• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.2.2 Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

4.2.2.2 Perbedaan Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA, disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa antara kelas dengan model pembelajaran Creative Problem Solving, Problem Posing, dan pembelajaran langsung (Direct Instruction). Setelah diuji lanjut dengan uji LSD, diperoleh hasil bahwa kelas dengan model pembelajaran Problem Posing dan Direct Instruction terdapat perbedaan hasil tes yang signifikan. Sedangkan untuk pasangan kelas sampel dengan model pembelajaran CPS-DI dan CPS-PP tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil tes kemampuan pemecahan masalah.

Untuk mengetahui lebih jauh kelas dengan model pembelajaran manakah yang memiliki rata-rata hasil tes lebih tinggi, dilakukan uji t satu pihak. Uji ini dilakukan secara berpasangan. Hasil perhitungan menyatakan bahwa rata-rata hasil tes kelas

dengan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction, rata-rata hasil tes kelas dengan model pembelajaran Problem Posing lebih dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction, dan rata-rata hasil tes kelas dengan model pembelajaran Creative Problem Solving kurang dari kelas dengan model pembelajaran Problem Posing.

Sebagai pembanding untuk menentukan model pembelajaran manakah yang lebih baik, dapat dilihat dengan membandingkan rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan proporsi ketuntasan dua kelas sampel yang akan dibandingkan.

1. Rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan proporsi ketuntasan siswa pada kelas dengan model pembelajaaran Creative Problem Solving lebih dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Creative Problem Solving lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Direct Instruction. 2. Rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan proporsi ketuntasan siswa

pada kelas dengan model pembelajaaran Problem Posing lebih dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Problem Posing lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Direct Instruction.

3. Rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan proporsi ketuntasan siswa pada kelas dengan model pembelajaaran Creative Problem Solving kurang dari kelas dengan model pembelajaran Problem Posing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Creative Problem Solving tidak lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Problem Posing.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Posing paling baik diantara ketiga model pembelajaran tersebut dalam hal meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan model pembelajaran Problem Posing karena siswa dibiasakan untuk menyusun dan menguasai secara utuh soal beserta jawabannya, sehingga siswa cenderung lebih baik daripada siswa yang mendapatkan model pembelajaran Creative Problem Solving dan Direct Instruction dalam menguasai seluruh aspek pemecahan masalah mulai dari memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menerapkan penyelesaian, dan meninjau kembali hasil pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bruner sebagaimana dikutip dalam Suyitno (2004: 37), bahwa belajar akan lebih bermakna bagi siswa jika mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Siswa harus aktif dalam mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci daripada hanya sekadar menerima penjelasan guru. Berbeda dengan siswa yang menerima model pembelajaran CPS maupun DI, mereka tidak dibiasakan untuk menguasai soal secara keseluruhan. Fokus

siswa yang menerima model pembelajaran CPS dan DI hanya mengerjakan soal saja, tidak sampai pada cara menyusun soal lengkap dengan langkah penyelesaiannya. Faktor lain yang menjadi penyebab keberhasilan siswa pada kelas PP adalah rasa percaya diri siswa. Siswa sangat antusias dalam menampilkan soal temuannya yang menantang untuk dikerjakan temannya. Bahkan tidak sedikit siswa yang berebut giliran dan menjadikan sebagai ajang kompetisi untuk menyajikan soal temuannya dan mengerjakan soal yang dibuat oleh temannya. Hal ini sesuai dengan kajian oleh Thobroni dan Mustofa (2011) bahwa salah satu keunggulan model pembelajaran Problem Posing adalah menumbuhkan rasa percaya diri siswa.

Beberapa faktor yang menyebabkan kemampuan pemecahan siswa dengan model pembelajaran CPS dan PP lebih baik daripada siswa dengan model pembelajaran DI antara lain : (1) dalam penelitian ini intensitas mengerjakan soal pemecahan masalah pada kelas dengan model pembelajaran CPS dan PP lebih tinggi daripada pembelajaran di kelas DI. Hal ini sesuai dengan kajian oleh Thorndike pada hukum latihan, bahwa jika hubungan antara stimulus dan respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat. Dengan kata lain, banyaknya latihan soal pada kelas dengan pembelajaran CPS dan PP lebih efektif meningkatkan aspek kemampuan pemecahan masalah siswa. (2) Pelaksanaan pembelajaran di kelas CPS dan PP dengan pembentukan kelompok menunjang siswa satu sama lain dalam proses meyelesaikan masalah. Adanya interaksi antar siswa memunculkan berbagai gagasan untuk memecahkan suatu masalah. Kegiatan ini sejalan dengan kajian oleh Vygotsky pada hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan, di mana siswa dapat menemukan

sendiri solusi dari permasalahan melalui bimbingan dari teman sebaya atau pakar. (3) Pengetahuan awal yang dimiliki siswa pada kelas dengan pembelajaran CPS dan PP benar-benar dimanfaatkan dengan baik untuk memecahkan masalah yang mereka temui. Kajian oleh Gagne mendukung kegiatan ini, sebab proses pemecahan masalahah perupakan proses belajar yang paling tinggi karena harus memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah. Berbeda dengan kegiatan pada kelas dengan model pembelajaran DI, siswa hanya menerima pengetahuan dari guru, sehingga pengetahuan yang siswa miliki sebelumnya tidak termanfaatkan dengan baik.

Akan tetapi dari ketiga kelas sampel tersebut masih terdapat siswa yang belum tuntas pada tes kemampuan pemecahan masalah. Faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidaktuntasan tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Soal tes dan latihan bagi sebagian siswa masih dianggap terlalu sukar, terlebih oleh siswa di kelas kontrol. Karena siswa di kelas kontrol tidak terbiasa mengerjakan soal latihan dengan tingkat kesulitan yang sebanding dengan soal latihan di kelas eksperimen.

2. Komposisi kemampuan siswa pada saat pembentukan kelompok di kelas eksperimen tidak ideal, karena pada pelaksanaannya pengelompokan dilakukan secara acak. Sehingga muncul kemungkinan terbentuknya kelompok yang tidak seimbang (anggotanya berkemampuan matematis rendah semua) akan sedikit lambat dalam memahami materi.

3. Sikap siswa yang kurang serius saat mengikuti pembelajaran menyebabkan minimnya pengetahuan yang diperoleh, berdampak pada kemampuan pemecahan masalah yang lemah pada langkah merencanakan masalah.

146

BAB 5

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai komparasi kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Magelang pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok antara pembelajaran dengan model Creative Problem Solving dan model Problem Posing, diperoleh simpulan sebagai berikut.

1. Hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok yang menggunakan pembelajaran dengan model Creative Problem Solving (CPS) belum mencapai ketuntasan klasikal. 2. Hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada submateri luas

permukaan dan volum kubus dan balok yang menggunakan pembelajaran dengan model Problem Posing (PP) mencapai ketuntasan klasikal.

3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok pada kelas yang menggunakan pembelajaran dengan model Creative Problem Solving, Problem Posing, dan pembelajaran langsung (Direct Instruction).

4. Kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok dengan menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII yang menggunakan model pembelajaran langsung (Direct Instruction).

5. Kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok dengan menggunakan model pembelajaran Problem Posing lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII yang menggunakan model pembelajaran langsung (Direct Instruction).

6. Kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok dengan menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving tidak lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII yang menggunakan model pembelajaran Problem Posing.

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan hasil penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, berikut adalah saran yang dapat direkomendasikan peneliti sebagai pertimbangan untuk memperbaiki proses pembelajaran matematika.

1. Guru matematika kelas VIII SMP Negeri 2 Magelang dapat menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving maupun Problem Posing dalam proses pemecahan masalah pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok, untuk melatih dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa, karena

kedua model pembelajaran tersebut terbukti lebih baik daripada model yang biasa dipakai di sekolah tersebut, yakni model pembelajaran langsung.

2. Dalam penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving maupun Problem Posing, guru dianjurkan untuk tidak mengabaikan pembentukan kelompok-kelompok belajar yang heterogen, agar siswa dapat saling membantu dalam pemecahan masalah.

3. Guru matematika SMP Negeri 2 Magelang dapat menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving dan Problem Posing pada pokok bahasan pelajaran matematika yang lain.

4. Perlu penelitian lanjutan untuk mengembangkan dan meminimalisasi kelemahan model pembelajaran Creative Problem Solving maupun Problem Posing agar lebih efektif lagi dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa maupun kemampuan lain dalam pembelajaran matematika.

149

Dokumen terkait