• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 dan UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Dede Mariana ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 dan UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Dede Mariana ABSTRAK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 22

TAHUN 1999 dan UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Dede Mariana

ABSTRAK

Pemberlakuan dua paket UU Otonomi Daerah, yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebenarnya dapat dikatakan telah menggeser bentuk negara kesatuan ke arah bentuk negara yang bersifat kuasi federasi. Hal ini karena substansi kedua UU tersebut yang tidak lagi menempatkan hubungan antarlevel pemerintahan secara hirarkhis namun lebih ke arah hubungan kerja. Namun demikian, masih terdapat sejumlah hal yang perlu dicermati dalam implementasi kedua UU ini, antara lain menyangkut belum tersedianya sejumlah peraturan pelaksananya; perubahan struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah daerah; dan pola hubungan internal dan eksternal pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha. Antisipasi terhadap permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat penerapan kedua UU ini akan membantu tercapainya visi demokratisasi dan pelayanan publik yang terkandung dalam kedua UU tersebut.

Kata kunci : transfer kewenangan, transfer finansial, hubungan antarlevel pemerintahan

Pendahuluan

Mengapa Perlu Reformasi UU Pemerintahan Daerah ?

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah (Pasal 18 UUD 1945). Penyelenggaraan Otonomi Daerah harus lebih menekankan terlaksananya prinsip-prinsip demokrasi, peran-peran masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta pengembangan potensi dan keanekaragaman Daerah.

(2)

Perkembangan lingkungan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan dan persaingan global telah mendorong perlunya penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam format pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan melalui pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan antara Pusat danDaerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-peran masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta pengembangan potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksankan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk melaksanakan ide tersebut UU yang mengatur Pemerintahan Daerah, yakni UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa, perlu diganti karena sudah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan. Dalam konteks pemikiran tersebut, pada saat ini telah dikeluarkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah. Semangat UU No.22/1999 adalah transformasi pengelolaan negara dari pemerintahan yang bercirikan sentralisasi ke pemerintahan yang bercirikan desentralisasi, dalam hal ini desentralisasi kewenangan. Menurut undang-undang ini terdapat dua tingkat Daerah Otonom, yakni Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten serta Daerah Kota, kewenangan tersebut akan lebih banyak diserahkan pada Daerah Kabupaten dan Kota. Daerah Propinsi akan lebih memiliki kewenangan dekonsentrasi yang menjalankan tugas Pemerintah Pusat daripada kewenangan desentralisasi.

Substansi UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah

Substansi UU No.22/1999 adalah berisikan pengaturan mengenai transfer kekuasaan (kewenangan) dalam bidang pemerintahan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota), sedangkan UU No.22/1999 substansinya berisikan pengaturan pengelolaan sumber-sumber pembiayaan Negara dan Daerah, bahkan secara spesifik mengatur transfer dana dari pusat ke Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota), atas dasar kriteria tertentu (seperti luas wilayah dan jumlah penduduk). Sehingga melalui dua UU tersebut, sebenarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dikatakan telah bergeser ke dalam bentuk negara yang bersifat Quasi Federasi Republik Indonesia (QFRI). Namun demikian, yang lebih perlu dicermati adalah

(3)

bahwa UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 memberikan pekerjaan rumah berupa: pertama, masih diperlukannya sejumlah Peraturan Pemerintah (Pusat maupun Daerah, berupa Perda) yang mengatur kelembagaan dan ketatalaksanaan Pemeirntah Daerah; kedua, perombakan UU tentang Kepegawaian, yang akan mengatur soal-soal yang berkaitan dengan pengelolaan SDM Pegawai Pusat dan Daerah. Dalam konteks ini, sebenarnya Daerahlah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) yang harus proaktif untuk berinisiatif melakukanpenataan kelembagaan dan ketatalaksanaan sepanjang menyangkut Otonomi Daerah, meskipun dengan resiko harus pula memikirkan soal-soal pembiayaan daerah yang harus diadakannya sendiri. Dalam era Otonomi Daerah yang diatur menurut UU No.22/1999, Pemda tidak dapat lagi sendirian mengelola berbagai tugas-tugas pemerintahan (pemerintahan umum, pembangunan, dan kemasyarakatan) tetapi harus mengembangkan kerjasama kelembagaan (institution networking) dengan berbagai organisasi dan lembaga, pemerintah maupun swasta/masyarakat.

Menurut UU ini, susunan Daerah terdiri dari Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Masing-masing Daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. (Pasal 4). Konsekuensinya, masing-masing pemerintahan (Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintah Daerah Kota) berhubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Apakah memang demikian ? Untuk memahami lebih lanjut, perlu dipelajari mengenai kewenangan masing-masing tingkat pemerintahan tersebut sebagaimana diatur oleh pasal 7 s.d pasal 13 UU No.22/1999.

Kewenangan Pemerintah Pusat

Prinsipnya seluruh kewenangan pemerintahan diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Kewenangan yang tidak diserahkan hanya dalam bidang: (1) politik luar negeri, (2) pertahanan dan keamanan, (3) peradilan, (4) moneter danfiskal, dan (5) agama, serta kewenangan lain (Pasal 7, ayat 1). Kewenangan bidang lain mencakup: (1) kebijakan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro; (2) dana perimbangan keuangan; (3) sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara; (4) pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (5) pendayagunaan sumberdaya alam; serta (6) pendayagunaan teknologi tinggi yang

(4)

strategis, konservasi, dan standardisasi nasional (Pasal 7, ayat 2). Jadi sebenarnya ada 11 kewenangan yang tetap dipegang Pemerintah Pusat.

Kewenangan Pemerintah Daerah Propinsi

Kewenangan Daerah Propinsi mencakup: (1) kewenangan pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta (2) kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya (Pasal 9, ayat 1). Kewenangan propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Pasal 9, ayat 2). Propinsi sebagaui wilayah administrasi memiliki kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, dalam konteks pelaksanaan dekonsentrasi (Pasal 9, ayat 3). Pemda Propinsi juga berdasarkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 3 memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut sejauh dua pertiga wilayah laut yang dimilikinya (wilayah laut Daerah Propinsi adalah dua belas mil laut yangdiukur dari batas pantai ke laut lepas, sepertiganya menjadi kewenangan Pemda Kabupaten dan Pemda Kota).

Dengan melihat ketiga ayat tersebut pada pasal 9 dan Pasal 10 ayat 2 dan 3 UU No.22/1999, meskipun seluruh kewenangan pemerintahan secara prinsip diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, tetapi penyerahan itu nampaknya membuka peluang untuk dinegosiasi-kan antara Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Ini terutama apabila kita melihat pada klausul ayat 2, yakni soal keweangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten/Kota. Seperti apa bentuk legalitas transfer kewenangan ini akan diatur juga masih belum jelas (apakah diatur PP ataukah Perda Tk.I saat ini).

Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintah Daerah Kota

Kewenangan Pemda Kabupaten dan Pemda Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan Pasal 9, demikian bunyi Pasal 11 ayat 1. Selanjutnya dianyatakan dalam ayat 2: Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dantenaga

(5)

kerja. Sedangkan berdasarkan Pasal 10 ayat 3 Pemda Kabupaten dan Pemda Kota memiliki kewenangan untuk mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi.

Pasal 11 ayat 2, sebenarnya hampir sama dengan apa yang dinamakan sebagai pemberian urusan pangkal kepada Dati II pada saat pembentukan Daerah Otonom tahun 1950-an. Jadi, apabila berpegang kepada ketentuan pasal 11 ayat 2 ini maka pada setiap Pemda Kabupaten dan Pemda Kota akan terdapat keseragaman Dinas-dinas Otonom yang harus diadakan (karena sifatnya wajib menurut UU No.22/ 1999), sebanyak 11 Dinas Otonom yakni:

1. Dinas Pekerjaan Umum; 2. Dinas Kesehatan;

3. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan; 4. Dinas Pertanian;

5. Dinas Perhubungan;

6. Dinas Perindustrian dan Perdagangan; 7. Dinas Penanaman Modal;

8. Dinas Lingkungan Hidup; 9. Dinas Pertanahan;

10. Dinas Koperasi; 11. Dinas Tenaga Kerja.

Pertanyaannya bagaimana cara membentuk dinas-dinas tersebut ? terutama bila dikaitkan dengan keberadaan instansi vertikal yang ada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota saat ini. Tentu saja ini semua perlu dinegosiasikan antara Pemda Kabupaten dan Kota dengan Pemerintah.

Pusat dan Pemerintah Daerah Propinsi bahkan nampaknya perlu menunggu pemerintahan baru, siapa tahu ada kebijakan (policy) baru karena untuk mewujudkan ayat 2 pasal 11 ini saja akan cukup kompleks terutama menyangkut penempatan SDM pegawai yang terkait dengan berbagai ketentuan kepegawaiannya (misalnya soal eselon, jabatan struktural/fungsional, dan kepangkatan serta pengembangan kariernya). Namun demikian, nampaknya bagi Pemda Kabupaten dan Pemda Kota, bahkan Pemda Propinsi

(6)

sebenarnya jangan berpangku tangan dalam ketidakpastian ini tetapi harus proaktif dan berinisiatif memanfaatkan peluang yang ada (yakni Otonomi Daerah menurut versi UU 22/1999) untuk menyiapkan berbagai kemungkinan kelembagaan dan organisasi perangkat Pemda yang sesuai dengan prinsip-prinsip Otonomi Daerah untuk dinegosiasikan dengan Pemerintah Pusat. Karena tidak dalam kerangka UU baru ini keragaman struktur Pemda Propinsi maupun Pemda Kabupaten dan Pemda Kota akan sangat dimungkinkan.

Kewenangan Pemda Propinsi, Pemda Kabupaten, dan Pemda Kota

Pasal 10 UU No.22/1999 menyatakan bahwa: Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (ayat 1). Keweangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pasal 3, meliputi: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah tersebut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (e) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara (ayat 2). Pemda Kabupaten dan Pemda Kota memiliki kewenangan untuk mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi (ayat 3). Operasionalnya masih harus menunggu peraturan pemerintah (ayat 4).

Meskipun masih menunggu Peraturan Pemerintah, ketentuan ini akan berimpli-kasi terhadap UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU tentang Tata Ruang. Persolannya bagaimana akan diatur ke depan pengelolaan lingkungan hidup apakah sepenuhnya diserahkan kepada Pemda (Pemda mana, Propinsi, Kabupaten/Kota) demikian pula soal pengaturan Tata Ruang, masihkah perlu ada pengaturan Tata Ruang Nasional.

Evaluasi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 dan Pelaksanaannya

Sekalipun UU ini berperan penting sebagai langkah awal menuju pembaharuan hubungan pusat dan daerah,

(7)

Pemda Propinsi, Pemda Kabupaten dan Pemda Kota harus proaktif dan berinisiatif mengidentifikasi potensi dan masalah yang mungkin timbul dengan berlakunya UU No.22/1999. Selanjutnya melakukan negosiasi dengan Pemerintah Pusat untuk pelaksanaan UU tersebut di Daerah Propinsi, maupun Daerah Kabupaten dan Kota. Bahkan sebutan(nomenklatur) Propinsi Dati I dan Kabupaten Dati II ataupun Kotamadya Dati II harus segera ditanggalkan dengan berlakunya UU ini.

Daftar Pustaka

AA.GN.Ari Dwipayana. Kontroversi Otonomi Daerah: Aspirasi Daerah atas Keadilan dan Demokrasi. Dalam “Otonomi Pemberian Negara : Kajian Kritis atas Kebijakan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000.

Hetifah Sjaifudian. “ Desentralisasi dan Prospek Partisipasi Warga dalam Pengambilan Keputusan Publik”. Artikel dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 5 No. 1, Januari 2000.

Kadjatmiko. Kebijakan Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2003. Makalah. Yogyakarta, 21 Februari 2003.

Syaukani, dkk. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Tim Lapera. Otonomi Pemberian Negara: Kajian Kritis atas Kebijakan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000.

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

1 Untuk pembahasan cukup menarik mencermati perkembangan politik di Indonesia dalam kaitannya dengan demokratisasi, lihat, R. William Liddle, “Langkah-langkah Baru Demokratisasi di Indonesia” dalam Laboratorium Ilmu Politik (LIP) Fisip UI, Memastikan Arah Baru Demokrasi, Seri Penerbitan Studi Politik (Bandung: Mizan dan LIP Fisip UI, 2000); Bandingkan dengan Eep Saefulloh Fatah, “Pemilu dan Demokratisasi: Evaluasi terhadap Pemilu-pemilu Orde Baru”, dalam Laboratorium Ilmu Politik (LIP) Fisip UI, Evaluasi Pemilu Orde Baru, Seri Penerbitan Studi Politik (Bandung: Mizan dan LIP Fisip UI, 1997). Kemudian, untuk beberapa kajian cukup mendalam tentang pelaksanaan Pemilu di Indonesia, lihat, misalnya, R. Willian Liddle,

(8)

Pemilu-Pemilu Orde Baru; Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta: LP3ES, 1992); Daniel Dhakidae (ed.), Pemilu 1992; Harapan dan Janji (Tim SPES dan Grasindo, 1992); Herbert Feith, Pemilu 1965 di Indonesia (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 1999); Toriq Hadad, Pemilu 1997; Jejak Pendapat dan Analisa (Jakarta: ISAI, 1997); Pax Benedanto (ed.), Pemilu 1999; Demokrasi atau Rebutan Kursi? (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999).

Referensi

Dokumen terkait

Keluarnya Undang — Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi landasan hukum dari sistem baru dalam pelaksanaan pemerintahan Republik Indonesia yang terutama fokus pada peiaksanaan

bahwa dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan untuk melaksanakan ketentuan pasal 22 Keputusan Menteri dalam negeri Nomor 64

Yang  dimaksud  dengan  otonomi  nyata  adalah  keleluasaan  Daerah  untuk  menyelenggarakan  kewenangan  pemerintahan  di  bidang  tertentu  yang  secara 

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38

4. untuk melaksanakan fungsi pemerintahan umum. Pengaturan yang memberi kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan struktur kelembagaan dan perangkat daerah yang

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebutkan bahwa dana alokasi umum, selanjutnya disebut DAU

tentang Pemerintahan Daerah dan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi serta

Bagi pemerintah pusat, desentralisasi diagendakan dalam rangka pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan nasional, dan stabilitas politik, sementara tujuan bagi pemerintah