jika semakin rendah kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu
negara tentunya akan semakin banyak aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Maka, sudah seharusnya Pemerintah Daerah meyakinkan Pemerintah Pusat bahwa
kepercayaan dalam bentuk tanggugnjawab yang diserahkan Pusat kepada Daerah
dapat dilaksanakan semaksimal mungkin dalam melaksanakan otonomi sesuai
1.2 Perumusan Masalah
Melalui pemberlakuan otonomi daerah yang melatarbelakangi hadirnya
pemilihan secara langsung dirasakan tidak banyak perubahan berarti dalam
pendewasaan demokrasi melalui pemilihan kepala daerah sehingga timbul
gagasan untuk melahirkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
menggantikan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, melalui pemilihan kepala
daerah secara langsung menjadi jalan keluar untuk mendemokrasikan sistem yang
terdapat dalam pemerintahan.
Dari keadaan latar belakang maka penulis dengan studi pustaka memilih
judul “Analisis Perbandingan Terhadap Undang-undang nomor 22 Tahun
1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.”
Saat ini, secara nyata disadari bahwa telah ada aturan baru mengenai
pemilihan kepala daerah secara Independent yang diatur secara tegas dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 dimana dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 2008 tersebut memperbolehkan pasangan calon mengajukan diri menjadi
calon kepala daerah tanpa melalui pencalonan dari partai sehingga semakin
membuka lebar peluang demokrasi dalam pemilihan kepala daerah namun penulis
memilih membatasi penulisan pada persoalan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
Daerah.
Dari keadaan tersebut penulis merumuskan permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana perbandingan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan
2. Bagaimana kelebihan dan kelemahan pada kedua Undang-undang tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang bersifat Studi Pustaka ini adalah untuk
menggali jauh mengenai perbandingan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Adanya perubahan penting dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa
masyarakat menjadi penentu akhir siapa yang berhak menjadi kepala daerah.
Salah satu tujuan penting dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemilihan
Gubernur sebagai kepala daerah yang dipilih dipilih oleh DPRD pada
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan pemilihan secara langsung oleh
masyarakat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Bagi Penulis, untuk menambah pemahaman penulis akan perkembangan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang semakin mendewasakan masyarakat
dalam memahami perjalanan demokrasi pada pemilihan kepala daerah, juga
sebagai kajian literatur dan meningkatkan kemampuan analisis dan berpikir
khususnya mengenai pemilihan Gubernur sebagai Kepala Daerah yang dipilih
oleh Legislatif Daerah atau DPRD pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
Bagi Pemerintah, sebuah harapan bahwa hasil analisis Studi Pustaka dalam
perspektif yang ada mengenai perbandingan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang lebih fokus membahas
mengenai pemilihan Gubernur sebagai Kepala Daerah.
Bagi Program Studi, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sekolah
Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara juga untuk melengkapi
ragam penelitian bersifat Studi Pustaka tentang pemilihan Gubernur sebagai
Kepala Daerah sebagai bahan bacaan dan referensi dari sekian banyak karya
ilmiah.
1.5 Kerangka Pemikiran
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai proses awal
berlakunya desentralisasi menegaskan bahwa Gubernur memiliki fungsi untuk
mensinergiskan fungsi pemerintahan daerah dalam menerapkan otonomi daerah
yang memiliki kewenangan yang dilimpahkan pusat kepada daerah yang dijamin
oleh undang-undang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi.
Amiruddin dan Zaini Bisri (2006) Demokrasi bukanlah sebuah utopia
yang dapat dinyatakan dengan khayalan belaka untuk melihat betapa berartinya
ketika sebuah demokrasi dapat dilakukan dan langsung dirasakan oleh
masyarakat, demokrasi juga bukan merupakan hadiah cuma-cuma untuk
warganya. Namun, jalan yang bisa menjamin masyarakat memperoleh manfaat
demokrasi adalah dengan mengemban tanggungjawab dan menjaga
kesinambungannya. Demokrasi merupakan sebuah kewajiban rakyat untuk
menjaga daerah untuk tetap dan selalu maju dengan konsep otonomi daerah yang
Prihatmoko (2005) demokrasi lokal mendorong masyarakat di sekitar
pemerintahan tersebut untuk ikut serta secara rasional terlibat dalam kehidupan
politik, dengan Pilkada secara langsung maka kesetaraan politik di antara berbagai
komponen masyarakat akan terwujud.
Dalam Hendratno (2009) Pengertian tentang desentralisasi tidak ada yang
tunggal, banyak defenisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai
desentralisasi. Menurut David K. Hart (Hendratno: 2009) banyaknya defenisi
tentang desentralisasi disebabkan karena ada beberapa disiplin ilmu dan teori yang
memberikan perhatian terhadap desentralisasi.
Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin yang
berarti “de” adalah lepas dan “centrum” adalah pusat, sehingga bisa diartikan
melepaskan dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud desentralisasi
adalah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang
mengurus rumahtangganya sendiri. Syaukani, Gaffar, dan Rasyid (2005)
desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintah yang
menyangkut pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal
dimana pemerintahan nasional melimpahkan kewenangan kepada pemerintahan di
daerah untuk diselenggarakan guna meningkatkan kemaslahatan hidup
masyarakat.
Dalam Hendratno (2009) istilah otonomi lebih cenderung berada dalam
aspek politik –kekuasaan negara karena menyangkut seberapa besar wewenang
untuk menyelenggarakan urusan pemerintah yang telah diberikan sebagai
Syaukani, Gaffar, dan Rasyid (2005) kata kunci otonomi daerah adalah
“kewenangan”, seberapa besarkah kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam
menginisiatifkan kebijaksanaan, mengimplementasikan dan memoblisasi
dukungan sumber daya untuk kepentingan implementasi. Dengan kewenangan
tersebut maka daerah akan menjadi kreatif untuk menciptakan kelebihan dan
insentif kegiatan ekonomi dan pembangunan daerah.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Kepala daerah adalah
kepala pemerintahan yang terdapat di daerah yang bertanggungjawab untuk
memandirikan masyarakat dalam otonomi daerah pada konsep desentralisasi yang
di pilih secara langsung oleh masyarakat dan bertanggungjawab penuh kepada
masyarakat yang telah memilihnya. Kepala daerah haruslah seorang yang dekat
masyarakat dan dikenal oleh masyarakat pula, dan karena itu kepala daerah
haruslah seorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat atau masyarakat dan
diserahi kekuasaan untuk memimpin daerah. Leo Agustino, (2009) mengatakan
bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung secara esensial bertujuan
untuk lebih menguatkan legitimasi politik “penguasa” di daerah.
Menurut Eep Saepullah (TribunNews, Jakarta 31/7/2010) penerapan
otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
merupakan amandemen dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadikan
titik tumpu otonomi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi samar. Karena,
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan Provinsi memiliki
kewenangan yang lebih besar sebagai titik tumpu otonomi. Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 mengubah secara signifikan isi Undang-undang nomor 22
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada Provinsi sehingga praktis menjadi samar, yang mana sebenarnya
yang menjadi titik tumpu dari otonomi daerah sehingga akhirnya seolah-olah
keduanya menjadi titik tumpu maka dengan itu bila ingin menerapkan dengan
menghapuskan pemilihan langsung kepala daerah maka harus disepakati terlebih
dahulu mengenai soal titik tumpu tersebut.
Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin (2009) menjelaskan bahwa tujuan
Pilkada langsung adalah untuk memperkuat integrasi dan kohesi sosial
masyarakat, karena masyarakat dapat mempelajari bagaimana cara mengelola
perbedaan kepentingan melalui Pilkada langsung. Pilkada telah menjadi budaya
dalam masyarakat, mengubah tradisi sebagai sebuah budaya politik masyarakat
dan memperkenalkan dengan sesuatu hal yang baru dalam bentuk pemilihan
kepala daerah yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung, meskipun lebih
baik, perlu menghapus prasangka-prasangka masyarakat yang dianggap kurang
sesuai dalam masyarakat dan menerangi ketidaktahuan masyarakat serta
meyakinkan masyarakat bahwa kepentingan masyarakat akan diperjuangkan oleh
sebuah perjuangan untuk sebuah perubahan kearah yang lebih baik dan
sepenuhnya di berikan kepada kepala daerah untuk mengatur daerahnya untuk
mencapai tujuan yang ingin di capai. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 bahwa berlakunya pemilihan kepala daerah untuk daerah provinsi yang
dijamin dalam undang-undang dalam pelaksanaannya yang dipilih langsung oleh
masyarakat.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemilihan Kepala
uang dalam masyarakat sementara bila dibandingkan dengan pemilihan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak berbeda jauh dari pemilihan kepala
daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2204 karena tetap menggunakan
politik uang namun tidak secara gamblang diperlihatkan kepada masyarakat
karena pemilihan kepala daerah dilakjukan secara tertutup oleh Dewan di daerah
(DPRD). Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 melalui pemilihan
langsung ternyata mendorong sebagain besar kepala daerah untuk korupsi yang
diakibatkan besarnya pengeluaran pada saat mencapai kepala daerah sehingga
tidak heran jika seorang calon Kepala Daerah Provinsi menghabiskan Rp. 10-100
Miliar untuk ikut pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu sangat memungkinkan
bahwa banyak Kepala Daerah akhirnya berurusan dengan hukum.
Setiap Undang-undang memiliki kelebihan dan kekurang tersendiri,
demikian juga dalam undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemilihan kepala daerah dan tentunya
memiliki alasan pembenar masing-masing dalam pemilihan Gubernur sebagai
kepala daerah.pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara sah bahwa
dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung dan pada kenyataannya
menyedot anggaran yang berlebihan juga maraknya konflik horizontal akibat
ketidakpuasan atas hasil terutama jumlah suara. Dalam Undang-undang nomor 32
Tahun 2004 memiliki penguatan dalam Undang-undang Pasal 18 Ayat (4) yang
berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan Provinsi, kabupaten, dankota dipilih secara demokratis” dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa kepala daerah dipilih oleh karena
bahwa pemilihan Gubernur adalah juga hasil pemilihan rakyat. Sementara kalimat
demokratis dalam Pasal 18 Ayat (4) dengan tegas dipilih secara demokratis, titik
persoalan adalah bagaimana mendudukkan persoalan kata demokratis tersebut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Otonomi daerah dan desentralisasi tidak dapat dipisahkan dengan
pemilihan kepala daerah secara langsung maupun dengan pemilihan kepala daerah
yang dipilih oleh DPRD sebagai lembaga legislatif daerah atau DPRD karena
semangat pemilihan tersebut lahir karena keberadaan dari otonomi dan
desentralisasi yang efektif berlaku pada 1 Januari 2001 menggantikan sistem
sentralisasi pada jaman Orde baru.
Hendratno (2009) menjelaskan bahwa istilah otonomi daerah dan
desentralisasi sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Istilah otonomi
lebih cenderung berada dalam aspek politik-kekuasaan negara sedangkan
desentralisasi lebih cenderung berada dalam aspek administrasi negara. Antara
desentralisasi dengan otonomi daerah mempunyai hubungan yang sangat erat
sehingga sangat susah untuk dipisahkan antara keduanya karena otonomi daerah
lahir karena keberadaan adanya desentralisasi. Otonomi daerah merupakan
persoalan seberapa besar kewenangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang daerah.
Menurut syariff Saleh dan Sugeng Istanto dalam Hendratno (2009)
menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak untuk mengatur dan memerintah
daerah sendiri atas inisiatif kemauan sendiri dimana hak tersebut didapatkan dari
pemerintah dengan kata lain otonomi merupakan hak atau wewenang untuk
Dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan
pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar
prakarsa, kreativitas dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka
mengembangkan dan memajukan daerah, masyarakat tidak hanya dapat
menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat semlainkan yang
utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri.
Syaukani, dkk (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa argumentasi
mengapa desentralisasi dan otonomi diterapkan dalam pemerintahan
daerah,adalah:
1. Efisiensi dan efektivfitas penyelenggaraan pemerintah.
Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah
merupakan suatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat
dihindari, penerapan desentralisasi maka tentunya ada
transfer kewenangan kepada daerah sehingga di
selenggarakan pemerintahan lokal dimana pemerintah daerah
akan lebih baik menyelenggarakan daripada dilakukan secara
nasional dan sentralistik.
2. Pendidikan politik.
Pemerintahan daerah merupakan pelatihan dan
pengembangan demokrasi dalam suatu negara agar penerapan
peraturan tidak terkesan coba-coba dalam menerapkan aturan
dalam undang-undang. Kewenangan kepada pemerintah
daerah sudah dapat memahami konteks kehidupan sosial,
ekonomi dan politik.
Menurut John Stuart Mill dalam Syaukani, dkk (2005)
menyatakan bahwa dengan adanya pemerintahan daerah
maka akan menyediakan kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi politik.
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik
lanjutan
Pemerintah daerah merupakan langkah strategis untuk meniti
karir politik lanjutan, politisi dan anggota legilslatif yang
handal dan kaliber nasional lahir karena proses yang panjang
dan bukan politisi instan dan legislatif instan yang terpilih
karena kekuatan uang.
4. Stabilitas nasional
Manfaat dari desentralisasi dan otonomi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalan penciptaan
politik yang stabil dengan alasan yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan. Stabilitasn politik nasional sudah
seharusnya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal.
5. Kesetaraan politik
Pemerintahan daerah menciptakan kesetaraan politik dengan
menciptakan kesempatan untuk terlibat dalam politik salah
satunya adalah dalam hal pemberian suara dalam pemilihan.
kesetaraan yang meluas diantara warga masyarakat dalam
suatu masyarakat.
2.2 Sistem Pemilihan Semu Masa Orde Baru dalam UU Nomor 5 Tahun
1974
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
merupakan satu-satunya UU Pemerintahan daerah yang lahir dan digunakan pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto, dengan justifikasi pelaksanaan UUD 1945
dan pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah
dibatasi dan dikontrol sedemikian rupa termasuk dalam pilkada. Sebagai
ketentuan perundangan, materi yang mengatur pilkada dalam UU No. 5 Tahun
1974 dapat dikatakan lengkap dan rinci. UU tersebut mengatur syarat kepala
daerah, mekanisme pengisian, kewenangan kepala daerah, hubungan kepala
daerah dan DPRD, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah,
masa jabatan.
Sejalan dengan konstruksi kepala daerah yang otonom menurut UU No.
5 Tahun 1974 Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri, dasarnya adalah Presiden sebagai penanggungjawab tertinggi
dalam penyelenggaraan pemerintahan di seluruh negara karena secara hierarkis
bertanggungjawab kepada Presiden, maka kepala daerah diangkat oleh Presiden
bagi calon yang memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh
Undang-undang. Pemilihan kepala daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 adalah
kepala daerah berumlah sedikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang yang
hasil pemilihan disampaikan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri sedikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Dari kondisi tersebut sangat terlihat kentalnya intervensi pusat dalam
pilkada, pusat tidak hanya menjadi proses terakhir penentuan calon terpilih juga
terlihat peranan Menteri Dalam Negeri dalam proses pencalonan. Pengangkatan
kepala daerah oleh Presiden tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh
masing-masing calon karena proses pengangkatan kepala daerah adalah hak
prerogatif dari Presiden.
Menurut Agus Pramusinto dalam Prihatmoko (2005), aturan tersebut
terkait kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan Gubernur yang mampu
bekerja sama dengan pemerintah pusat. Syarat kepala daerah sangat interpretatif
diantaranya setia dan taat kepada negara dan pemerintah, mempunyai rasa
pengabdian terhadap nusa dan bangsa, mempunyai kepribadian dan
kepemimpinan, berwibawa, jujur, cerdas, berkemampuan dan terampil, adil dan
mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup dalam bidang
pemerintahan.
Pemberhentian kepala daerah menjadi kewenangan penuh dari Presiden
dan Menteri Dalam Negeri, dengan aturan yang multi-interpretatif masyarakat
daerah merasa seing dirugikan sehingga muncul kericuhan bahkan kerusuhan
karena menganggap intervensi pusat terlalu berlebihan. Pemerintah sering
memilih orang-orang yang punya akses dengan pusat kekuasaan. Menurut Afan
Gaffar dkk (2005), realitas empirik pelaksanaan pilkada masa orde baru
merupakan rekrutmen politik lokal yang sepenuhnya ditentukan oleh pusat karena
2.3 Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004
Dalam otonomi yang luas dan nyata pada Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 Pemerintah Daerah berwenang melakukan apa saja yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintah kecuali yang berhubungan dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan
negara, moneter, sistem peradilan, dan agama. Sementara, Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah berhak mengatur tentang pembentukan daerah
dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan, kepegawaian daerah, kerjasama dan penyelesaian perselisihan,
kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalam
kebijakan otonomi daerah.
Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa hasil dari berlakunya reformasi
adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang masih mengatur pemilihan
kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan semangat otonomi daerah dan
desentralisasi dalam alam demokrasi, dalam perjalanan Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 mengalami banyak permasalahan yang masih perlu di perbaiki
sehingga melahirkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang melaksanakan
Pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung sering kita sebut dengan
Pilkada adalah sesuatu hal baru dalam masyarakat. Dengan perubahan format
pemilihan kepala daerah tersebut masyarakat menjadi penentu dalam pemilihan
pemimpin masyarakat di daerah yang berdasarkan hukum dan dilindungi
Undang-undang. Namun, kita masih mengakui dan perlu penegasan bahwa di dalam
demokrasi untuk mencari pemimpin daerah yang berkualitas dengan cara-cara
yang damai, jujur, dan adil dalam Amiruddin dan Bisri (2006).
Dalam semangat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kepala daerah di
pilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara demokratis dan
tertutup. Dengan kata lain bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan dengan
pemilihan secara tidak langsung atau tidak memberikan partisipasi kepada
masyarakat untuk melaksanakan pemberian suara, pilkada tidak langsung tidak
memberi ruang bagi rakyat untuk menggunakan hak pilihnya secara aktif yakni
hak untuk memilih dan hak untuk di pilih.
Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa ihwal Kepala Daerah diatur dalam
Pasal 34 sampai Pasal 40 UU No. 22 Tahun 1999 yang secara tegas memuat
ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan DPRD dalam pelaksanaan
pilkada. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 22
Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa: Ayat (1) dikatakan “Pengisian jabatan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui
pemilihan secara bersamaan”. Ayat (2) dikatakan “Calon Kepala Daerah dan
Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan
dan pemilihan”.
Banyaknya keperluan pembenahan dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 akhirnya menyimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tidak dapat di jadikan rujukan untuk menjadikan sistem menjadi demokratis
karena belum mampu menciptakan pemimpin daerah yang lebih akuntabel
terhadap masyarakat meskipun telah memberikan wewenang kepada kepala
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan yang
dijiwai dalam otonomi daerah.
RPJM 2004-2009; Bab 13 terdapat beberapa kelemahan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu:
1. Belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan daerah.
2. Berbedanya cara pandang para pelaku pembangunan terhadap
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
3. Masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah.
4. Belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang
efektif dan efisien.
5. Masih terbatasnya dan rendahnya kapasitas aparatur
pemerintah daerah
6. Masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, dan
7. Pembentukan daerah otonom baru yang belum sesuai dengan
tujuannya.
Wahidin (2008) menelaskan bahwa fokus perubahan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah pada
kuatnya keinginan untuk lebih memproporsionalkan kewenangan daerah atas
wilayah sendiri karena dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dinilai lebih
besar dominasi pusat dibandingkan dengan kewenangan daerah.
Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara nyata
masih dirasakan adanya permasalahan dan bila dibiarkan akan mengganggu
sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan desentralisasi telah
menunjukkan hasil yang relatif mengalami kemajuan namun belum diimbangi
dengan pencapaian yang memadai pada aspek peningkatan pelayanan kepada
masyarakat. Pada puncak dari urusan pemerintah daerah adalah pelayanan publik
yang nyata dan mampu sepenuhnya menyentuh masyarakat dan dapat dirasakan
pelayanan langsung yang memberikan nilai positif kepada pelayanan pemerintah
dalam bentuk pelayanan publik tersebut. Kebijakan pemerintah tidak lain adalah
kesejahteraan yangmerupakan urusan pemerintahan dengan penyediaan kebutuhan
publik seperti rumah sakit, pengaturan publik seperti pajak dan retribusi dan
sebagai hasil akhir dari kinerja pemerintah daerah.
Lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengubah peta politik
yang dulunya dipilih oleh DPRD secara tertutup berubah ke ranah yang terbuka
yang dipilih oleh masyarakat, trauma terhadap pelaksanaan pilkada Orde Baru
yang ditandai dengan intervensi pusat yang berlebihan. Prihatmoko (2005) bahwa
UU No. 32 Tahun 2004 lahir berdasarkan atas konstitusional yang terdapat dalam
Undang-undang Dasar 1945 (UUD) yaitu Pasal 1 Ayat (1), Pasal 1 Ayat (2). Pasal
1 Ayat (1) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik”, Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, Pasal 18 Ayat
(4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan Provinsi, kabupaten, dankota dipilih secara demokratis”.
Artinya, dalam frase “kedaulatan di tangan rakyat pada Pasal 1 Ayat (1)”
dan “dipilih secara demokratis pada Pasal 18 Ayat (4)” itulah pokok inti dari
diterapkannya Pilkada yang melibatkan rakyat secara langsung untuk
menggantikan sistem pemilihan perwakilan melalui DPRD yaitu UU Nomor 22
Tahun 1999. Pembuat UU No. 32 Tahun 2004 merasa pasti bahwa Pilkada
langsung merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi,
artinya bahwa Pilkada langsung merupakan bentuk penyerahan kewenangan
pemerintah pusat pada pemerintahan daerah dan memiliki pondasi yang kokoh
dalam UUD.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menerapkan konsep urusan residu
untuk Kabupaten/Kota dengan mengatur hanya urusan-urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, daerah hanya
diwajibkan melaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan untuk membatalkan semua perda yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau dengan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Maka, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 mulai ditata pembagian urusan pemerintahan yang semakin jelas antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan
kanupaten/kota, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menerapkan urusan
Konkuren antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Setiap urusan dibagi
berdasarkan tiga kriteria yaitu eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Penerapan
ketiga kriteria tersebut melahirkan pembagian urusan yang jelas antara Pusat,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Ada 31 urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah otonom Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat konkuren.
Dengan pembagian ketiga kriteria tersebut maka Pemerintah Pusat mempunyai
Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan mengurusi urusan yang berskala
Provinsi dalam bentuk Kabupaten/Kota dan Pemerintah Kabupaten/Kota
mempunyai kewenangan atas urusan pemerintahan Kabupaten/Kota dari ke-31
urusan konkuren tersebut.
Dalam masyarakat, Pilkada sebagai pendidikan politik merupakan sarana
untuk menjadikan masyarakat menjadi melek politik, sadar politik dalam
perbuatan tindakan secara rasional karena masyarakat tidak lagi menjadi objek
dalam pemerintahan meskipun saat ini harapan mendidik masyarakat melalui
demokrasi pemilihan langsung akan berubah seiring dengan adanya revisi UU No.
32 Tahun 2004 yang menitikberatkan revisi tersebut dengan memberikan
perhatian khusus bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung sarat dengan
persoalan uang yang berlebihan.
Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa Pasal 18 Ayat 4 yang berbunyi
“Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis” menjadi dasar
penyusunan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam Pasal 18 Ayat 4
tersebut tidak ada amanat konstitusi tentang pemilihan Wakil Kepala Daerah
dengan kata lain terdapat ambiguitas dalam pasal tersebut meskipun adanya aturan
penjelasan mengenai Undang-undang Pasal 18 Ayat 4 tersebut. Selain itu antara
kabupaten/kota dengan provinsi sama-sama merupakan daerah otonom, kepala
pemerintahan untuk provinsi memilik peran ganda oleh Gubernur yaitu sebagai
Kepala Daerah dan juga sekaligus sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Wilayah
2.4 Demokrasi
Secara harfiah demokrasi adalah sesuatu yang berasal dari rakyat,
dilakukan oleh rakyat dan dikembalikan kepada rakyat sebagai tanggungjawab
dari pemerintah kepada rakyatnya termasuk dalam dalam pemilihan kepala
daerah. Kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintah untuk mencapai
tujuan dari keinginan dan kehendak masyarakat secara keseluruhan dalam wilayah
Kabupaten/Kota guna mencapai perubahan kearah yang lebih baik dimana
masyarakat memberikan tanggungjawab dan kepercayaan dalam menjalankan
proses demokrasi yang dilakukan oleh segenap masyarakat.
Menurut Robert Dahl dalam Prihatmoko (2005), demokrasi lokal
mendorong masyarakat disekitar pemerintahan tersebut untuk ikut serta secara
nasional terlibat dalam kehidupan politik, dengan pilkada secara langsung maka
kesetaraan politik diantara berbagai komponen masyarakat akan terwujud.
Menurut Diamond dalam Leo Agustino (2009), ada lima alasan utama
negara-negara sedang berkembang menganggap bahwa sangat penting
mengimplementasikan proses demokrasi, yaitu: Pertama, Demokrasi
menyediakan ruang bagi partisipasi secara luas dan otonom bagi setiap individu,
satu aturan dasar dari demokrasi adalah kebebasan individu untuk terlibat
langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, Kontrol politik akan sangat baik bila dilaksanakan oleh orang-orang tetapi oleh mereka yang berada
diluar dari struktur pemerintahan, adanya usaha saling kontrol guna pengelolaan
kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik menjadi kebutuhan
umum kepala daerah merupakan perwujudan dari suksesi kekuatan formal.
Keempat, Tersedianya mekanisme pengelolaan dan penyelesaian konflik yang dibarengi dengan kekerasan. Karena itu, demkorasi harus mampu menyediakan
mekanisme teknis dan praktis dalam upaya pengelolaan dan penyelesaian konflik
secara akomodatif.
Penguatan demokrasi ditingkat lokal melalui pilkada langsung adalah
bagian dari pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab dan berupaya
agar kesadaran dan pengetahuan masyarakat pemilih akan hak-haknya
berdemokrasi dapat ditingkatkan kualitasnya sehingga tidak mudah untuk
dipengaruhi oleh praktik-praktik yang mengotori demokrasi di tingkat lokal.
Upaya penguatan demokrasi di tingkat lokal melalui pilkada langsung adalah
mekanisme yang tepat sebagai bentuk terobisan atas mandeknya pembangunan
demokrasi di tingkat lokal.
Demokrasi sangat mahal biayanya karena sesungguhnya membangun
demokrasi sama dengan membangun suatu peradaban. Demokrasi dilakukan oleh
mereka yang berhak memilih, demokrasi harus diikuti oleh kedewasaan berpolitik
yang menjadikannya menjadi buday politik dalam masyarakat agar masyarakat
dapat memahami dan mengerti arti dari proses politik dengan pilihan-pilihan yang
rasional pada saat memberikan aspirasi dan partisipasinya, penghormatan
terhadap hak asasi dari manusia itu sendiri yang dilaksanakan secara bebas dan
bertanggungjawab. Penggunaan cara-cara kekerasan dalam bentuk apapun untuk
memaksakan kehendak adalah melanggar prinsip demokrasi itu sendiri sekalipun
dilakukan demi demokrasi itu sendiri, demokrasi hanya mungkin dibangun
goncangan sebaliknya demokrasi yang dibangun dengan cara-cara anti-demokrasi
akan rapuh dan mudah runtuh.
Dalam Amiruddin (2006), ada 3 ukuran yang menunjukkan suatu
pemerintahan dikelola dengan berbasis pada demokrasi lokal yaitu political
equality; loyal equality; dan sense of loyal response. Pertama, political equality,
yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah manakala dalam proses
pelaksanaannya dibangun atas dasar prinsip kesetaraan politik dan bukan saja
terjadi secara horizontal antara eksekutif tetapi juga secara vertikal antara rakyat
dengan kepala daerah, posisi masyarakat dikuatkan dengan kekuatan bargaining politic yang cukup karena masyarakat memegang kendali atas suara yang telah diberikannya dan dipertanggungjawabakan secara penuh oleh kepala daerah.
Keuda, loyal equality yaitu akuntabilitas lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat sulit diwujudkan karena keterlibatan masyarakat dalam
proses penyelenggaraan di daerah tidak diwadahi dalam suatu sistem yang jelas
dan setelah pilkada transparansi mendapatkan tempat yang proporsional yang
menjadi arti penting dalam pilkada langsung, keadaan tersebut menjadi pemecah
kebekuan sistem politik yang lebih memungkinkan terbukanya akuntabilitas lokal.
Ketiga, sense of loyal response yaitu terjadi dikarenakan kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan rakyat secara langsung memiliki konsekuensi yaitu
suara pemerintah harus tunduk kepada rakyat, ketertundukannya pada suara rakyat
adalah jaminan bagi selamatnya kontrak politik yang terbangun melalui sistem ini.
Perjalanan demokrasi sangatlah panjang dan tidak semudah seperti yang
duraikan, demokrasi menjadi tujuan dalam suatu negara yang penerapnnya
banyak hambatan karena memiliki banyak fenomena dalam mewujudkannya.
Lambannya penerapan demokrasi dikarenakan kurang mengakarnya budaya
demokrasi dalam masyarakat sehingga perilaku intoleran, sikap tidak saling
percaya, pelanggaran terhadap aturan-aturan politik yang telah disepakati menjadi
awal dari kegagalan demokrasi serta akar masalah adalah belum matangnya
aturan, ide serta nilai demokrasi yang tertanam dalam budaya demokrasi pada
suatu komunitas dalam negara. Dari besarnya cita-cita tersebut karena demokrasi
adalah suatu poses perjalanan panjang daru suatu negara yang tidaklah cukup
mengungkapkan demokrasi hanya berdasasrkan teori dalam tahapannya saja.
Hubungan demokrasi dengan politik adalah pada saat politik dalam
penerapannya dalam pemilihan kepala daerah memiliki kontrak politik terhadap
masyarakat dalam hal janji-janji politik yang sudah disampaikan dalam
kampenye. Adanya kepribadian dalam melaksanakan politik menjadi politik yang
tahan hantaman dari segala arah yang ada, sikap yang berdaulat dalam politik
serta fatsun politik yang ada menghantarkan politik pada nilai-nilai politik yang
ada meskipun cukup nyata dirasakan adanya pengaruh dari
oportunis-pragmatisme dari berbagai pihak dalam melihat peluang aji mumpunng dalam
politik. tujuan dari politik pada demokrasi adalah memberikan jalan keluar
sebagai solusi yang berarti kepada masyarakat, politik sebagai keberimbangan
dalam setiap pengambilan keputusan yang sangat penting bila mengingat
pengaruh yang diciptakan politik sebagai efek kepada masyarakat,bila demokrasi
dalam politik dijalankan dengan setengah hati akan menciptakan hilangnya
pegangan masyarakat akan kondisi yang ada sehingga melahirkan
Hubungan demokrasi kesejahteraan dalam hal ini adalah mendongkrak
ekonomi masyarkat sangat kental terlihat dalam masyarakat karena pada saat
pelaksanaan pesta demokrasi setiap calon kepala daerah selalu membagikan uang
sebagai salah satu cara untuk meluluhkan hati rakyat dengan pesan yang ingin
disampaikan seakan begitulah kebaikan calon kepala daerah jika berhasil menjadi
kepala daerah yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan rakyat yang cukup
dengan membagikan uang kepada masyarakat.
Kandidat yang mempunyai uang cukup banyak dan tentunya dengan
sumber yang tidak jelas dapat mengelabui konstituen. Dengan kondisi kesadaran
masyarakat yang masih sangat lemah tentunya uang dapat diterima sebagai
tawaran yang sangat menggembirakan apalagi didukung oleh kondisi ekonomi
masyarakat saati ini yang sedang sulit sehingga dalam kondisi demikian uang
dapat dipandang sebagai dewa penolong yang dapat mengeluarkan masyarakat
dari tuntutan pemenuhan kebutuhan sesaat. Namun, masyarakat yang sedikti kritis
menghadapi pemilihan kepala daerah justru lebih bersifat strategis-pragmatis yaitu
menerima uang namun tidak memilih calon tersebut karena masyarakat sudah
memiliki pemahaman tambahan bahwa siapapun calon kepala daerah yang terpilih
maka kondisi akan sama saja dan tidak mengalami perubahan.
Politik uang mengingkari cita-cita etis masyarakat untuk membentuk,
mengembangkan tata pemerintahan yang baik dan bersih serta jujur berdasarkan
sendi-sendi integritas kandidat yang baik, tanpa itu karakter pemerintah yang
demokratis akan sulit terwujud. Pemerintahan yang dihasilkan dari ketidakjujuran
akan melahirkan otoriter, represif, tidak transparan dan menutup partisipasi
tersebut adalah harga mahal yang harus dibayar untuk melalui proses
berdemokrasi.
Demokrasi telah menjadi budaya politik dalam masyarakat, sifat
demokrasi mempertahankan kebenaran menjadi suatu pendirian yang tegas bahwa
didalam demokrasi semua orang diciptakan sama dan dikaruniai suatu hak yang
tidak bisa dilanggar oleh orang lain, bebas bertanggungjawab dalam hukum dan
mencari kebahagiaan tanpa harus menidas orang lain, untuk menjaga hak-hak ini
pemerintahan dibentuk didalam masyarakat dimana kekuasaan kepala daerah yang
sebenarnya berasal dari persetujuan rakyat atau mereka sebagai masyarakat yang
diperintah. Demokrasi sebagai kehendak rakyat, sudah dapat dipastikan bahwa
demokrasi akan berwujud manakala kehendak rakyat mayoritas dapat dipenuhi
oleh pemerintah berkuasa dengan relatif baik. Karena itu, dari mana sumber
kekuasaan itu berasal atau dengan kata lain darimana sumber kekuasaan itu
berada, maka rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang utuh berhak meminta
pertanggungjawaban kepala daerah yang terpilih. Budaya merupakan faktor utama
untuk menjelaskan dibentuknya suatu sistem yang demokratis atau bahkan
gagalnya demokrasi tersebut. Budaya politik dalam masyarakat merupakan
pembelajaran yang berlangsung terus-menerus dalam waktu yang tidak ditentukan
selama NKRI masih berdiri meskipun kebutuhan negara selalu berubah sehingga
perundang-undangan ikut berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat, namun ketika perubahan itu bertentangan dengan demokrasi maka
budaya politik demokrasi menjadi defisit dan bahkan dapat hilang sama sekali
2.5 Pilkada
Tujuan utama dari pilkda adalah penguatan masyarakat dalam rangka
peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal dan peningkatan harga diri
masyarakat yang sudah sekian lama termarginalkan. Keunggulan pilkada dalam
demokrasi lokalmsangat menguntungkan karena didepan mata masa depan
demokrasi lokal akan semakin bersinar meskipun tidak menjadi hal terpenting
dalam mencapai demokrasi yang diinginkan.
Dalam pemilihan kepala daerah secara tidak langsung masyarakat hanya
menjadi objek dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah karena suara masyarakat
hanya dititipkan kepada DPRD. Seorang kepala daerah harus memiliki rasio
dengan kemampuan mengekspresikan gagasan, pengetahuan, dan ketrampilan
dalam mengambil keputusan secara cepat dan akurat. Kecerdasan emosi seorang
kepala daerah mampu juga untuk menahan diri, berempati, dan terbuka kepada
sesama apalagi saat menghadapi kekalahan harus mampu berjiwa besar dan
berlapang dada. Ada pula kecerdasan spiritual menyangkut kemampuan
mengekspresikan nilai-nilai, keyakinan, kepercayaan yang dimiliki secara
kontekstual. Kepala daerah adalah seorang yang dekat dengan masyarakat dan
dikenal oleh masyarakat, tidak pada saat kampanye saja setiap calon merasa dekat
dengan masyarakat dan setelah terpilih justru menghilangkan masyarakat dari
tujuan utama keberhasilan pencapaian kepala daerah.
Seiring dengan berjalannya pemilihan kepala daerah secara langsung
oleh rakyat tidak dapat dipungkiri bahwa pilkada tidak terlepas dari peran uang
dalam mencapai kekuasaan artinya pilkada yang berlangsung saat ini dimana
memperoleh kemenangan. Amiruddin (2006), mengemukakan bahwa terdapat 2
bentuk pilkada, yaitu:
1. Pilkda dimata masyarakat hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan oleh
segelintir elite parpol untuk mendapatkan kekuasaan dilembaga eksekutif
daerah. Partai politik sebagai instrumen yang seharusnya menyajikan calon
yang paling baik bagi masyarakatcenderung lebih mementingkan calon-calon
yang loyal kepada partai atau atasan daripada calon diluar partai yang
munkgin dianggap masyarakat lebih berkualitas dan pantas menjadi kepala
daerah. Maka, dengan demikian pemilihan kepala daerah hanya menjadi
bagian dari ambisi elite partai untuk memupuk kekuasaan guna merebut
posisi politik yang lebih strategis.
2. Setelah reformasi pemegang sejati kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri,
dengan diadakannya pilkda telah memberikan secercah harapan bagi
perkembangan demokrasi kedepan. Lahirnnya sikap optiomis bahwa pilkada
akan membawa perubahan kearah yang lebih baik dalam perkembangan
demorkasi kepada masyarakat cukup mempunyai alasan yang kuat mengingat
bagi masyarakat yang telah sekian lama dalam cengekraman kekuasaan dan
kemudian melepaskan diri dari dominasi sistem tersebut. Pilkada bukan
jawaban akhir dari proses demokrasi karena masih dihadapkan pada
penyalahgunaan wewenang dan sentimen primordial oleh segelintir kalangan
untuk mencapain tujuan yang sempit dan harus mengandalkan materi (uang)
untuk mencapai kekuasaan, keadaan tersebut didasari pada tujuan agar