• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif) - Test Repository"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD

(Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Oleh

CHOERUL UMAM

NIM 21110004

JURUSAN SYARI’AH

DAN EKONOMI ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

MOTTO

Key to the success of a person in search of knowledge is the knowledge

that he gained when beneficial to the people, and being good to everyone.

“Kunci kesuksesan seseorang dalam mencari ilmu adalah ketika ilmu

yang ia dapatkan bermanfaat bagi orang banyak, dan baik bagi semua orang.”

Cle de la reusitte personne a la connaissance est la connaissance qu’il a

(9)

PERSEMBAHAN

Persembahan penulis daripada terselesaikannya skripsi ini adalah ditujukan kepada:

1. Untuk Orang tua penulis yang paling penulis sayangi, ibu Sumianah dan bapak Mulyadi. yang tak pernah henti memberikan dorongan baik materi maupun non-materi serta tak pernah lelah dan berhenti memberikan semangat agar terselesaikannya skripsi ini.

2. Untuk kakak dan adik-adik penulis Nur Arifin dan pertama Arul Mahmudah serta adik kedua Oka Lukman Toro yang selalu memberikan semangat kepada penulis, terima kasih.

3. Untuk yang mahasiswi IAIN Walisongo Ika Devi Ratnasari “Nana” yang telah membantu saya mengantarkan meminjan buku di Perpustakaan IAIN Walisongo terima kasih untuk semuanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Untuk Paman dan Tante penulis Ahmad Sobirin S.T dan Sri Janji S.Pd yang selalu mendukung serta memberi motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

(10)

6. Untuk Hardhono Arya Irawan yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

7. Untuk sahabat-sahabat se-angkatan AS 2010 (Alfin, Danang, Lyna

“Nha”, Ietha, SoelQ, Khusen, Ari “Mbil”, Arya, Rita, Riezak, Budi

“Wah Ono”, Fariul, Hasan, Yusuf “Ucup”, Umam “Sembir”, Hanif,

Zend “Brow”, Andika, Ulya, Via “Nopy”, Leny, mb‟Alfy, mb‟Irma,

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telam memberikan kekuatan, kesabaran dan ketelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang

berjudul “STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi

Perbandingan Fiqh Dengan Hukum Islam Positif)

. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Syari‟ah dan Ekonomi Islam.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dan petunjuk berharga demi terselesaikannya skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada :

1. Kepada Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Ketua STAIN Salatiga;

2. Kepada Bapak Benny Ridwan, M.Hum., selaku Ketua Jurusan

Syari‟ah dan Ekonomi Islam STAIN Salatiga;

3. Kepada Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah;

4. Kepada Bapak H. M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini;

5. Kepada seluruh dosen STAIN Salatiga, yang selama beberapa semester telah membagi ilmunya yang sangat bermanfaat;

6. Kepada Bapak Ibu penulis, Mulyadi, Sumianah dan kakak serta adik-adik penulis Nur Arifin serta Arul Mahmudah, Oka Lukman Toro yang telah memberi dukungan baik materi maupun non-materi; 7. Kepada Ika Devi Ratnasari yang Mengantar dan meminjamkan buku

(12)
(13)

ABSTRAK

Umam, Choerul. 2015.

STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD

(Studi Perbandingan Fiqh Dengan Hukum Islam Positif). Skripsi. Jurusan

Syari‟ah dan Ekonomi Islam. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : H. M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H.

Kata Kunci : Pernikahan, Murtad, Batal Pernikahan.

Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menjelaskan tentang status

pernikahan yang murtad dilakukan oleh suami atau istri dalam Fiqh dengan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang kemudian dibandingkan atau dikomparasikan. Berdasarkan paparan latar belakang dan batasan masalah tersebut, maka penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan 1. Bagaimana status pernikahan

apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan fiqh? 2. Bagaimana status pernikahan

apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan Undang-undang Perkawinan No 1 tahun

1974? 3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad

dalam fiqh dan Undang-undang perkawinan di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian ini menggunakan

pendekatan Yuridis Normatif, yaitu dengan menganalisis tentang perbandingan Hukum

Islam dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan penulisan yang digunakan

dalam skripsi ini adalah Statute Approach (pendekatan perundang-undangan) dengan

metode Conceptual Approach (pendekatan konseptual). Instrumen Penelitian

menggunakan sumber data yang dipakai oleh penelitian ini adalah bahan hukum primer,sekunder dan tersier yaitu Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Dalam penelusuran bahan hukum ini melakukan langkah inventarisasi,

pemahaman, penafsiran, dan pengklasifikasian tentang murtad menjadikan fasakh

(pembatalan) dalam pernikahan. Dalam metode analisis ini yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif dalam penelitian ini, terdapat pada bab II

mengenai gambaran secara global fasakhnya suatu perkawinan karena murtad, kemudian

dilanjutkan pada bab III yang dideskripsikan dalam pandangan hukum Islam (fiqh) dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, dalam bab IV sebagai analisis dari bab III. Penulis melakukan analisis dan menuangkan dalam naskah ini. Dalam melakukan analisis bahan hukum, penulis menggunakan teknik berfikir induktif, deduktif, dan komparatif.

Hasil dari teori penelitian ini menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan

diatas, yaitu status pernikahan karena murtad yang kurang jelas dalam Undang-undang

No 1 Tahun 1974 yang mengatur pembatalan perkawinan karena perbuatan murtad yang

dilakukan pihak suami atau istri. Sehingga tidak sejalan dengan Hukum Islam yang

mengatur secara tegas tentang perbuatan murtad yang dilakukan oleh suami istri dalam

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ...ii

NOTA PEMBIMBING ... ...iii

SURAT UJIAN MUNAQOSAH ... ...v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ...vi

MOTTO ... ...vii

PERSEMBAHAN ... ...viii

KATA PENGANTAR ... ...x

ABSTRAK ... ...xi

DAFTAR ISI ... ... xii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...8

D. Telaah Pustaka...9

(15)

F. Metode Penelitian...12

G. Sistematika Pembahasan...15

BAB II STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD PERSPEKTIF FIQH MAZHAB A. Landasan Sumber Humum Fiqh...17

B. Biografi Imam-Imam Mazhab...19

1. Mazhab Hanafi...19

2. Mazhab Maliki...22

3. Mazhab Syafi‟i...25

4. Mazhab Hanbali...28

C. Fatwa Tentang Status Perkawinan Karena Murtad...31

1. Mazhab Hanafi...36

2. Mazhab Maliki...42

3. Mazhab Syafi‟i...46

4. Mazhab Hanbali...49

BAB III STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD DALAM PERSPEKTIF UU No. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Sejarah UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam...56

1. Masa Kerajaan di Indonesia...56

2. Masa Penjajahan di Indonesia...58

3. Masa Setelah Kemerdekaan...73

(16)

B. Landasan Sumber Hukum Perkawinan di Indonesia...83

1. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam UU No. 1/1974...84

2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Dalam KHI...86

C. Status Perkawinan Karena Murtad Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam...87

1. Tata Cara Pembatalan Perkawinan...87

2. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan...90

3. Alasan dan Putusnya Perkawinan...91

4. Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan...94

5. Pihak Yang Berhak Melakukan Pembatalan Perkawinan...95

BAB IV ANALISIS HUKUM FIQH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Kitab-kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam...98

1. Kitab-Kitab Fiqh Mazhab...99

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974...104

3. Kompilasi Hukum Islam...107

B. Komparasi Kitab-Kitab Fiqh Mazhab Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam...111

1. Perbandingan Status Perkawinan Karena Murtad...115

2. Perbandingan Keputusan Murtad Dalam Perkawinan...116

(17)

A. Kesimpulan...123 B. Saran-Saran...126 DAFTAR PUSTAKA...129

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada prinsipnya pernikahan adalah perbuatan yang menyatukan pertalian

sah “bertujuan untuk suatu akad yang menghalalkan pergaulan dan pertolongan antara laki-laki dan wanita serta membatasi hak-hak serta kewajiban

masing-masing mereka” (Azzam dan Hawwas, 2009:37). Tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditentukan oleh syariah. Sebab menurut Summa (2004:82) Perkawinan akan semakin menjadi jelas dan sangat penting eksistensinya ketika dilihat dari aspek hukum, termasuk di dalam hukum Islam.

Pandangan agama Islam terhadap perkawinan sangat diperhatikan dan dianjurkan guna menghindarkan liang perzinaan bagi mereka yang mampu secara lahir maupun batin. Sebagaimana firman Allah :

Artimya: “Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk

(19)

Sangat jelas ayat tersebut menggambarkan bahwa bahwa pernikahan

adalah perbuatan yang mulia. Namun bagaimana pernikahan tersebut dalam

perjalanan rumah tangganya yang menikah sah secara Islam, lalu salah satu

pasangan suami istri (pasutri) telah murtad dari agama Islam. Menurut “Ulama

Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasakh (rusak). Batil adalah suatu

yang tidak disyariatkan pokok dan sifatnya seperti menikahkan wanita yang

haram. Sedangkan fasakh adalah sesuatu yang disyariatkan pokoknya, tidak

sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari beberapa syarat seperti akad

tanpa saksi, sehingga haram terhadap yang lain (mahram). Jadi, jika cacat terjadi

pada rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad, disebut

fasakh (rusak), seperti mempersyaratkan sesuatu syarat yang tidak diperlukan

dalam akad nikah” (Azzam dan Hawwas, 2009:37).

Demikian pula jika pasangan suami istri yang mukmin menikah secara Islam, lalu dalam perjalanan rumah tangganya salah satu keluar dari agama Islam,

maka perkawinannya menjadi batal” (Saifullah, Arifin, dan Izzuddin, 2005:148).

(20)

Keadaan tersebut akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana status pernikahan seseorang ketika salah satu pihak suami atau istri murtad, secara teoritis hal ini sudah tidak sah menurut fiqh, hal tersebut telah dijelaskan oleh 4 mazhab dalam kitab-kitab fiqh mazhab. Namun di dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan dalam pasal bahwa perbuatan murtad seorang suami atau istri dapat memutuskan perkawinan yang sudah

berjalan, berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan kata

murtad” dalam suatu kalimatnya.

Ironis memang bila hal ini secara agama sudah tidak sah lagi perkawinan tersebut, namun hukum perkawinan di Indonesia sendiri tidak mengaturnya secara jelas mengenai status perkawinan karena murtad. Maka akibat dari murtadnya

seseorang dapat memutuskan pernikahan, hal ini kemudian dalam Al Qur‟an juga

menjelaskan bahwa Allah telah berfirman:



(21)

tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula

bagi mereka” (QS. Al Mumtahanah 60:10).

Ayat ini secara jelas memberikan gambaran bahwa seorang wanita yang telah beriman maka tidak diperbolehkan kembali pada suaminya yang kafir, sebab orang kafir tidak boleh berhubungan suami istri dengan orang mukmin dan orang mukmin tidak boleh berhubungan suami istri dengan orang kafir.

Perkawinan seseorang yang murtad dalam status perkawinnya menurut fiqh mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali seketika perkawinan tersebut menjadi batal atau sudah tidak sah lagi perkawinan semacam ini, karena selain perbuatan murtad sendiri dikategorikan sebagai dosa besar maka apabila meninggal dunia pun masuk neraka tanpa hisab. Sejatinya dalam teori ini bahwa sesungguhnya perbuatan murtad seorang suami atau istri secara tegas dalam fiqh mengatakan batal, jadi status perkawinan tersebut tidak sah lagi menurut agama Islam. Hal ini sangat penting karena perkawinan dalam sebuah pemelukan agama dapat membawa seseorang setelah meninggal, sebab perkawinan dalam agama Islam adalah sebuah ibadah yang mendatangkan banyak sekali pahala.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengenai murtad tidak menyinggung hal tersebut, hanya saja dalam bahasa yang digunakan fasakh adalah pembatalan, dan lebih jelasnya pembatalan perkawinan ini diatur pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 22

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

(22)

Bila dilihat berdasarkan pasal 22 tidak bisa sepenuhnya dijadikan suatu pedoman bagi umat Islam di Indonesia, karena kejelasan hukum mengenai perbuatan murtad dalam statusnya tidak diatur bahkan tidak disinggung sama sekali. Hanya saja dalam pasal tersebut menjelaskan perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Sehingga hal tersebut jika pada awal mula menikah dengan syarat keduanya harus beragama Islam tapi setelah menikah menjadi tidak Islam lagi (murtad), maka akan timbul permasalahan yang serius.

Agaknya berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur perbuatan murtad, dalam KHI ini menyebutkan murtad dalam pasal 75 dan 116. Berikut ini isi dari pasal 75 dan 116, yaitu:

Pasal 75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap; a. “Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad;

b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang

tetap” (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:254).

Dalam pasal 75 ayat (a) menyebutkan pembatalan perkawinan tersebut menyangkut tentang seorang pasangan suami istri yang bercerai karena murtad, tetapi mereka tetap memiliki tanggung jawab terhadap anak yang mereka lahirkan dari hasil perkawinannya tersebut.

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

(23)

b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g. Suami menlanggar taklik talak;

c. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2011:268-269).

Putusnya perkawinan karena alasan-alasan dalam pasal 116 ayat (h) tersebut menjelaskan tentang perkawinan karena murtad yang menjadikan perkawinannya tidak rukun, tetapi bagaimana jika hal tersebut menjadi seabliknya. Maka hal ini menjadi suatu hal peraturan yang dilematis bagi kaum muslim di Indonesia.

Miris memang jika perbuatan murtad dalam status perkawinan mereka batal dalam fiqh tetapi dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur secara jelas dan tegas. Wajar saja kalau tidak banyak kasus semacam ini dilaporkan di Pengadilan, sebab peraturan yang digunakan sebagai rujukan tidak jelas dan terinci.

(24)

Untuk itu dalam penulisan ini perlu adanya suatu analisis yang mendalam, kemudian daripada itu dapat terlihat perbandingan hukum antara fiqh dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilai Hukum Islam. Sebab penting sekali dalam teori ini untuk mengetahui perbuatan murtad dalam perkawinan dilihat dari segi-segi analisis sebagai berikut:

1. Analisis kitab-kitab fiqh mazhab.

2. Analisis Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 3. Analisis Kompilasi Hukum.

Setelah analisis diatas dalam penulisan ini perlu adanya suatu perbandingan hukum supaya adanya suatu penimbangan teori ini bila dilihat dari segi perbandingan seperti dibawah ini:

1. Perbandingan status perkawinan karena murtad. 2. Perbandingan keputusan murtad dalam perkawinan. 3. Perbandingan waktu batalnya perkawinan karena murtad.

Dari beberapa uraian secara singkat diatas maka penulis ingin menambah pembendaharaan pemikiran dengan mengangkat salah satu pemikiran besar yang dihasilkan melalui Fiqh dan Hukum Islam Postif mengenai murtad yang menjadikan fasakh (batal) dalam perjalanan dan kelangsungan perkawinannya, penelitian ini berjudul: STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Postif).

B. Rumusan Masalah

(25)

1. Bagaiman status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad berdasarkan Fiqh?

2. Bagaimana status pernikahan apabila salah satu pasangan murtad dalam Hukum Islam Positif?

3. Bagaimana upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad berdasarkan fiqh dan Hukum Islam Positif?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui status pernikahan karena murtad dalam pandangan Fiqh. 2. Untuk mengetahui status pernikahan karena murtad dalam pandangan Hukum

Islam Positif.

3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian pernikahan karena salah satu pasangan murtad dalam pandangan Fiqh dengan Hukum Islam Positif.

Hasil penelitian ini bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis.

Pertama secara teoritis. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi

mengenai STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi

Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif) sebagai alasan, pernikahannya sudah tidak sah lagi atau fasakh. Ini selanjutnya untuk lebih yang belum terjangkau dalam penelitian ini.

Kedua, secara praktis. Hasil penelitain ini dapat dijadikan bahan informasi bagi

(26)

D. Telaah Pustaka

Perkawinan yang batal karena murtad bukanlah sutu hal yang baru, hanya saja dalam penelitiannya memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Seperti halnya skripsi yang disusun oleh Skripsi Auwendi Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisi Terhadap

Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua pokok

hal pendapat Imam Syafi‟i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan

antara perempuan muslin dengan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pertimbangan ini lebih didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan agama Islam.

Skripsi oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana

pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan formal, menurut yang pokok adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Setiap agama menunjukkan nilai keadilan, oleh karena itu agama sama. Maka setiap agama sama maka halalkan nikah beda agama.

(27)

maupun istri dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, bagaiaman jenis cacat biologis yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut hukum Islam dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan proses perkara perceraian dengan alasan cacat badan. Hasil penelitian ini yaitu cacat biologis dalam suatu pernikahan dapat mengakibatkan ketegangan suami istri dalam rumah tangga sehingga dapat menimbulkan ketidakrukunan, dalam Islam cacat biologi bagi istri dapat menyebabkan dibolehkannya suami beristri lebih dari seorang, sikap hakim kemungkinan besar gugatannya tidak dikabulkan jika gugatannya kurang kuat. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya.

(28)

Mutabi‟in, Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Pergi Keluar Negeri (Studi

Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa tahun 2002), dengan fokus penelitian bagaimana perceraian menurut pandangan islam, bagaimana penanganan kasus perceraian di Pengadilan Agama Ambarawa dengan alasan pergi keluar negeri dan bagaimana analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Ambarawa. Hasil penelitian ini yaitu perceraian menurut hukum Islam halal, akan tetapi merupakan perbuatan yang dibenci Allah, hakim sangat bijaksana dalam menangani dan memutus perkara tersebut mulai dari tahap pemeriksaan, persidangan, perdamaian sampai dengan putusan hakim dan anlisa putusan ini sudah tepat dari tahapan pemanggilan, persidangan dan putusan, akan tetapi dalam hal alasan kurang sempurna. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya.

E. Penegasan Istilah

Supaya mudah tidak terjadi beda penafsiran kata-kata dalam judul, antara

penulis dan pembaca, maka penulis perlu menjelaskan istilah yang terdapat pada

judul: STATUS PERNIKAHAN KARENA MURTAD (Studi Perbandingan Fiqh dengan Hukum Islam Positif).

1. Pernikahan

(29)

2. Fasakh

Kata fasakh berarti merusak atau membatalkan. Jadi, fasakh menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan karena merusak atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung, (Basyir, 2000:85).

3. Murtad

Riddah secara harfiah berarti kembali. Riddah dalam pembahasan ini adalah

kembalinya seseorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan, (Ali, 2007:78)

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis

Normatif, yaitu dengan menganalisis tentang perbandingan Fiqh dengan

Hukum Islam Positif. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah Statute Approach (pendekatan perundang-undangan) dengan metode Conceptual Approach (pendekatan konseptual).

2. Sumber Data

(30)

sekunder dan bahan hukum tersier. Selanjutnya tentang jenis-jenis bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer : 1) Fiqh.

2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 3) Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai Fiqh dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, serta hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum dan para ahli.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan wikipedia.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik penelusuran dalam penelitian ini menggunakan cara studi kepustakaan penelusuran bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, kemudian bahan hukum primer, sekunder, dan tersier diperoleh melalui bahan pustaka, media cetak, media elektronik, dan cyberspace (internet).

4. Instrumen Penelitian

(31)

hukum ini penulis menyalin dalam buku, catatan penelitian, memfotokopi, mengakses dari internet dan menyimpan dalam media harddisc atau flashdisc. Bahan-bahan hukum yang sudah diperoleh tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Setelah bahan-bahan hukum tersebut diperoleh, baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier, maka dihubungkan sedemikian rupa, dan selanjutnya dianalisa menggunakan metode preskriptif dengan menggunakan teknik penafsiran hukum gramatikal yang berkaitan dengan ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur pasal 22 dalam ketentuan perundang-undangan yang ada.

Adapun teknik interpretasi gramatikal yang akan digunakan yaitu dengan cara penafsiran dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Selain teknik interpretasi gramatikal, teknik interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini juga menggunakan teknik interpretasi sistematis, yaitu teknik interpretasi dengan cara menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

5. Analisis Data

Dalam metode analisis ini yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif dalam penelitian ini, terdapat pada bab II mengenai gambaran secara global fasakhnya suatu perkawinan karena

murtad, kemudian dilanjutkan pada bab III yang dideskripsikan dalam

(32)

melakukan analisis dan menuangkan dalam naskah ini. Dalam melakukan analisis bahan hukum, penulis menggunakan teknik berfikir induktif, deduktif, dan komparatif.

Sedangkan analitis induktif atau berpikir induktif merupakan kebalikan dari analitis deduktif, yakni pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. Kemudian teknik komparatif adalah membandingkan persamaan dan yang ada dalam substansinya.

G. Sistematika Pembahasan

Demi mempermudah dalam memahami isi dari skripsi ini, penulis berusaha untuk menguraikan pembahasan. Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan pembahasan sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, Penegasan Istilah, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II: Kajian Pustaka bab ini berisi tentang status perkawinan karena

murtad dalam perspektif fiqh. Kemudian dijelaskan perbuatan murtad dari pihak

suami atau istri dalam perkawinannya dalam pandangan kitab-kitab fiqh mazhab.

(33)

Hukum Islam. Kemudian dijelaskan perbuatan murtad dari pihak suami atau istri dalam perkawinannya dalam pandangan hukum perkawinan di Indonesia diatas.

Bab IV: Pembahasan mengenai analisis status perkawinan karena murtad dalam pandangan kitab-kitab fiqh mazhab dengan Undang-undang No. 1 Tahun dan Kompilasi Hukum Islam. Setelah itu dianalisis peraturan tersebut mengenai perbuatan murtad dalam status pekawinannya. Sehingga terlihat perbedaan hukum dalam mengatur hal tersebut.

(34)

BAB II

STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD DALAM PERSPEKTIF FIQH

A. Landasan Sumber Hukum Fiqh

Segala sesuatu harus didasarkan dengan landasan dan sumber yang jelas, yang dimaksud dengan sumber adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar pengembangan sebuah ajaran, gagasan, faham atau manivestasi lainnya dalam

kehidupan manusia. Jika terminologi “Sumber” dikaitkan dengan Islam, maka

dalam penulisan ini memiliki pengertian sebagai segala sesuatu yang dijadikan dasar pengembangan ajaran Islam itu sendiri baik itu menyangkut hubungan vertikal atau hubungan horizontal.

Dasar-dasar atau sumber ajaran agama Islam dalam teori penulian ini berasal dari wahyu Allah yang berupa al-Qur‟an dan perilaku Nabi Muhammad sebagai aplikasi dan contoh konkret pelaksanaan al-Qur‟an yang kemudian disebut dengan Hadits Nabi. Secara dogmatis sumber ajaran Agama Islam hanya ada dua yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits selanjutnya untuk memudahkan

pemahaman, keduanya dikenal dengan “sumber pokok”. Sedangkan yang lainnya

merupakan pengembangan ajaran berdasarkan sumber pokok melalui proses pemikiran dan penentuan hukum (ijtihad) selanjutnya dikenal dengan hukum atau ajaran Istinbath.

(35)

menunjukkan kelebihan dan fleksibiltas ajaran Islam. Secara umum penjelasan tentang penyebab munculnya tradisi Ijtihad dalam hukum Islam adalah :

1. Masyarakat Islam berkembang dengan pesat baik secara politik, sosial maupun ekonomi yang membawa berbagai permasalahan hukum baru.

2. Ketika Rasulullah masih hidup, permasalahan hukum tersebut dapat dikonsultasikan dan dapat diputuskan oleh Rasulullah. Setelah Rasulullah meninggal, hukum suatu masalah diputuskan berdasarkan proses Ijtihad dengan dasar al-Qur‟an al-Hadits.

3. Hukum-hukum Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagian besar bersifat global dan bahkan hanya Isyarat atau simbolitas saja (Kontekstual).

4. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia dengan meletakan kaidah-kaidah fiqhiyah.

Tata urutan sumber hukum Islam terlepas dari peristiwa tersebut, dalam kajian yurisprudensi Islam telah terjadi perbedaan pemikiran tentang sumber-sumber hukum Islam yang layak dan diakui sebagai landasan penetapan hukum Islam.

Menurut penyelidikan dapat dipastikan, bahwa dalil-dalil syar‟iyah yang diambil daripadanya, hukum-hukum amaliyah berpangkal pada empat pokok, yaitu:

(36)

Keempat dalil tersebut telah disepakati oleh jumhur (mayoritas tokoh) umat Islam sebagai dalil (Khallaf, 1991:18).

B. Biografi Imam-imam Mazhab

1. Mazhab Hanafi

a. Biografi Imam Abu Hanafi

Mazhab Hanafi merupakan merupakan mazhab yang paling tua diantara keempat mazhab Ahlu Sunnah wal Jama‟ah yang populer. Mazhab ini dinishabkan kepada imam besar Abu Hanifah An-Nu‟man bin Tsabit bin Zutha At-Tamimi, dilahirkan di kota Kuffah tahun 80 H dan wafat di Baghdad (Khalil, 2009:172).

Imam abu hanifah adalah seorang pedagang, selain itu juga Imam Abu Hanifah mengutarakan bahwa ada juga orang yang taat beragama, ketika itu ia pernah bertemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang khalifah mendoakan untuk keturunananya agar kebaikan dan keberkahan. Kedudukannya dalam bermasyarakat ia mendapatkat posisi tertinggi karena mampu menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya, Imam

Abu Hanafi di juluki Imam A‟zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal

sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra‟y (Imam Aliran Rasional). b. Guru Imam Abu Hanafi

Imam Abu Hanifah mempunyai empat sahabat, diantara mereka penulis menyebutkan: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin

(37)

Guru Abu Hanafi antara lain „Atha bin Abi Rabah, Hisyam bin

Urwah, Nafi‟ Maula ibn Umar, tetapi guru yang paling banyak diambil

ilmunya adalah Hammad bin Sulaiman al-Asy‟ari (w. 120 H) yng berguru pada Ibrahim an-Nakha‟i dan Amir bin Syura bil al-Sya‟bin (Zuhri, 1997:95).

Hammad bin sulaiman adalah seorang yang kaya raya namun

ilmunya juga kaya raya. Ketika itu dia pernah berkata kepada Hanafi “

ilmuku sudah kau ambil semua Abu Hanafi, sehingga aku sudah lega”.

Hammad bin Sulaiman meyatukan fiqh An-Nakha‟i dengan fiqh

Asy Sya‟bi dan memberikan fiqh yang sudah disatukan itu kepada murid-muridnya, diantara Abu Hanafi yang kemudian menggantikan gurunya itu, sebagai pemegang kendali madrasahnya (Shiddieqy, 1974:136). c. Murid-murid Imam Abu Hanafi

Adapun murid-murid Abu Hanafi yang bekerja sama di Madrasah Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam, adalah:

1) Abu Yusuf Ya‟qub ibn Ibrahim al-Anshari (113-182 H). 2) Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (132-189 H). 3) Zufar ibn Hudzail ibn Qais al-Kufi (110-145).

(38)

d. Sumber Hukum Imam Abu Hanafi

Menerangkan bahwa dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqh adalah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan muamalat manusia.

Maka dengan kita memperhatikan jalan-jalan yang ditempuh Abu Hanafi untuk beristinbath, nyatalah bahwa dasar-dasar hukum fiqh dalam mazhabnya, ialah:

1) Al-Qur‟an. 2) As-Sunnah. 3) Al-Ijma 4) Al-Qiyas.

5) Al-Istihsan (Shiddieqie, 1974:137).

Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya, berikut

dalam versinya menceritakan. Beliau selalu mengatakan, “Inilah

pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang

berkata kepadanya, “Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak

diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa

(39)

2. Mazhab Maliki

a. Biografi Imam Malik

Ia adalah Imam Malik bin Anas bin al-Ashbahi al-Madani,

lahir di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tanggal 14 Rabi‟ul

Awal tahun 179 H. Ia tinggal di Madinah dan tidak pernah keman-mana kecuali untuk beribadah haji di Mekkah (Zuhri, 1997:104-105).

Imam Malik juga merupakan seorang pembesar tabi‟in, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman

bin Affan, Thalhah bin „Ubaidillah, dan „Aisyah.

b. Guru-guru Imam Malik

Imam malik adalah seorang imam yang banyak ilmunya mengenai hadist, bahkan Imam Malik menyusun kitab Hadist bernama Muwaththa, khalifah Al Manshur pernah memintanya supaya bukunya pegangan yang harus dianut isinya, namun Imam Malik menolaknya.

Al-Muwaththa' merupakan kitab yang disusun oleh Imam

(40)

10.000 saja yang diakui sah dan dari 10.000 hadits tersebut, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih oleh Imam Malik setelah diteliti dengan seksama.

Imam malik yang terkenal sebagai pemuka fiqh di daerah

Hijaz menjadi guru Asy syafi‟, Imam malik mempelajari fiqh dari

Rabi‟ah ibn Abdirrahman, dan mempelajari hadist Nafi‟, Az zuhry,

Abi Zinad, Yahya ibn Sa‟id Al Anshari (Shiddieqi, 1974:141).

Percakapan secara singkat pada waktu itu antara Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam as-Syafi‟i, ketika itu Ahmad bin Hanbal berkata: "Jika engkau melihat seseorang yang membenci Imam Malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah". Seseorang bertanya kepada Imam Syafi'i "apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti Imam Malik?" as-Syafi'i menjawab "aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami (orang sekarang) menemui yang seperti Malik", begitulah penulis dalam pengetahuannya menulis perbincangan pada kala itu Ahmad Bin Hanbal dengan as-Syafi‟i ketika ditanya tentang gurunya Imam Malik.

c. Murid-murid Imam Malik

(41)

1) Abu Abdillah bin Qosim Al-A‟taqi (w. 19 1 H).

2) Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim Al-Quraisyi (w. 197 H).

3) Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qoisy Al-A‟miry Al-ja‟dy (w. 204 H). 4) Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin A‟yun bin

Al-Laits (w. 314 H).

5) Ashbah bin Alfaraj Al-Amawi (w. 226 H). 6) Muhammad bin Abdul Hakam (w. 286 H).

7) Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandari Al-Ma‟ruf bin ibni Mawaz (w. 269 H).

Pelanjut berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara lain:

1) Abu Abdillah Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Ma‟ruf bisyabtun (w. 212 H).

2) I‟sa bin Dinar Al-Andalusi (w. 2142-217 H). 3) Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi (w. 234 H).

4) Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As-Salami (w. 238 H). 5) Abu Marwan bin Abdul Malik bin Abu Salamah al-Majisyun (w.

212 H).

(42)

Ulama penulis ushul fiqh terkenal dalam mazhab ini adalah al-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmin al-Ghurnathi (w. 790 H). Buku ushul fiqhnya yang terkenal Muwafaqat fi Ushul Fiqh

al-Ahkam dan al-I‟tisham (Zuhri, 1997:110-111).

d. Sumber Hukum Imam Malik

Bagi Imam Malik, sumber pengetahuan yang digunakan untuk melakukan proses penalaran istinbath hukum adalah al-Qur‟an sebagai sumber pengetahuan yang pertama, sedangkan al-Hadist yang kedua, jika penyelesaian dari sumber hukum itu tidak dijumpai maka praktik hukum merujuk pada penduduk madinah (amalu ahli al-madinah) (Roibin, 2010:75).

Berdasarkan penulisan ini, sumber hukum sebagai landasan dalam rujukan Imam Malik seperti tersebut diatas, adalah sebuah inti pokok dasar al-Qura‟an, al-Hadis, dan amalu ahli al-madinah, selain itu Imam Malik juga menggunakan Ijma dan Qiyas sekiranya dalam penyelesaian masalah tidak terjawabkan.

3. Mazhab Syafi‟i

a. Biografi Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟i dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun

150 H (767 M) ketika Imam Abu Hanafi wafat, beliau wafat di Mesir

pada tahun 204 H (819), Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Abu

(43)

„Ubaid bin abd Yazid bin Hasyim bin abd Muthalib bin abdu Manaf

al-Qurasyi (Yanggo, 1997:120-121).

Dalam penulisan ini, Imam Syafi‟i kecil memiliki kecerdasan yang mengagumkan serta kecepatan hafalan yang luar biasa, beliau hafal al-Quran pada usia 9 tahun. Beliau pernah berkata: “Saat aku di kuttab, aku mendengar guruku mengajar ayat-ayat al-Qur‟an, maka aku langsung menghafalkan, apabila dia mendiktekan sesuatu. Belum selesai guruku membacakannya kepada kami, aku telah menghafal seluruh apa yang didiktekannya. Maka dia berkata kepadaku suatu hari: Demi allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari kamu sesen pun”.

Imam Syafi‟i amat gemar mengembara kala itu, khususnya

bertujuan menuntut ilmu. Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fiqh kepada Imam Malik, pada usia dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafi‟i didatangkan ke Baghdad bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan menggulingkan pemerintahan. Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru

Imam Syafi‟i. Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi‟i kembali

(44)

dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik.

Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi tentang fiqh. Tidak lama di Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun 199 H. Tidak lama setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 204 H, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Konon beliau sebelum wafat menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika naik kuda, darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaos kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain itu, beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam, sungguh luar biasa perjuangan beliau dalam menuliskan perjalanan tersebut.

b. Guru-guru Imam Syafi‟i

Seperti penjelasaan diatas bahwa guru-guru Imam Syafi‟i sudah tersebut, namun ada yang lainnya, di antaranya adalah:

1) Imam Malik.

2) Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. 3) Isma‟il bin Ulaiyyah.

4) Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dll. c. Murid-murid Imam Syafi‟i

(45)

1) Abu Ja‟qub ibn Yahya Al-Buwaithi.

2) Abu Ibrahim Ima‟il ibn Yahya Al-Muzani (w. 246 H). 3) Ar-Rabi‟ ibn Sulaiman Al-Jizi (w. 270 H).

Kemudian mazhab beliu ini dikembangkan oleh beberapa orang ulama terkenal, di antaranya ialah:

1) Abu Ishaq Al-Fairuzabadi (476 H). 2) Abu Hamid Al-Ghazali (505 H).

3) Abul Qaim ar-Rafii (623 H) (Shiddieqy, 1974:145). d. Sumber Hukum Imam Syafi‟i

Dalam pemikiran hukumnya, Syafi‟i berpegang pada lima

sumber yaitu al-Qur‟an, al-Hadist, Ijma atau Qiyas, pendapat sebagian sahabat yang tidak diketahui perbedaan perselisihan mereka di dalamnya, dan pendapat yang dalamnya terdapat perselisihan dan

Qiyas atau analogi (Ma‟arif, 2007:83).

Dalam penulisan ini juga menjelaskan salah satu karangan

Imam Syafi‟i adalah ar Risalah buku pertama tentang ushul fiqh dan

kitab Al Umm yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi‟i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz.

4. Mazhab Hanbali

a. Biografi Imam Ahmad Bin Hanbal

(46)

Keutamaan ilmu, kekuatan hafalan dan akhlak beliau menyinari perjuangan Islam di sepanjang sejarah. Profil biografi Imam Ahmad bin Hambal merupakan mutiara pelajaran besar yang dapat kita ambil hikmahnya.

Namanya Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-syaibani al-Marwazi, ia lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad, dibesarkan di sana, dan wafat di sana pada tahun 231 H (Zuhri, 1997: 122).

Berbeda engan Imam Syafi‟i, sebab Imam Syafi‟i yang hafal

al-Qur‟an sejak umur 9 tahun. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal menghafal al-Qur‟an pada usia 15 tahun. Namun hal ini tidak mengurangi kecerdasannya. Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Imam Ahmad bin Hanbal mempunyai hafalan yang kuat, bahkan beliau hafal satu juta hadits. Banyak pujian dari para ulama terhadap Imam Ahmad bin Hanbal, seperti yang dikatakan Imam As-Syafi‟i bahwa “Ahmad bin Hanbal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqh, Imam dalam bahasa, Imam dalam al-Qur‟an, Imam dalam kefaqiran,

Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara‟ dan Imam dalam

Sunnah”.

b. Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal

(47)

Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan lainnya. Guru beliau diantaranya:

1) Ismail bin Ja‟far.

2) Abbad bin Abbad Al-Ataky. 3) Umari bin Abdillah bin Khalid.

4) Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami. 5) Imam Syafi‟i.

6) Waki‟ bin Jarrah. 7) Ismail bin Ulayyah. 8) Sufyan bin „Uyainah. 9) Abdurrazaq.

10)Ibrahim bin Ma‟qil.

c. Murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal

Berikut ini adalah murid Ahmad bin Hanbal, yaitu:

1) Al-Astram Abu Bakar Ahmad bin Bani al-Khurasani (w. 273 H). 2) Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Marwawi (w. 275 H). 3) Ibn Ishaq al-Harbi (w. 285 H).

4) Al-Qasim, Umar bin Ali al-Husein al-Khiraqi (w. 334 H). 5) Abdul Aziz ibn Ja‟far (w. 363 H).

Orang yang terkenal yang melanjutkan pemikiran Imam Ahmad yang kurun waktunya agak jauh darinya adalah:

(48)

2) Ibn Qudamah, Syamsuddin al-Maqdisi (w. 682 H) penulis al-Syarh al-Kabir.

Selanjutnya, tokoh yang memperbaharui dan melengkapi

pemikiran mazhab Hanbali, terutama dibidang mu‟amalah adalah:

1) Syeikh al-Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah (w. 728 H). 2) Ibn al-Qayim al-Jauziyyah (w. 751 H) murid ibn Taimiyyah.

Mazhab Hanbali tadinya tidak begitu banyak, setelah dikembangkan kedua terakhir ini tidak semarak, setelah dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H), menjadi mazhab orang Nejeb, dan kini menjadi mazhab resmi kerajaan Saudi Arabia (Zuhri, 1997, 125-126).

d. Sumber Hukum Imam Ahmad bin Hanbal

Dalam bukunya Roibin (2010:82) menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah bahwa fiqh Ahmad bin Hanbal dibangun di atas 5 pilar, yaitu nash al-Qur‟an, al-Hadist, fatwa sahabat, Hadist dha‟if, dan Qiyas.

C. Fatwa Tentang Status Perkawinan Karena Murtad

(49)

Sedikit penjelasan apa itu murtad dan fasakh dalam istilah pernikahan, karena dalam penulisan ini tidak lepas dari bagian istilah kedua itu, selanjutnya agar lebih jelasnya penulis akan menerangkannya.

Murtad (riddah) adalah keluar dari agama Islam, baik pindah pada agama

yang lain atau menjadi tidak beragama” (Rasjid, 2010:445). Murtad (riddah) dari segi bahasa berarti rujuk (kembali). Menurut istilah riddah adalah kembali dari sesuatu ke sesuaqtu yang lain, atau keluar dari agama Islam ke agama yang lain, dan pelakunya disebut murtad. Yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah beriman.

Dalam ketentuan Al Qur‟an Allah terlah berfirman:

Artinya: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di

akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. ( Q.S Al

Baqarah : 217 ).

(50)

karena akibat yang timbul besar sekali terhadap pernikahan. Apabila tidak terjadi perceraian atau perpisahan, dikhawatirkan akan berhubungan layaknya suami istri, sehingga hal ini dapat dikatakan zina bila melakukannya, karena pasangan suami istri yang melakukan murtad diantara dari salah satu atau secara bersamaan, sudah rusak atau batal (fasakh) pernikahan tersebut.

Menurut Muslich, (2005:124-125) Seorang yang dianggap murtad apabila ia berakal sehat. Dengan demikian, orang yang tidak berakal pernyataan murtadnya tidak sah, seperti orang gila, tidur, sakit ingatan, mabuk karena barang yang mubah, atau anak kecil yang belum tamyiz yang akalnya belum sempurna.

Akad yang sah pada awal mula menikah dan sudah tidak sah lagi dalam pernikahannya. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungannya perkawinan (Abidin dan Aminuddin, 1999:73).

Fasakh yang datang karena hal-hal setelah akad:

1. Bila salah seorang dari suami atau istri murtad, keluar dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena murtad yang terjadi.

(51)

Ahli fiqh Imam Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan pengertian pisahnya suami istri sebab talak dan sebab fasakh. Imam Hanafi

berkata, “Pisahnya suami istri karena suami, dan tidak ada pengaruh istri disebut

talak, dan pisahnya suami karena pengaruh istri disebut fasakh”. Mengenai pelaksanaan fasakh terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama, Imam

Syafi‟i berkata, “Harus menunggu selama tiga hari”, sedangkan Imam Malik

mengatakan, “Harus menunggu satu bulan”, dan Imam Hambali mengantakan.

“harus menunggu selama satu tahun” (Abidin dan Aminuddin, 1999:82).

(52)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.

Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Mumtahanah ayat

10).

Perkara murtad dalam perkawinan ini tidak pernah dibahas secara langsung oleh al-Qur‟an maupun hadist. Boleh jadi beranggapan karena pada waktu itu hampir tidak ada orang Islam yang murtad. Oleh karena tidak ada teks al-Qur‟an maupun hadist yang mengatur masalah ini, maka masalah ini merupakan lahan ijtihad.

Oleh karena itu, bahwa perkara ini termasuk lahan ijtihad, sehingga dimungkinkan adanya beda pendapat di antara fuqaha. Oleh karena itu, tidak heran kita menemukan beberapa pendapat dalam masalah ini.

(53)

yang terkandung dalam masing-masing kitab secara apa adanya, khususnya yang berkaitan dengan masalah ini.

1. Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanafi dan Hanafiyah dalam kitab al-Athar dan kitab

al-Bada‟i al-Sana‟i mengenai perbuatan murtad seorang suami atau istri:

a. Al-Athar

هٌر ٓى٠ ٌُٚ ، ِٕٗ ةأشٌّا جٔبب َلاسلإا ٓػ جٚضٌا ذحسا ارإ : يبل تف١ٕد ببأ ْإ

. ُ١٘اشبإ يٛل ٛ٘ٚ ، قلاط ٛٙف : بٌٕٛل ٟف بِأٚ . بللاط

Al-Imam Abu Hanafi berkata, “Bila seorang suami murtad dari

agama Islam, seketika istrinya telah ba‟in. Tapi ba‟in yaitu bukan talak.”

(Muhammad, 2006:436).

Pendapat kami, ba‟in-nya itu adalah talak. Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibrahim (al-Nakha„i) (Muhammad, 2006:436).

Berdasarkan kitab ini dapat diambil kesimpulan, bahwa murtad menjadi sebab putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan itu bersamaan dengan terjadinya perbuatan murtad. Namun ada beda pendapat tentang bagaimana putusnya perkawinan itu, antara fasakh atau talak ba‟in

b. Bada‟i al-Sana‟i

لأ ؛ ثٌّٛا تٌشخّب ةدشٌا ْلأ ؛ ٓ١جٚضٌا ذدأ ةدس بِٕٙٚ

ٙٔ

ٗ١ٌإ ضفِ ببس ا

(54)
(55)

. بٔذٕػ يبذٌا ٟف جبثخف ، ةدشٌا سفٕب جبثح ٓ١جٚضٌا ذدأ ةدشب تلشفٌا ُث

Murtad adalah salah satu sebab putusnya perkawinan dengan

alasan sebagai berikut: Perbuatan murtad (riddah) sama dengan datangnya kematian, mengingat hukuman yang harus diterima orang yang murtad. Orang yang telah mati tidak layak untuk kawin. Oleh karena itu, orang yang telah murtad tidak boleh melakukan perkawinan (fi al-ibtida‟) maupun melanjutkan perkawinan (fi ahl al-baqa‟). Orang yang murtad telah kehilangan al-„ishmah. Padahal hak atas perkawinan tidak bisa dipertahankan dengan hilangnya „ishmah tersebut (Abu Bakr, 1986:337).

Dalam Mazhab Hanafi tidak ada beda pendapat, bahwa bila yang murtad adalah pihak istri, putusnya perkawinan itu tanpa talak. Adapun

bila yang murtad adalah pihak suami, terjadi beda pendapat. Menurut Abu Hanafi dan Abu Yusuf, perkawinan itu putus, juga tanpa talak. Sedangkan menurut Muhammad, perkawinan itu putus dengan talak (Abu Bakr, 1986:337).

Dasar pendapat al-Hanafiyah: Pada dasarnya, bila putusnya perkawinan itu disebabkan dari pihak suami, dan dimungkinkan terjadinya talak, maka ia putus dengan talak (Abu Bakr, 1986:337).

(56)

tanpa talak. Maka demikian pula halnya ketika suami murtad (Abu Bakr, 1986:337).

Dasar pendapat Abu Hanafi: Meskipun putusnya perkawinan itu disebabkan oleh pihak istri, namun putusnya perkawinan itu tidak bisa dengan talak, karena perbuatan murtad itu sama dengan datangnya kematian. Hal ini mengingat putusnya perkawinan karena kematian itu tidak terjadi dengan talak. Sebagaimana dimaklumi, perbuatan talak itu hanya bisa dilakukan selama ada ikatan perkawinan. Padahal putusnya perkawinan karena perbuatan murtad itu disebabkan karena ketiadaan. Karena perbuatan murtad itu meniadakan hak untuk memiliki („ishmah al-milk). Selama putusnya perkawinan itu dengan jalan peniadaan, ia

(57)

Karena putusnya perkawinan karena murtadnya salah seorang suami atau istri itu terjadi sejak terjadinya perbuatan murtad, maka menurut kami putusnya perkawinan itu terjadi seketika itu juga (Abu Bakr, 1986:337).

Berdasarkan kitab ini dapat diambil kesimpulan, Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa murtad menjadi sebab putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan itu dibedakan: (1) bila yang murtad pihak istri, perkawinan itu putus dengan fasakh, (2) bila yang murtad pihak suami, perkawinan itu putus dengan fasakh atau talak (Abu Bakr, 1986:337).

Selain al-Athar, juga terdapat al-Mabsut yang merupakan syarah Kitab al-Kafi. Kitab al-Kafi adalah himpunan pendapat Muhammad yang diriwayatkan oleh al-Hakim al-Shahid al-Muruzi. Kitab al-Kafi ini merupakan kesimpulan dari kitab enam karya Muhammad, yaitu:

al-Jami„ al-Kabir, al-Jami„ al-Saghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Saghir,

al-Ziyadat, dan al-Mabsut (Muhammad, 2007:124).

Kitab al-Mabsut yang ditulis oleh Shams al-A‟immah al-Sarkhasi adalah syarah terbaik dari al-Kafi. Demikian penting kedudukan kitab ini,hingga ada ulama menyatakan, bahwa semua riwayat yang bertentangan dengan kitab ini tidak bisa diterima (Muhammad, 2007:124-125).

(58)

salah seorang suami istri itu mengakibatkan dampak yang serius terhadap status perkawinan, yaitu:

1) Bila yang murtad adalah pihak istri

Bila yang murtad adalah pihak istri, Mazhab Hanafi sepakat, perkawinan itu putus tanpa talak. Putusnya perkawinanitu terjadi sejak dilakukannya perbuatan murtad. Putusnya perkawinan di sini merupakan talak ba‟in, di mana suami tidak bisa merujuk istrinya, meskipun istrinya sudah kembali masuk Islam.

2) Bila yang murtad adalah pihak suami

Bila yang murtad adalah pihak suami, terjadi beda pendapat. Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan fasakh (pendapat al-Imam Abu Hanafi dan Abu Yusuf). Pendapat kedua, perkawinan itu putus dengan talak (pendapat Muhammad).Argumen pendapat bahwa perkawinan itu putus secara fasakh. a)bahwa orang yang murtad itu sama dengan orang yang telah mati. Orang yang telah

(59)

2. Mazhab Maliki

Berikut penulis kutipkan pendapat-pendapat fuqaha dalam Mazhab Maliki mengenai status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam kitab-kitab Mazhab Maliki:

a. Al-Mudawwanah al-Kubra

؟ لا َأ ٗٔبىِ ذحسا ارإ بّٕٙ١ب بّ١ف تّصؼٌا غطمٕحأ ، ذحسا ارإ ذحشٌّا ج٠أسأ : جٍل

. ذحسا تػبس بّٕٙ١ب بّ١ف تّصؼٌا غطمٕح : هٌبِ يبل : يبل

ارإ ٜسأ ٟٔأ لاإ بئ١ش ٗ١ف هٌبِ ِٓ غّسأ ٌُ : يبل ؟ ةأشٌّا ثذحسا ْإف : جٍل

ْأ بض٠أ ةأشٌّبحذحسا

. ثذحسا تػبس بّٕٙ١ب بّ١ف تّصؼٌا غطمٕح

ذحسا ارإ : هٌبِ يبل : يبل ؟ لا َأ بللاط هٌبِ ٍٗؼج٠أ ذحسا ارإ ج٠أسأ : جٍل

ذػ ٟف ٍُسأ ْإ تؼجس جٚضٌٍ ْٛى٠ لا ، تٕئبب تمٍط جٔبىجٚضٌا

ٙح

. ا

إ از٘ ٟف هٌبِ يبل ٌُ : جٍل

ٙٔ

ٓ١دبٙوشح ذل ٗٔلأ : يبل ؟ تٕئببٌا فشؼ٠ لا ٛ٘ٚ تٕئبب ا

حسا

. بٙخؼجس ٍٝػ ٖداذحسا ٓ١د سذم٠ ٓى٠ ٌُٚ ذ

Aku (Sahnun) bertanya kepada Ibn al-Qasim, “Apa pendapatmu bila seorang suami murtad, apakah al-„ishmah di antara suami istri putus

atau tidak?” Ibn al-Qasim berkata, “Malik berkata: Al-„ishmah di antara keduanya putus, ketika suami itu murtad.” Aku bertanya, “Bila yang

murtad pihak istri?” Ibn al-Qasim berkata, “Aku tidak pernah mendengar

hal itu dari Malik. Menurut pendapatku, bila seorang istri murtad,

(60)

Aku bertanya, “Apa pendapatmu, bila seorang suami murtad, apakah Malik menjadikan putusnya perkawinan itu dengan talak atau

tidak?” Al-Qasim berkata, “Malik berkata: Bila seorang suami murtad,

maka itu talak ba‟in, di mana suami tidak berhak untuk rujuk, meskipun

suami itu kembali masuk Islam dalam masa iddah”.

Aku bertanya, “Mengapa Malik berkata, bahwa putusnya

perkawinan itu putus secara talak ba‟in, padahal ia tidak mengenal talak

ba‟in?” Al-Qasim menjawab, “Karena suami itu telah meninggalkan istrinya ketika ia murtad, dan dalam masa murtad itu suami tidak berhak

untuk melakukan rujuk” (Sahnun, 1994:226).

Dalam kitab ini disebutkan, ketika suami atau istri murtad, perkawinan mereka seketika putus, karena ia telah kehilangan

al-„ishmah. Mereka tidak berhak rujuk dalam masa iddah, meskipun pihakyang murtad telah kembali memeluk agama Islam (Sahnun, 1994:226).

b. Al-Nawadir wa al-Ziyadat

إف ٍُسِ جذح تٍّسِ ثذحسا ارإٚ : ذّذِ يبل

ٙٔ

ٓبا ٌٗبل . تمٍطب ِٕٗ ٓ١بح ا

جؼجس ْإ : بض٠أ يبمف بٙشأ يٛل فٍخخاٚ , يٛلأ ٗبٚ . بٙشأّٛسبمٌا

َلاسلإا ٌٟإ

. ب١بد ٓبا ٌٗبلٚ . تجٚص ٌٗ ج١مب

ذػ ٟف َلاسلإا دٚبػ ُث جٚضٌا ذحسا ارإ : ْٛشجبٌّا ٓبا يبل

ٙح

كدأ ٛٙف , ا

ٙب

ذػ ٟف ٍُسأ ُث جٍّسأ ٌٛ بّو , ٍٗو قلاطٌببا

ٙح

(61)

Muhammad berkata, “Bila seorang istri murtad, ia telah talak

ba‟in dari suaminya dengan talak.” Pendapat ini sama dengan pendapat

Ibn al-Qasim dan Ashhab. Namun Ashhab menambahkan, bahwa bila wanita itu kembali masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi suaminya. Pendapat ini sama dengan pendapat Ibn Habib (Muhammad, 1999:591).

Ibn al-Majishun berkata, “Bila seorang suami murtad, kemudian kembali masuk Islam dalam masa iddah istrinya, maka suami itu memiliki hak atas istrinya secara keseluruhan termasuk hak talak, sama seperti kasus ketika istrinya masuk Islam kemudian suaminya masuk Islam (Muhammad, 1999:592).

Dalam kitab ini disebutkan, bahwa perbuatan murtad yang dilakukan suami atau istri menyebabkan putusnya perkawinan.

Bila yang murtad itu pihak suami, perkawinan itu putus setelah selesai masa iddah. Bila suami masuk Islam kembali sebelum masa iddah selesai, maka perkawinan itu tetap utuh.

Bila yang murtad itu pihak istri, ada dua pendapat. Pendapat pertama, seketika perkawinan itu putus. Pendapat kedua, perkawinan itu putus setelah masa iddah (Muhammad, 1999:591-592).

(62)

heran banyak ulama menyusun syarah dan mukhtasar-nya (Muhammad,162).

Dari 2 kitab itu, termasuk al-Mudawwanah al-Kubra, dapat diambil kesimpulan umum, bahwa apabila salah seorang suami atau istri murtad, terdapat beda pendapat dalam Mazhab Maliki mengenai status

perkawinan mereka. Berikut ini rincian pendapat-pendapat tersebut: 1) Bila yang murtad adalah pihak istri

Bila yang murtad adalah pihak istri, ikatan perkawinan mereka putus seketika. Putusnya perkawinan itu dengan jalan talak

ba‟in. Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim, Ashhab, dan al-Qayrwani. Namun Ashhab memberikan pendapat tambahan, bahwa bila wanita itu kembali masuk agama Islam, ia tetap menjadi istri bagi suaminya. 2) Bila yang murtad adalah pihak suami

Bila yang murtad adalah pihak suami, ikatan perkawinan mereka putus seketika. Bagaimana putusnya perkawinan itu, ada dua pendapat. Pendapat pertama, perkawinan itu putus dengan talak

ba‟in. Suami tidak diperbolehkan rujuk, meskipun pihak suami

(63)

istrinya masuk Islam kemudian suaminya masuk Islam. Ini adalah pendapat Ibn al-Majishun.

Sebab perbedaan pendapat itu: apakah perbuatan murtad itu menimbulkan akibat atau tidak? Orang-orang yang memandang bahwa perbuatan murtad itu menimbulkan akibat, mereka berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa akibat perbuatan murtad itu adalah terhapusnya status orang yang murtad, hingga hilangnya al-„ishmah. Lalu orang-orang yang berpendapat demikian berbeda pendapat lagi tentang bagaimana terputusnya

al-„ishmah. Di antara mereka ada yang memandang masih sahnya perkawinan itu menjadikan terputusnya al-„ishmah sebagai talak. 3. Mazhab Syafi‟i

Berikut penulis kutipkan kitab fiqh dalam Mazhab Safi„i mengenai

status perkawinan ketika suami atau istri murtad dalam Mazhab Safi„i:

a. Al-Umm

ذػ جضمٔا ْإف تجٚضٌا ٓ١بٚ ٕٗ١ب ً١د ئطٌٛا ذؼب جٚضٌا ذحسا ْإف

ٙح

ْأ ًبل ا

ٌٝإ جٚضٌبؼجش٠

بّ٘ذدأ ٚأ بؼ١ّج اذحسا ٚأ ةأشٌّا ثذحسا ْإٚ حبىٌٕا خسفٔا َلاسلاا

بٙخخسف ٓ١ٍّسِ اش١ص٠ ْأ ًبل جضمٔا ْإف ةذؼٌا ٌٝإ اذبأ شظٔأ ازىٙف شخ٢بؼب

. تخببث ٝٙف ةذؼٌا ٟضمٕح ْأ ًبل بٍّسأارإٚ

قلاط لاب خسف تٕٔٛ١بٌاٚ ِٕٗ جٔبب ذمف ةأشٌّبب ًخذ٠ ٌُٚ ٓ١جٚضٌا ذدأ ذحسا ارإٚ

(64)

"Apabila seorang suami murtad setelah persetubuhan, maka terhalanglah dia dengan istrinya. Bila masa iddah habis sebelum suami kembali ke pangkuan Islam, maka perkawinan pun fasakh. Bila yang murtad adalah pihak perempuan, atau keduanya secara bersama-sama,

atau yang salah seorang di antara keduanya lalu disusul oleh pasangannya, maka demikian pula. Selalu diberi waktu hingga berakhirnya masa iddah. Bila masa iddah itu habis sebelum keduanya kembali Islam, maka perempuan itu telah fasakh. Bila keduanya kembali Islam sebelum masa iddah habis, maka perempuan itu tetap menjadi istrinya.

"Apabila salah seorang suami istri murtad, dan suami belum dukhul dengan istrinya, maka istri itu telah talak ba'in dari suaminya. Dan

ba'in di sini adalah fasakh, tanpa talak. Yang demikian itu karena tidak ada iddah bagi istri tersebut (al-Thani & al-Shamilah).

b. Al-Muhazhzhab

يٛخذٌاذؼب ْبو ْإٚ تلشفٌا جؼلٚ يٛخذٌا ًبل ْبو ْإف بّ٘ذدأ ٚأ ْبجٚضٌا ذحسا ارإ

ا ءبضمٔا ًبل َلاسلإا ٍٝػ بؼّخجا ْإف ةذؼٌا ءبضمٔا ٍٝػ تلشفٌا جؼلٚ

بّٙفةذؼٌ

ءاذخببؼّٕ٠ ٓ٠د ٌٝإ ٓ٠د ِٓ يبمخٔا ٗٔلأ تلشفٌا جؼلٚ بؼّخج٠ ٌُ ْإٚ حبىٌٕا ٍٝػ

. ٓ١١ٕثٌٛا ذدأ ٍُسأ ٌٛ بّو ّٗىد ْبىف حبىٌٕا

(65)

dalam perkawinan. Bila mereka belum juga bersama sampai berakhirnya masa iddah, furqah pun terjadi. Karena perpindahan agama itu melarang terjadinya perkawinan. Sama halnya dengan masuk Islamnya salah seorang suami istri penyembah berhala (al-Shirazi, 1996:189).

Berdasarkan kitab ini, perkawinan itu furqah seketika, bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul. Bila setelah dukhul, ditunggu hingga masa iddah.

Kesimpulan dari 2 kitab itu, bahwa perbuatan murtad itu dibedakan menjadi 2, yaitu perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul dan perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul:

1) Perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul

Bila perbuatan murtad terjadi sebelum dukhul, perkawinan itu putus seketika.

2) Perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul

Bila perbuatan murtad itu terjadi setelah dukhul, perkawinan itud itangguhkan hingga berakhirnya masa iddah. Bila pihak yang murtad kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, perkawinan itutetap utuh. Namun bila sampai masa iddah berakhir pihak yang murtad belum juga kembali masuk agama Islam, perkawinan itu

Gambar

Tabel 1 Kesimpulan para fuqaha atas murtadnya salah satu pasangan
Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penghitungan dengan analisis faktor diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan perpustakaan sekolah sebagai prasarana belajar siswa SMA negeri 7

Jaro Rojab di Kabupaten Banyumas: Wahana Transformasi Budaya Gotong Royong dan Kedermawanan,” yang ditulis oleh Suyami menguraikan tentang tradisi Jaro Rojab yang sarat

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut me- ngenai pengaruh saliva terhadap proses karies gigi berdasarkan perubahan volume, pH dan kadar kal- sium saliva dengan

Pengaruh kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut atas Aspek Perhatian (Emphaty) terhadap kepuasan pasien di Poliklinik Gigi RSI Sultan Agung Semarang memiliki

• Servis Lompat ; yaitu servis dengan cara melambungkan bola ke arah atas depan, lalu pemain melompat dan memukul bola ketika di udara ke arah lapangan lawan. • Servis Bawah ;

Untuk monitoring keteraturan pasien dalam pengobatan dilakukan dengan cara melihat tanggal pasien datang berobat, jika pasien tidak datang pada tanggal yang telah

Όσον αφορά τις ποικιλίες Kismy και Marady (τύπου Loose leaf) και την ποικιλία Adranita (τύπου Romaine) που καλλιεργήθηκαν στη διάρκεια

Kejadian Luar Biasa keracunan pangan di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Boyolali. Masyarakat yang terpapar keracunan makanan sebanyak 252 orang. Dari Hasil yang didapat