• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS HUKUM FIQH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

B. Komparasi Kitab-Kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No 1 Tahun 1974 Dan

3. Perbandingan Waktu Batalnya Perbuatan Murtad

Setiap mazhab diatas memberikan pendapat yang berbeda, mengenai hal perbuatan murtad yang dilakukan suami atau istri dalam kitab-kitab fiqh mazhab diatas memiliki perbedaan waktu batalnya perkawinan akibat dari perbuatan murtad.

Dalam Ijtihad imam Abu Hanafi sepakat bahwa waktu pembatalan

perkawinan mereka sepakat bahwa perkawinan seketika ba‟in terhitung sejak

terjadinya perbuatan murtad. Sebagai mazhab tertua urutan no. 2 ini, mazhab Maliki berijtihad bahwa mereka sepakat, bahwa perkawinan itu putus.

Mereka sepakat bahwa perkawinan dapat dibatalkan, menurut Mazhab

Syafi‟i tidak ada beda pendapat, hanya saja dibedakan antara murtad sebelum

dukhul dan setelah dukhul.

1) Sebelum dukhul: seketika perkawinan batal.

2) Setelah dukhul: fasakh ditangguhkan hingga masa iddah. Bila pihak yang

murtad kembalisebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa

diselamatkan. Bila pihak yang murtad belumatau tidak juga kembali hingga habisnya iddah,perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad.

Mazhab Hanbali sepakat bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan (fasakh). Mereka berpendapat bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, seketika perkawinan batal (fasakh). Bila perbuatan murtad terjadi setelah dan sebelum dukhul mereka tidak ada perbedaan.

Waktu pembatalan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun1974 dapat dilakukan di pengadilan, dimana tempat suami atau istri yang bersangkutan melaksanakan perkawinan (pasal 25). Batalnya perkawinan disertai keputusan pengadilan, dan seketika itu putusan dibacakan oleh hakim, maka perkawinan tersebut batal atau diceraikan.

Pada dasarnya waktu pembatalan perkawinan Undang-undang No. Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam sama, karena di Indonesia perkawinan hanya dapat dibatalkan dimuka hukum atau di Pengadilan Agama bagi agama Islam dan Pengadilan Agama bagi non muslim.

Sehingga apabila perkawinan tersebut melanggar pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h) tidak diajukan atau dilaporkan kepada pihak yang berwenang, maka perkawinan tersebut tetap dianggap sah keberadaannya. Namun secara agama Islam perkawinan tersebut sudah tidak sah lagi, sehingga perlu kekuatan iman dan ilmu agama yang dapat menjaga maupun senantiasa meluruskan jalan ibadah melalui perkawinan.

Peneliti akan meringkas dan menyimpulkan guna mempermudah dalam membandingkan hukum perbuatan murtad tentang status perkawinnya, baik pihak suami atau istri. Penulis akan membuat tabel

perbandingan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, berikut tabelnya:

Tabel 1 No Hukum Status

Perkawinan

Keputusan Hukum Waktu Batal 1 Mazhab Hanafi Status perkawinan karena murtad dalam kesepakatan mazhab maliki perkawinan tersebut batal. Mereka berpendapat bahwa Perbuatan murtad dapat membatalkan perkawinan. apabila murtad dilakukan oleh pihak istri dinamakan fasakh dan sebalikanya apabila dilakukan oleh pihak suami fasakh dan talak

bai‟in.

Waktu pembatalan perkawinan dilakukan seketika itu waktu suami atau istri menjadi murtad. 2 Mazhab Maliki Status perkawinan karena murtad dalam kesepakatan mazhab maliki perkawinan tersebut batal. Mereka berpendapat bahwa sepakat, bahwa perkawinan itu putus.Mereka beda pendapat tentang bagaimana putusnyaperkawinan itu, baik sebelum dukhul maupunsetelah dukhul. Ada 2 waktu pembatalan perkawinan dengan perincian: a) Sebelum dukhul, perkawinan seketika putus, tapi ada beda pendapat

antara talak ba‟in atau

fasakh. b) Setelah dukhul, perkawinan putus, tapi ada beda pendapat antara talak

raj‟i, talakba‟in atau

fasakh.

3 Mazhab

Syafi‟i Mazhab Syafi‟i sepakat bahwa perbutan murtad dalam perkawinan dapat dibatalkan. Waktu pembatalan dibedakan antara murtad sebelum dukhul dan setelah dukhul: a) Sebelum dukhul: seketika perkawinan batal. b) Setelah dukhul: fasakh ditangguhkan hingga

masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai,

perkawinan bisa diselamatkan. Bila pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad. 4 Mazhab Hanbali Status perkawinan karena murtad dalam kesepakatan mazhab maliki perkawinan tersebut batal. Mazhab Hanbali sepakat bahwa perkawinan itu dapat dibatalkan (fasakh). Mereka berpendapat bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, seketika perkawinan batal (fasakh).

Bila perbuatan murtad terjadi setelah dukhul, adadua riwayat: a) Seketika perkawinan batal (fasakh). b) Pembatalan perkawinan ditangguhkan hingga habisnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Bila pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad. 5 UU No. 1/1974 Status perkawinan karena murtad tidak batal, hanya dapat dibatalkan apabila diajukan pembatalan Pembatalan perkawinan disebabkan karena tidak memenuhi syarat-syarat dalam perkawinan, sehingga perkwainan tersebut dapat dibatalkan (pasal 22) Perkawinan dapat dibatalkan apabila melanggar hukum yang ada dalam pasal yang diajukan sesuai permohonan dalam perceraian, sehingga apabila tidak diajukan di Pengadilan maka perkawinan tersebut

ke Pengadilan. tetap diakui keberadaannya, hingga pengadilan dapat memutuskan perkara tersebut. 6 Kompilasi Hukum Islam Status perkawinan karena murtad tidak batal, hanya dapat dibatalkan apabila diajukan pembatalan ke Pengadilan. Dalam kompilasi Hukum Islam terdapat dua pasal yang menyatakan kata murtad, yaitu dalam pasal 75 ayat

(a) “perkawinan

yang batal karena salah satu suami atau

istri murtad” dan

pasal 116 ayat (h)

“peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam

rumah tangga”

Sama halnya dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, hukum in adalah hukum perkawinan yang digunakan di Indonesia, sehingga waktu pembatalan perkawinan memiliki kesamaan, dengan mengajukan permohonan perceraian di pengadilan, tempat dilaksanakan perkawinan.

Perbandingan hukum diatas sangat banyak perbedaan, kemudian penulis juga tidak menemukan persamaan dalam hukum-hukum tersebut. Terlihat dalam perbuatan murtad dalam Kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 saja sudah memiliki perbedaan, di dalam Kitab-kitab fiqh mazhab diatas secara jelas dan tegas perbuatan murtad seorang suami atau istri membatalkan perkawinan, sedangkan Undang- undang perkawinan tidak mengatur perbuatan seseorang yang murtad dalam perkawinannya dapat membatalkan perkawinannya.

Kompilasi Hukum Islam yang menyinggung perbuatan murtad juga tidak secara jelas dalam kalimatnya, bahwa perbuatan murtad dapat

membatalkan perjalanan perkawinannya. Padahal perbuatan murtad seseorang yangmelakukan perbuatan dosa itu harus mendapatkan pelajaran sebagai salahsatu alat mengembalikannya kepada jalan yang benar. Namun anehnya, selama ini penulis sangat kesulitan menemukan bahasan yang memadai tentang masalah murtadnya suami atau istri ini.

Apabila kejadian di sekitar kita di mana seorang suami atau istri murtad dari agama Islam. Di sinilah masyarakat mengalami kebingungan, karena hukum perkawinan di Indonesia tidak secara jelas mengaturnya. Di dalam kitab-kitab fiqh mazhab dijelaskan bahwa perkawinan itu harus berakhir, tetapi hukum yang berlaku di negeri kita tetap memungkinkan kedua suami atau istri itu untuk terus hidup bersama, bahkan beranak-pinak. Hal ini amat memprihatinkan.

Apakah kita akan terus memberikan kesempatan kepada masyarakat senantiasa diliputi perasaan berdosa? Mereka tetap mempertahankan hubungan suami istri, termasuk di dalamnya hubungan seksual. Kemudian lahirlah anak-anak dalam hubungan suami istri yang telah berbeda agama, sehingga kasus ini akan membuat daftar masalah yang semakin panjang sebab perbuatan murtad orang tuanya sudah putus secara agama Islam. Sungguh memprihatinkan bila teori-teori ini masih ada kasus berdasarkan penelitian penulisan ini.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Setelah penulis menganalisis dan membandingkan hukum dalam kitab- kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta Kompilasi hukum Islam, maka dapat disimpulkan teori-teori sebagai berikut:

1. Bagaiman status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan fiqh.

Para imam mazhab khususnya mazhab Hanafi, mazhab Maliki,

mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanbali. Mereka berpendapat sama dalam kitab- kitab fiqhnya, bahwa status perkawinan karena perbuatan murtad yang dilakukan oleh seorang suami atau istri dapat membatalkan perkawinannya. Walaupun memiliki keputusan pembatalan yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama kalau murtadnya tersebut dapat membatalkan perkawinan seketika itu juga.

Empat mazhab diatas berpendapat tentang perbuatan murtad seorang suami atau istri. Mereka tidak ada perbedaan mengenai perbuatan murtad dalam perkawinan. Mereka sama-sama mengatakan kalau perbuatan murtad suami istri batal, mengenai waktunya mazhab Hanafi sepakat bahwa perbuatan tersebut memutuskan perkawinannya sektika itu dengan keputusan

sebelum berjima‟ langsung putus, tetapi bila belum jima‟ dengan talak ba‟in dan raj‟i.

Mazhab Syafi‟i waktu pembatalan dibedakan antara murtad sebelum jima seketika perkawinan batal, setelah jima fasakh ditangguhkan hingga masa iddah, apabila pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan tetapi jika pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad. Mazhab Hanbali sepakat tentang perbuatan murtad terjadi

sebelum jima‟ seketika perkawinan batal, kemudian pembatalan perkawinan

ditangguhkan hingga habisnya masa iddah, pihak yang murtad kembali sebelum masa iddah selesai, perkawinan bisa diselamatkan. Jika pihak yang murtad belum atau tidak juga kembali hingga habisnya iddah, perkawinan pun fasakh, terhitung sejak terjadinya murtad.

2. Bagaiman salah satu pasangan murtad dalam Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974.

Peraturan yang seharusnya mengatur masyarakat banyak terutama penduduk muslim di Indonesia tidak mengatur secara jelas tentang perbuatan murtad yang dilakukan suami atau istri. Sehingga mengenai hal ini penulis tidak menemukan pasal tentang pembatalan perkawinan karena murtad.

penulis hanya menemukan pembatalan perkawinan dalam pasal 22, tetapi pasal ini bertolak belakang dengan teori materi yang dibutukan penelitian ini. Wajar saja apabila penulis sukar menentukan peraturan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terhadap status seorang suami atau istri

yang murtad dalam perkawinannya. Secara hukum fiqh mazhab diatas hal tersebut sudah batal perkawinan semacam ini.

Peneliti sebenarnya telah menemukan Undang-undang lain tentang status seorang suami istri yang batal perkawinannya karena murtad, yaitu di dalam kompilasi Hukum Islam. Ada 2 pasal dalam KHI mnyebutkan kata murtad dalam kalimatnya, namun lagi-lagi kejelasan pembataln tersebut belum sepenuhnya batal. Mengingat pasal 75 ayat (a) dan pasal 116 ayat (h) ini tidak mengatakan secara gamblang bahwa perbuatan murtad pelaku perkawinan dapat diputuskan secara tegas.

Peraturan dalam pasal KHI ini seharusnya lebih mendekati fiqh, karena peraturan yang ada setiap pasalnya mengadopsi hukumu Islam. Terlebih KHI diperuntukan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang beragama Islam, akan tetapi hal ini yang justru berdampak sangat luas akibat perbuatan murtad dalam perkawinannya tidak diatur secara rinci.

3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad dalam fiqh dan Undang-undang perkawinan di Indonesia.

Dalam fiqh perbuatan murtad dalam perkawinan mengakibatkan batal, dan dalam pembatalannya putus dengan sendirinya tanpa melalui putusan di pengadilan. Pandangang imam mazhab Hanafi dan Maliki sam berpendapat bahwa perbuatan murtad dapat membatalkan perkawinannya seketika itu juga

dan putusan pembatalan dengan talak ba‟in. Sedangkan mazhab Syafi‟i dan Hanbali sama berpendapat bahwa perbuatan murtad putus seketika sebelum

apabila suami kembali masuk Islam maka perkawinan tersebut utuh dan sebaliknya.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dijadikan sebuah rujukan sebagai hukum pengatur perbuatan murtad. Pembatalan perkawinan di Indonesia harus dilakukan di Pengadilan Agama bagi yang muslim dan Pengadilan Negeri bagi non muslim. Jika teori ini terjadi dalam masyarakat dapat diajukan ketugas yang berwenang agar diadili sesuai keputusan hakim yang lebih menguasai hukum perkawinan Islam di Indonesia.

B. Saran

Setelah menguraikan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam dalam penelitian ini pada bab-bab sebelumnya, penulis ingin memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Departemen Agama

Indonesia sebagai negara hukum seharusnya mampu membuat peraturan yang jelas tentang hukum perkawinan Islam, kejelasan mengenai peraturan tersebut adalah pelaku murtad dalam status perkawinannya, karena bila ditinjau dari fiqh perkawinan tersebut sudah batal atau putus. Apabila tidak ada pembatalan dalam perkawinan ini, maka dikhawatirkan akan berbuat zina, sebab pernikahan mereka sudah tidak sah menurut agama Islam, padahal hukum perkawinan tersebut juga digunakan bagi masyarakat muslim di Indonesia. Sebab teori-teori ini penulis gunakan sebagai penelitian yang

mampu memberikan kontribusi terhadap hukum perkawinan Islam di Indonesia.

Melalui penulisan ini pemerintah Indonesia diharapkan meninjau kembali, merivisi, dan mengamandemen Undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam mengenai pembatalan perkawinan terhadap perbuatan murtad dalam status perkawinannya. Penulis perlu menggaris bawahi bahwa apabila dalam teori ini terjadi di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kemudian kasus tersebut tidak diputuskan sampai mempunyai anak, maka pemerintahlah yang harus bertanggung jawab terhadap kasus tersbut, sebab peraturan ini sangat dibutuhkan demi keluarga Islam Indonesia, dan menyangkut masyarakat banyak umat muslim di Indonesia.

2. Masyarakat Umum

Indonesia adalah negara hukum, setiap warga Indonesia diharuskan taat kepada hukum Negara dan agama. apabila terjadi pelanggaran suatu hukum maka diharapkan melaporkan kepada pihak yang berwenang, supaya hukum dapat berjalan dengan baik dan berkeadilan. Sesuai dengan teori-teori ini penulis mengingatkan terhadap pasangan suami istri yang sedang mengalami teori-teori diatas dapat melakukan terlebih dahulu dengan mengingatkan masing-masing pasangannya, dengan belajar ilmu-ilmu agama dan memperkuat iman melalui ibadah, sehingga senantiasa keluarga yang seperti itu akan tercipta keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.

Pada dasarnya dengan bekal ilmu agama dan semakin mendekatkan diri bersama-sama dalam keluarga, dengan begitu pasangan suami istri

(pasutri) dapat melakukan tujuan perkawinan yang bahagia dunia akhirat. Jika sebaliknya dalam teori-teori ini terjadi dalam masyarakat dengan kasus dangkalnya agama membuat salah satu murtad dari pihak suami atau istri bahkan keduanya murtad.

Penulis juga memberikan saran supaya pasutri dari salah satu pihak yang murtad supaya dinasehati dan diberikan pengarahan terhadap perbuatan tersebut dapat membatalkan perkawinannya, serta dampak di dunia maupun akhirat. Apabila pengarahan tersebut tidak dihiraukan maka garis keturanan keatas dapat melaporkan atau mengajukannya ke pengadilan yang berwenang, supaya pihak yang berwajib dapat mengadili dan melakukan mediasi atas perbuatan murtad tersebut.

Penulis mengharapkan kemakluman banyaknya kekurangan dalam teori-teori penelitian ini, dalam setiap penelitian pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Namun banyaknya rintangan dalam mencari referensi-referensi yang sulit didapatkan, penulis berterima kasih kepada pihak yang membantu dalam mencarikan referensi-referensi yang diinginkan, karena atas bantuannya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan harapan.

Banyaknya kekurangan dalam penulisan ini, maka atas kesadaran penulis menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, demi menyempurnakan teori-teori dalam penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

„Abd Allah, Muwaffaq al-Din Abu Muhammad b. Ahmad b. Muhammad b. Qudamah al-Maqdisi al-Jamma„ili al-Dimashqi al-Salihi al-Hanbali (541-

620 H.) (Tahqiq: „Abd Allah b. „Abd al-Muhsin al-Turki dan„Abd al- Fattah Muhammad al-Hilw). 1997. al-Mughni. Riyad: Dar„Alam al-Kutub. Abiddin dan Aminuddin. 1999. FIQIH MUNAKAHAT II. Bandung: CV

PUSTAKA SETIA.

Al Jabry, Abdul Mutaal Muhammad. 1988. PERKAWINAN CAMPURAN Menurut Pandangan Islam.Jakarta: PT Bulan Bintang.

Ali, Muhammad Daud. 1-10 Februari 1992. “Perkawinan Campuaran” dalam majalah Panji Masyarakat, No.709. hal. 20.

Ali, Muhammad Daud. Maret 1982. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII. hal. 101. Ali, Zainuddin. 2007. HUKUM PIDANA ISLAM. Jakarta: Sinar Grafika.

Al-Imam „Ala‟ al-Din Abu Bakr bin Mas„ud al-Kasani al-Hanafi. 1986. Bada‟i„ al-Sana‟i„. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah.

Al-Maktabah al-Shamilah, al-Isdar al-Thani, Kitab al-Umm.

Al-Shirazi, Abu Ishaq (Tahqiq: Muhammad al-Zuhayli). 1996. al-Muhazhzhab fi

Fiqh al-Imam al-Shafi„i. Damaskus/Beirut: Dar al-Qalam/al-Dar al-

Shamiyyah.

Amak FZ. 1976. "Proses Undang-Undang Perkawinan." Bandung : PT. Al- Maarif.

Amanat Presiden No. R.02/P.U/VII/1973 tanggal 31 Juli 1973 perihal RUU tentang perkawinan.

Amrullah Ahmad SF dkk. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press.

As Shiddieqy, Hasby. Hukum Antar Golongan: Dalam Hukum Fiqh Islam. Bulan bintang.

As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqh Keluarga. Jakarta: AMZAH. Azzam & Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: AMZAH.

Bakry, Hasbullah. 1970. Pengaturan Undang-undang Perkawinan Ummat Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Basyir, Ahmad Azhar. 1996b. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Basyir, Ahmad Azhar. 2000a. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.

2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta: Departemen Agama RI.

Draf RUU Perkawinan versi Pemerintah, Tahun 1973.

Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang.

Humaidhy. 1992. Kawin Campur dalam Syari‟at Islam. Jakarta: PUSTAKA AL KAUTSAR.

Jafizham, T. 1977. Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan : Mestika.

Ka‟bah, Rifyal. 2004. Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta : Khairul Bayan.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1991. Kaidah-kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta: Rajawali Pers.

Khummaini, Muhammad Yusuf. 2013. Nikah dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarkata: Safira Inania Press.

Manan, Abdul. 2012. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana.

Mawarti Djoned Poesponegoro dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan.

Muhammad, „Ali Jum„ah. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah.

Muhammad, Abu bin „Abd Allah bin „Abd al-Rahman Abu Zayd al-Qayrawani. 1999. al-Nawadir wa al-Ziyadat „ala Ma fi al-Mudawwanah min ghayriha min al-Ummahat. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.

Muhammad, Ali Jum„ah. 2007. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib al- Fiqhiyyah. Kairo: Dar al-Salam.

Muhammad, Ali Jum„ah. al-Madkhal ila Dirasah al-Madhahib al-Fiqhiyyah. Muhammad, Al-Imam al-Hafidh Abu „Abd Allah bin al-Hasan Al-Saibani. 2006.

Muhammad, Muwaffaq al-Din Abu b. „Abd Allah b. Ahmad b. Muhammad b. Qudamah al-Maqdisi (541-620 H.) Tahqiq: „Abd Allah b. „Abd al-Muhsin al-Turki. al-Muqni„. Gizah: Hjr li al-Tiba„ah wa al-Nashr wa al-Tawzi„ wa al-I„lan. Dicetak bersama: al-Muqni„, al-Sharh al-Kabir dan al-Insaf. Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarat: Sinar Grafika. Noor, Deliar. 1983. Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali. Nuruddin, Amiur & Tarigan, Azhari Akmal. 2006. HUKUM PERDATA ISLAM

DI INDONESIA: STUDI KRITIS PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DARI FIKIH, UU NO. 1/1974 SAMPAI KHI.Jakarta: Kencana

Prins, J. Hukum Perkawinan Di Indonesia, Terjemahan oleh G.A. Ticoalu. 1982. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Projohamidjojo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Center Publishing.

Raharjo, Sajtipto. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni. Rasjadi, H.M. 1974. Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan

Kristen, Jakarta : Bulan Bintang.

Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Rofik, Ahmad. 2006. “Hukum Islam di Indonesia”, Jakarta: PT. Raja Grafindo.

RUU Perkawinan Yang Menggoncangkan. Artikel. Media Dakwah, Jakarta.tt. Sabiq, Sayyid. 2009. Fikih Sunnah 4. Jakarta: Cakrawala Publishing.

Sahnun, al-Imam bin Sa„id al-Tanuji „an al-Imam „Abd al-Rahman bin Qasim. 1994. al-Mudawwanah al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah. Saifullah, Arifin, & Izzuddin. 2005. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga.

Yogyakarta: UII Press.

Siddik, Abdullah. 1986. HUKUM PERKAWINAN ISLAM. Jakarta: Tintamas. Sosroatmodjo & Aulawi. 1975a. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan

Bintang.

Sosroatmodjo & Aulawi. 1978b. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.

Subadyo, Maria Ulfah. 1981. Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Yayasan Idayu.

Subekti. 1987. “Pokok-Pokok Hukum Perdata” .Jakarta: PT. Intermasa.

Summa, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Supriadi, Wila Chandrawila. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia Dan Belanda, Mandar Maju, Bandung.

Suwondo, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992.

Syahuri, Taufiqurrahman. 2013. Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Kencana.

Tajuk Rencana Kompas, 17 Desember 1973.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung : Citra Umbara.

www.vivanews. com. anak hasil zina harus dipertanggung jawabkan diakses

Jum‟at 17 Pebruari2012, 11.10 WIB

Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logo Wacana Ilmu.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Choerul Umam

Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 31 Agustus 1989 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Lingk. Merakrejo RT O2 RW 08 Kel. Harjosari,

Kec. Bawen, Kab. Semarang. Nomor Telepon : +62-899-0755 797

Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan : SD Al Husain SMPN 1 Bawen

SMA Islam Sudirman Ambarawa

Data Orang Tua

Nama Ayah : Mulyadi

Tempat/Tanggal Lahir : Boyolali, 20 Februari 1965

Dokumen terkait